Saliva saling tertukar. Ciuman penuh damba itu membuat suhu tubuh dua insan saling memanas layaknya ada bara api yang tersirat hasrat membakar mereka. Suara decapan begitu terdengar di telinga mereka—membuat keadaan semakin panas.Bibir mereka saling mencecapi atas dan bawah bergantian. Ciuman itu menyalurkan gairah yang selama ini terpendam. Untuk kali ini ciuman mereka bukan hanya lembut, tapi tersirat liar seolah sangat merindukan. Marcel menekan tengkuk leher Joice, memperdalam ciumannya. Tak hanya diam, wanita itu pun memberikan remasan di jas Marcel—dan menyambut setiap ciuman yang telah tercipta. Ciuman yang sukses membuat suhu tubuh mereka panas. “M-Marcel—” desah Joice di sela-sela ciumannya. Napasnya sedikit terengah-engah, akibat ciuman yang diciptakan Marcel terlalu menggebu-gebu.Marcel melepaskan pagutannya sebentar, mengangkat tubuh Joice, hingga terduduk di atas meja rias wanita itu. Sontak, Joice terkejut di kala tubuhnya sudah berpindah duduk di atas meja rias. N
Uap panas yang ditimbulkan air hangat mulai memenuhi kaca-kaca yang ada di dalam kamar mandi. Suasana di dalam kamar mandi itu begitu amat hening. Tidak ada suara sama sekali. Hanya ada dua insan berada di dalam jacuzzi dengan posisi intim dan sangat mesra.“Kenapa kau hanya diam, hm?” bisik Marcel seraya membelai pipi Joice. Ya, Joice kini berada di dalam jacuzzi berendam air hangat dengan Marcel. Wanita itu duduk di pangkuan Marcel. Lidahnya seolah kelu. Tidak mampu berkata apa pun. Perasaan yang dia rasakan saat ini sangatlah campur aduk. Dinding pertahanannya telah runtuh. Lantas, apa lagi yang harus Joice katakan? Bukankah semua telah terjadi? Joice menyadari bahwa hatinya sangat lemah. Logikanya kalah dengan perasaan cintanya pada Marcel.Marcel membelai pipi Joice. “Demi Tuhan, tadi malam aku pergi menenangkan diriku, bukan check-in dengan wanita lain. Hendy menemaniku. Jika kau masih tidak percaya, aku akan meminta Hendy mengirimkan CCTV—”“Tidak usah,” sela Joice cepat. “Ak
Iris mata cokelat gelap Marcel menatap dingin sosok wanita yang tak asing berdiri di hadapannya. Aura wajah pria itu nampak sangat berbeda. Ada rasa kesal, namun tentunya dia berusaha untuk menahan dirinya.“Costa? Kenapa kau di sini?” Yang ada di hadapan Marcel adalah Costa Phebe—temannya. Pria itu sama sekali tidak mengira, kalau akan bertemu dengan Costa di perusahaan cabang milik keluarganya yang ada di London.Costa tersenyum samar. “Kebetulan aku ke sini karena ingin bertemu denganmu.”“Apa yang membuatmu ingin bertemu denganku?” tanya Marcel dingin dengan raut wajah tanpa ekspresi.“Aku ingin menawarkan kerja sama pada perusahaanmu, Marcel. Seperti yang waktu itu pernah aku sampaikan padamu,” jawab Costa lembut.“Kau sudah membicarakan ini pada asisten pribadiku?” balas Marcel dingin.Setiap kerja sama yang masuk, tidak akan pernah langsung diketahui Marcel. Biasanya asistennya akan menganalisa proposal lebih dulu. Baru jika kerja sama menguntungkan, Marcel akan memeriksa guna
Joice tidak pernah bisa tenang damai sejak dirinya berbaikan dengan Marcel. Bagaimana tidak? Dia selalu mendapatkan serangan dari Marcel. Seperti contoh tadi Marcel mengajaknya ‘mandi bersama’, ternyata itu hanyalah teori semata. Fakta yang sebenarnya adalah Marcel menyerangnya kembali. Well, bercinta dengan Marcel di masa sekarang sudah berbaikan sangatlah berbeda jauh dengan dulu.Dulu, Marcel tidaklah menunjukkan cintanya pada Joice. Hubungan badan yang dilakukan layaknya pasangan suami istri yang menikah tanpa adanya cinta. Memang, rasanya selalu nikmat, tapi tetap sekarang jauh lebih nikmat karena Marcel sudah berani mengutarakan isi hati yang sebenarnya padanya. Joice terbaring lemas di ranjang sambil memakai gaun tidur tipis. Tubuh wanita itu sangat pegal dan lemas. Wajar saja, karena tadi di kamar mandi—dia melayani Marcel sampai membuat bokong dan pinggangnya pegal.Joice sudah lama tak melakukan hubungan badan dengan Marcel. Jadi, kalau dia sekarang gampang lelah, itu adal
“Aku akan menemanimu bertemu dengan ayahmu.”Kalimat spontan yang lolos dari bibir Marcel, membuktikan bahwa apa yang dia katakan merupakan sesuatu hal yang tak bisa dibantahkan. Aura wajah pria tampan itu menunjukkan jelas ketegasannya.Joice menghela napas dalam. Sudah sejak tadi memang Marcel mengatakan kalau besok pria itu akan menemaninya menemui ayahnya. Bukan bermaksud ingin menolak, tapi Joice merasa bahwa memang belum saatnya dirinya membawa Marcel.Banyak pertimbangan yang dipikirkan Joice. Yang pasti, dia berupaya agar tidak terlalu banyak orang yang terluka. Walaupun, dia sadar bahwa tidak semua orang bisa dia bahagiakan, tapi tetap setidaknya dia sudah berusaha untuk menjaga perasaan banyak orang.“Marcel, aku mohon biarkan aku sendiri menemui kedua orang tuaku. Kalau kau langsung muncul pasti mereka akan terkejut. Kau tahu, kan? Ayahku sangat kecewa padamu. Biarkan aku sendiri memberikan penjelasan pada orang tuaku.” Joice menatap Marcel dengan tatapan penuh permohonan.
Flashback On#Dean mengetuk-ngetuk jemarinya ke kursi kerjanya. Tatapannya menatap Albern yang baru saja datang. Albern kini sudah duduk di hadapannya sambil menikmati wine yang sudah dia hidangkan.“Paman, ada apa kau mendadak memintaku untuk datang?” tanya Albern seraya menatap Dean. Pria itu datang ke kantor Dean, karena kebetulan ayah Joice itu memintanya untuk datang.“Beberapa hari ini aku berpikir keras.” Dean nampak menunjukkan keseriusannya.Kening Albern mengerut dalam. “Apa yang kau pikirkan, Paman? Apa ada masalah yang mengganggu pikiranmu?” tanyanya.Dean menggeleng. “Bukan masalah, tapi sebuah keputusan besar.”Albern terdiam sebentar mendengar apa yang Dean katakan. Sepasang iris matanya sedikit menunjukkan kebingungan. “Keputusan apa yang kau maksud, Paman?” Dean mengambil wine yang ada di hadapannya, dan menyesap wine secara perlahan. “Aku sudah mengambil keputusan, lebih baik kau dan Joice menikah akhir bulan ini. Dengan atau tanpa persetujuan Joice, rencana pernika
Mobil yang dilajukan Marcel mulai memasuki kafe yang posisinya tidak terlalu jauh dari mansion keluarga Joice. Marcel sengaja untuk memilih ke kafe daripada pulang. Tentu alasannya agar mempermudah dalam menjemput Joice. Dia tidak ingin terlambat menjemput Joice. Itu yang membuatnya memilih untuk ke kafe.Suara dering ponsel terdengar. Refleks, Marcel yang baru saja memasuki halaman parkir kafe—langsung mengalihkan pandangannya pada ponsel yang berdering itu. Decakan pelan lolos di bibirnya melihat ternyata ponsel Joice yang berdering.“Ck! Dia ini selalu saja ceroboh,” gumam Marcel sambil mengambil ponsel Joice yang tertinggal di mobil—dan melihat di sana tertera nama ‘Hana’ yang menghubungi Joice.Marcel memutuskan untuk mengabaikan panggilan telepon itu. Lalu, kembali melajukan mobilnya menuju ke mansion keluarga Joice. Pria itu akan menitipkan ponsel Joice pada pelayan. Kalau Joice tidak memegang ponsel, bagaimana bisa menghubunginya? Jadi, mau tidak mau Marcel harus mengantar pon
Joice sudah tidak lagi mendapatkan terror dari ayahnya menanyakan hubungannya dengan Albern. Itu yang membuat Joice sekarang jadi sedikit tenang, namun tak dipungkiri bahwa ada sedikit perasaan bersalah menyelimutinya.Sejak perdebatan tempo hari, perasaan Joice terus memikirkan ayahnya. Jujur, jauh dari dalam lubuk hati Joice terdalam, dia berharap ayahnya bisa seperti ibunya yang memberikan kesempatan untuk Marcel.Tapi Joice tidak bisa memaksa. Yang bisa dia lakukan adalah terus berjuang dengan Marcel agar kedua orang tuanya luluh. Berjuang sampai titik darah penghabisan. Tidak akan pernah menyerah.“Pagi hari kau sudah melamun.” Marcel melangkah menghampiri Joice yang tengah duduk di sofa, sambil melihat ke luar jendela.Joice mengalihkan pandangannya, menatap Marcel yang sekarang duduk di sampingnya. Senyuman indah di wajahnya terlukis melihat Marcel. “Aku baru saja kembali melihat Marvel dan Janita. Mereka sedang bermain bersama pengasuh.”Marcel mengecup bibir Joice. “Ya, aku j
Lombok, Indonesia. Menepuh perjalanan jauh dari London ke Lombok adalah hal yang tak pernah Joice sangka-sangka. Saat usia Janita dan Marvel dua tahun, Joice pernah diajak Marcel ke Bali dan Jakarta. Hanya saja dia belum pernah ke Lombok. Wanita cantik itu takjub, di kala Marcel membawanya benar-benar berkeliling pedesaan.Joice tak pernah mengira Marcel akan membawanya serta tiga anaknya berlibur ke Lombok. Liburan di benua Eropa dan Amerika adalah hal biasa untuk Joice bersama keluarga. Akan tetapi, liburan ke Asia benar-benar sangat menakjubkan!“Sayang, ini indah sekali. Terima kasih sudah membawaku ke sini.” Mata Joice berkaca-kaca menatap Marcel dengan haru.Marcel mengecup kening Joice. “Aku sudah yakin kau akan menyukai tempat ini.”Joice tersenyum lembut seraya menatap tiga anaknya yang sedang berlari-larian. “Waktu terasa sangatlah cepat. Dulu, aku selalu hidup berdua dengan Hana. Ke mana pun aku pergi, maka Hana akan ikut denganku. Tapi sekarang semua berubah di kala takdi
London, UK. Janji suci pernikahan yang terucap secara bergantian di bibir Landon dan Anya—wanita yang menikah dengan Landon—nampak membuat Joice sejak tadi tersenyum penuh haru bahagia. Sepasang iris mata Joice menunjukkan betapa dia bahagia. Kepingan memori teringat akan masa kecilnya bersama dengan sang adik, membuat Joice meneteskan air mata haru.Landon bertemu dengan Anya saat adiknya itu tengah berlibur ke Singapore. Singkat cerita, mereka hanya berawal berkencan biasa, namun ternyata berujung pada pernikahan. Tentunya perjalanan mereka tak selalu mulus. Ada kalanya naik turun. Tapi Joice selalu memberikan nasihat terbaik untuk adiknya, di kala adiknya mengalami masalah hubungan percintaan.Joice menetap tinggal di Milan, karena ikut dengan sang suami. Jarak tinggalnya dengan orang tua serta adiknya memang jauh, tapi Joice sering sekali mengunjungi London. Banyak keluarga yang tinggal di London, tentunya membuat Joice wajib mengunjungi kota indah itu.Selama proses upacara pern
*Dua minggu lagi hari pernikahanku. Kau pasti akan ke London, kan? Jangan bilang kau sibuk. Aku tidak akan lagi menganggapmu, jika kau sampai tidak datang di hari pernikahanku.* Pesan singkat dari Landon membuat Joice mengulumkan senyumannya. Wanita berparas cantik itu terlihat gemas akan pesan yang dia baca ini. Well, Joice tak akan mungkin hari pernikahan adiknya yang akan diadakan dua minggu lagi.Singkat cerita, beberapa bulan lalu Landon mendatangi Milan, memperkenalkan seseorang wanita cantik yang merupakan calon istri adiknya itu. Joice tentu saja bahagia mendengar kabar Landon akan segera menikah.Sudah sejak lama Joice meminta Landon untuk segera menikah. Karena bagaimanapun, Joice tahu bahwa kedua orang tuanya menginginkan Landon memiliki keluarga seperti dirinya dan Marcel. Doa Joice selama ini terjawab. Adiknya akhirnya dipertemukan dengan takdirnya.“Kenapa kau senyum-senyum seperti itu, Sayang?” Marcel mendekat, menghampiri sang istri. Joice mengalihkan pandangannya,
“Mommy, Daddy, kami pulang.”Marvel, Janita, dan si bungsu—Maxime—menghamburkan tubuh mereka pada kedua orang tua mereka. Pun tentu Joice dan Marcel membalas pelukan tiga anak mereka dengan lembut dan penuh kasih sayang.Kemarin, kedua orang tua Marcel sudah kembali ke Milan. Namun, mereka tidak langsung mengembalikan Maxime. Yang mereka lakukan malah menjemput Marvel dan Janita untuk berjalan-jalan. Weekend terakhir, tak ingin diasia-siakan oleh kedua orang tua Marcel itu.Sekarang Marvel, Janita, dan Maxime dipulangkan, karena Marvel dan Janita akan masuk sekolah. Maxime juga dipulangkan, karena pastinya Marcel dan Joice sangatlah merindukan putra bungsu mereka.“Sayang Mommy. Ah, kalian baru pulang jalan-jalan. Pasti kalian happy.” Joice menciumi ketiga anaknya itu. Bergantian dengan Marcel yang kini menciumi tiga anaknya. “Mommy kami senang sekali diajak jalan-jalan Grandpa Mateo dan Grandma Miracle,” ucap Janita dengan riang gembira.Joice tersenyum mendengar apa yang dikatakan
Joice turun dari mobil, dan melangkah terburu-buru masuk ke dalam mansion menuju kamar. Tentu saja, Marcel segera menyusul Joice yang sudah lebih dulu masuk ke dalam kamar mereka. Sejak di mana bertemu dengan Poppy—Joice memang terlihat masih marah. Padahal seharusnya Joice sudah tidak lagi marah padanya.“Joice, kau masih mendiamiku setelah aku memberikan penjelasan padamu?” Marcel masuk ke dalam kamar, mendekat pada Joice.“Aku ingin istirahat, Marcel. Tolong kau keluar.” Joice tetap bersikap dingin, dan acuh, meminta Marcel untuk keluar. Dia masih enggan untuk bicara dengan suaminya. Sekalipun, tadi dia sudah bertemu dengan Poppy—tetap saja dia masih kesal dan marah.Marcel berusaha bersabar menghadapi sang istri yang cemburu buta. Dia menarik tangan Joice—membuat tubuh istrinya itu masuk ke dalam dekapannya. Tampak Joice berontak di kala Marcel memeluknya dengan erat.“Marcel, lepaskan aku! Lepas!” Joice mendorong dada bidang Marcel.“Jika kau berontak, maka aku akan benar-benar b
Mobil sport milik Marcel terhenti di sebuah restoran ternama di Milan. Detik itu juga raut wajah Joice berubah menunjukkan jelas kebingungannya. Dia sedang marah, tapi kenapa malah diajak ke restoran? Apa-apaan ini? Sungguh! Joice menjadi semakin kesal pada Marcel.“Marcel, kau kenapa mengajakku ke sini?” seru Joice kesal pada Marcel.“Kita akan bertemu dengan seseorang.” Marcel membuka seat belt-nya, turun dari mobil—dan membukakan pintu mobil untuk istri tercintanya itu.“Bertemu siapa?!” Joice enggan untuk bertemu siapa pun. Dalam kondisi raut wajah yang sedang marah, menunjukkan jelas rasa tak suka jika harus bertemu dengan orang. Entah siapa yang ingin ditunjukkan oleh suaminya itu. Marcel menunduk, membuka seat belt sang istri. “Kau akan tahu, jika kau sudah turun.” Lalu, pria itu menarik tangan istrinya—memaksa untuk turun dari mobil. Joice mendesah kasar ketika tangannya ditarik sang suami masuk ke dalam restoran. Dia tidak memiliki pilihan lain untuk mengikuti suaminya it
“Mom, kenapa kau tidur di kamarku? Nanti Daddy kesepian. Kasihan Daddy, Mom. Daddy bilang padaku, dia tidak akan bisa tidur nyenyak, jika tanpa Mommy.” Janita menatap Joice yang tidur di kamarnya. Biasanya ibunya itu akan menemaninya tidur, jika dia tengah sakit. Tapi dia sehat dan baik-baik saja. Itu yang membuat gadis kecil itu bingung.Joice memeluk Janita dan mengecupi pipi bulat putrinya itu. “Mommy sangat merindukanmu. Itu kenapa Mommy tidur denganmu. Memangnya kau tidak suka tidur bersama Mommy?”Janita tersenyum lembut dan manis. “Tentu saja aku suka, Mommy. Aku suka tidur bersama Mommy. Tapi, aku kasihan pada Daddy tidur sendiri. Nanti Daddy kesepian. Bagaimana kalau Daddy diajak tidur bersama kita saja?” Gadis kecil itu memberikan ide luar biasa.“Tidak!” tolak Joice tegas, dengan raut wajah jengkel.“Kenapa tidak, Mommy? Kasihan Daddy tidur sendiri.” Raut wajah Janita muram.“Daddy tidak tidur sendiri. Malam ini Daddy tidur bersama Marvel, Little Girl.” Marcel melangkah men
Weekend tiba. Marvel dan Janita bersorak riang gembira. Dua anak kembar itu libur. Mereka sekarang asik berkutat pada dengan iPad mereka masing-masing. Mereka tenang tak memiliki gangguan. Pasalnya Maxime masih bersama dengan kakek dan nenek mereka. Jika Maxime ada di rumah, sudah pasti adiknya itu akan mengganggu dengan membuat kekacauan. Marvel asik bermain game mobil balap. Janita asik bermain game barbie. Akan tetapi tentu Janita bermain game sambil mengemil cake yang dibuatkan pelayan. Gadis kecil itu memang terkenal sangat menyukai cake manis.“Marvel, Janita. Kalian mendapatkan video call Grandpa Dean dan Grandma Brianna. Ayo jawab telepon kakek kalian dulu.” Joice menghampiri dua anak kembarnya yang tengah asik bermain dengan iPad.“Yes, Mommy.” Marvel dan Janita menjawab dengan patuh. Mereka langsung berlari menghampiri pengasuh mereka—yang tengah memegang ponsel. Dua bocah itu bahagia mendengar kakek dan nenek mereka video call.Joice tersenyum sambil menggeleng-gelengkan k
Janita tersenyum-senyum seraya melangkah masuk ke dalam rumah. Gadis kecil cantik itu baru saja pulang sekolah—dengan wajah yang riang gembira. Sayangnya tidak dengan Marvel yang pulang dalam keadaan menekuk bibirnya.“Mommy, aku dan Kak Marvel sudah pulang.” Janita berseru dengan suara cempreng dan nyaring—membuat Marvel harus menutup kedua telinganya.“Anak-anak Mommy sudah pulang.” Joice tersenyum menyambut dua anak kembarnya yang sudah pulang. “Ayo ganti pakaian kalian dulu. Cuci tangan bersih, lalu kita makan siang bersama.”Janita dan Marvel sama-sama mengangguk patuh. Mereka menuju ke kamar mereka masing-masing bersamaan dengan para pengasuh mereka. Tepat di kala Janita dan Marvel sudah masuk ke dalam kamar—Joice bersenandung sambil menyiapkan makanan lezat yang sudah dia siapkan untuk dua anak kembarnya. Joice telah mengurangi pekerjaannya yang bergelut di dunia model. Bukan berhenti, tapi hanya mengurangi porsi pekerjaan. Bisa dikatakan fokus utama Joice adalah mengurus suam