Iris mata cokelat gelap Marcel menatap dingin sosok wanita yang tak asing berdiri di hadapannya. Aura wajah pria itu nampak sangat berbeda. Ada rasa kesal, namun tentunya dia berusaha untuk menahan dirinya.“Costa? Kenapa kau di sini?” Yang ada di hadapan Marcel adalah Costa Phebe—temannya. Pria itu sama sekali tidak mengira, kalau akan bertemu dengan Costa di perusahaan cabang milik keluarganya yang ada di London.Costa tersenyum samar. “Kebetulan aku ke sini karena ingin bertemu denganmu.”“Apa yang membuatmu ingin bertemu denganku?” tanya Marcel dingin dengan raut wajah tanpa ekspresi.“Aku ingin menawarkan kerja sama pada perusahaanmu, Marcel. Seperti yang waktu itu pernah aku sampaikan padamu,” jawab Costa lembut.“Kau sudah membicarakan ini pada asisten pribadiku?” balas Marcel dingin.Setiap kerja sama yang masuk, tidak akan pernah langsung diketahui Marcel. Biasanya asistennya akan menganalisa proposal lebih dulu. Baru jika kerja sama menguntungkan, Marcel akan memeriksa guna
Joice tidak pernah bisa tenang damai sejak dirinya berbaikan dengan Marcel. Bagaimana tidak? Dia selalu mendapatkan serangan dari Marcel. Seperti contoh tadi Marcel mengajaknya ‘mandi bersama’, ternyata itu hanyalah teori semata. Fakta yang sebenarnya adalah Marcel menyerangnya kembali. Well, bercinta dengan Marcel di masa sekarang sudah berbaikan sangatlah berbeda jauh dengan dulu.Dulu, Marcel tidaklah menunjukkan cintanya pada Joice. Hubungan badan yang dilakukan layaknya pasangan suami istri yang menikah tanpa adanya cinta. Memang, rasanya selalu nikmat, tapi tetap sekarang jauh lebih nikmat karena Marcel sudah berani mengutarakan isi hati yang sebenarnya padanya. Joice terbaring lemas di ranjang sambil memakai gaun tidur tipis. Tubuh wanita itu sangat pegal dan lemas. Wajar saja, karena tadi di kamar mandi—dia melayani Marcel sampai membuat bokong dan pinggangnya pegal.Joice sudah lama tak melakukan hubungan badan dengan Marcel. Jadi, kalau dia sekarang gampang lelah, itu adal
“Aku akan menemanimu bertemu dengan ayahmu.”Kalimat spontan yang lolos dari bibir Marcel, membuktikan bahwa apa yang dia katakan merupakan sesuatu hal yang tak bisa dibantahkan. Aura wajah pria tampan itu menunjukkan jelas ketegasannya.Joice menghela napas dalam. Sudah sejak tadi memang Marcel mengatakan kalau besok pria itu akan menemaninya menemui ayahnya. Bukan bermaksud ingin menolak, tapi Joice merasa bahwa memang belum saatnya dirinya membawa Marcel.Banyak pertimbangan yang dipikirkan Joice. Yang pasti, dia berupaya agar tidak terlalu banyak orang yang terluka. Walaupun, dia sadar bahwa tidak semua orang bisa dia bahagiakan, tapi tetap setidaknya dia sudah berusaha untuk menjaga perasaan banyak orang.“Marcel, aku mohon biarkan aku sendiri menemui kedua orang tuaku. Kalau kau langsung muncul pasti mereka akan terkejut. Kau tahu, kan? Ayahku sangat kecewa padamu. Biarkan aku sendiri memberikan penjelasan pada orang tuaku.” Joice menatap Marcel dengan tatapan penuh permohonan.
Flashback On#Dean mengetuk-ngetuk jemarinya ke kursi kerjanya. Tatapannya menatap Albern yang baru saja datang. Albern kini sudah duduk di hadapannya sambil menikmati wine yang sudah dia hidangkan.“Paman, ada apa kau mendadak memintaku untuk datang?” tanya Albern seraya menatap Dean. Pria itu datang ke kantor Dean, karena kebetulan ayah Joice itu memintanya untuk datang.“Beberapa hari ini aku berpikir keras.” Dean nampak menunjukkan keseriusannya.Kening Albern mengerut dalam. “Apa yang kau pikirkan, Paman? Apa ada masalah yang mengganggu pikiranmu?” tanyanya.Dean menggeleng. “Bukan masalah, tapi sebuah keputusan besar.”Albern terdiam sebentar mendengar apa yang Dean katakan. Sepasang iris matanya sedikit menunjukkan kebingungan. “Keputusan apa yang kau maksud, Paman?” Dean mengambil wine yang ada di hadapannya, dan menyesap wine secara perlahan. “Aku sudah mengambil keputusan, lebih baik kau dan Joice menikah akhir bulan ini. Dengan atau tanpa persetujuan Joice, rencana pernika
Mobil yang dilajukan Marcel mulai memasuki kafe yang posisinya tidak terlalu jauh dari mansion keluarga Joice. Marcel sengaja untuk memilih ke kafe daripada pulang. Tentu alasannya agar mempermudah dalam menjemput Joice. Dia tidak ingin terlambat menjemput Joice. Itu yang membuatnya memilih untuk ke kafe.Suara dering ponsel terdengar. Refleks, Marcel yang baru saja memasuki halaman parkir kafe—langsung mengalihkan pandangannya pada ponsel yang berdering itu. Decakan pelan lolos di bibirnya melihat ternyata ponsel Joice yang berdering.“Ck! Dia ini selalu saja ceroboh,” gumam Marcel sambil mengambil ponsel Joice yang tertinggal di mobil—dan melihat di sana tertera nama ‘Hana’ yang menghubungi Joice.Marcel memutuskan untuk mengabaikan panggilan telepon itu. Lalu, kembali melajukan mobilnya menuju ke mansion keluarga Joice. Pria itu akan menitipkan ponsel Joice pada pelayan. Kalau Joice tidak memegang ponsel, bagaimana bisa menghubunginya? Jadi, mau tidak mau Marcel harus mengantar pon
Joice sudah tidak lagi mendapatkan terror dari ayahnya menanyakan hubungannya dengan Albern. Itu yang membuat Joice sekarang jadi sedikit tenang, namun tak dipungkiri bahwa ada sedikit perasaan bersalah menyelimutinya.Sejak perdebatan tempo hari, perasaan Joice terus memikirkan ayahnya. Jujur, jauh dari dalam lubuk hati Joice terdalam, dia berharap ayahnya bisa seperti ibunya yang memberikan kesempatan untuk Marcel.Tapi Joice tidak bisa memaksa. Yang bisa dia lakukan adalah terus berjuang dengan Marcel agar kedua orang tuanya luluh. Berjuang sampai titik darah penghabisan. Tidak akan pernah menyerah.“Pagi hari kau sudah melamun.” Marcel melangkah menghampiri Joice yang tengah duduk di sofa, sambil melihat ke luar jendela.Joice mengalihkan pandangannya, menatap Marcel yang sekarang duduk di sampingnya. Senyuman indah di wajahnya terlukis melihat Marcel. “Aku baru saja kembali melihat Marvel dan Janita. Mereka sedang bermain bersama pengasuh.”Marcel mengecup bibir Joice. “Ya, aku j
“What?! Kau bercanda padaku, kan, Joice?”Suara Hana melengking begitu tinggi. Untungnya ruang tengah di mansion Joice sangat megah. Jadi suara lengkingan Hana, tidak sampai membuat Marvel dan Janita yang terlelap menjadi terbangun.Saat ini Hana tengah berada di mansion Joice. Wanita itu datang ke mansion Joice, di kala dia sudah mendengar bahwa Marcel tidak ada di rumah. Tapi, baru saja Hana datang berkunjung di mansion Joice—dia sudah dikejutkan tentang apa yang Joice ceritakan.Hal tergila yang pernah Joice katakan pada Hana adalah temanya itu sudah memberikan kesempatan kedua pada Marcel. Itu yang membuat Hana sampai menjerit akibat tak percaya dengan kalimat yang terucap di bibir Joice.Joice menghela napas dalam. “Hana, kau membuat telingaku sakit kalau berteriak seperti itu.”Hana berdecak tak suka. “Joice, bilang padaku kalau kau sedang bercanda. Kau pasti tidak serius, kan?” balasnya kesal. Hana berharap bahwa apa yang dikatakan oleh Joice merupakan hal yang bohong atau hany
Joice tersenyum-senyum membayangkan malam ini akan makan malam romantis dengan Marcel. Sudah lama sekali dia tidak makan romantis dengan Marcel. Sungguh, Joice amat sangat merindukan moment di mana dia bisa makan romantis dengan Marcel.Segala hal yang dulu Joice impikan telah terwujud. Bukan waktu yang sebentar untuknya bisa mewujudkan hal tersebut. Akan tetapi, meski harus menunggu lama, tentunya Joice memiliki kesabaran luar biasa.Mungkin, di luar sana para wanita akan menyerah ketika harus menunggu Marcel begitu lama. Tapi untuk Joice, memiliki keistimewaan yaitu sabar tanpa batas. Terbukti meskipun telah berpisah, namun cinta Joice pada Marcel tidak pernah luntur sama sekali.“Nyonya…” Pelayan melangkah menghampiri Joice yang sejak tadi senyum-senyum di dalam kamar.Joice mengalihkan pandangannya menatap sang pelayan yang membawakan satu kotak berukuran sedang. “Apa itu gaun dari butik?” tanyanya menduga. Sebelumnya, Joice meminta butik untuk mengantarkan gaun keluaran terbaru.