Flashback On#Dean mengetuk-ngetuk jemarinya ke kursi kerjanya. Tatapannya menatap Albern yang baru saja datang. Albern kini sudah duduk di hadapannya sambil menikmati wine yang sudah dia hidangkan.“Paman, ada apa kau mendadak memintaku untuk datang?” tanya Albern seraya menatap Dean. Pria itu datang ke kantor Dean, karena kebetulan ayah Joice itu memintanya untuk datang.“Beberapa hari ini aku berpikir keras.” Dean nampak menunjukkan keseriusannya.Kening Albern mengerut dalam. “Apa yang kau pikirkan, Paman? Apa ada masalah yang mengganggu pikiranmu?” tanyanya.Dean menggeleng. “Bukan masalah, tapi sebuah keputusan besar.”Albern terdiam sebentar mendengar apa yang Dean katakan. Sepasang iris matanya sedikit menunjukkan kebingungan. “Keputusan apa yang kau maksud, Paman?” Dean mengambil wine yang ada di hadapannya, dan menyesap wine secara perlahan. “Aku sudah mengambil keputusan, lebih baik kau dan Joice menikah akhir bulan ini. Dengan atau tanpa persetujuan Joice, rencana pernika
Mobil yang dilajukan Marcel mulai memasuki kafe yang posisinya tidak terlalu jauh dari mansion keluarga Joice. Marcel sengaja untuk memilih ke kafe daripada pulang. Tentu alasannya agar mempermudah dalam menjemput Joice. Dia tidak ingin terlambat menjemput Joice. Itu yang membuatnya memilih untuk ke kafe.Suara dering ponsel terdengar. Refleks, Marcel yang baru saja memasuki halaman parkir kafe—langsung mengalihkan pandangannya pada ponsel yang berdering itu. Decakan pelan lolos di bibirnya melihat ternyata ponsel Joice yang berdering.“Ck! Dia ini selalu saja ceroboh,” gumam Marcel sambil mengambil ponsel Joice yang tertinggal di mobil—dan melihat di sana tertera nama ‘Hana’ yang menghubungi Joice.Marcel memutuskan untuk mengabaikan panggilan telepon itu. Lalu, kembali melajukan mobilnya menuju ke mansion keluarga Joice. Pria itu akan menitipkan ponsel Joice pada pelayan. Kalau Joice tidak memegang ponsel, bagaimana bisa menghubunginya? Jadi, mau tidak mau Marcel harus mengantar pon
Joice sudah tidak lagi mendapatkan terror dari ayahnya menanyakan hubungannya dengan Albern. Itu yang membuat Joice sekarang jadi sedikit tenang, namun tak dipungkiri bahwa ada sedikit perasaan bersalah menyelimutinya.Sejak perdebatan tempo hari, perasaan Joice terus memikirkan ayahnya. Jujur, jauh dari dalam lubuk hati Joice terdalam, dia berharap ayahnya bisa seperti ibunya yang memberikan kesempatan untuk Marcel.Tapi Joice tidak bisa memaksa. Yang bisa dia lakukan adalah terus berjuang dengan Marcel agar kedua orang tuanya luluh. Berjuang sampai titik darah penghabisan. Tidak akan pernah menyerah.“Pagi hari kau sudah melamun.” Marcel melangkah menghampiri Joice yang tengah duduk di sofa, sambil melihat ke luar jendela.Joice mengalihkan pandangannya, menatap Marcel yang sekarang duduk di sampingnya. Senyuman indah di wajahnya terlukis melihat Marcel. “Aku baru saja kembali melihat Marvel dan Janita. Mereka sedang bermain bersama pengasuh.”Marcel mengecup bibir Joice. “Ya, aku j
“What?! Kau bercanda padaku, kan, Joice?”Suara Hana melengking begitu tinggi. Untungnya ruang tengah di mansion Joice sangat megah. Jadi suara lengkingan Hana, tidak sampai membuat Marvel dan Janita yang terlelap menjadi terbangun.Saat ini Hana tengah berada di mansion Joice. Wanita itu datang ke mansion Joice, di kala dia sudah mendengar bahwa Marcel tidak ada di rumah. Tapi, baru saja Hana datang berkunjung di mansion Joice—dia sudah dikejutkan tentang apa yang Joice ceritakan.Hal tergila yang pernah Joice katakan pada Hana adalah temanya itu sudah memberikan kesempatan kedua pada Marcel. Itu yang membuat Hana sampai menjerit akibat tak percaya dengan kalimat yang terucap di bibir Joice.Joice menghela napas dalam. “Hana, kau membuat telingaku sakit kalau berteriak seperti itu.”Hana berdecak tak suka. “Joice, bilang padaku kalau kau sedang bercanda. Kau pasti tidak serius, kan?” balasnya kesal. Hana berharap bahwa apa yang dikatakan oleh Joice merupakan hal yang bohong atau hany
Joice tersenyum-senyum membayangkan malam ini akan makan malam romantis dengan Marcel. Sudah lama sekali dia tidak makan romantis dengan Marcel. Sungguh, Joice amat sangat merindukan moment di mana dia bisa makan romantis dengan Marcel.Segala hal yang dulu Joice impikan telah terwujud. Bukan waktu yang sebentar untuknya bisa mewujudkan hal tersebut. Akan tetapi, meski harus menunggu lama, tentunya Joice memiliki kesabaran luar biasa.Mungkin, di luar sana para wanita akan menyerah ketika harus menunggu Marcel begitu lama. Tapi untuk Joice, memiliki keistimewaan yaitu sabar tanpa batas. Terbukti meskipun telah berpisah, namun cinta Joice pada Marcel tidak pernah luntur sama sekali.“Nyonya…” Pelayan melangkah menghampiri Joice yang sejak tadi senyum-senyum di dalam kamar.Joice mengalihkan pandangannya menatap sang pelayan yang membawakan satu kotak berukuran sedang. “Apa itu gaun dari butik?” tanyanya menduga. Sebelumnya, Joice meminta butik untuk mengantarkan gaun keluaran terbaru.
Kehidupan Joice dan Marcel semakin dipenuhi kasih sayang yang berlimpah. Mereka tetap masih fokus pada dua bayi kembar mereka. Sampai detik ini, Marcel belum memberi tahu keluarga besarnya tentang pria itu sudah menjalin hubungan lagi dengan Joice. Baru hanya kedua orang tua Joice yang tahu akan hal itu, karena memang waktu itu kondisi yang membuat mereka akhirnya mengungkapkan semua pada Dean dan Brianna.Marcel sengaja belum memberi tahu keluarga besarnya, karena dia tahu keluarga besarnya terlalu rumit, jadi dia memutuskan untuk menunggu waktu yang tepat. Lagi pula, sekarang ini dia dan Joice tengah menikmati masa-masa indah berdua—selayaknya pasangan suami istri muda yang berbahagia bersama anak-anak mereka. Seperti pagi ini, Joice duduk di pinggir kolam renang menatap Marcel tengah mengajak Marvel berenang. Joice duduk sambil memangku Janita. Well, dua perempuan cantik itu memakai bikini. Janita pun tak mau kalah dengan Joice. Bayi perempuan cantik itu memakai bikini merah yang
Joice berusaha untuk mengabaikan mimpinya. Walau sulit, tapi dia meneguhkan dirinya bahwa Marcel akan selalu memperjuangkannya. Dia menepis segala hal buruk. Dia tidak mau membuat aura negative yang nantinya berdampak dengan rasa cemas begitu berkepanjangan. Tadi pagi, Joice menjalankan tugasnya sebagai seorang ibu. Kebetulan, Janita dan Marvel rewel, jadi dia harus menyusui dua bayi kembarnya. Untungnya Marcel pun membantu menenangkan Janita dan Marvel.Sekarang Janita dan Marvel sudah tenang. Mereka sudah tidur di kamar. Joice tidak kewalahan karena Marcel belum berangkat bekerja. Sungguh, Joice pun dibuat bingung pada dua bayi kembarnya yang tiba-tiba saja rewel. Joice melangkah masuk ke dalam kamar, menatap Marcel yang masih duduk di sofa. “Sayang, bukankah hari ini kau memiliki meeting yang cukup padat? Kenapa belum berangkat?” Dia menghampiri Marcel.Marcel bangkit berdiri. “Marvel dan Janita sedang rewel. Apa kau tidak apa-apa aku tinggal? Hari ini, meeting-ku cukup padat.
Flashback On#Costa menyesap wine di tangannya, menatap sosok pria yang duduk di hadapannya. Senyuman samar di wajah pria itu terlukis. “Berikan aku alasan, kenapa kau ingin menjebak Marcel?” tanyanya ingin tahu.“Lebih baik kau cukup jalani tugasmu, tanpa harus bertanya-tanya,” jawab pria itu tegas seraya menggerak-gerakkan gelas sloki di tangannya. Dia berada di sebuah klub malam mewah yang ada di kota London.Costa menatap curiga sosok yang ada di hadapannya ini. Sejak tadi, banyak wanita yang menggoda pria itu, tapi sayangnya pria itu sama sekali tidak mengindahkan. Hal tersebut yang membuat banyak dugaan di kepala Costa.Costa mengetuk-ngetukan jemarinya ke atas meja. “Biar aku tebak, jangan-jangan kau mengincar Joice? Itu yang membuatmu mengajakku bekerja sama?”Pria itu mengembuskan napas kesal pada Costa yang ikut campur akan kehidupan pribadinya. “Kurangi perasaan ingin tahumu. Tidak baik kau ingin tahu tentang kehidupanku!”Costa terkekeh rendah. “Jika kau marah, maka itu ar