“Ah, segar sekali.” Joice melangkah keluar dari kamar mandi seraya membenarkan posisi handuk yang ada di atas kepalanya. Dia hendak ingin menuju ke walk-in closet untuk mengganti pakaiannya, namun langkah Joice terhenti melihat Marcel tengah memegang ponselnya. Raut wajah Joice berubah seperti ada sesuatu di balik wajah Marcel. Wanita itu merasa ada yang ganjal ketika ada yang melihat wajah Marcel. Detik itu juga, Joice segera merampas ponselnya yang ada di tangan Marcel.“Marcel! Kenapa kau berani membuka-buka ponselku?!” seru Joice kesal.Marcel tak menggubris apa yang Joice katakan. Sorot mata pria itu menyalang tajam dan dingin ke arah Joice. “Jadi diam-diam kau memberikan harapan pada Albern, Joice?!” geramnya dengan nada penuh emosi tertahan.Ya, pesan dari Hana layaknya sumbu yang membuat emosi Marcel seolah terbakar. Pria itu tidak bisa lagi menahan amarahnya ketika tahu bahwa Joice diam-diam di belakangnya, memberikan harapan pada Albern.Kening Joice mengerut dalam menatap
Saliva saling tertukar. Ciuman penuh damba itu membuat suhu tubuh dua insan saling memanas layaknya ada bara api yang tersirat hasrat membakar mereka. Suara decapan begitu terdengar di telinga mereka—membuat keadaan semakin panas.Bibir mereka saling mencecapi atas dan bawah bergantian. Ciuman itu menyalurkan gairah yang selama ini terpendam. Untuk kali ini ciuman mereka bukan hanya lembut, tapi tersirat liar seolah sangat merindukan. Marcel menekan tengkuk leher Joice, memperdalam ciumannya. Tak hanya diam, wanita itu pun memberikan remasan di jas Marcel—dan menyambut setiap ciuman yang telah tercipta. Ciuman yang sukses membuat suhu tubuh mereka panas. “M-Marcel—” desah Joice di sela-sela ciumannya. Napasnya sedikit terengah-engah, akibat ciuman yang diciptakan Marcel terlalu menggebu-gebu.Marcel melepaskan pagutannya sebentar, mengangkat tubuh Joice, hingga terduduk di atas meja rias wanita itu. Sontak, Joice terkejut di kala tubuhnya sudah berpindah duduk di atas meja rias. N
Uap panas yang ditimbulkan air hangat mulai memenuhi kaca-kaca yang ada di dalam kamar mandi. Suasana di dalam kamar mandi itu begitu amat hening. Tidak ada suara sama sekali. Hanya ada dua insan berada di dalam jacuzzi dengan posisi intim dan sangat mesra.“Kenapa kau hanya diam, hm?” bisik Marcel seraya membelai pipi Joice. Ya, Joice kini berada di dalam jacuzzi berendam air hangat dengan Marcel. Wanita itu duduk di pangkuan Marcel. Lidahnya seolah kelu. Tidak mampu berkata apa pun. Perasaan yang dia rasakan saat ini sangatlah campur aduk. Dinding pertahanannya telah runtuh. Lantas, apa lagi yang harus Joice katakan? Bukankah semua telah terjadi? Joice menyadari bahwa hatinya sangat lemah. Logikanya kalah dengan perasaan cintanya pada Marcel.Marcel membelai pipi Joice. “Demi Tuhan, tadi malam aku pergi menenangkan diriku, bukan check-in dengan wanita lain. Hendy menemaniku. Jika kau masih tidak percaya, aku akan meminta Hendy mengirimkan CCTV—”“Tidak usah,” sela Joice cepat. “Ak
Iris mata cokelat gelap Marcel menatap dingin sosok wanita yang tak asing berdiri di hadapannya. Aura wajah pria itu nampak sangat berbeda. Ada rasa kesal, namun tentunya dia berusaha untuk menahan dirinya.“Costa? Kenapa kau di sini?” Yang ada di hadapan Marcel adalah Costa Phebe—temannya. Pria itu sama sekali tidak mengira, kalau akan bertemu dengan Costa di perusahaan cabang milik keluarganya yang ada di London.Costa tersenyum samar. “Kebetulan aku ke sini karena ingin bertemu denganmu.”“Apa yang membuatmu ingin bertemu denganku?” tanya Marcel dingin dengan raut wajah tanpa ekspresi.“Aku ingin menawarkan kerja sama pada perusahaanmu, Marcel. Seperti yang waktu itu pernah aku sampaikan padamu,” jawab Costa lembut.“Kau sudah membicarakan ini pada asisten pribadiku?” balas Marcel dingin.Setiap kerja sama yang masuk, tidak akan pernah langsung diketahui Marcel. Biasanya asistennya akan menganalisa proposal lebih dulu. Baru jika kerja sama menguntungkan, Marcel akan memeriksa guna
Joice tidak pernah bisa tenang damai sejak dirinya berbaikan dengan Marcel. Bagaimana tidak? Dia selalu mendapatkan serangan dari Marcel. Seperti contoh tadi Marcel mengajaknya ‘mandi bersama’, ternyata itu hanyalah teori semata. Fakta yang sebenarnya adalah Marcel menyerangnya kembali. Well, bercinta dengan Marcel di masa sekarang sudah berbaikan sangatlah berbeda jauh dengan dulu.Dulu, Marcel tidaklah menunjukkan cintanya pada Joice. Hubungan badan yang dilakukan layaknya pasangan suami istri yang menikah tanpa adanya cinta. Memang, rasanya selalu nikmat, tapi tetap sekarang jauh lebih nikmat karena Marcel sudah berani mengutarakan isi hati yang sebenarnya padanya. Joice terbaring lemas di ranjang sambil memakai gaun tidur tipis. Tubuh wanita itu sangat pegal dan lemas. Wajar saja, karena tadi di kamar mandi—dia melayani Marcel sampai membuat bokong dan pinggangnya pegal.Joice sudah lama tak melakukan hubungan badan dengan Marcel. Jadi, kalau dia sekarang gampang lelah, itu adal
“Aku akan menemanimu bertemu dengan ayahmu.”Kalimat spontan yang lolos dari bibir Marcel, membuktikan bahwa apa yang dia katakan merupakan sesuatu hal yang tak bisa dibantahkan. Aura wajah pria tampan itu menunjukkan jelas ketegasannya.Joice menghela napas dalam. Sudah sejak tadi memang Marcel mengatakan kalau besok pria itu akan menemaninya menemui ayahnya. Bukan bermaksud ingin menolak, tapi Joice merasa bahwa memang belum saatnya dirinya membawa Marcel.Banyak pertimbangan yang dipikirkan Joice. Yang pasti, dia berupaya agar tidak terlalu banyak orang yang terluka. Walaupun, dia sadar bahwa tidak semua orang bisa dia bahagiakan, tapi tetap setidaknya dia sudah berusaha untuk menjaga perasaan banyak orang.“Marcel, aku mohon biarkan aku sendiri menemui kedua orang tuaku. Kalau kau langsung muncul pasti mereka akan terkejut. Kau tahu, kan? Ayahku sangat kecewa padamu. Biarkan aku sendiri memberikan penjelasan pada orang tuaku.” Joice menatap Marcel dengan tatapan penuh permohonan.
Flashback On#Dean mengetuk-ngetuk jemarinya ke kursi kerjanya. Tatapannya menatap Albern yang baru saja datang. Albern kini sudah duduk di hadapannya sambil menikmati wine yang sudah dia hidangkan.“Paman, ada apa kau mendadak memintaku untuk datang?” tanya Albern seraya menatap Dean. Pria itu datang ke kantor Dean, karena kebetulan ayah Joice itu memintanya untuk datang.“Beberapa hari ini aku berpikir keras.” Dean nampak menunjukkan keseriusannya.Kening Albern mengerut dalam. “Apa yang kau pikirkan, Paman? Apa ada masalah yang mengganggu pikiranmu?” tanyanya.Dean menggeleng. “Bukan masalah, tapi sebuah keputusan besar.”Albern terdiam sebentar mendengar apa yang Dean katakan. Sepasang iris matanya sedikit menunjukkan kebingungan. “Keputusan apa yang kau maksud, Paman?” Dean mengambil wine yang ada di hadapannya, dan menyesap wine secara perlahan. “Aku sudah mengambil keputusan, lebih baik kau dan Joice menikah akhir bulan ini. Dengan atau tanpa persetujuan Joice, rencana pernika
Mobil yang dilajukan Marcel mulai memasuki kafe yang posisinya tidak terlalu jauh dari mansion keluarga Joice. Marcel sengaja untuk memilih ke kafe daripada pulang. Tentu alasannya agar mempermudah dalam menjemput Joice. Dia tidak ingin terlambat menjemput Joice. Itu yang membuatnya memilih untuk ke kafe.Suara dering ponsel terdengar. Refleks, Marcel yang baru saja memasuki halaman parkir kafe—langsung mengalihkan pandangannya pada ponsel yang berdering itu. Decakan pelan lolos di bibirnya melihat ternyata ponsel Joice yang berdering.“Ck! Dia ini selalu saja ceroboh,” gumam Marcel sambil mengambil ponsel Joice yang tertinggal di mobil—dan melihat di sana tertera nama ‘Hana’ yang menghubungi Joice.Marcel memutuskan untuk mengabaikan panggilan telepon itu. Lalu, kembali melajukan mobilnya menuju ke mansion keluarga Joice. Pria itu akan menitipkan ponsel Joice pada pelayan. Kalau Joice tidak memegang ponsel, bagaimana bisa menghubunginya? Jadi, mau tidak mau Marcel harus mengantar pon