Marcel menenggak wine hingga tandas. Pria itu mampir sebentar ke salah satu kafe di pusat kota London. Pertemuan dengan keluarga besarnya, membuat emosi di dalam dirinya sangatlah memuncak.Sejak dulu, Marcel enggan untuk menghadiri acara keluarga. Ibunya memiliki tiga saudara—yang mana Marcel memiliki banyak sepupu dari sisi keluarga sang ibu. Berbeda dengan ayahnya yang merupakan anak tunggal. Jadi, bisa dikatakan Marcel tak pernah dibanding-bandingkan.Marcel lebih menyukai mendatangi kakeknya dari sisi ayahnya, daripada harus mendatangi kakeknya dari sisi ibunya. Bukan karena Marcel tak menyayangi kakek dari sisi ibunya, tapi dia malas mengingat dia sangat mengenal sifat kakeknya. Shawn—cucu laki-laki pertama di keluarga Geovan—selalu dijunjung tinggi oleh kakeknya. Itu yang membuat Marcel muak. Ya, memang dari segi sifat Marcel dan Shawn sangatlah berbeda jauh.Shawn cenderung penurut, dewasa, dan mau selalu mengalah. Sedangkan Marcel menyukai kebebasan. Marcel tidak suka diatu
Marcel menjaga Joice semalaman. Meski tak ke rumah sakit, tapi tentunya dia tetap memaksa Joice meminum obat penurun demam. Selain itu, dia juga mengompres kening Joice agar demam di tubuh Joice turun.Pagi menyapa, Joice sudah terbangun dalam keadaan cukup membaik. Kesadarannya pun mulai pulih. Namun, dia cukup terkejut karena ada handuk kecil basah di keningnya. Itu menandakan bahwa tadi malam ada yang mengompresnya.Joice terdiam sebentar dan mengalihkan pandangannya ke samping—melihat Marcel telah tertidur pulas. Raut wajah Joice berubah. Mata dan bibirnya melebar. Terlebih Marcel tidur dalam keadaan bertelanjang dada. Sialnya pria itu memiliki tubuh yang begitu gagah dan sangat jantan.Joice hendak ingin membangunkan Marcel, tetapi ingatannya teringat akan kejadian di mana dirinya sakit. Kepingan memori satu demi satu mulai tersusun di dalam benaknya—membuatnya membentuk sebuah ingatan.Joice tidak mungkin lupa! Ya, ingatannya masih cukup baik. Tapi sialnya, tadi malam kenapa mal
“Brianna, kenapa kau menahanku ingin menemui putriku?” Dean jengkel dan kesal pada Brianna yang menahan-nahan dirinya. Padahal sudah berkali dia mengatakan bahwa dia ingin sekali menemui putrinya.Kesabaran Dean sudah menipis. Setiap kali dia menghubungi nomor Joice, selalu saja tidak dijawab. Pria paruh baya itu sudah gemas. Lebih baik dia sendiri yang menemui putrinya itu. Dia sudah tidak lagi bisa menunggu.Akan tetapi yang menjadi masalah adalah Brianna menahannya untuk tidak mendatangi Joice. Entah, Dean tidak mengerti dengan cara berpikir Brianna. Dia ingin marah, tapi tentunya dia tak ingin melukai hati sang istri.Brianna menghela napas dalam. “Jangan sekarang, Sayang. Joice membutuhkan waktu. Nanti saja kau temui dia.”Brianna memiliki alasan sendiri kenapa dia tidak mengizinkan Dean untuk langsung menemui putrinya. Bukan maksud melarang, tapi dia merasa bahwa pasti Joice enggan bertemu dengan Dean karena tentunya pembahasan Dean tidak jauh-jauh tentang Albern. Brianna sanga
“Jadi Marcel masih berada di London?” Pertanyaan pertama yang Samuel tanyakan pada Oliver yang duduk di hadapannya. Aura wajah pria paruh baya itu menunjukkan jelas kemarahan mendengar kabar Marcel berada di London.Samuel adalah orang yang tak pernah memberikan restu akan hubungan Marcel dan Joice. Selama ini memang Joice sudah dia anggap seperti putri kandungnya sendiri. Itu kenapa ketika Joice merasakan terluka, dia pun merasakan hal yang sama. Lebih tepatnya dia tidak rela kalau sampai Joice kembali jatuh di lubang yang sama.Oliver menyandarkan punggungnya di kursi, memejamkan mata singkat, seraya menenggak wine di tangannya. “Ya, dia masih berada di London. Aku yakin dia pasti kembali berusaha mendekati Joice lagi.”Oliver sudah menahan diri untuk tidak meledakkan kemarahannya pada Marcel. Jika bukan karena Marcel adalah keponakan kandung dari ibunya, maka sudah pasti Oliver akan menghajar Marcel habis-habisan. Hal yang paling membuat Oliver kesal adalah Marcel tak kunjung meni
“Apa yang membawamu menemuiku, Dad?” Kalimat pertama yang Samuel tanyakan pada William, di kala dia tiba di perusahaan Samuel. Nampaknya William sengaja ingin bertemu dengan Samuel.“Aku dengar kau ribut dengan Selena karena Marcel.” William menyilangkan kakinya kiri ke paha kanan. Lalu mengambil wine yang ada di atas meja dan menyesap wine itu perlahan.Samuel mengembuskan napas panjang. “Sepertinya kau memiliki CCTV di mana-mana sampai tahu banyak hal.”Samuel terkadang kesal pada mertuanya yang selalu tahu banyak hal. Apalagi kalau dia memiliki masalah dengan sang istri, pasti dirinya sudah mendapatkan teguran keras dari mertuanya itu.William menggerak-gerakkan gelas di tangannya. “Well, aku bisa tahu banyak hal karena aku selalu mengawasi anak-anak dan cucuku. Banyak yang melaporkan padaku kalau anak-anakku dan cucu-cucuku mengalami masalah.” Meskipun sering berpergian ke luar kota, ataupun ke luar negeri, tapi William kerap banyak tahu apa yang terjadi pada anak-anak dan cucu-
“Ah, segar sekali.” Joice melangkah keluar dari kamar mandi seraya membenarkan posisi handuk yang ada di atas kepalanya. Dia hendak ingin menuju ke walk-in closet untuk mengganti pakaiannya, namun langkah Joice terhenti melihat Marcel tengah memegang ponselnya. Raut wajah Joice berubah seperti ada sesuatu di balik wajah Marcel. Wanita itu merasa ada yang ganjal ketika ada yang melihat wajah Marcel. Detik itu juga, Joice segera merampas ponselnya yang ada di tangan Marcel.“Marcel! Kenapa kau berani membuka-buka ponselku?!” seru Joice kesal.Marcel tak menggubris apa yang Joice katakan. Sorot mata pria itu menyalang tajam dan dingin ke arah Joice. “Jadi diam-diam kau memberikan harapan pada Albern, Joice?!” geramnya dengan nada penuh emosi tertahan.Ya, pesan dari Hana layaknya sumbu yang membuat emosi Marcel seolah terbakar. Pria itu tidak bisa lagi menahan amarahnya ketika tahu bahwa Joice diam-diam di belakangnya, memberikan harapan pada Albern.Kening Joice mengerut dalam menatap
Saliva saling tertukar. Ciuman penuh damba itu membuat suhu tubuh dua insan saling memanas layaknya ada bara api yang tersirat hasrat membakar mereka. Suara decapan begitu terdengar di telinga mereka—membuat keadaan semakin panas.Bibir mereka saling mencecapi atas dan bawah bergantian. Ciuman itu menyalurkan gairah yang selama ini terpendam. Untuk kali ini ciuman mereka bukan hanya lembut, tapi tersirat liar seolah sangat merindukan. Marcel menekan tengkuk leher Joice, memperdalam ciumannya. Tak hanya diam, wanita itu pun memberikan remasan di jas Marcel—dan menyambut setiap ciuman yang telah tercipta. Ciuman yang sukses membuat suhu tubuh mereka panas. “M-Marcel—” desah Joice di sela-sela ciumannya. Napasnya sedikit terengah-engah, akibat ciuman yang diciptakan Marcel terlalu menggebu-gebu.Marcel melepaskan pagutannya sebentar, mengangkat tubuh Joice, hingga terduduk di atas meja rias wanita itu. Sontak, Joice terkejut di kala tubuhnya sudah berpindah duduk di atas meja rias. N
Uap panas yang ditimbulkan air hangat mulai memenuhi kaca-kaca yang ada di dalam kamar mandi. Suasana di dalam kamar mandi itu begitu amat hening. Tidak ada suara sama sekali. Hanya ada dua insan berada di dalam jacuzzi dengan posisi intim dan sangat mesra.“Kenapa kau hanya diam, hm?” bisik Marcel seraya membelai pipi Joice. Ya, Joice kini berada di dalam jacuzzi berendam air hangat dengan Marcel. Wanita itu duduk di pangkuan Marcel. Lidahnya seolah kelu. Tidak mampu berkata apa pun. Perasaan yang dia rasakan saat ini sangatlah campur aduk. Dinding pertahanannya telah runtuh. Lantas, apa lagi yang harus Joice katakan? Bukankah semua telah terjadi? Joice menyadari bahwa hatinya sangat lemah. Logikanya kalah dengan perasaan cintanya pada Marcel.Marcel membelai pipi Joice. “Demi Tuhan, tadi malam aku pergi menenangkan diriku, bukan check-in dengan wanita lain. Hendy menemaniku. Jika kau masih tidak percaya, aku akan meminta Hendy mengirimkan CCTV—”“Tidak usah,” sela Joice cepat. “Ak
Lombok, Indonesia. Menepuh perjalanan jauh dari London ke Lombok adalah hal yang tak pernah Joice sangka-sangka. Saat usia Janita dan Marvel dua tahun, Joice pernah diajak Marcel ke Bali dan Jakarta. Hanya saja dia belum pernah ke Lombok. Wanita cantik itu takjub, di kala Marcel membawanya benar-benar berkeliling pedesaan.Joice tak pernah mengira Marcel akan membawanya serta tiga anaknya berlibur ke Lombok. Liburan di benua Eropa dan Amerika adalah hal biasa untuk Joice bersama keluarga. Akan tetapi, liburan ke Asia benar-benar sangat menakjubkan!“Sayang, ini indah sekali. Terima kasih sudah membawaku ke sini.” Mata Joice berkaca-kaca menatap Marcel dengan haru.Marcel mengecup kening Joice. “Aku sudah yakin kau akan menyukai tempat ini.”Joice tersenyum lembut seraya menatap tiga anaknya yang sedang berlari-larian. “Waktu terasa sangatlah cepat. Dulu, aku selalu hidup berdua dengan Hana. Ke mana pun aku pergi, maka Hana akan ikut denganku. Tapi sekarang semua berubah di kala takdi
London, UK. Janji suci pernikahan yang terucap secara bergantian di bibir Landon dan Anya—wanita yang menikah dengan Landon—nampak membuat Joice sejak tadi tersenyum penuh haru bahagia. Sepasang iris mata Joice menunjukkan betapa dia bahagia. Kepingan memori teringat akan masa kecilnya bersama dengan sang adik, membuat Joice meneteskan air mata haru.Landon bertemu dengan Anya saat adiknya itu tengah berlibur ke Singapore. Singkat cerita, mereka hanya berawal berkencan biasa, namun ternyata berujung pada pernikahan. Tentunya perjalanan mereka tak selalu mulus. Ada kalanya naik turun. Tapi Joice selalu memberikan nasihat terbaik untuk adiknya, di kala adiknya mengalami masalah hubungan percintaan.Joice menetap tinggal di Milan, karena ikut dengan sang suami. Jarak tinggalnya dengan orang tua serta adiknya memang jauh, tapi Joice sering sekali mengunjungi London. Banyak keluarga yang tinggal di London, tentunya membuat Joice wajib mengunjungi kota indah itu.Selama proses upacara pern
*Dua minggu lagi hari pernikahanku. Kau pasti akan ke London, kan? Jangan bilang kau sibuk. Aku tidak akan lagi menganggapmu, jika kau sampai tidak datang di hari pernikahanku.* Pesan singkat dari Landon membuat Joice mengulumkan senyumannya. Wanita berparas cantik itu terlihat gemas akan pesan yang dia baca ini. Well, Joice tak akan mungkin hari pernikahan adiknya yang akan diadakan dua minggu lagi.Singkat cerita, beberapa bulan lalu Landon mendatangi Milan, memperkenalkan seseorang wanita cantik yang merupakan calon istri adiknya itu. Joice tentu saja bahagia mendengar kabar Landon akan segera menikah.Sudah sejak lama Joice meminta Landon untuk segera menikah. Karena bagaimanapun, Joice tahu bahwa kedua orang tuanya menginginkan Landon memiliki keluarga seperti dirinya dan Marcel. Doa Joice selama ini terjawab. Adiknya akhirnya dipertemukan dengan takdirnya.“Kenapa kau senyum-senyum seperti itu, Sayang?” Marcel mendekat, menghampiri sang istri. Joice mengalihkan pandangannya,
“Mommy, Daddy, kami pulang.”Marvel, Janita, dan si bungsu—Maxime—menghamburkan tubuh mereka pada kedua orang tua mereka. Pun tentu Joice dan Marcel membalas pelukan tiga anak mereka dengan lembut dan penuh kasih sayang.Kemarin, kedua orang tua Marcel sudah kembali ke Milan. Namun, mereka tidak langsung mengembalikan Maxime. Yang mereka lakukan malah menjemput Marvel dan Janita untuk berjalan-jalan. Weekend terakhir, tak ingin diasia-siakan oleh kedua orang tua Marcel itu.Sekarang Marvel, Janita, dan Maxime dipulangkan, karena Marvel dan Janita akan masuk sekolah. Maxime juga dipulangkan, karena pastinya Marcel dan Joice sangatlah merindukan putra bungsu mereka.“Sayang Mommy. Ah, kalian baru pulang jalan-jalan. Pasti kalian happy.” Joice menciumi ketiga anaknya itu. Bergantian dengan Marcel yang kini menciumi tiga anaknya. “Mommy kami senang sekali diajak jalan-jalan Grandpa Mateo dan Grandma Miracle,” ucap Janita dengan riang gembira.Joice tersenyum mendengar apa yang dikatakan
Joice turun dari mobil, dan melangkah terburu-buru masuk ke dalam mansion menuju kamar. Tentu saja, Marcel segera menyusul Joice yang sudah lebih dulu masuk ke dalam kamar mereka. Sejak di mana bertemu dengan Poppy—Joice memang terlihat masih marah. Padahal seharusnya Joice sudah tidak lagi marah padanya.“Joice, kau masih mendiamiku setelah aku memberikan penjelasan padamu?” Marcel masuk ke dalam kamar, mendekat pada Joice.“Aku ingin istirahat, Marcel. Tolong kau keluar.” Joice tetap bersikap dingin, dan acuh, meminta Marcel untuk keluar. Dia masih enggan untuk bicara dengan suaminya. Sekalipun, tadi dia sudah bertemu dengan Poppy—tetap saja dia masih kesal dan marah.Marcel berusaha bersabar menghadapi sang istri yang cemburu buta. Dia menarik tangan Joice—membuat tubuh istrinya itu masuk ke dalam dekapannya. Tampak Joice berontak di kala Marcel memeluknya dengan erat.“Marcel, lepaskan aku! Lepas!” Joice mendorong dada bidang Marcel.“Jika kau berontak, maka aku akan benar-benar b
Mobil sport milik Marcel terhenti di sebuah restoran ternama di Milan. Detik itu juga raut wajah Joice berubah menunjukkan jelas kebingungannya. Dia sedang marah, tapi kenapa malah diajak ke restoran? Apa-apaan ini? Sungguh! Joice menjadi semakin kesal pada Marcel.“Marcel, kau kenapa mengajakku ke sini?” seru Joice kesal pada Marcel.“Kita akan bertemu dengan seseorang.” Marcel membuka seat belt-nya, turun dari mobil—dan membukakan pintu mobil untuk istri tercintanya itu.“Bertemu siapa?!” Joice enggan untuk bertemu siapa pun. Dalam kondisi raut wajah yang sedang marah, menunjukkan jelas rasa tak suka jika harus bertemu dengan orang. Entah siapa yang ingin ditunjukkan oleh suaminya itu. Marcel menunduk, membuka seat belt sang istri. “Kau akan tahu, jika kau sudah turun.” Lalu, pria itu menarik tangan istrinya—memaksa untuk turun dari mobil. Joice mendesah kasar ketika tangannya ditarik sang suami masuk ke dalam restoran. Dia tidak memiliki pilihan lain untuk mengikuti suaminya it
“Mom, kenapa kau tidur di kamarku? Nanti Daddy kesepian. Kasihan Daddy, Mom. Daddy bilang padaku, dia tidak akan bisa tidur nyenyak, jika tanpa Mommy.” Janita menatap Joice yang tidur di kamarnya. Biasanya ibunya itu akan menemaninya tidur, jika dia tengah sakit. Tapi dia sehat dan baik-baik saja. Itu yang membuat gadis kecil itu bingung.Joice memeluk Janita dan mengecupi pipi bulat putrinya itu. “Mommy sangat merindukanmu. Itu kenapa Mommy tidur denganmu. Memangnya kau tidak suka tidur bersama Mommy?”Janita tersenyum lembut dan manis. “Tentu saja aku suka, Mommy. Aku suka tidur bersama Mommy. Tapi, aku kasihan pada Daddy tidur sendiri. Nanti Daddy kesepian. Bagaimana kalau Daddy diajak tidur bersama kita saja?” Gadis kecil itu memberikan ide luar biasa.“Tidak!” tolak Joice tegas, dengan raut wajah jengkel.“Kenapa tidak, Mommy? Kasihan Daddy tidur sendiri.” Raut wajah Janita muram.“Daddy tidak tidur sendiri. Malam ini Daddy tidur bersama Marvel, Little Girl.” Marcel melangkah men
Weekend tiba. Marvel dan Janita bersorak riang gembira. Dua anak kembar itu libur. Mereka sekarang asik berkutat pada dengan iPad mereka masing-masing. Mereka tenang tak memiliki gangguan. Pasalnya Maxime masih bersama dengan kakek dan nenek mereka. Jika Maxime ada di rumah, sudah pasti adiknya itu akan mengganggu dengan membuat kekacauan. Marvel asik bermain game mobil balap. Janita asik bermain game barbie. Akan tetapi tentu Janita bermain game sambil mengemil cake yang dibuatkan pelayan. Gadis kecil itu memang terkenal sangat menyukai cake manis.“Marvel, Janita. Kalian mendapatkan video call Grandpa Dean dan Grandma Brianna. Ayo jawab telepon kakek kalian dulu.” Joice menghampiri dua anak kembarnya yang tengah asik bermain dengan iPad.“Yes, Mommy.” Marvel dan Janita menjawab dengan patuh. Mereka langsung berlari menghampiri pengasuh mereka—yang tengah memegang ponsel. Dua bocah itu bahagia mendengar kakek dan nenek mereka video call.Joice tersenyum sambil menggeleng-gelengkan k
Janita tersenyum-senyum seraya melangkah masuk ke dalam rumah. Gadis kecil cantik itu baru saja pulang sekolah—dengan wajah yang riang gembira. Sayangnya tidak dengan Marvel yang pulang dalam keadaan menekuk bibirnya.“Mommy, aku dan Kak Marvel sudah pulang.” Janita berseru dengan suara cempreng dan nyaring—membuat Marvel harus menutup kedua telinganya.“Anak-anak Mommy sudah pulang.” Joice tersenyum menyambut dua anak kembarnya yang sudah pulang. “Ayo ganti pakaian kalian dulu. Cuci tangan bersih, lalu kita makan siang bersama.”Janita dan Marvel sama-sama mengangguk patuh. Mereka menuju ke kamar mereka masing-masing bersamaan dengan para pengasuh mereka. Tepat di kala Janita dan Marvel sudah masuk ke dalam kamar—Joice bersenandung sambil menyiapkan makanan lezat yang sudah dia siapkan untuk dua anak kembarnya. Joice telah mengurangi pekerjaannya yang bergelut di dunia model. Bukan berhenti, tapi hanya mengurangi porsi pekerjaan. Bisa dikatakan fokus utama Joice adalah mengurus suam