“Joice ada di mana?” Hana yang baru saja tiba di mansion Joice, langsung menanyakan keberadaan Joice pada sang pelayan. Biasanya, Hana memang tinggal di mansion ini, tapi karena ada Marcel terpaksa dia memutuskan tinggal di apartemennya sendiri. Hana tidak enak kalau tinggal di mansion Joice, jika ada Marcel di sana.Sang pelayan kikuk. “Hm, itu…” Kening Hana mengerut dalam. “Itu apa?” tanyanya tak mengerti.Sang pelayan menggaruk tengkuk lehernya tidak gatal. “N-Nyonya Joice berada di kamar bersama Tuan Marcel, Nona.”Mata Hana melebar. “Bersama Marcel?”Sang pelayan mengangguk. “I-iya, tapi mereka akan segera ke kamar Tuan Muda Marvel dan Nona Janita. Tuan Muda Marvel menangis karena ingin minum susu secara langsung. Tidak melalui botol.”Hana menghela napas dalam. Jutaan pertanyaan muncul di dalam benaknya saat ini. Akan tetapi, Hana tidak akan mungkin bertanya detai pada sang pelayan. “Katakan pada Joice aku ke sini. Aku akan datang lagi nanti. Sepertinya kalau sekarang aku datan
“Kau mau ke mana, Joice?” Kalimat pertama yang diucapkan Marcel, ketika melihat Joice tengah bersiap-siap seakan ingin pergi ke suatu tempat. Pria itu mendekat, menginterogasi Joice.“Aku ingin bertemu Hana.” Joice memoleskan lipstick berwarna peach di bibirnya. Ya, dia memang belum memberi tahukan pada Marcel kalau dia akan bertemu dengan Hana. “Aku sudah memompa ASI-ku. Marvel dan Janita memiliki stock susu yang banyak. Aku tidak akan lama. Aku meninggalkan Marvel dan Janita hanya sebentar saja.” Lanjutnya memberi tahu.Marcel semakin mendekat ke arah Joice. “Jika kau ingin bertemu dengan Hana, kenapa tidak Hana datang ke sini saja? Marvel dan Janita sering menangis menyusui di botol. Kau tahu kalau Marvel dan Janita sangat menempel padamu, kan?”Marcel kurang setuju Joice bertemu dengan Hana di luar rumah. Pria itu lebih memilih agar Hana datang ke rumah, karena dengan begitu Joice tetap bisa berdekatan dengan Marvel dan Janita walaupun tengah bertemu temannya. Yang Marcel paling u
Marcel melirik jam dinding—waktu menunjukkan pukul lima sore. Namun, Joice belum juga pulang. Decakan lolos di bibirnya. Joice tadi bilang padanya kalau akan pulang cepat, tapi kenapa sampai jam segini wanita itu belum juga pulang?Marcel mengambil ponselnya dan hendak menghubungi Joice, namun ketika dia hendak menghubungi Joice—tiba-tiba terlihat di layar ponselnya terpampang nomor asing menghubunginya.Kening Marcel mengerut dalam menatap nomor ponsel asing terpampang di layar ponselnya. Dia tak mengenal nomor itu, dan memutuskan untuk menolak panggilan telepon tersebut, namun nomor asing itu kembali menghubunginya.Marcel berdecak kesal karena nomor asing itu terus menghubunginya. Dia ingin kembali menolak, tapi dia khawatir kalau orang tersebut ada berita ataupun ada informasi penting. Kemungkinan buruk bisa saja terjadi kapan pun, dan di mana pun. Marcel memutuskan untuk menjawab panggilan telepon itu.“Hallo?” sapa Marcel dingin kala panggilan terhubung. “Marcel? Apa aku meng
“Tuan Marcel, di depan ada Tuan Hendy mencari Anda.” Pelayan menghampiri Marcel yang tengah menyesap wine dan berdiri di balkon. Malam hari seperti ini, dia bermaksud ingin bersantai sejenak, tapi sayang niatnya harus terkubur karena asistennya ternyata datang menemuinya.Marcel sedikit kesal. “Ck! Kenapa dia datang malam-malam seperti ini?”Pelayan itu menunduk. “Tuan, mungkin saja ada hal penting yang Tuan Hendy ingin sampaikan pada Anda.”Marcel mengembuskan napas panjang. “Apa Marvel dan Janita rewel?”Pelayan itu menggeleng sopan. “Tidak, Tuan. Tuan Muda Marvel dan Nona Janita tidak rewel sama sekali.”“Sekarang di mana, Joice? Apa dia sudah tidur?” tanya Marcel lagi yang ingin tahu apa yang dilakukan oleh Joice.“Nyonya Joice ada di kamar. Terakhir saya lihat beliau sedang membaca buku,” jawab sang pelayan lagi.Marcel terdiam sebentar. “Alright, aku akan ke depan menemui Hendy.”“Baik, Tuan.” Pelayan itu menundukkan kepalanya, lalu pamit undur diri dari hadapan Marcel. Pun Marc
*Sayang, Daddy-mu bilang kau tidak menjawab teleponnya. Kenapa, Sayang? Apa kau marah pada Daddy-mu?* Joice yang baru saja selesai berendam dan telah mengganti pakaiannya dengan dress sederhana khusus di rumah, langsung membuka pesan masuk dari ibunya. Pesan yang berisikan memberikan teguran padanya karena tak menjawab telepon ayahnya.Joice mendesah panjang. Dia memang tak menjawab telepon ayahnya. Dia mengakui itu. Tapi bukan bermaksud dirinya tidaklah sopan. Posisinya adalah Joice lelah ayahnya selalu menjodoh-jodohkannya dengan Albern.Joice tahu maksud ayahnya adalah menginginkan yang terbaik untuknya. Akan tetapi yang menjadi point masalah di sini adalah hatinya masih belum siap. Dan tentu Joice tak ingin dipaksa.Pesan dari ibunya tidaklah mungkin tak dijawab. Joice pun mulai mengetik pesan untuk membalas ibunya. Dia mengatakan kalau belakangan ini tengah sibuk, namun dia mengatakan pada ibunya akan menghubungi ayahnya ketika sudah memiliki waktu senggang.Joice tidak mungkin
Marcel menenggak wine hingga tandas. Pria itu mampir sebentar ke salah satu kafe di pusat kota London. Pertemuan dengan keluarga besarnya, membuat emosi di dalam dirinya sangatlah memuncak.Sejak dulu, Marcel enggan untuk menghadiri acara keluarga. Ibunya memiliki tiga saudara—yang mana Marcel memiliki banyak sepupu dari sisi keluarga sang ibu. Berbeda dengan ayahnya yang merupakan anak tunggal. Jadi, bisa dikatakan Marcel tak pernah dibanding-bandingkan.Marcel lebih menyukai mendatangi kakeknya dari sisi ayahnya, daripada harus mendatangi kakeknya dari sisi ibunya. Bukan karena Marcel tak menyayangi kakek dari sisi ibunya, tapi dia malas mengingat dia sangat mengenal sifat kakeknya. Shawn—cucu laki-laki pertama di keluarga Geovan—selalu dijunjung tinggi oleh kakeknya. Itu yang membuat Marcel muak. Ya, memang dari segi sifat Marcel dan Shawn sangatlah berbeda jauh.Shawn cenderung penurut, dewasa, dan mau selalu mengalah. Sedangkan Marcel menyukai kebebasan. Marcel tidak suka diatu
Marcel menjaga Joice semalaman. Meski tak ke rumah sakit, tapi tentunya dia tetap memaksa Joice meminum obat penurun demam. Selain itu, dia juga mengompres kening Joice agar demam di tubuh Joice turun.Pagi menyapa, Joice sudah terbangun dalam keadaan cukup membaik. Kesadarannya pun mulai pulih. Namun, dia cukup terkejut karena ada handuk kecil basah di keningnya. Itu menandakan bahwa tadi malam ada yang mengompresnya.Joice terdiam sebentar dan mengalihkan pandangannya ke samping—melihat Marcel telah tertidur pulas. Raut wajah Joice berubah. Mata dan bibirnya melebar. Terlebih Marcel tidur dalam keadaan bertelanjang dada. Sialnya pria itu memiliki tubuh yang begitu gagah dan sangat jantan.Joice hendak ingin membangunkan Marcel, tetapi ingatannya teringat akan kejadian di mana dirinya sakit. Kepingan memori satu demi satu mulai tersusun di dalam benaknya—membuatnya membentuk sebuah ingatan.Joice tidak mungkin lupa! Ya, ingatannya masih cukup baik. Tapi sialnya, tadi malam kenapa mal
“Brianna, kenapa kau menahanku ingin menemui putriku?” Dean jengkel dan kesal pada Brianna yang menahan-nahan dirinya. Padahal sudah berkali dia mengatakan bahwa dia ingin sekali menemui putrinya.Kesabaran Dean sudah menipis. Setiap kali dia menghubungi nomor Joice, selalu saja tidak dijawab. Pria paruh baya itu sudah gemas. Lebih baik dia sendiri yang menemui putrinya itu. Dia sudah tidak lagi bisa menunggu.Akan tetapi yang menjadi masalah adalah Brianna menahannya untuk tidak mendatangi Joice. Entah, Dean tidak mengerti dengan cara berpikir Brianna. Dia ingin marah, tapi tentunya dia tak ingin melukai hati sang istri.Brianna menghela napas dalam. “Jangan sekarang, Sayang. Joice membutuhkan waktu. Nanti saja kau temui dia.”Brianna memiliki alasan sendiri kenapa dia tidak mengizinkan Dean untuk langsung menemui putrinya. Bukan maksud melarang, tapi dia merasa bahwa pasti Joice enggan bertemu dengan Dean karena tentunya pembahasan Dean tidak jauh-jauh tentang Albern. Brianna sanga