Share

Bismillahmu Bukan Untuk Aku
Bismillahmu Bukan Untuk Aku
Penulis: Yuniar Putri

Desas-Desus

Penulis: Yuniar Putri
last update Terakhir Diperbarui: 2022-10-16 21:18:41

"Pelakor!" Air bening meluncur lancar dari mulut botol, mendarat tepat di atas kepala Nisa. Sementara perempuan itu hanya mampu memejamkan mata erat-erat, menahan air agar tak masuk matanya sekaligus rasa malu.

Semua manusia yang ada di ruang itu tampak membisu, mereka adalah penonton setia drama yang sudah berlangsung selama 30 menit itu. Tak ada yang membela Nisa termasuk Ardan, lelaki yang membuatnya dibenci banyak orang di kantor. Nisa merutuk dalam hati, ia menyesal menceritakan kekagumannya terhadap Ardan kepada Naysila.

"Saya nggak pernah merebut apapun dari siapapun!" Nisa membuka matanya lebar-lebar. Ia merasa penindasan ini harus dilawan. Ia harus bertahan di tempat itu jika ingin membantu orangtuanya menyelesaikan hutang piutang.

Ridha berkacak pinggang. Ia adalah penyiram air mineral di atas kepala Nisa. Nisa tahu sejak awal Ridha kurang menyukainya, sebab Nisa mendapat murid les lebih banyak sedari pertama masuk kerja di Lembaga Bimbingan Belajar itu. Ridha dengan galak berucap, "Sudah deh nggak usah membela diri. Sudah jelas kamu suka sama Ardan kan? Ardan itu sudah punya istri hei! Nggak malu, pengajar kok punya mental pelakor!"

Nisa memejamkan mata lagi. Dalam batinnya berucap astagfirullah, sebuah upaya sekaligus kepercayaan bahwa kalimat itu bisa meredam amarahnya. Nisa tak boleh hilang akal dan mengalah begitu saja.

"Bu paham nggak sih, pelakor itu apa? Perebut lelaki orang kan? Dalam artian perempuan yang berusaha merebut pasangan orang lain. Saya sama sekali tidak merebut Pak Ardan dari siapapun. Mendekat saja saya tidak pernah. Saya kagum dengan kecerdasan Pak Ardan, itu saja. Ketika saya kagum pun, saya belum tahu kalau Pak Ardan sudah punya istri." Nisa menjelaskan panjang lebar membuat mata Ridha terbelalak.

Ia tetap tak terima dengan penjelasan Nisa. Selain karena istri Ardan adalah sahabatnya, ia juga berpikir bahwa sekarang adalah kesempatan emas untuk membuat Nisa hengkang dari LBB Mentari. Ridha sangat membenci Nisa. Alasannya tak lain dan tak bukan adalah karena kecemburuannya melihat karir gemilang Nisa di LBB. Apalagi Bu Atnaya, pemilik LBB terlihat sangat menyayangi Nisa.

"Yah! Itu sih namanya bibit-bibit pelakor!" Ridha memandang Nisa dengan remeh. Tentor lain yang berada di sekitar mereka hanya mampu berbisik-bisik, sebagian menyepakati tuturan Ridha, sebagian lagi merasa kasihan kepada Nisa namun tak berani membela.

"Terserah Bu Ridha mau berpikir bagaimana, tapi yang jelas saya tidak ada maksud untuk merusak rumah tangga orang lain." Nisa membalas dengan tegas, kemudian mencangklong totebag miliknya yang tergeletak di meja. Nisa berjalan, melewati Ridha yang sudah kehabisan kata-kata. Ia terlihat tegar keluar dari ruang khusus tentor, langsung menuju parkiran motor. Ia menghampiri motor varionya. Ketika sudah berdiri di samping motor, kaki dan tangannya terasa lemas. Barusan adalah pengalaman baru dalam hidupnya! Ia dituduh menjadi pelakor! Sekali lagi PELAKOR.

Kata pelakor tak pernah lekat dengan citra positif. Belakangan ini kata itu memang selalu berseliweran di media sosial dan kehidupan sehari-hari. Masalahnya Nisa tak pernah melakukan apapun kepada Ardan, jangankan merayu, mengajak bicara saja tak pernah. Lantas mengapa juga Ardan hanya diam saja tadi? Ah! Tapi benar juga sih sebaiknya Ardan bungkam, kalau dia membuka mulut bisa-bisa akan ada desas-desus baru kan?

Nisa memakai sarung tangan, kemudian mengecek kerudungnya yang sudah basah kuyup melalui kaca spion. Kemudian ia memakai jaket dengan segenap perasaan resah. Matanya terasa panas. Ia sudah hampir menangis, tapi tak jadi sebab terdengar langkah kaki yang jelas sekali mendekati tempatnya berdiri. Nisa berusaha bersikap wajar, memakai helm, memasukkan kunci, membuka kunci setir kemudian berusaha memundurkan motornya. Buk! Bagian belakang motornya menabrak sesuatu. Nisa segera menengok, matanya terbelalak. Lelaki itu berdiri di hadapan Nisa sekarang!

"Pak Ardan," ucap Nisa dengan takut-takut.

Ardan mengatur napasnya sebentar. Perempuan jakung di hadapannya itu terlihat kaget. Sorot matanya kental akan rasa ketakutan. Ardan jadi merasa makin bersalah.

"Bu Nisa, saya minta maaf atas kejadian tadi ya." Sesal Ardan, menatap mata Nisa. Nisa menghindari tatapan mata pria itu, menunduk sesaat.

"Tidak perlu meminta maaf Pak. Bukan salah Pak Ardan juga." Jawaban Nisa terdengar kaku. Ia masih tak mau bertatapan langsung dengan Ardan. Perasaannya campur aduk, antara malu dan kesal. Buat apa Ardan mendatanginya? Nisa mungkin akan mendapat masalah baru jika ada orang yang menyaksikan kejadian ini.

Ardan tak mampu menyambung obrolan, ia membeku sejenak. Sebelumnya ia tak pernah berada pada jarak sedekat ini dengan Nisa. Ia hanya tahu bahwa Nisa adalah perempuan pendiam yang sangat giat bekerja.

"Mohon maaf Pak, saya ingin pulang." Nisa berharap tuturannya membuat Ardan menyingkir dari tempatnya berdiri.

"Ah iya. Maaf!" Ardan tergeragap, kemudian agak minggir. Ia mengamati Nisa yang sedang memundurkan motornya dengan cepat. Perempuan itu naik ke atas motornya, menyetater perlahan, kemudian melajukan motornya. Ardan menelan ludah sembari mengamati kepergian Nisa. Ia masih merasa bersalah.

***

Mata Nisa menyapu ruangan yang teramat ramai. Seorang perempuan berperawakan mungil melambaikan tangan ke arahnya. Nisa berjalan menuju kasir untuk memesan sekaligus membayar pesanan.

"Seblak komplit level 3 satu, es jeruk satu," Nisa menyebutkan makanan dan minuman yang ingin dirasakan oleh indra pengecapnya. Setelah mengeluarkan selembar uang 20 ribuan, Nisa segera menuju tempat duduk perempuan tadi.

"Astaga kerudungmu parah banget basahnya, nih ganti dulu." Perempuan mungil itu segera menyerahkan tas kertas yang berisi kerudung miliknya. Nisa meletakkan totebagnya, menerima kantung kertas dari tangan perempuan itu. Nisa menuju kamar mandi kafe untuk mengganti kerudungnya.

"Makasih ya San." Nisa berucap seraya duduk di kursi depan sahabatnya. Namanya Santi, Nisa sudah berteman dengan Santi sejak duduk di bangku Sekolah Menengah Atas.

Setelah keluar dari lingkungan LBB Mentari tadi, Nisa langsung menghubungi Santi. Ia perlu tempat bercerita sekaligus butuh asupan makanan pedas untuk melampiaskan perasaan dongkolnya hari ini. Perkara Ardan dan lingkungan kerja yang menyebalkan tak bisa ia simpan sendiri.

"Santai saja kali." Santi tersenyum sembari menatap Nisa lekat. Ia lanjut bertanya, "Ada apa sih sebenernya?"

"Kamu ingat aku pernah cerita aku suka satu laki-laki di tempat kerjaku kan?" Nisa memulai ceritanya.

"Oh mas yang jadi guru di SD 1 itu kan? Yang waktu jadi imam suaranya bagus itu kan katamu?" Santi berusaha memvalidasi ingatannya. Nisa segera mengangguk.

"Iya. Kenapa memang?" Tanya Santi sembari menyendok seblak di hadapannya. Ia sudah tampak berkeringat, mungkin karena seblak yang ia pesan terlalu pedas.

"Dia ternyata udah menikah." Nisa berkata dengan lirih.

"Lalu?" Santi bertanya lagi, kemudian menyeruput es jeruk miliknya.

"Ya gimana sih masa aku suka sama suami orang." Nisa memandang Santi agak kesal.

"Kan sukanya sebelum tahu dia suami orang, terus apa hubungannya dengan kerudungmu yang basah? Habis kena hujan air mata?" Santi tertawa. Nisa merengut tapi akhirnya tersenyum juga. Celetukan Santi yang sembarangan memang terkadang terdengar lucu dan menghibur.

"Semua anak kantor tahu aku suka dia dan yah dilabrak..." Nisa mengambil jeda sebentar, kemudian melanjutkan, "Dan dituduh jadi pelakor."

Santi menghentikan aktivitasnya makan seblak. Nisa sudah menduga apa yang akan diucapkan Santi.

"Gila!" Ah! Tebakan Nisa tidak meleset, kata ikonik khas Santi meluncur dari mulutnya.

"Memang ya temen sekantor mu itu toxic banget suka gosip macam itu. Pindah saja lah, ngapain masih di situ?" Santi menggelengkan kepala, merasa tak percaya dengan cerita Nisa.

"Di sana gajinya besar." Nisa berucap jujur.

"Ih kalau aku mending nganggur daripada ikutan gila!" Santi tetap tak terima dengan jawaban Nisa.

"Terus si Ardan itu gimana responsnya?" Santi bertanya dengan antusias.

"Ya diam saja, mau kamu suruh ngapain? Tadi sih waktu aku pulang dia minta maaf." Nisa mengangkat bahu.

"Iya sih dia juga nggak bisa ngapa-ngapain." Santi menggaruk kepalanya yang terbalut kerudung hitam.

"Aku harus move on lagi dong ya, tapi aku nggak secinta itu sih kepada Pak Ardan." Nisa menggumam, namun tuturan lirih itu berhasil ditangkap oleh gendang telinga Santi.

"Santai aja kali, masih banyak lelaki di dunia ini. Lagian dia juga ga bagus-bagus amat, honestly." Santi berucap dengan santai.

Nisa tersenyum lagi, ungkapan-ungkapan Santi yang terlampau santai sedikit mengobati pelik di hatinya sore itu. Sekelebat terlintas bayangan Ardan yang sedang tersenyum, mengajar, dan mengambil air wudhu dalam kepala Nisa, seperti kaset rusak yang terus terputar ulang. Ingatan acak itu membuat Nisa berucap istighfar dalam hati. Jangan sampai ucapan Ridha tadi menjelma menjadi doa dan maujud dalam hidupnya.

Bab terkait

  • Bismillahmu Bukan Untuk Aku   Perasaan Tak Pernah Salah!

    Ardan menunduk dalam, begitu pula dengan Nisa yang duduk tepat di sampingnya. Ini tak adil! Batin Nisa. Mengapa hanya Ardan dan dirinya yang "disidang" oleh Bu Atnaya, pemilik LBB? Memangnya mereka sudah melakukan apa sampai diperlakukan begini?"Saya sudah dengar kronologi ceritanya dari anak-anak." Atnaya memulai obrolan. Nisa sudah menduga bahwa pada akhirnya cerita soal dirinya dan masalah kemarin sampai di telinga Atnaya. Perempuan setengah baya itu sangat kapitalis, tapi baik hati. Nisa berharap hatinya yang baik masih bersedia mengendalikan otaknya, agar Nisa tak sampai dipecat! Atnaya berdehem. Ia paham bahwa kedua pegawainya itu tak akan berani membenarkan pernyataannya barusan. Bu Atnaya kembali membuka mulutnya, "Pak Ardan, mengapa kemarin anda hanya diam saja melihat pembullyan terjadi di tempat pendidikan seperti ini?" Ardan hanya membisu. Ia tak tahu harus menjawab apa. Hatinya dipenuhi kebimbangan, apabila dia membela Nisa mungkin kejadiaannya tak akan separah kemarin

    Terakhir Diperbarui : 2022-10-18
  • Bismillahmu Bukan Untuk Aku   Tempat Kerja Baru

    Nisa berjalan di pekarangan luas. Lalu lalang anak-anak usia remaja tak membuat dirinya terdistraksi, tujuannya hanya satu: sebuah ruangan di belakang masjid. Nisa merapikan kerudungnya sebelum memasuki ruangan itu. Ia melangkah pelan sambil mengucap salam dan mengetuk pintu. Seorang lelaki bertubuh gempal keluar dari ruangan kecil di dalam ruang itu dengan senyum mengembang di bibirnya, membuat pipinya juga semakin membesar. "Waalaikumsalam. Monggo monggo." Ucap lelaki itu dengan ramah, mempersilahkan Nisa masuk ke ruangan yang memiliki banyak sekali kursi dan bangku, dengan buku dan catatan yang bertumpuk-tumpuk di meja. Nisa berjalan sembari sedikit membungkukkan badan sebagai sikap hormat. Si Lelaki mengawasi seluruh ruang, mencari tempat duduk yang paling nyaman. Ia sendiri kebingungan, akhirnya menawarkan kepada Nisa untuk duduk di ruang sebelah. Nisa mengiyakan saja penawaran si Lelaki. Nisa duduk di kursi kayu yang ditata membentuk huruf L, terlihat tua namun sepertinya te

    Terakhir Diperbarui : 2022-10-23
  • Bismillahmu Bukan Untuk Aku   Mengenalmu

    Nisa berjalan pelan memasuki ruang guru. Jumat lalu ia telah berkunjung ke situ, namun tetap saja nuansanya agak berbeda sekarang. Ketika ia memasuki gerbang, sambutan yang didapat adalah tatapan bertanya siswa-siswi. Tubuh mereka terbalut baju muslim dengan bawahan sarung, mereka tak memakai sepatu dan kaus kaki melainkan sandal biasa. Beberapa siswi memberanikan diri menyapa Nisa dengan senyum dan kebanyakan malu-malu hanya berbisik sambil melihat Nisa. Nisa duduk di salah satu bangku guru yang kosong, lengang tanpa ada satupun tumpukan buku. Ia menarik napas panjang kemudian mengembuskan perlahan. Ah! Hari pertama bekerja benar-benar mendebarkan. Apa yang harus ia katakan kepada rekan kerja barunya? Apa ia bisa cepat akrab dengan rekan kerjanya? ***Semua kalimat yang telah Nisa rancang lenyap seketika saat berhadapan dengan rekan-rekan kerjanya secara langsung. Mereka justru yang aktif bertanya kepada Nisa. Saran Ardan kemarin sore tak ada yang Nisa terapkan. "Bu Nisa sudah ada

    Terakhir Diperbarui : 2022-10-27
  • Bismillahmu Bukan Untuk Aku   Apakah Itu Cinta?

    "Cinta itu bagaikan jamur ya tumbuh di tempat-tempat yang lembap." Ridha berucap agak nyaring dengan sengaja. Nisa sadar bahwa ucapan itu ditujukan untuk dirinya. Ia hanya bungkam sambil membereskan buku-buku yang berserakan di meja. Nisa hanya meyakini bahwa dirinya tak bersalah!"Dari mata turun ke dada, dari dada turun ke anu. Upsss." Ridha makin bersemangat dalam memancing amarah Nisa. Nisa tetap bungkam, selama namanya tidak disebut berarti perkataan Ridha tidak ditujukan untuknya. Nita yang memiliki kursi berdekatan dengan Nisa, hanya mampu memandang Nisa kasian. Ia tentu saja tak ingin melihat Nisa dipojokkan seperti itu, tapi masalahnya adalah Nisa memang salah. Saat akan keluar dari kantor gawai Nisa berdering dengan keras yang membuat seisi ruang terdiam, menunggu tindakan Nisa selanjutnya. Nisa menatap gawai yang tergeletak di atas meja. Nama Ardan tertera di layar gawai. Nisa tanpa sungkan menerima panggilan itu. "Assalamualaikum." Terdengar suara di seberang sana. "Waa

    Terakhir Diperbarui : 2022-11-01
  • Bismillahmu Bukan Untuk Aku   Obrolan di Siang Bolong

    Nisa menelan ludah saat menyadari bahwa di ruang guru hanya ada dirinya dan Bahrudin. Lelaki itu sedang sibuk di depan komputer, tepat di seberang tempat Nisa duduk namun agak jauh menyerong ke timur. Meski begitu, Nisa bisa melihat dengan jelas wajah lelaki itu, pun sebaliknya. Nisa sedang tak ingin mengobrol karena suasana hatinya sedang buruk gegara pertemuannya dengan Ardan tiga hari lalu. Semenjak hari itu, Nisa tak membalas pesan Ardan lagi. Dia merasa dongkol, ia sendiri tak paham apa penyebab kekesalan hatinya itu. "Ardan terlihat baik-baik saja meski tanpa kabar dariku," Nisa sibuk berbicara dengan dirinya sendiri. "Bu Nisa sudah nggak ada jadwal mengajar?" Suara berat itu terdengar agak datar namun berusaha menyisipkan nada ramah. "Oh masih Kang. Nanti jam terakhir." Nisa tergelagap, menjawab dengan cepat. Ia bersyukur Bahrudin berinisiatif memecahkan keheningan terlebih dahulu, sebelum pikiran Nisa melayang kemanapun ia suka. "Oh saya kira sudah nggak ada. Kalau memang

    Terakhir Diperbarui : 2022-11-10
  • Bismillahmu Bukan Untuk Aku   Cuci Mata

    Nisa menenteng tas belanjaan transparan yang berisi flatshoes dan beberapa hijab berwarna kalem. Santi berjalan mengiringi Nisa sambil melihat-lihat beberapa pakaian yang terjajar rapi. Santi berceloteh ria menyeritakan tempat kerja barunya, sedangkan Nisa terlihat tidak fokus karena sedang memainkan gawai. Berulang kali ia membuka aplikasi WhatsApp, memastikan tidak ada chat yang masuk dari Ardan. Nisa bertanya-tanya sedang apa Ardan saat ini, sehingga dia tidak berkirim pesan dengan Nisa. Semesta memang terlampau baik pada Nisa, baru saja ia mempertanyakan keberadaan Ardan, ternyata Ardan sedang berjalan dari arah yang berlawanan, agak jauh namun Nisa sangat hapal dengan perawakan Ardan. Nisa terlihat sumringah, lupa dengan keberadaan Santi. Nisa tak menyangka Ardan menyusulnya kemari. Nisa tak merasa heran jika Ardan tahu keberadaannya, sebab akses akun google Nisa juga bisa diakses oleh Ardan. Mungkin saja Ardan mengecek histori Google Maps Nisa sehingga dapat menemukan keberadaa

    Terakhir Diperbarui : 2022-11-12
  • Bismillahmu Bukan Untuk Aku   Keanehan Nisa

    Santi menyerahkan helm kepada Nisa. Mereka sama-sama saling diam. Santi sibuk dengan praduganya, sedangkan pikiran Nisa dipenuhi oleh Ardan dan istrinya. Sepertinya lebih baik memang Nisa tak usah berhubungan dengan Ardan lagi. Jangan sampai ia merusak pagar ayu yang sudah terjalin.Terlebih saat Nisa mengingat kembali wajah anak Ardan, ia jadi teringat dengan Devi dan anaknya, cerita rumah tangganya, serta kemalangan hidup yang harus mereka lalui karena peristiwa perselingkuhan. "Aku mau ngomong sama kamu Nis, mau mampir ke kedaiku dulu nggak?" Santi bertanya hati-hati. Nisa segera mengangguk setuju. Ia butuh teman bercerita saat ini. Santi pasti bisa mengerti kan bagaimana posisi Nisa saat ini? *Santi dan Nisa sama sekali tak bercakap-cakap saat berada di atas motor. Mereka masih saja terlipat oleh pikiran masing-masing. Ketika Santi memarkir motor di belakang kedai, Nisa segera masuk ke kedai untuk memesan beberapa makanan dan minuman, kemudian mencari tempat duduk yang berada d

    Terakhir Diperbarui : 2022-11-13
  • Bismillahmu Bukan Untuk Aku   Pengakuan Nisa

    Nisa mengelus tengkuknya yang tertutup jilbab. Santi berusaha mengalihkan pandangan. Santi hapal betul kebiasaan Nisa ketika sedang menyembunyikan suatu hal atau saat sedang berbohong: mengelus tengkuk. Nisa berdehem. "Aku hubungi Kang Bahru dulu ya. Biar segera jemput Hanum." Nisa menggigit bibir sekilas, kemudian segera mengalihkan topik pembicaraan. Dengan kaku, ia meraih gawai di dalam tas, kemudian pura-pura fokus mencari kontak Bahrudin. Nisa menelepon Bahrudin. Sudah tersambung namun tak kunjung diangkat. Nisa tak menyerah, ia mencoba menghubungi Bahru lagi sebanyak beberapa kali. Hingga pada upaya ke lima barulah Bahru mengangkat telepon."Assalamualaikum, Kang Bahru." Nisa membuka obrolan."Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh. Ada apa Ibu Nisa?" Suara Bahru terdengar menenangkan: berat dan santun. "Ini Kang Bahru, saya ketemu dengan Hanum." Nisa berucap perlahan, sangat kontras dengan nada suaranya saat berdebat dengan Santi barusan. "Oh ya! Di mana Bu?" Bahru terden

    Terakhir Diperbarui : 2022-11-16

Bab terbaru

  • Bismillahmu Bukan Untuk Aku   Perselingkuhan di Kantor

    Napas Ridha tertahan. Tangannya bergetar saat memegang gawai. Ia tak tahu apakah hasil jepretannya kali ini bagus atau justru buram parah? "Ardan bangsat!" Ridha mengumpat dalam hati. Ridha tak menyangka jika perilaku Ardan ternyata tak berubah. Ia berulah lagi. Kali ini dengan Faranisa? Perempuan sialan itu dengan menjijikkannya rela saja dicumbu oleh lelaki yang bukan miliknya. Ada puluhan juta lelaki di dunia ini, mengapa Faranisa harus merayu Ardan. Hati Ridha terasa perih. Ia teringat kepada wajah lelah Reta saat mengurus Adam. Ardan memang sepupu Ridha, namun kali ini ia tak akan menutupi kesalahan Ardan lagi. Ridha masih menyaksikan kemesraan Faranisa dan Ardan. Ia berpikir panjang, apa sebaiknya ia lapor kepada Atnaya? Tapi jika masalah ini diketahui oleh orang luar maka yang kena tegur keluarga besar adalah Ridha. Ardan merupakan anak emas di keluarga besarnya. Mereka tidak tahu saja kelakuan busuk Ardan selalu ditutupi oleh Reta. "Ya ampun Ardan. Reta kurang baik apa sih?

  • Bismillahmu Bukan Untuk Aku   Tidak Bisa Ditoleransi!

    Ardan memasuki ruang rapat dengan penuh semangat. Ia bahkan sama sekali tak merasa lelah setelah meniti berpuluh-puluh tangga. Hampir semua tentor LBB Mentari selalu mengeluh jika harus bersua di lantai tiga, sebab mereka harus menaiki satu demi satu anak tangga dengan segala upaya. Tentu saja mereka sangat malas berkeringat. Ardan memilih tempat duduk tepat di seberang tempat duduk Nisa. Ardan bersyukur pola duduk di ruang rapat melingkar. Ardan menatap lurus Nisa. Ia menyeringai. Perempuan itu terlihat sangat manis. Bahkan bros pemberian Ardan melekat manis di sisi kanan hijabnya. "Nisa, saya tahu kamu masih menginginkan saya." Ardan berbisik di dalam hatinya, kalap, lupa dengan Reta dan Adam. Nisa tak menyadari perilaku Ardan yang terus mengamati tiap gerak-geriknya sebab ia terlalu sibuk berkirim pesan dengan Bahru. Awalnya ia bermaksud mengucap terima kasih namun ternyata ada beberapa hal lain yang harus mereka bahas. Saat sedang asyik membaca kalimat demi kalimat dari Bahru,

  • Bismillahmu Bukan Untuk Aku   Ardan dan Reta

    "Sayang, tolong kamu tungguin Adam sebentar ya. Aku mau mandi." Reta menghampiri Ardan yang sedang asyik menonton televisi. Ardan mengangguk, berangsur menghampiri Reta kemudian mencium puncak kepalanya. "Adam sudah tidur?" Ardan bertanya. "Iya. Barusan saja tidur." Reta memeluk tubuh Ardan dengan manja. "Terima kasih ya, sayang. Kamu sudah jadi ibu dan istri yang baik banget." Ardan membalas pelukan Reta, sekali lagi mencium puncak kepalanya. Ardan selalu merasa nyaman ketika bersama Reta, tapi jauh di lubuk hatinya ia juga merindukan Nisa. Apa kabar perempuan itu? Sudah satu pekan semenjak pertemuan mereka di mall, Nisa sudah tak pernah menghubungi Ardan lagi. Bahkan pesan Ardan kepada Nisa tak ada yang terbalas, satupun. "Sudah ah aku mau mandi dulu." Reta berusaha membebaskan dirinya dari Ardan. Ardan masih mempertahankan senyumnya ketika menatap punggung Reta. Ia sendiri membalikkan badan menuju kamar Adam, putra mereka. *Ardan terlihat riang saat Reta sudah memasuki kamar

  • Bismillahmu Bukan Untuk Aku   Pengakuan Nisa

    Nisa mengelus tengkuknya yang tertutup jilbab. Santi berusaha mengalihkan pandangan. Santi hapal betul kebiasaan Nisa ketika sedang menyembunyikan suatu hal atau saat sedang berbohong: mengelus tengkuk. Nisa berdehem. "Aku hubungi Kang Bahru dulu ya. Biar segera jemput Hanum." Nisa menggigit bibir sekilas, kemudian segera mengalihkan topik pembicaraan. Dengan kaku, ia meraih gawai di dalam tas, kemudian pura-pura fokus mencari kontak Bahrudin. Nisa menelepon Bahrudin. Sudah tersambung namun tak kunjung diangkat. Nisa tak menyerah, ia mencoba menghubungi Bahru lagi sebanyak beberapa kali. Hingga pada upaya ke lima barulah Bahru mengangkat telepon."Assalamualaikum, Kang Bahru." Nisa membuka obrolan."Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh. Ada apa Ibu Nisa?" Suara Bahru terdengar menenangkan: berat dan santun. "Ini Kang Bahru, saya ketemu dengan Hanum." Nisa berucap perlahan, sangat kontras dengan nada suaranya saat berdebat dengan Santi barusan. "Oh ya! Di mana Bu?" Bahru terden

  • Bismillahmu Bukan Untuk Aku   Keanehan Nisa

    Santi menyerahkan helm kepada Nisa. Mereka sama-sama saling diam. Santi sibuk dengan praduganya, sedangkan pikiran Nisa dipenuhi oleh Ardan dan istrinya. Sepertinya lebih baik memang Nisa tak usah berhubungan dengan Ardan lagi. Jangan sampai ia merusak pagar ayu yang sudah terjalin.Terlebih saat Nisa mengingat kembali wajah anak Ardan, ia jadi teringat dengan Devi dan anaknya, cerita rumah tangganya, serta kemalangan hidup yang harus mereka lalui karena peristiwa perselingkuhan. "Aku mau ngomong sama kamu Nis, mau mampir ke kedaiku dulu nggak?" Santi bertanya hati-hati. Nisa segera mengangguk setuju. Ia butuh teman bercerita saat ini. Santi pasti bisa mengerti kan bagaimana posisi Nisa saat ini? *Santi dan Nisa sama sekali tak bercakap-cakap saat berada di atas motor. Mereka masih saja terlipat oleh pikiran masing-masing. Ketika Santi memarkir motor di belakang kedai, Nisa segera masuk ke kedai untuk memesan beberapa makanan dan minuman, kemudian mencari tempat duduk yang berada d

  • Bismillahmu Bukan Untuk Aku   Cuci Mata

    Nisa menenteng tas belanjaan transparan yang berisi flatshoes dan beberapa hijab berwarna kalem. Santi berjalan mengiringi Nisa sambil melihat-lihat beberapa pakaian yang terjajar rapi. Santi berceloteh ria menyeritakan tempat kerja barunya, sedangkan Nisa terlihat tidak fokus karena sedang memainkan gawai. Berulang kali ia membuka aplikasi WhatsApp, memastikan tidak ada chat yang masuk dari Ardan. Nisa bertanya-tanya sedang apa Ardan saat ini, sehingga dia tidak berkirim pesan dengan Nisa. Semesta memang terlampau baik pada Nisa, baru saja ia mempertanyakan keberadaan Ardan, ternyata Ardan sedang berjalan dari arah yang berlawanan, agak jauh namun Nisa sangat hapal dengan perawakan Ardan. Nisa terlihat sumringah, lupa dengan keberadaan Santi. Nisa tak menyangka Ardan menyusulnya kemari. Nisa tak merasa heran jika Ardan tahu keberadaannya, sebab akses akun google Nisa juga bisa diakses oleh Ardan. Mungkin saja Ardan mengecek histori Google Maps Nisa sehingga dapat menemukan keberadaa

  • Bismillahmu Bukan Untuk Aku   Obrolan di Siang Bolong

    Nisa menelan ludah saat menyadari bahwa di ruang guru hanya ada dirinya dan Bahrudin. Lelaki itu sedang sibuk di depan komputer, tepat di seberang tempat Nisa duduk namun agak jauh menyerong ke timur. Meski begitu, Nisa bisa melihat dengan jelas wajah lelaki itu, pun sebaliknya. Nisa sedang tak ingin mengobrol karena suasana hatinya sedang buruk gegara pertemuannya dengan Ardan tiga hari lalu. Semenjak hari itu, Nisa tak membalas pesan Ardan lagi. Dia merasa dongkol, ia sendiri tak paham apa penyebab kekesalan hatinya itu. "Ardan terlihat baik-baik saja meski tanpa kabar dariku," Nisa sibuk berbicara dengan dirinya sendiri. "Bu Nisa sudah nggak ada jadwal mengajar?" Suara berat itu terdengar agak datar namun berusaha menyisipkan nada ramah. "Oh masih Kang. Nanti jam terakhir." Nisa tergelagap, menjawab dengan cepat. Ia bersyukur Bahrudin berinisiatif memecahkan keheningan terlebih dahulu, sebelum pikiran Nisa melayang kemanapun ia suka. "Oh saya kira sudah nggak ada. Kalau memang

  • Bismillahmu Bukan Untuk Aku   Apakah Itu Cinta?

    "Cinta itu bagaikan jamur ya tumbuh di tempat-tempat yang lembap." Ridha berucap agak nyaring dengan sengaja. Nisa sadar bahwa ucapan itu ditujukan untuk dirinya. Ia hanya bungkam sambil membereskan buku-buku yang berserakan di meja. Nisa hanya meyakini bahwa dirinya tak bersalah!"Dari mata turun ke dada, dari dada turun ke anu. Upsss." Ridha makin bersemangat dalam memancing amarah Nisa. Nisa tetap bungkam, selama namanya tidak disebut berarti perkataan Ridha tidak ditujukan untuknya. Nita yang memiliki kursi berdekatan dengan Nisa, hanya mampu memandang Nisa kasian. Ia tentu saja tak ingin melihat Nisa dipojokkan seperti itu, tapi masalahnya adalah Nisa memang salah. Saat akan keluar dari kantor gawai Nisa berdering dengan keras yang membuat seisi ruang terdiam, menunggu tindakan Nisa selanjutnya. Nisa menatap gawai yang tergeletak di atas meja. Nama Ardan tertera di layar gawai. Nisa tanpa sungkan menerima panggilan itu. "Assalamualaikum." Terdengar suara di seberang sana. "Waa

  • Bismillahmu Bukan Untuk Aku   Mengenalmu

    Nisa berjalan pelan memasuki ruang guru. Jumat lalu ia telah berkunjung ke situ, namun tetap saja nuansanya agak berbeda sekarang. Ketika ia memasuki gerbang, sambutan yang didapat adalah tatapan bertanya siswa-siswi. Tubuh mereka terbalut baju muslim dengan bawahan sarung, mereka tak memakai sepatu dan kaus kaki melainkan sandal biasa. Beberapa siswi memberanikan diri menyapa Nisa dengan senyum dan kebanyakan malu-malu hanya berbisik sambil melihat Nisa. Nisa duduk di salah satu bangku guru yang kosong, lengang tanpa ada satupun tumpukan buku. Ia menarik napas panjang kemudian mengembuskan perlahan. Ah! Hari pertama bekerja benar-benar mendebarkan. Apa yang harus ia katakan kepada rekan kerja barunya? Apa ia bisa cepat akrab dengan rekan kerjanya? ***Semua kalimat yang telah Nisa rancang lenyap seketika saat berhadapan dengan rekan-rekan kerjanya secara langsung. Mereka justru yang aktif bertanya kepada Nisa. Saran Ardan kemarin sore tak ada yang Nisa terapkan. "Bu Nisa sudah ada

DMCA.com Protection Status