Share

Tempat Kerja Baru

Author: Yuniar Putri
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Nisa berjalan di pekarangan luas. Lalu lalang anak-anak usia remaja tak membuat dirinya terdistraksi, tujuannya hanya satu: sebuah ruangan di belakang masjid.

Nisa merapikan kerudungnya sebelum memasuki ruangan itu. Ia melangkah pelan sambil mengucap salam dan mengetuk pintu. Seorang lelaki bertubuh gempal keluar dari ruangan kecil di dalam ruang itu dengan senyum mengembang di bibirnya, membuat pipinya juga semakin membesar.

"Waalaikumsalam. Monggo monggo." Ucap lelaki itu dengan ramah, mempersilahkan Nisa masuk ke ruangan yang memiliki banyak sekali kursi dan bangku, dengan buku dan catatan yang bertumpuk-tumpuk di meja.

Nisa berjalan sembari sedikit membungkukkan badan sebagai sikap hormat. Si Lelaki mengawasi seluruh ruang, mencari tempat duduk yang paling nyaman. Ia sendiri kebingungan, akhirnya menawarkan kepada Nisa untuk duduk di ruang sebelah. Nisa mengiyakan saja penawaran si Lelaki.

Nisa duduk di kursi kayu yang ditata membentuk huruf L, terlihat tua namun sepertinya terbuat dari kayu jati. Lelaki itu memanggil remaja perempuan yang kebetulan melintas di depan ruang, memintanya menyajikan 2 gelas teh hangat.

"Sebelumnya perkenalkan nama saya Muhaimin. Guru-guru dan siswa-siswi di sini biasa memanggil saya Pak Min. Kebetulan saya adalah kepala sekolah di sini." Lelaki itu memperkenalkan namanya sambil tertawa renyah. Nisa hanya tersenyum sungkan dan beberapa kali mengangguk. Ia tak menyangka kalau ternyata kepala sekolah di sini memiliki usia yang terbilang cukup muda, mungkin sekitar 30 tahun.

"Lamaran Ibu Faranisa sudah saya baca dan lulusan pendidikan fisika dari universitas ternama ya? Yakin mau mengajar di sini?" Muhaimin tersenyum tulus. Nisa mendadak gelagapan ditanya seperti itu. Mengapa harus tak yakin? Ketika di bangku kuliah, dosen-dosennya sudah mengingatkan jika ingin kaya raya di dunia, maka jangan pernah memilih bekerja menjadi guru.

Nisa menarik napas tak kentara, dengan yakin menjawab, "Iya Pak. Insyaallah saya sudah ridho menjadi guru."

Muhaimin menyambut jawaban Nisa dengan senyuman lega.

"Alhamdulillah. Biar saya jelaskan terlebih dahulu Bu. Untuk jam mengajar panjenengan. Sebentar Bu, saya panggil Pak Akbar dulu, soalnya beliau yang menata jadwalnya." Muhaimin tergopoh-gopoh berjalan ke ruangan sebelah. Tak lama kemudian ia muncul kembali bersama seorang lelaki yang tampak lebih muda, agak tinggi, dan berkulit sawo matang. Rambutnya bergelombang dan dagunya berjambang. Lelaki itu tersenyum tipis kemudian bersalaman dengan Nisa. Lelaki itu terlihat sangat cekatan. Ia duduk di samping Muhaimin dengan membawa selembar kertas yang berisi angka dalam tabel sangat kecil.

"Bu Nisa, perkenalkan ini Pak Akbar Waka Kurikulum di sini." Muhaimin menatap Nisa dan Akbar bergantian, senyum tak lepas dari bibirnya.

"Paling canggih di sini Bu." Muhaimin berusaha memecahkan suasana yang masih dingin. Nisa membalas dengan senyuman, sedangkan Akbar terlihat cuek dan tersenyum tipis saja.

"Monggo Pak Akbar dijelaskan ke Bu Nisa untuk jadwalnya." Muhaimin mempersilakan Akbar. Akbar menaruh kertas yang ada di tangannya ke atas meja kaca. Akbar mencondongkan badannya agak ke depan. Kemudian menunjuk bagian yang berisi nama lengkap Nisa beserta nomor kodenya.

"Jadi Bu Faranisa, ibu memiliki kode 32 untuk pelajaran kimia kelas 11 dan 12. Untuk harinya bisa Ibu cek di sini, karena masa pandemi kami jadi memotong per jam pelajaran hanya 25 menit." Jelas Akbar. Nisa mengangguk tanda mengerti.

"Karena di sini pondok dan anak-anak tidak dipulangkan jadi sekolah harus tetap berjalan offline, Bu. Pernah diberlakukan online ternyata tidak efektif, banyak anak yang tidak ikut sekolah. Jadi untuk sementara apabila mengajar Bapak Ibu guru tidak disarankan memakai seragam, cukup batik atau gamis untuk guru perempuan." Muhaimin menambahkan penjelasan. Nisa mengangguk lagi tanda ia sudah paham dengan penjelasan lugas itu.

Muhaimin melanjutkan penjelasannya karena dirasa Nisa sudah mengerti, "Untuk bisaroah dari Pak Kyai sekitar 20.000 per jam pelajaran, Bu. Silakan dihitung sendiri seminggu Ibu dapat berapa jam. Mohon maaf hanya segitu, karena Pak Kyai menghendakinya seperti itu, insyaallah pasti nanti ada kenaikan."

Nisa tersenyum lembut, ia merasa tak masalah. Kalau dihitung-hitung memang ia hanya mendapat gaji sekitar dua ratus dua puluh ribu. Tentu saja nominal itu tak cukup untuk mengganti tenaganya, tapi tak apa yang penting ada tambahan pemasukan.

"Tidak masalah, Pak." Nisa merespons dengan lembut. Tak lama setelah mulut Nisa terkatup, seorang lelaki dengan baju putih yang tak putih lagi menghampiri Muhaimin dengan tergopoh-gopoh.

"Ada apa Kang Bahru?" Muhaimin bertanya penasaran. Orang yang dipanggil Bahru itu terengah-engah sembari menanyakan keberadaan sebuah berkas kepada Akbar. Akbar dengan cepat tanggap berdiri.

"Saya tinggal dulu ya Bu Nisa." Akbar berpamitan kepada Nisa untuk pergi ke ruang sebelah, kemudian langkahnya diikuti oleh Bahru.

"Itu Kang Bahrudin, tangan kanan Pak Kyai." Muhaimin menjelaskan, menjawab rasa penasaran Nisa.

"Ibu Nisa ada yang perlu ditanyakan lagi?" Muhaimin bertanya kepada Nisa yang terlihat agak canggung.

"Oh tidak ada Pak. Saya sudah cukup mengerti dengan penjelasan Bapak tadi." Nisa menjawab dengan tergagap.

"Baiklah. Ibu Nisa bisa mulai bekerja Senin depan ya." Muhaimin tersenyum seraya menatap Nisa.

***

Nisa mengerjapkan matanya berulang-ulang. Ia masih tak mempercayai apa yang terjadi pada dirinya kemarin. Ia sudah diterima kerja di sebuah sekolah! Ia akan jadi guru sungguhan! Yang lebih mengejutkan lagi, sehari yang akan datang ia sudah boleh mulai bekerja.

Nisa bahkan sudah dimasukkan dalam grup W******p khusus untuk guru di SMA Islam Al-Qomariyah. Nisa iseng melihat-lihat anggota grup dan ia menemukan sebuah nomor dengan profil bergambar pria yang jadi tangan kanan Pak Kyai tadi. Ah siapa ya namanya? Nisa berusaha keras untuk mengingat.

Nisa memutuskan untuk memencet nomor tersebut untuk melihat foto sang empunya. Nisa terkikik sendiri, fotonya terlihat lucu. Lelaki berkacamata itu mengenakan kopiah hitam dengan atasan baju koko putih lusuh dan sarung hitam.

"Apa orang ini tidak pernah ganti baju?" Nisa bergumam sendiri.

Saat sedang asyik mengamati anggota grup yang lain, tiba-tiba gawai Nisa berdering. Sebuah nomor asing, tanpa display picture tertera di layar gawainya. Nisa memberanikan diri untuk mengangkat telepon tersebut.

"Assalamualaikum." Nisa menyapa. Orang di seberang sana hanya terdiam.

"Mohon maaf ada keperluan apa ya?" Nisa bertanya lagi, masih sunyi tak ada jawaban. Nisa menarik napas, kesal. Pasti ia sedang dikerjai. Nisa sudah akan mengakhiri panggilan tak jelas itu, sampai akhirnya manusia di seberang sana angkat bicara, mungkin karena mendengar dengusan napas Nisa barusan.

"Waalaikumsalam." Suara berat itu menjawab salam yang telah diluncurkan Nisa. Nisa tahan napas. Ia sangat kenal dengan suara itu: Ardan!

Nisa menelan ludah sebelum akhirnya memberanikan diri untuk bertanya, "Ada apa ya Pak Ardan?"

"Dik Nisa saya ingin bertemu dengan kamu, sekarang." Suara Ardan terdengar serak dan putus asa. Nisa menggigit bibirnya sendiri. Mengapa Ardan tak memanggilnya dengan kata sapaan Bu Nisa dan justru ada embel-embel Dik pada namanya? Dada Nisa berdentum tak karuan! Debaran itu masih ada untuk Ardan! Nisa sangat ingin datang kepada Ardan, tapi faktanya Ardan sudah mengikat hati dan janji sehidup semati dengan perempuan yang bukan dirinya.

"Nggak bisa ya?" Tanya Ardan, suaranya makin lemas. Nisa hanya terdiam, air mata diam-diam merayap di pipinya. Andai ia yang bertemu Ardan lebih dulu, dua atau tiga tahun lalu pasti ceritanya akan lain!

Related chapters

  • Bismillahmu Bukan Untuk Aku   Mengenalmu

    Nisa berjalan pelan memasuki ruang guru. Jumat lalu ia telah berkunjung ke situ, namun tetap saja nuansanya agak berbeda sekarang. Ketika ia memasuki gerbang, sambutan yang didapat adalah tatapan bertanya siswa-siswi. Tubuh mereka terbalut baju muslim dengan bawahan sarung, mereka tak memakai sepatu dan kaus kaki melainkan sandal biasa. Beberapa siswi memberanikan diri menyapa Nisa dengan senyum dan kebanyakan malu-malu hanya berbisik sambil melihat Nisa. Nisa duduk di salah satu bangku guru yang kosong, lengang tanpa ada satupun tumpukan buku. Ia menarik napas panjang kemudian mengembuskan perlahan. Ah! Hari pertama bekerja benar-benar mendebarkan. Apa yang harus ia katakan kepada rekan kerja barunya? Apa ia bisa cepat akrab dengan rekan kerjanya? ***Semua kalimat yang telah Nisa rancang lenyap seketika saat berhadapan dengan rekan-rekan kerjanya secara langsung. Mereka justru yang aktif bertanya kepada Nisa. Saran Ardan kemarin sore tak ada yang Nisa terapkan. "Bu Nisa sudah ada

    Last Updated : 2024-10-29
  • Bismillahmu Bukan Untuk Aku   Apakah Itu Cinta?

    "Cinta itu bagaikan jamur ya tumbuh di tempat-tempat yang lembap." Ridha berucap agak nyaring dengan sengaja. Nisa sadar bahwa ucapan itu ditujukan untuk dirinya. Ia hanya bungkam sambil membereskan buku-buku yang berserakan di meja. Nisa hanya meyakini bahwa dirinya tak bersalah!"Dari mata turun ke dada, dari dada turun ke anu. Upsss." Ridha makin bersemangat dalam memancing amarah Nisa. Nisa tetap bungkam, selama namanya tidak disebut berarti perkataan Ridha tidak ditujukan untuknya. Nita yang memiliki kursi berdekatan dengan Nisa, hanya mampu memandang Nisa kasian. Ia tentu saja tak ingin melihat Nisa dipojokkan seperti itu, tapi masalahnya adalah Nisa memang salah. Saat akan keluar dari kantor gawai Nisa berdering dengan keras yang membuat seisi ruang terdiam, menunggu tindakan Nisa selanjutnya. Nisa menatap gawai yang tergeletak di atas meja. Nama Ardan tertera di layar gawai. Nisa tanpa sungkan menerima panggilan itu. "Assalamualaikum." Terdengar suara di seberang sana. "Waa

    Last Updated : 2024-10-29
  • Bismillahmu Bukan Untuk Aku   Obrolan di Siang Bolong

    Nisa menelan ludah saat menyadari bahwa di ruang guru hanya ada dirinya dan Bahrudin. Lelaki itu sedang sibuk di depan komputer, tepat di seberang tempat Nisa duduk namun agak jauh menyerong ke timur. Meski begitu, Nisa bisa melihat dengan jelas wajah lelaki itu, pun sebaliknya. Nisa sedang tak ingin mengobrol karena suasana hatinya sedang buruk gegara pertemuannya dengan Ardan tiga hari lalu. Semenjak hari itu, Nisa tak membalas pesan Ardan lagi. Dia merasa dongkol, ia sendiri tak paham apa penyebab kekesalan hatinya itu. "Ardan terlihat baik-baik saja meski tanpa kabar dariku," Nisa sibuk berbicara dengan dirinya sendiri. "Bu Nisa sudah nggak ada jadwal mengajar?" Suara berat itu terdengar agak datar namun berusaha menyisipkan nada ramah. "Oh masih Kang. Nanti jam terakhir." Nisa tergelagap, menjawab dengan cepat. Ia bersyukur Bahrudin berinisiatif memecahkan keheningan terlebih dahulu, sebelum pikiran Nisa melayang kemanapun ia suka. "Oh saya kira sudah nggak ada. Kalau memang

    Last Updated : 2024-10-29
  • Bismillahmu Bukan Untuk Aku   Cuci Mata

    Nisa menenteng tas belanjaan transparan yang berisi flatshoes dan beberapa hijab berwarna kalem. Santi berjalan mengiringi Nisa sambil melihat-lihat beberapa pakaian yang terjajar rapi. Santi berceloteh ria menyeritakan tempat kerja barunya, sedangkan Nisa terlihat tidak fokus karena sedang memainkan gawai. Berulang kali ia membuka aplikasi WhatsApp, memastikan tidak ada chat yang masuk dari Ardan. Nisa bertanya-tanya sedang apa Ardan saat ini, sehingga dia tidak berkirim pesan dengan Nisa. Semesta memang terlampau baik pada Nisa, baru saja ia mempertanyakan keberadaan Ardan, ternyata Ardan sedang berjalan dari arah yang berlawanan, agak jauh namun Nisa sangat hapal dengan perawakan Ardan. Nisa terlihat sumringah, lupa dengan keberadaan Santi. Nisa tak menyangka Ardan menyusulnya kemari. Nisa tak merasa heran jika Ardan tahu keberadaannya, sebab akses akun google Nisa juga bisa diakses oleh Ardan. Mungkin saja Ardan mengecek histori Google Maps Nisa sehingga dapat menemukan keberadaa

    Last Updated : 2024-10-29
  • Bismillahmu Bukan Untuk Aku   Keanehan Nisa

    Santi menyerahkan helm kepada Nisa. Mereka sama-sama saling diam. Santi sibuk dengan praduganya, sedangkan pikiran Nisa dipenuhi oleh Ardan dan istrinya. Sepertinya lebih baik memang Nisa tak usah berhubungan dengan Ardan lagi. Jangan sampai ia merusak pagar ayu yang sudah terjalin.Terlebih saat Nisa mengingat kembali wajah anak Ardan, ia jadi teringat dengan Devi dan anaknya, cerita rumah tangganya, serta kemalangan hidup yang harus mereka lalui karena peristiwa perselingkuhan. "Aku mau ngomong sama kamu Nis, mau mampir ke kedaiku dulu nggak?" Santi bertanya hati-hati. Nisa segera mengangguk setuju. Ia butuh teman bercerita saat ini. Santi pasti bisa mengerti kan bagaimana posisi Nisa saat ini? *Santi dan Nisa sama sekali tak bercakap-cakap saat berada di atas motor. Mereka masih saja terlipat oleh pikiran masing-masing. Ketika Santi memarkir motor di belakang kedai, Nisa segera masuk ke kedai untuk memesan beberapa makanan dan minuman, kemudian mencari tempat duduk yang berada d

    Last Updated : 2024-10-29
  • Bismillahmu Bukan Untuk Aku   Pengakuan Nisa

    Nisa mengelus tengkuknya yang tertutup jilbab. Santi berusaha mengalihkan pandangan. Santi hapal betul kebiasaan Nisa ketika sedang menyembunyikan suatu hal atau saat sedang berbohong: mengelus tengkuk. Nisa berdehem. "Aku hubungi Kang Bahru dulu ya. Biar segera jemput Hanum." Nisa menggigit bibir sekilas, kemudian segera mengalihkan topik pembicaraan. Dengan kaku, ia meraih gawai di dalam tas, kemudian pura-pura fokus mencari kontak Bahrudin. Nisa menelepon Bahrudin. Sudah tersambung namun tak kunjung diangkat. Nisa tak menyerah, ia mencoba menghubungi Bahru lagi sebanyak beberapa kali. Hingga pada upaya ke lima barulah Bahru mengangkat telepon."Assalamualaikum, Kang Bahru." Nisa membuka obrolan."Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh. Ada apa Ibu Nisa?" Suara Bahru terdengar menenangkan: berat dan santun. "Ini Kang Bahru, saya ketemu dengan Hanum." Nisa berucap perlahan, sangat kontras dengan nada suaranya saat berdebat dengan Santi barusan. "Oh ya! Di mana Bu?" Bahru terden

    Last Updated : 2024-10-29
  • Bismillahmu Bukan Untuk Aku   Ardan dan Reta

    "Sayang, tolong kamu tungguin Adam sebentar ya. Aku mau mandi." Reta menghampiri Ardan yang sedang asyik menonton televisi. Ardan mengangguk, berangsur menghampiri Reta kemudian mencium puncak kepalanya. "Adam sudah tidur?" Ardan bertanya. "Iya. Barusan saja tidur." Reta memeluk tubuh Ardan dengan manja. "Terima kasih ya, sayang. Kamu sudah jadi ibu dan istri yang baik banget." Ardan membalas pelukan Reta, sekali lagi mencium puncak kepalanya. Ardan selalu merasa nyaman ketika bersama Reta, tapi jauh di lubuk hatinya ia juga merindukan Nisa. Apa kabar perempuan itu? Sudah satu pekan semenjak pertemuan mereka di mall, Nisa sudah tak pernah menghubungi Ardan lagi. Bahkan pesan Ardan kepada Nisa tak ada yang terbalas, satupun. "Sudah ah aku mau mandi dulu." Reta berusaha membebaskan dirinya dari Ardan. Ardan masih mempertahankan senyumnya ketika menatap punggung Reta. Ia sendiri membalikkan badan menuju kamar Adam, putra mereka. *Ardan terlihat riang saat Reta sudah memasuki kamar

    Last Updated : 2024-10-29
  • Bismillahmu Bukan Untuk Aku   Tidak Bisa Ditoleransi!

    Ardan memasuki ruang rapat dengan penuh semangat. Ia bahkan sama sekali tak merasa lelah setelah meniti berpuluh-puluh tangga. Hampir semua tentor LBB Mentari selalu mengeluh jika harus bersua di lantai tiga, sebab mereka harus menaiki satu demi satu anak tangga dengan segala upaya. Tentu saja mereka sangat malas berkeringat. Ardan memilih tempat duduk tepat di seberang tempat duduk Nisa. Ardan bersyukur pola duduk di ruang rapat melingkar. Ardan menatap lurus Nisa. Ia menyeringai. Perempuan itu terlihat sangat manis. Bahkan bros pemberian Ardan melekat manis di sisi kanan hijabnya. "Nisa, saya tahu kamu masih menginginkan saya." Ardan berbisik di dalam hatinya, kalap, lupa dengan Reta dan Adam. Nisa tak menyadari perilaku Ardan yang terus mengamati tiap gerak-geriknya sebab ia terlalu sibuk berkirim pesan dengan Bahru. Awalnya ia bermaksud mengucap terima kasih namun ternyata ada beberapa hal lain yang harus mereka bahas. Saat sedang asyik membaca kalimat demi kalimat dari Bahru,

    Last Updated : 2024-10-29

Latest chapter

  • Bismillahmu Bukan Untuk Aku   Perselingkuhan di Kantor

    Napas Ridha tertahan. Tangannya bergetar saat memegang gawai. Ia tak tahu apakah hasil jepretannya kali ini bagus atau justru buram parah? "Ardan bangsat!" Ridha mengumpat dalam hati. Ridha tak menyangka jika perilaku Ardan ternyata tak berubah. Ia berulah lagi. Kali ini dengan Faranisa? Perempuan sialan itu dengan menjijikkannya rela saja dicumbu oleh lelaki yang bukan miliknya. Ada puluhan juta lelaki di dunia ini, mengapa Faranisa harus merayu Ardan. Hati Ridha terasa perih. Ia teringat kepada wajah lelah Reta saat mengurus Adam. Ardan memang sepupu Ridha, namun kali ini ia tak akan menutupi kesalahan Ardan lagi. Ridha masih menyaksikan kemesraan Faranisa dan Ardan. Ia berpikir panjang, apa sebaiknya ia lapor kepada Atnaya? Tapi jika masalah ini diketahui oleh orang luar maka yang kena tegur keluarga besar adalah Ridha. Ardan merupakan anak emas di keluarga besarnya. Mereka tidak tahu saja kelakuan busuk Ardan selalu ditutupi oleh Reta. "Ya ampun Ardan. Reta kurang baik apa sih?

  • Bismillahmu Bukan Untuk Aku   Tidak Bisa Ditoleransi!

    Ardan memasuki ruang rapat dengan penuh semangat. Ia bahkan sama sekali tak merasa lelah setelah meniti berpuluh-puluh tangga. Hampir semua tentor LBB Mentari selalu mengeluh jika harus bersua di lantai tiga, sebab mereka harus menaiki satu demi satu anak tangga dengan segala upaya. Tentu saja mereka sangat malas berkeringat. Ardan memilih tempat duduk tepat di seberang tempat duduk Nisa. Ardan bersyukur pola duduk di ruang rapat melingkar. Ardan menatap lurus Nisa. Ia menyeringai. Perempuan itu terlihat sangat manis. Bahkan bros pemberian Ardan melekat manis di sisi kanan hijabnya. "Nisa, saya tahu kamu masih menginginkan saya." Ardan berbisik di dalam hatinya, kalap, lupa dengan Reta dan Adam. Nisa tak menyadari perilaku Ardan yang terus mengamati tiap gerak-geriknya sebab ia terlalu sibuk berkirim pesan dengan Bahru. Awalnya ia bermaksud mengucap terima kasih namun ternyata ada beberapa hal lain yang harus mereka bahas. Saat sedang asyik membaca kalimat demi kalimat dari Bahru,

  • Bismillahmu Bukan Untuk Aku   Ardan dan Reta

    "Sayang, tolong kamu tungguin Adam sebentar ya. Aku mau mandi." Reta menghampiri Ardan yang sedang asyik menonton televisi. Ardan mengangguk, berangsur menghampiri Reta kemudian mencium puncak kepalanya. "Adam sudah tidur?" Ardan bertanya. "Iya. Barusan saja tidur." Reta memeluk tubuh Ardan dengan manja. "Terima kasih ya, sayang. Kamu sudah jadi ibu dan istri yang baik banget." Ardan membalas pelukan Reta, sekali lagi mencium puncak kepalanya. Ardan selalu merasa nyaman ketika bersama Reta, tapi jauh di lubuk hatinya ia juga merindukan Nisa. Apa kabar perempuan itu? Sudah satu pekan semenjak pertemuan mereka di mall, Nisa sudah tak pernah menghubungi Ardan lagi. Bahkan pesan Ardan kepada Nisa tak ada yang terbalas, satupun. "Sudah ah aku mau mandi dulu." Reta berusaha membebaskan dirinya dari Ardan. Ardan masih mempertahankan senyumnya ketika menatap punggung Reta. Ia sendiri membalikkan badan menuju kamar Adam, putra mereka. *Ardan terlihat riang saat Reta sudah memasuki kamar

  • Bismillahmu Bukan Untuk Aku   Pengakuan Nisa

    Nisa mengelus tengkuknya yang tertutup jilbab. Santi berusaha mengalihkan pandangan. Santi hapal betul kebiasaan Nisa ketika sedang menyembunyikan suatu hal atau saat sedang berbohong: mengelus tengkuk. Nisa berdehem. "Aku hubungi Kang Bahru dulu ya. Biar segera jemput Hanum." Nisa menggigit bibir sekilas, kemudian segera mengalihkan topik pembicaraan. Dengan kaku, ia meraih gawai di dalam tas, kemudian pura-pura fokus mencari kontak Bahrudin. Nisa menelepon Bahrudin. Sudah tersambung namun tak kunjung diangkat. Nisa tak menyerah, ia mencoba menghubungi Bahru lagi sebanyak beberapa kali. Hingga pada upaya ke lima barulah Bahru mengangkat telepon."Assalamualaikum, Kang Bahru." Nisa membuka obrolan."Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh. Ada apa Ibu Nisa?" Suara Bahru terdengar menenangkan: berat dan santun. "Ini Kang Bahru, saya ketemu dengan Hanum." Nisa berucap perlahan, sangat kontras dengan nada suaranya saat berdebat dengan Santi barusan. "Oh ya! Di mana Bu?" Bahru terden

  • Bismillahmu Bukan Untuk Aku   Keanehan Nisa

    Santi menyerahkan helm kepada Nisa. Mereka sama-sama saling diam. Santi sibuk dengan praduganya, sedangkan pikiran Nisa dipenuhi oleh Ardan dan istrinya. Sepertinya lebih baik memang Nisa tak usah berhubungan dengan Ardan lagi. Jangan sampai ia merusak pagar ayu yang sudah terjalin.Terlebih saat Nisa mengingat kembali wajah anak Ardan, ia jadi teringat dengan Devi dan anaknya, cerita rumah tangganya, serta kemalangan hidup yang harus mereka lalui karena peristiwa perselingkuhan. "Aku mau ngomong sama kamu Nis, mau mampir ke kedaiku dulu nggak?" Santi bertanya hati-hati. Nisa segera mengangguk setuju. Ia butuh teman bercerita saat ini. Santi pasti bisa mengerti kan bagaimana posisi Nisa saat ini? *Santi dan Nisa sama sekali tak bercakap-cakap saat berada di atas motor. Mereka masih saja terlipat oleh pikiran masing-masing. Ketika Santi memarkir motor di belakang kedai, Nisa segera masuk ke kedai untuk memesan beberapa makanan dan minuman, kemudian mencari tempat duduk yang berada d

  • Bismillahmu Bukan Untuk Aku   Cuci Mata

    Nisa menenteng tas belanjaan transparan yang berisi flatshoes dan beberapa hijab berwarna kalem. Santi berjalan mengiringi Nisa sambil melihat-lihat beberapa pakaian yang terjajar rapi. Santi berceloteh ria menyeritakan tempat kerja barunya, sedangkan Nisa terlihat tidak fokus karena sedang memainkan gawai. Berulang kali ia membuka aplikasi WhatsApp, memastikan tidak ada chat yang masuk dari Ardan. Nisa bertanya-tanya sedang apa Ardan saat ini, sehingga dia tidak berkirim pesan dengan Nisa. Semesta memang terlampau baik pada Nisa, baru saja ia mempertanyakan keberadaan Ardan, ternyata Ardan sedang berjalan dari arah yang berlawanan, agak jauh namun Nisa sangat hapal dengan perawakan Ardan. Nisa terlihat sumringah, lupa dengan keberadaan Santi. Nisa tak menyangka Ardan menyusulnya kemari. Nisa tak merasa heran jika Ardan tahu keberadaannya, sebab akses akun google Nisa juga bisa diakses oleh Ardan. Mungkin saja Ardan mengecek histori Google Maps Nisa sehingga dapat menemukan keberadaa

  • Bismillahmu Bukan Untuk Aku   Obrolan di Siang Bolong

    Nisa menelan ludah saat menyadari bahwa di ruang guru hanya ada dirinya dan Bahrudin. Lelaki itu sedang sibuk di depan komputer, tepat di seberang tempat Nisa duduk namun agak jauh menyerong ke timur. Meski begitu, Nisa bisa melihat dengan jelas wajah lelaki itu, pun sebaliknya. Nisa sedang tak ingin mengobrol karena suasana hatinya sedang buruk gegara pertemuannya dengan Ardan tiga hari lalu. Semenjak hari itu, Nisa tak membalas pesan Ardan lagi. Dia merasa dongkol, ia sendiri tak paham apa penyebab kekesalan hatinya itu. "Ardan terlihat baik-baik saja meski tanpa kabar dariku," Nisa sibuk berbicara dengan dirinya sendiri. "Bu Nisa sudah nggak ada jadwal mengajar?" Suara berat itu terdengar agak datar namun berusaha menyisipkan nada ramah. "Oh masih Kang. Nanti jam terakhir." Nisa tergelagap, menjawab dengan cepat. Ia bersyukur Bahrudin berinisiatif memecahkan keheningan terlebih dahulu, sebelum pikiran Nisa melayang kemanapun ia suka. "Oh saya kira sudah nggak ada. Kalau memang

  • Bismillahmu Bukan Untuk Aku   Apakah Itu Cinta?

    "Cinta itu bagaikan jamur ya tumbuh di tempat-tempat yang lembap." Ridha berucap agak nyaring dengan sengaja. Nisa sadar bahwa ucapan itu ditujukan untuk dirinya. Ia hanya bungkam sambil membereskan buku-buku yang berserakan di meja. Nisa hanya meyakini bahwa dirinya tak bersalah!"Dari mata turun ke dada, dari dada turun ke anu. Upsss." Ridha makin bersemangat dalam memancing amarah Nisa. Nisa tetap bungkam, selama namanya tidak disebut berarti perkataan Ridha tidak ditujukan untuknya. Nita yang memiliki kursi berdekatan dengan Nisa, hanya mampu memandang Nisa kasian. Ia tentu saja tak ingin melihat Nisa dipojokkan seperti itu, tapi masalahnya adalah Nisa memang salah. Saat akan keluar dari kantor gawai Nisa berdering dengan keras yang membuat seisi ruang terdiam, menunggu tindakan Nisa selanjutnya. Nisa menatap gawai yang tergeletak di atas meja. Nama Ardan tertera di layar gawai. Nisa tanpa sungkan menerima panggilan itu. "Assalamualaikum." Terdengar suara di seberang sana. "Waa

  • Bismillahmu Bukan Untuk Aku   Mengenalmu

    Nisa berjalan pelan memasuki ruang guru. Jumat lalu ia telah berkunjung ke situ, namun tetap saja nuansanya agak berbeda sekarang. Ketika ia memasuki gerbang, sambutan yang didapat adalah tatapan bertanya siswa-siswi. Tubuh mereka terbalut baju muslim dengan bawahan sarung, mereka tak memakai sepatu dan kaus kaki melainkan sandal biasa. Beberapa siswi memberanikan diri menyapa Nisa dengan senyum dan kebanyakan malu-malu hanya berbisik sambil melihat Nisa. Nisa duduk di salah satu bangku guru yang kosong, lengang tanpa ada satupun tumpukan buku. Ia menarik napas panjang kemudian mengembuskan perlahan. Ah! Hari pertama bekerja benar-benar mendebarkan. Apa yang harus ia katakan kepada rekan kerja barunya? Apa ia bisa cepat akrab dengan rekan kerjanya? ***Semua kalimat yang telah Nisa rancang lenyap seketika saat berhadapan dengan rekan-rekan kerjanya secara langsung. Mereka justru yang aktif bertanya kepada Nisa. Saran Ardan kemarin sore tak ada yang Nisa terapkan. "Bu Nisa sudah ada

DMCA.com Protection Status