Share

Mengenalmu

Author: Yuniar Putri
last update Last Updated: 2022-10-27 20:52:04

Nisa berjalan pelan memasuki ruang guru. Jumat lalu ia telah berkunjung ke situ, namun tetap saja nuansanya agak berbeda sekarang. Ketika ia memasuki gerbang, sambutan yang didapat adalah tatapan bertanya siswa-siswi. Tubuh mereka terbalut baju muslim dengan bawahan sarung, mereka tak memakai sepatu dan kaus kaki melainkan sandal biasa. Beberapa siswi memberanikan diri menyapa Nisa dengan senyum dan kebanyakan malu-malu hanya berbisik sambil melihat Nisa.

Nisa duduk di salah satu bangku guru yang kosong, lengang tanpa ada satupun tumpukan buku. Ia menarik napas panjang kemudian mengembuskan perlahan. Ah! Hari pertama bekerja benar-benar mendebarkan. Apa yang harus ia katakan kepada rekan kerja barunya? Apa ia bisa cepat akrab dengan rekan kerjanya?

***

Semua kalimat yang telah Nisa rancang lenyap seketika saat berhadapan dengan rekan-rekan kerjanya secara langsung. Mereka justru yang aktif bertanya kepada Nisa. Saran Ardan kemarin sore tak ada yang Nisa terapkan.

"Bu Nisa sudah ada calon belum nih?" Canda salah satu guru, Nisa ingat namanya Bu Hanum. Kulitnya putih bersih, bertubuh gempal, dan kaca mata selalu melekat membingkai indra penglihatannya. Guru perempuan yang lain ikut terkikik mendengar pertanyaan Bu Hanum. Nisa sudah ingat nama-nama rekan kerja barunya, ada Bu Hanum, Bu Risa, Bu Diva, Bu Lala, dan Pak Akbar yang sudah pernah ia temui. Nisa tersenyum malu-malu, tiba-tiba sekelebat ia terbayang air muka Ardan.

"Astagfirullah." Nisa berbisik lirih. Tawa meledak seketika di ruang guru.

"Astaga! Dia sampai nyebut loh." Bu Diva tertawa gemas. Nisa hanya mampu menggaruk belakang kepalanya yang tertutupi jilbab. Ia lega ternyata dipertemukan dengan orang-orang yang baik. Nisa mengira akan bertemu dengan rekan kerja yang persis dengan rekan kerjanya di LBB Mentari, beracun! Makanya ia terus saja merasa resah sebelum Hanum membuka obrolan barusan.

"Nggak. Kalau belum punya calon kan di sini masih banyak yang perjaka." Hanum menanggapi dengan serius.

"Jangan ngawur, Nya! Mau kamu jodohin sama Kang Bahru atau Kang Fadhil?" Diva menimpali pernyataan Hanum. Nisa menduga mereka seumuran, sebab terlihat sangat akrab dan sefrekuensi.

"Ya kan siapa tahu jodoh gitu." Hanum menanggapi dengan santai. Ia melanjutkan tuturannya, kali ini dengan volume suara yang sedikit direndahkan, "Bayangkan saja Kang Bahru itu usianya sudah hampir 33 tahun lho seusia kita kan? Nggak nikah-nikah."

"Halah! Nggak usah ngomongin Kang Bahru, depanmu saja itu juga belum menikah." Akbar melirik Diva. Tawa meledak kembali di ruangan itu.

"Kalau aku ya kasus khusus lah!" Diva menjawab dengan tak terima. Tak lama setelah itu, orang yang mereka bicarakan memasuki ruangan dengan langkah santai.

"Assalamualaikum." Ucap Bahru sembari melepas sandalnya. Lagi-lagi ia memakai baju koko putih yang sudah sangat lusuh dan sarung hijau. Kopiah tetap bertengger rapi di atas kepalanya.

"Waalaikumsalam." Sahut orang-orang di dalam ruang guru hampir bersamaan.

Nisa mengamati Bahru. Lelaki itu berperawakan tinggi namun tak tegap, kulitnya tak hitam namun kusam seperti jarang terawat, matanya sangat teduh, dan hidungnya mancung. Secara fisik, Bahru kurang memiliki sisi kemenarikan khusus.

Bahru memasuki ruangan sambil memainkan gawai di tangannya, kemudian duduk di bangku depan Nisa. Seisi mata di ruangan itu mengamati tingkah Bahru. Lala menepuk jidat.

"Kang Bahru ada cewek di belakangnya diajak kenalan dong!" Cibir Risa.

"Nggak tahu tuh, selalu hidup dengan dunianya sendiri." Diva menyindir lebih keras.

"Hari Jumat sudah pernah ketemu kok." Bahru menjawab dengan cuek, suaranya terdengar berat. Tatapan lelaki itu tak teralih dari layar gawai.

"Tapi kan belum kenalan. Sama teman kerja baru mbok ya sambutannya yang agak hangat." Akbar turut menyahut. Mendengar suara Akbar, Bahru langsung menaruh gawainya di atas meja. Bahru berdiri dari tempat duduknya kemudian menyalami Nisa dengan sungkan sembari menyebut nama panggilannya, "Bahru."

"Faranisa." Nisa menyambut telapak tangan Bahru sambil tersenyum tipis dan menganggukkan kepala. Kebanyakan pegawai tidak tetap di sekolah itu memang berasal dari mereka yang mengabdi di pondok pesantren. Mungkin Bahru adalah salah satu dari mereka.

"Kang Bahru itu suhunya suhu, Bu." Akbar melontarkan sebuah pernyataan yang terdengar seperti candaan. Menilik dari ekspresi Akbar yang hanya disertai senyuman tipis sekali, ungkapan tersebut tak bisa disebut sebagai candaan. Nisa hanya menyambut ungkapan Akbar dengan senyuman, ia tak tak tahu harus merespons bagaimana.

"Iya. Orang paling sibuk di Qomariyah." Diva menimpali dengan heboh.

"Bukannya sibuk tapi sok sibuk." Bahru menanggapi dengan candaan. Guru-guru lain dibuat tertawa dengan tingkahnya.

"Merendah untuk meroket Kang Bahru itu." Hanum ikut angkat bicara. Nyatanya memang Bahrudin adalah orang kepercayaan Kyai pemilik yayasan Al Qomariyah. Meskipun penampilannya serampangan, Bahrudin memiliki kepandaian yang tak perlu diragukan lagi. Ia juga memiliki karakter yang cekatan. Nisa tak membayangkan apapun tentang Bahru hari itu. Mau sehebat dan sekeren apapun lelaki itu, di pikiran Nisa hanya ada Ardan.

***

Nisa menghela napas panjang. Ia seharusnya sudah tahu bahwa lelaki adalah makhluk yang paling tak pandai mengendalikan nafsu ingin berkuasa dan terlihat hebat. Pertemuannya dengan Ardan kemarin sore sudah bocor ke semua rekan kerjanya di LBB Mentari. Nisa berspekulasi bahwa tak mungkin orang-orang bisa mendengar kabar burung itu tanpa ada yang perantara penyebar. Tak mungkin kabar melayang begitu saja di udara kan?

Yang tahu pertemuan antara Nisa dan Ardan hanyalah Tuhan, Ardan, dan Nisa sendiri. Nisa jelas sekali tak mungkin mengumbar aibnya sendiri. Tuhan juga tak mungkin memberi petunjuk yang begitu konkrit dan kronologis dalam waktu semalam. Atau mungkin Ardan yang menyebarkan cerita itu sendiri? Tapi buat apa? Agar terlihat keren karena bisa menaklukan banyak perempuan?

Semesta sepertinya memang sedang menguji Nisa, tetiba ada satu tampilan pesan dengan nama kontak Mas Ardan muncul di gawainya. Saat itu sedang istirahat menjelang maghrib, otomatis ia ada di kantin kantor bersama beberapa teman tentor perempuan yang masih mau bergaul dengan Nisa. Reka, yang duduk di samping Nisa sedikit melirik gawai Nisa.

Nisa dengan cepat meraih gawainya kemudian menekan menekan tombol samping, setelah layar gawai tampak gelap ia menaruhnya kembali di atas meja.

Baru saja Nisa menyeruput lemon teanya, tiba-tiba gawainya menyala, satu pesan lagi, dari Ardan. Nisa mulai menunjukkan gelagat tak nyaman. Firasatnya tak enak, Reka dan yang lain saling pandang.

"Nis, kita bukannya mau ikut campur masalah kamu. Tapi saranku mending kamu jangan berhubungan dengan Ardan lagi deh." Reka berkata perlahan. Nita yang duduk di depan Reka mengangguk setuju.

"Benar Nis. Apalagi sejak kejadian waktu itu kan. Coba kalau ada aku, sudah tak jotos orang itu." Nita berbisik lirih sembari melirik ke arah meja sebelah. Di sana terlihat Ridha dan gengnya sedang makan sambil berjulid ria.

"Iya. Kalau ada apa-apa sama kamu. Kami juga nggak selalu bisa bela, karena kadang kita kan beda sesi dan jadwal." Reka memandang Nisa khawatir.

Nisa tersenyum. Nita dan Reka adalah teman SMA-nya. Reka sudah menikah sejak setahun lalu, sementara Nita baru saja menikah dua bulan lalu. Kesibukan baru sebagai ibu rumah tangga membuat jadwal Nita dan Reka dimampatkan di LBB Mentari, sehingga mereka jarang ada jadwal mengajar les.

"Kalian jangan khawatir, aku sama Pak Ardan nggak ada apa-apa kok." Nisa mencoba menenangkan kedua temannya.

"Nis, tapi kenapa dia chat seperti itu? Mengapa dia memanggilmu dengan Dek?" Reka bertanya tak sabar, ternyata ia sempat melihat isi chat Ardan barusan. Nisa menarik napas panjang. Ia tak mampu menjawab pertanyaan Reka.

"Lagian sih Nis, kamu ngapain malah ceritanya ke Naysila. Dia itu mulutnya suka ember tau nggak." Gumam Nita sembari memakan bakso di hadapannya.

"Aku nggak bermaksud cerita. Aku keceplosan." Nisa berkata jujur. Reka membuka telapak tangannya, "Oke stop. Kembali ke topik pembicaraan. Mengapa Ardan memanggil kamu dengan sebutan Dek? Dan sejak kapan kamu punya kontak Ardan, menamai kontaknya dengan Mas Ardan? Sejak kapan kalian seakrab itu? Nis, inget Ardan sudah punya istri!" Reka membrondong Nisa dengan berbagai macam pertanyaan, menekan setiap kata demi kata dengan volume seminim mungkin. Ia bahkan sampai mencondongkan badan ke arah Nisa.

"Kemarin dia ngajak aku ketemu dan kami memang bertemu, jalan-jalan bareng." Nisa menjawab lirih. Nita dan Reka mendelik, jadi gosip itu benar: Nisa dan Ardan berkencan?

"Nis, diselingkuhi itu sakit lho dan jadi selingkuhan itu salah." Nita menghentikan aktivitas mengunyah, menatap Nisa dengan air muka serius.

"Aku nggak bermaksud jadi selingkuhan!" Nisa mencoba membela diri. Reka menggeleng tak setuju, menurutnya perbuatan Ardan merupakan bentuk penyelewengan terhadap istri sahnya.

"Selingkuh itu bukan berarti harus kontak fisik Nis. Chating setiap hari, memberi perhatian ke lawan jenis, selain pasangan itu sudah salah." Reka berusaha menyampaikan pendapatnya dengan kalimat-kalimat yang tak menyinggung Nisa. Nisa tertunduk dalam, bertanya kepada dirinya sendiri. Benarkah ia ada niat menjadi simpanan? Tiap kali Ardan mengirim pesan, tangan Nisa selalu otomatis membalasnya, tanpa proses berpikir, yang ada hanya perasaan senang.

"Tapi aku merasa senang tiap kali berkirim pesan ataupun bersama Mas Ardan." Nisa bergumam lirih. Nita menepuk jidat. Ini hal yang salah!

"Nis tolong berhenti sekarang sebelum terlanjur." Reka memperingatkan Nisa.

"Kalian tuh nggak tahu rasanya jadi aku, ada di posisiku." Mata Nisa nyalang, ia lelah terus disalahkan.

"Kamu juga belum tahu ya Nis rasanya jadi istri, ibu rumah tangga, tiap hari ngurus anak! Yang kami inginkan itu cuma rumah tangga yang tenang Nis, bareng anak suami. Aku sebagai seorang istri sakit banget lho dengar kalimatmu barusan. Apalagi istrinya Ardan. Mending kamu pikirin baik-baik dulu deh kata-kataku dan Nita. Kami itu sayang kamu Nis." Reka berdiri dari kursinya setelah berucap panjang lebar, mengajak Nita meninggalkan Nisa yang sedang tertegun dengan ucapan Reka. Reka sendiri merasa dongkol dengan sikap Nisa. Mengapa perempuan itu tak kunjung sadar juga, bahkan Bu Atnaya sampai turun tangan demi kebaikan Nisa dan Ardan.

Related chapters

  • Bismillahmu Bukan Untuk Aku   Apakah Itu Cinta?

    "Cinta itu bagaikan jamur ya tumbuh di tempat-tempat yang lembap." Ridha berucap agak nyaring dengan sengaja. Nisa sadar bahwa ucapan itu ditujukan untuk dirinya. Ia hanya bungkam sambil membereskan buku-buku yang berserakan di meja. Nisa hanya meyakini bahwa dirinya tak bersalah!"Dari mata turun ke dada, dari dada turun ke anu. Upsss." Ridha makin bersemangat dalam memancing amarah Nisa. Nisa tetap bungkam, selama namanya tidak disebut berarti perkataan Ridha tidak ditujukan untuknya. Nita yang memiliki kursi berdekatan dengan Nisa, hanya mampu memandang Nisa kasian. Ia tentu saja tak ingin melihat Nisa dipojokkan seperti itu, tapi masalahnya adalah Nisa memang salah. Saat akan keluar dari kantor gawai Nisa berdering dengan keras yang membuat seisi ruang terdiam, menunggu tindakan Nisa selanjutnya. Nisa menatap gawai yang tergeletak di atas meja. Nama Ardan tertera di layar gawai. Nisa tanpa sungkan menerima panggilan itu. "Assalamualaikum." Terdengar suara di seberang sana. "Waa

    Last Updated : 2022-11-01
  • Bismillahmu Bukan Untuk Aku   Obrolan di Siang Bolong

    Nisa menelan ludah saat menyadari bahwa di ruang guru hanya ada dirinya dan Bahrudin. Lelaki itu sedang sibuk di depan komputer, tepat di seberang tempat Nisa duduk namun agak jauh menyerong ke timur. Meski begitu, Nisa bisa melihat dengan jelas wajah lelaki itu, pun sebaliknya. Nisa sedang tak ingin mengobrol karena suasana hatinya sedang buruk gegara pertemuannya dengan Ardan tiga hari lalu. Semenjak hari itu, Nisa tak membalas pesan Ardan lagi. Dia merasa dongkol, ia sendiri tak paham apa penyebab kekesalan hatinya itu. "Ardan terlihat baik-baik saja meski tanpa kabar dariku," Nisa sibuk berbicara dengan dirinya sendiri. "Bu Nisa sudah nggak ada jadwal mengajar?" Suara berat itu terdengar agak datar namun berusaha menyisipkan nada ramah. "Oh masih Kang. Nanti jam terakhir." Nisa tergelagap, menjawab dengan cepat. Ia bersyukur Bahrudin berinisiatif memecahkan keheningan terlebih dahulu, sebelum pikiran Nisa melayang kemanapun ia suka. "Oh saya kira sudah nggak ada. Kalau memang

    Last Updated : 2022-11-10
  • Bismillahmu Bukan Untuk Aku   Cuci Mata

    Nisa menenteng tas belanjaan transparan yang berisi flatshoes dan beberapa hijab berwarna kalem. Santi berjalan mengiringi Nisa sambil melihat-lihat beberapa pakaian yang terjajar rapi. Santi berceloteh ria menyeritakan tempat kerja barunya, sedangkan Nisa terlihat tidak fokus karena sedang memainkan gawai. Berulang kali ia membuka aplikasi WhatsApp, memastikan tidak ada chat yang masuk dari Ardan. Nisa bertanya-tanya sedang apa Ardan saat ini, sehingga dia tidak berkirim pesan dengan Nisa. Semesta memang terlampau baik pada Nisa, baru saja ia mempertanyakan keberadaan Ardan, ternyata Ardan sedang berjalan dari arah yang berlawanan, agak jauh namun Nisa sangat hapal dengan perawakan Ardan. Nisa terlihat sumringah, lupa dengan keberadaan Santi. Nisa tak menyangka Ardan menyusulnya kemari. Nisa tak merasa heran jika Ardan tahu keberadaannya, sebab akses akun google Nisa juga bisa diakses oleh Ardan. Mungkin saja Ardan mengecek histori Google Maps Nisa sehingga dapat menemukan keberadaa

    Last Updated : 2022-11-12
  • Bismillahmu Bukan Untuk Aku   Keanehan Nisa

    Santi menyerahkan helm kepada Nisa. Mereka sama-sama saling diam. Santi sibuk dengan praduganya, sedangkan pikiran Nisa dipenuhi oleh Ardan dan istrinya. Sepertinya lebih baik memang Nisa tak usah berhubungan dengan Ardan lagi. Jangan sampai ia merusak pagar ayu yang sudah terjalin.Terlebih saat Nisa mengingat kembali wajah anak Ardan, ia jadi teringat dengan Devi dan anaknya, cerita rumah tangganya, serta kemalangan hidup yang harus mereka lalui karena peristiwa perselingkuhan. "Aku mau ngomong sama kamu Nis, mau mampir ke kedaiku dulu nggak?" Santi bertanya hati-hati. Nisa segera mengangguk setuju. Ia butuh teman bercerita saat ini. Santi pasti bisa mengerti kan bagaimana posisi Nisa saat ini? *Santi dan Nisa sama sekali tak bercakap-cakap saat berada di atas motor. Mereka masih saja terlipat oleh pikiran masing-masing. Ketika Santi memarkir motor di belakang kedai, Nisa segera masuk ke kedai untuk memesan beberapa makanan dan minuman, kemudian mencari tempat duduk yang berada d

    Last Updated : 2022-11-13
  • Bismillahmu Bukan Untuk Aku   Pengakuan Nisa

    Nisa mengelus tengkuknya yang tertutup jilbab. Santi berusaha mengalihkan pandangan. Santi hapal betul kebiasaan Nisa ketika sedang menyembunyikan suatu hal atau saat sedang berbohong: mengelus tengkuk. Nisa berdehem. "Aku hubungi Kang Bahru dulu ya. Biar segera jemput Hanum." Nisa menggigit bibir sekilas, kemudian segera mengalihkan topik pembicaraan. Dengan kaku, ia meraih gawai di dalam tas, kemudian pura-pura fokus mencari kontak Bahrudin. Nisa menelepon Bahrudin. Sudah tersambung namun tak kunjung diangkat. Nisa tak menyerah, ia mencoba menghubungi Bahru lagi sebanyak beberapa kali. Hingga pada upaya ke lima barulah Bahru mengangkat telepon."Assalamualaikum, Kang Bahru." Nisa membuka obrolan."Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh. Ada apa Ibu Nisa?" Suara Bahru terdengar menenangkan: berat dan santun. "Ini Kang Bahru, saya ketemu dengan Hanum." Nisa berucap perlahan, sangat kontras dengan nada suaranya saat berdebat dengan Santi barusan. "Oh ya! Di mana Bu?" Bahru terden

    Last Updated : 2022-11-16
  • Bismillahmu Bukan Untuk Aku   Ardan dan Reta

    "Sayang, tolong kamu tungguin Adam sebentar ya. Aku mau mandi." Reta menghampiri Ardan yang sedang asyik menonton televisi. Ardan mengangguk, berangsur menghampiri Reta kemudian mencium puncak kepalanya. "Adam sudah tidur?" Ardan bertanya. "Iya. Barusan saja tidur." Reta memeluk tubuh Ardan dengan manja. "Terima kasih ya, sayang. Kamu sudah jadi ibu dan istri yang baik banget." Ardan membalas pelukan Reta, sekali lagi mencium puncak kepalanya. Ardan selalu merasa nyaman ketika bersama Reta, tapi jauh di lubuk hatinya ia juga merindukan Nisa. Apa kabar perempuan itu? Sudah satu pekan semenjak pertemuan mereka di mall, Nisa sudah tak pernah menghubungi Ardan lagi. Bahkan pesan Ardan kepada Nisa tak ada yang terbalas, satupun. "Sudah ah aku mau mandi dulu." Reta berusaha membebaskan dirinya dari Ardan. Ardan masih mempertahankan senyumnya ketika menatap punggung Reta. Ia sendiri membalikkan badan menuju kamar Adam, putra mereka. *Ardan terlihat riang saat Reta sudah memasuki kamar

    Last Updated : 2022-11-19
  • Bismillahmu Bukan Untuk Aku   Tidak Bisa Ditoleransi!

    Ardan memasuki ruang rapat dengan penuh semangat. Ia bahkan sama sekali tak merasa lelah setelah meniti berpuluh-puluh tangga. Hampir semua tentor LBB Mentari selalu mengeluh jika harus bersua di lantai tiga, sebab mereka harus menaiki satu demi satu anak tangga dengan segala upaya. Tentu saja mereka sangat malas berkeringat. Ardan memilih tempat duduk tepat di seberang tempat duduk Nisa. Ardan bersyukur pola duduk di ruang rapat melingkar. Ardan menatap lurus Nisa. Ia menyeringai. Perempuan itu terlihat sangat manis. Bahkan bros pemberian Ardan melekat manis di sisi kanan hijabnya. "Nisa, saya tahu kamu masih menginginkan saya." Ardan berbisik di dalam hatinya, kalap, lupa dengan Reta dan Adam. Nisa tak menyadari perilaku Ardan yang terus mengamati tiap gerak-geriknya sebab ia terlalu sibuk berkirim pesan dengan Bahru. Awalnya ia bermaksud mengucap terima kasih namun ternyata ada beberapa hal lain yang harus mereka bahas. Saat sedang asyik membaca kalimat demi kalimat dari Bahru,

    Last Updated : 2022-11-21
  • Bismillahmu Bukan Untuk Aku   Perselingkuhan di Kantor

    Napas Ridha tertahan. Tangannya bergetar saat memegang gawai. Ia tak tahu apakah hasil jepretannya kali ini bagus atau justru buram parah? "Ardan bangsat!" Ridha mengumpat dalam hati. Ridha tak menyangka jika perilaku Ardan ternyata tak berubah. Ia berulah lagi. Kali ini dengan Faranisa? Perempuan sialan itu dengan menjijikkannya rela saja dicumbu oleh lelaki yang bukan miliknya. Ada puluhan juta lelaki di dunia ini, mengapa Faranisa harus merayu Ardan. Hati Ridha terasa perih. Ia teringat kepada wajah lelah Reta saat mengurus Adam. Ardan memang sepupu Ridha, namun kali ini ia tak akan menutupi kesalahan Ardan lagi. Ridha masih menyaksikan kemesraan Faranisa dan Ardan. Ia berpikir panjang, apa sebaiknya ia lapor kepada Atnaya? Tapi jika masalah ini diketahui oleh orang luar maka yang kena tegur keluarga besar adalah Ridha. Ardan merupakan anak emas di keluarga besarnya. Mereka tidak tahu saja kelakuan busuk Ardan selalu ditutupi oleh Reta. "Ya ampun Ardan. Reta kurang baik apa sih?

    Last Updated : 2022-11-22

Latest chapter

  • Bismillahmu Bukan Untuk Aku   Perselingkuhan di Kantor

    Napas Ridha tertahan. Tangannya bergetar saat memegang gawai. Ia tak tahu apakah hasil jepretannya kali ini bagus atau justru buram parah? "Ardan bangsat!" Ridha mengumpat dalam hati. Ridha tak menyangka jika perilaku Ardan ternyata tak berubah. Ia berulah lagi. Kali ini dengan Faranisa? Perempuan sialan itu dengan menjijikkannya rela saja dicumbu oleh lelaki yang bukan miliknya. Ada puluhan juta lelaki di dunia ini, mengapa Faranisa harus merayu Ardan. Hati Ridha terasa perih. Ia teringat kepada wajah lelah Reta saat mengurus Adam. Ardan memang sepupu Ridha, namun kali ini ia tak akan menutupi kesalahan Ardan lagi. Ridha masih menyaksikan kemesraan Faranisa dan Ardan. Ia berpikir panjang, apa sebaiknya ia lapor kepada Atnaya? Tapi jika masalah ini diketahui oleh orang luar maka yang kena tegur keluarga besar adalah Ridha. Ardan merupakan anak emas di keluarga besarnya. Mereka tidak tahu saja kelakuan busuk Ardan selalu ditutupi oleh Reta. "Ya ampun Ardan. Reta kurang baik apa sih?

  • Bismillahmu Bukan Untuk Aku   Tidak Bisa Ditoleransi!

    Ardan memasuki ruang rapat dengan penuh semangat. Ia bahkan sama sekali tak merasa lelah setelah meniti berpuluh-puluh tangga. Hampir semua tentor LBB Mentari selalu mengeluh jika harus bersua di lantai tiga, sebab mereka harus menaiki satu demi satu anak tangga dengan segala upaya. Tentu saja mereka sangat malas berkeringat. Ardan memilih tempat duduk tepat di seberang tempat duduk Nisa. Ardan bersyukur pola duduk di ruang rapat melingkar. Ardan menatap lurus Nisa. Ia menyeringai. Perempuan itu terlihat sangat manis. Bahkan bros pemberian Ardan melekat manis di sisi kanan hijabnya. "Nisa, saya tahu kamu masih menginginkan saya." Ardan berbisik di dalam hatinya, kalap, lupa dengan Reta dan Adam. Nisa tak menyadari perilaku Ardan yang terus mengamati tiap gerak-geriknya sebab ia terlalu sibuk berkirim pesan dengan Bahru. Awalnya ia bermaksud mengucap terima kasih namun ternyata ada beberapa hal lain yang harus mereka bahas. Saat sedang asyik membaca kalimat demi kalimat dari Bahru,

  • Bismillahmu Bukan Untuk Aku   Ardan dan Reta

    "Sayang, tolong kamu tungguin Adam sebentar ya. Aku mau mandi." Reta menghampiri Ardan yang sedang asyik menonton televisi. Ardan mengangguk, berangsur menghampiri Reta kemudian mencium puncak kepalanya. "Adam sudah tidur?" Ardan bertanya. "Iya. Barusan saja tidur." Reta memeluk tubuh Ardan dengan manja. "Terima kasih ya, sayang. Kamu sudah jadi ibu dan istri yang baik banget." Ardan membalas pelukan Reta, sekali lagi mencium puncak kepalanya. Ardan selalu merasa nyaman ketika bersama Reta, tapi jauh di lubuk hatinya ia juga merindukan Nisa. Apa kabar perempuan itu? Sudah satu pekan semenjak pertemuan mereka di mall, Nisa sudah tak pernah menghubungi Ardan lagi. Bahkan pesan Ardan kepada Nisa tak ada yang terbalas, satupun. "Sudah ah aku mau mandi dulu." Reta berusaha membebaskan dirinya dari Ardan. Ardan masih mempertahankan senyumnya ketika menatap punggung Reta. Ia sendiri membalikkan badan menuju kamar Adam, putra mereka. *Ardan terlihat riang saat Reta sudah memasuki kamar

  • Bismillahmu Bukan Untuk Aku   Pengakuan Nisa

    Nisa mengelus tengkuknya yang tertutup jilbab. Santi berusaha mengalihkan pandangan. Santi hapal betul kebiasaan Nisa ketika sedang menyembunyikan suatu hal atau saat sedang berbohong: mengelus tengkuk. Nisa berdehem. "Aku hubungi Kang Bahru dulu ya. Biar segera jemput Hanum." Nisa menggigit bibir sekilas, kemudian segera mengalihkan topik pembicaraan. Dengan kaku, ia meraih gawai di dalam tas, kemudian pura-pura fokus mencari kontak Bahrudin. Nisa menelepon Bahrudin. Sudah tersambung namun tak kunjung diangkat. Nisa tak menyerah, ia mencoba menghubungi Bahru lagi sebanyak beberapa kali. Hingga pada upaya ke lima barulah Bahru mengangkat telepon."Assalamualaikum, Kang Bahru." Nisa membuka obrolan."Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh. Ada apa Ibu Nisa?" Suara Bahru terdengar menenangkan: berat dan santun. "Ini Kang Bahru, saya ketemu dengan Hanum." Nisa berucap perlahan, sangat kontras dengan nada suaranya saat berdebat dengan Santi barusan. "Oh ya! Di mana Bu?" Bahru terden

  • Bismillahmu Bukan Untuk Aku   Keanehan Nisa

    Santi menyerahkan helm kepada Nisa. Mereka sama-sama saling diam. Santi sibuk dengan praduganya, sedangkan pikiran Nisa dipenuhi oleh Ardan dan istrinya. Sepertinya lebih baik memang Nisa tak usah berhubungan dengan Ardan lagi. Jangan sampai ia merusak pagar ayu yang sudah terjalin.Terlebih saat Nisa mengingat kembali wajah anak Ardan, ia jadi teringat dengan Devi dan anaknya, cerita rumah tangganya, serta kemalangan hidup yang harus mereka lalui karena peristiwa perselingkuhan. "Aku mau ngomong sama kamu Nis, mau mampir ke kedaiku dulu nggak?" Santi bertanya hati-hati. Nisa segera mengangguk setuju. Ia butuh teman bercerita saat ini. Santi pasti bisa mengerti kan bagaimana posisi Nisa saat ini? *Santi dan Nisa sama sekali tak bercakap-cakap saat berada di atas motor. Mereka masih saja terlipat oleh pikiran masing-masing. Ketika Santi memarkir motor di belakang kedai, Nisa segera masuk ke kedai untuk memesan beberapa makanan dan minuman, kemudian mencari tempat duduk yang berada d

  • Bismillahmu Bukan Untuk Aku   Cuci Mata

    Nisa menenteng tas belanjaan transparan yang berisi flatshoes dan beberapa hijab berwarna kalem. Santi berjalan mengiringi Nisa sambil melihat-lihat beberapa pakaian yang terjajar rapi. Santi berceloteh ria menyeritakan tempat kerja barunya, sedangkan Nisa terlihat tidak fokus karena sedang memainkan gawai. Berulang kali ia membuka aplikasi WhatsApp, memastikan tidak ada chat yang masuk dari Ardan. Nisa bertanya-tanya sedang apa Ardan saat ini, sehingga dia tidak berkirim pesan dengan Nisa. Semesta memang terlampau baik pada Nisa, baru saja ia mempertanyakan keberadaan Ardan, ternyata Ardan sedang berjalan dari arah yang berlawanan, agak jauh namun Nisa sangat hapal dengan perawakan Ardan. Nisa terlihat sumringah, lupa dengan keberadaan Santi. Nisa tak menyangka Ardan menyusulnya kemari. Nisa tak merasa heran jika Ardan tahu keberadaannya, sebab akses akun google Nisa juga bisa diakses oleh Ardan. Mungkin saja Ardan mengecek histori Google Maps Nisa sehingga dapat menemukan keberadaa

  • Bismillahmu Bukan Untuk Aku   Obrolan di Siang Bolong

    Nisa menelan ludah saat menyadari bahwa di ruang guru hanya ada dirinya dan Bahrudin. Lelaki itu sedang sibuk di depan komputer, tepat di seberang tempat Nisa duduk namun agak jauh menyerong ke timur. Meski begitu, Nisa bisa melihat dengan jelas wajah lelaki itu, pun sebaliknya. Nisa sedang tak ingin mengobrol karena suasana hatinya sedang buruk gegara pertemuannya dengan Ardan tiga hari lalu. Semenjak hari itu, Nisa tak membalas pesan Ardan lagi. Dia merasa dongkol, ia sendiri tak paham apa penyebab kekesalan hatinya itu. "Ardan terlihat baik-baik saja meski tanpa kabar dariku," Nisa sibuk berbicara dengan dirinya sendiri. "Bu Nisa sudah nggak ada jadwal mengajar?" Suara berat itu terdengar agak datar namun berusaha menyisipkan nada ramah. "Oh masih Kang. Nanti jam terakhir." Nisa tergelagap, menjawab dengan cepat. Ia bersyukur Bahrudin berinisiatif memecahkan keheningan terlebih dahulu, sebelum pikiran Nisa melayang kemanapun ia suka. "Oh saya kira sudah nggak ada. Kalau memang

  • Bismillahmu Bukan Untuk Aku   Apakah Itu Cinta?

    "Cinta itu bagaikan jamur ya tumbuh di tempat-tempat yang lembap." Ridha berucap agak nyaring dengan sengaja. Nisa sadar bahwa ucapan itu ditujukan untuk dirinya. Ia hanya bungkam sambil membereskan buku-buku yang berserakan di meja. Nisa hanya meyakini bahwa dirinya tak bersalah!"Dari mata turun ke dada, dari dada turun ke anu. Upsss." Ridha makin bersemangat dalam memancing amarah Nisa. Nisa tetap bungkam, selama namanya tidak disebut berarti perkataan Ridha tidak ditujukan untuknya. Nita yang memiliki kursi berdekatan dengan Nisa, hanya mampu memandang Nisa kasian. Ia tentu saja tak ingin melihat Nisa dipojokkan seperti itu, tapi masalahnya adalah Nisa memang salah. Saat akan keluar dari kantor gawai Nisa berdering dengan keras yang membuat seisi ruang terdiam, menunggu tindakan Nisa selanjutnya. Nisa menatap gawai yang tergeletak di atas meja. Nama Ardan tertera di layar gawai. Nisa tanpa sungkan menerima panggilan itu. "Assalamualaikum." Terdengar suara di seberang sana. "Waa

  • Bismillahmu Bukan Untuk Aku   Mengenalmu

    Nisa berjalan pelan memasuki ruang guru. Jumat lalu ia telah berkunjung ke situ, namun tetap saja nuansanya agak berbeda sekarang. Ketika ia memasuki gerbang, sambutan yang didapat adalah tatapan bertanya siswa-siswi. Tubuh mereka terbalut baju muslim dengan bawahan sarung, mereka tak memakai sepatu dan kaus kaki melainkan sandal biasa. Beberapa siswi memberanikan diri menyapa Nisa dengan senyum dan kebanyakan malu-malu hanya berbisik sambil melihat Nisa. Nisa duduk di salah satu bangku guru yang kosong, lengang tanpa ada satupun tumpukan buku. Ia menarik napas panjang kemudian mengembuskan perlahan. Ah! Hari pertama bekerja benar-benar mendebarkan. Apa yang harus ia katakan kepada rekan kerja barunya? Apa ia bisa cepat akrab dengan rekan kerjanya? ***Semua kalimat yang telah Nisa rancang lenyap seketika saat berhadapan dengan rekan-rekan kerjanya secara langsung. Mereka justru yang aktif bertanya kepada Nisa. Saran Ardan kemarin sore tak ada yang Nisa terapkan. "Bu Nisa sudah ada

DMCA.com Protection Status