Share

Apakah Itu Cinta?

Penulis: Yuniar Putri
last update Terakhir Diperbarui: 2022-11-01 18:01:24

"Cinta itu bagaikan jamur ya tumbuh di tempat-tempat yang lembap." Ridha berucap agak nyaring dengan sengaja. Nisa sadar bahwa ucapan itu ditujukan untuk dirinya. Ia hanya bungkam sambil membereskan buku-buku yang berserakan di meja. Nisa hanya meyakini bahwa dirinya tak bersalah!

"Dari mata turun ke dada, dari dada turun ke anu. Upsss." Ridha makin bersemangat dalam memancing amarah Nisa. Nisa tetap bungkam, selama namanya tidak disebut berarti perkataan Ridha tidak ditujukan untuknya. Nita yang memiliki kursi berdekatan dengan Nisa, hanya mampu memandang Nisa kasian. Ia tentu saja tak ingin melihat Nisa dipojokkan seperti itu, tapi masalahnya adalah Nisa memang salah. Saat akan keluar dari kantor gawai Nisa berdering dengan keras yang membuat seisi ruang terdiam, menunggu tindakan Nisa selanjutnya.

Nisa menatap gawai yang tergeletak di atas meja. Nama Ardan tertera di layar gawai. Nisa tanpa sungkan menerima panggilan itu.

"Assalamualaikum." Terdengar suara di seberang sana.

"Waalaikumsalam." Nisa menjawab dengan tenang.

"Aku ingin ketemu kamu, Dik." Kata Ardan dengan suara serak. Nisa mengangguk, ia tak akan sembunyi-sembunyi lagi mulai sekarang.

"Iya mas. Mau ketemu di mana? Ini jadwal Nisa sudah selesai." Nisa menjawab dengan santai. Seisi ruang membisu, mereka sedang menduga-duga apakah orang di seberang sana adalah Ardan?

"Di kafe yang waktu itu saja. Ini aku juga sudah mau jalan dari LBB." Terdengar suara Ardan yang begitu berat. Nisa suka suara itu dan mungkin akan selalu merindukannya kelak.

"Iya mas. Mas hati-hati ya." Nisa berucap lembut.

"Iya Dek. Mas tutup dulu ya. Wassalamualaikum." Terlihat sekali dari nada bicaranya, Ardan sedang tersenyum.

"Waalaikumsalam." Nisa menjawab pelan kemudian menutup sambungan telepon. Semua orang di dalam ruangan itu menatapnya dengan skeptis. Bahkan Ridha sampai tak bisa berkata apapun. Dia hanya diam sembari menatap Nisa. Kali ini bukan dengan tatapan kesal, marah, iri atau semacamnya namun tatapan kasihan. Nisa tak peduli lagi dengan apa yang dipikirkan dan dirasakan orang-orang itu. Ia memilih melenggang pergi, meninggalkan ruangan yang masih bisu tanpa sepatah katapun.

***

"Ini buat kamu." Ardan mengeluarkan sebuah kotak kecil berwarna merah muda dari dalam tasnya. Nisa terkejut. Ia penasaran dengan isi kotak itu, tapi tangannya ragu untuk menerima.

"Ini nggak apa-apa buat saya mas?" Nisa bertanya ragu. Ardan mengangguk sambil tersenyum riang. Nisa meraih kotak itu dari tangan Ardan, jemari mereka sedikit bersentuhan. Ada desiran yang tak lagi ringan di hati keduanya. Nisa tersenyum malu, mata Ardan terlihat berbinar.

"Aku buka, ya." Nisa menatap Ardan dengan senyum merekah. Ardan mengangguk senang. Hatinya berdebar-debar, menduga apakah Nisa akan suka hadiah yang ia berikan atau justru sebaliknya. Nisa membuka kotak itu dengan perlahan dan tatapannya langsung tertuju pada sebuah bros yang terlihat berkilau. Nisa mengambil bros itu, mengamatinya dengan seksama. Ia tersenyum manis. Ardan menikmati pemandangan indah itu: perempuan cantik yang dipadukan dengan bros manis, perpaduan yang sungguh tak akan ia hapus dari memori ingatannya. Andai saja Nisa sudah ada dalam hidupnya sejak tiga atau empat tahun lalu.

"Ini mahal ya mas?" Nisa bertanya, ia merasa tak enak hati. Ardan menggeleng, senyum masih melekat kuat pada bibirnya.

"Enggak kok. Itu hadiah atas pekerjaan barumu. Selamat yaaa!" Ardan bergumam dengan riang. Nisa tertawa. Ia tak menyangka bisa melihat sisi hangat Ardan. Di kesehariannya Ardan dikenal sebagai lelaki yang tak banyak bicara, tersenyum pun jarang, bahkan Ardan dikenal sebagai salah satu tentor yang garang di LBB Mentari.

"Terima kasih." Senyum masih tak lepas dari bibir Nisa. Ia meletakkan kembali bros ke dalam kotak. Ardan menyentuh tangan Nisa, menggenggamnya dengan erat. Sekilas melihat, orang pasti menilai jika mereka adalah pasangan yang sangat serasi. Siapa yang menyangka jika sebenarnya Nisa sedang bersama seseorang yang sudah distempel secara resmi oleh norma hukum dan agama milik orang lain. Ardan yang sedang terbuai asmara seolah lupa bahwa ia punya kewajiban untuk menjaga hati manusia lain.

"Bagaimana di tempat kerja baru?" Ardan memulai obrolan lagi ketika menu yang mereka pesan telah tiba.

"Loh sudah dipesankan?" Nisa terkaget-kaget. Di hadapannya telah tersaji soto Lamongan, beberapa camilan pedas, dan segelas lemon tea. Ketiganya adalah beberapa hal yang menjadi favorit Nisa di dunia ini.

"Kok kamu tahu semua makanan favoritku?" Nisa mengerutkan dahi sembari menatap Ardan penasaran. Lagi-lagi Ardan tersenyum, dua lesung pipi yang terbit akibat tarikan bibir lelaki itu melelehkan hati Nisa.

"Selama ini aku mengamati kamu, saat masih sama-sama di LBB pusat." Ardan menjawab malu-malu. Nisa tertawa lepas. Ia tak menyangka ketertarikannya terhadap Ardan bersambut. Hatinya meriah, pipinya juga memerah. Nisa berusaha bersikap biasa, menyicipi kuah soto di hadapannya. Mata Nisa berbinar, "Wah! Ini enak banget."

"Iya dong! Aku tuh sudah survei tau nggak sebelum ngajak kamu ke sini." Mata Ardan tak lepas dari raut muka Nisa yang berseri-seri.

"Oh ya jadi bagaimana tempat kerja baru kamu?" Ardan mengulang pertanyaan lagi. Nisa menarik napas panjang, bersiap untuk mencurahkan segala pengalamannya beberapa hari ini.

"Asik sih di sana, tapi ya anak-anaknya istimewa gitu deh. Terus ya teman-teman kerjaku juga baik-baik." Bagi Ardan mata Nisa selalu penuh gemintang ketika bercerita. Ardan mendengarkan dengan senang hati.

"Ada loh teman kerjaku yang lucu banget, namanya Kang Bahru. Sumpah deh dia tuh selalu punya lelucon bapak-bapak yang crunch tapi lucu gitu." Nisa melanjutkan ceritanya dengan antusias. Ardan awalnya menanggapi dengan santai seluruh cerita Nisa, namun entah mengapa ia merasa Aneh. Dalam cerita panjangnya, Nisa menyebut nama Bahru sebanyak hampir 10 kali. Seolah rekan kerja Nisa yang ada hanyalah Bahru.

"Memang nggak ada teman yang lain selain Kang Bahru ya?" Ardan berusaha mengalihkan topik pembicaraan.

"Ya ada sih cuma Kang Bahru ini unik. Tahu nggak sih? Dia itu nggak pernah ganti baju deh kayaknya terus rambutnya itu astaga ingin rasanya aku rapikan gitu. Padahal rambutnya bagus, hitam legam gitu, lurus tapi sayangnya nggak rapi." Nisa menjawab cepat, lagi-lagi bercerita tentang Bahru. Entah mengapa Ardan mulai tak nyaman. Mengapa muncul nama lelaki lain dalam pertemuan mereka?

"Kamu suka ya sama Bahru?" Ardan memaksakan diri untuk tersenyum, sehingga mukanya jadi menampakkan ekspresi canggung. Nisa agak tersinggung, mengapa Ardan bertanya seperti itu? Apa dia bosan mendengar cerita Nisa? Lantas mengapa ia bertanya tadi?

"Enggak. Mengapa memangnya?" Nisa menjawab dengan tegas, agak cemberut kemudian melempar pertanyaan kembali.

"Nggak apa-apa sih. Soalnya kamu selalu menyebut dia." Sanggah Ardan, ia masih merasa tak enak hati, kesal bercampur geregetan. Nisa terdiam sejenak, mengapa Ardan masih bertanya seperti itu kepada dirinya? Selama ini Nisa selalu menuruti permintaan Ardan untuk bertemu dan rajin membalas pesannya. Apa itu belum cukup untuk menunjukkan perasaan Nisa. Gawai Ardan berdering sekali, sebuah pesan masuk. Perhatian Nisa teralihkan. Gawai Ardan menyala, memperlihatkan layar kunci yang dipilih empunya. Di sana jelas terlihat potret perempuan cantik dengan fitur wajah nyaris sempurna: mata teduh, alis yang tertata rapi, rambut lurus dan panjang, kulit putih, hidung runcing, dan bibir tipis kemerahan. Perempuan itu menggendong bayi mungil yang terlihat lucu. Ardan yang menyadari arah tatapan Nisa, langsung menekan tombol power sehingga layar gawainya berubah menjadi hitam.

Dada Nisa bergemuruh, terasa panas dan berat. Ia jadi tak berselera makan.

"Kalau kamu? Apa kamu selalu cerita soal istrimu ke orang-orang?" Cibir Nisa.

"Nis..." Muka Ardan terlihat kaku.

"Kan katamu sering bercerita tanda suka. Bukannya orang hanya menikahi orang yang dia suka ya?" Telak! Nisa berujar dengan tajam. Ardan menahan kesal. Mengapa tiba-tiba Nisa membawa Margaretha, istrinya dalam obrolan mereka.

"Nis, kamu tahu kan perasaanku ke kamu itu...." Penjelasan Ardan terpotong oleh ucapan Nisa, "Kita kan bukan apa-apa Mas. Sejenak aku hampir lupa." Suara Nisa bergetar, menahan tangis. Ardan terdiam, merasa bersalah.

"Kamu mau aku bagaimana Nis?" Ardan bertanya putus asa sembari menggenggam jemari Nisa. Nisa membisu, ia sendiri tak tahu menginginkan apa dan harus bagaimana. Ia tak tahu hubungannya dengan Ardan ini bernama apa? Dan apakah hubungan semacam itu pantas mendapat nama?

Bab terkait

  • Bismillahmu Bukan Untuk Aku   Obrolan di Siang Bolong

    Nisa menelan ludah saat menyadari bahwa di ruang guru hanya ada dirinya dan Bahrudin. Lelaki itu sedang sibuk di depan komputer, tepat di seberang tempat Nisa duduk namun agak jauh menyerong ke timur. Meski begitu, Nisa bisa melihat dengan jelas wajah lelaki itu, pun sebaliknya. Nisa sedang tak ingin mengobrol karena suasana hatinya sedang buruk gegara pertemuannya dengan Ardan tiga hari lalu. Semenjak hari itu, Nisa tak membalas pesan Ardan lagi. Dia merasa dongkol, ia sendiri tak paham apa penyebab kekesalan hatinya itu. "Ardan terlihat baik-baik saja meski tanpa kabar dariku," Nisa sibuk berbicara dengan dirinya sendiri. "Bu Nisa sudah nggak ada jadwal mengajar?" Suara berat itu terdengar agak datar namun berusaha menyisipkan nada ramah. "Oh masih Kang. Nanti jam terakhir." Nisa tergelagap, menjawab dengan cepat. Ia bersyukur Bahrudin berinisiatif memecahkan keheningan terlebih dahulu, sebelum pikiran Nisa melayang kemanapun ia suka. "Oh saya kira sudah nggak ada. Kalau memang

    Terakhir Diperbarui : 2022-11-10
  • Bismillahmu Bukan Untuk Aku   Cuci Mata

    Nisa menenteng tas belanjaan transparan yang berisi flatshoes dan beberapa hijab berwarna kalem. Santi berjalan mengiringi Nisa sambil melihat-lihat beberapa pakaian yang terjajar rapi. Santi berceloteh ria menyeritakan tempat kerja barunya, sedangkan Nisa terlihat tidak fokus karena sedang memainkan gawai. Berulang kali ia membuka aplikasi WhatsApp, memastikan tidak ada chat yang masuk dari Ardan. Nisa bertanya-tanya sedang apa Ardan saat ini, sehingga dia tidak berkirim pesan dengan Nisa. Semesta memang terlampau baik pada Nisa, baru saja ia mempertanyakan keberadaan Ardan, ternyata Ardan sedang berjalan dari arah yang berlawanan, agak jauh namun Nisa sangat hapal dengan perawakan Ardan. Nisa terlihat sumringah, lupa dengan keberadaan Santi. Nisa tak menyangka Ardan menyusulnya kemari. Nisa tak merasa heran jika Ardan tahu keberadaannya, sebab akses akun google Nisa juga bisa diakses oleh Ardan. Mungkin saja Ardan mengecek histori Google Maps Nisa sehingga dapat menemukan keberadaa

    Terakhir Diperbarui : 2022-11-12
  • Bismillahmu Bukan Untuk Aku   Keanehan Nisa

    Santi menyerahkan helm kepada Nisa. Mereka sama-sama saling diam. Santi sibuk dengan praduganya, sedangkan pikiran Nisa dipenuhi oleh Ardan dan istrinya. Sepertinya lebih baik memang Nisa tak usah berhubungan dengan Ardan lagi. Jangan sampai ia merusak pagar ayu yang sudah terjalin.Terlebih saat Nisa mengingat kembali wajah anak Ardan, ia jadi teringat dengan Devi dan anaknya, cerita rumah tangganya, serta kemalangan hidup yang harus mereka lalui karena peristiwa perselingkuhan. "Aku mau ngomong sama kamu Nis, mau mampir ke kedaiku dulu nggak?" Santi bertanya hati-hati. Nisa segera mengangguk setuju. Ia butuh teman bercerita saat ini. Santi pasti bisa mengerti kan bagaimana posisi Nisa saat ini? *Santi dan Nisa sama sekali tak bercakap-cakap saat berada di atas motor. Mereka masih saja terlipat oleh pikiran masing-masing. Ketika Santi memarkir motor di belakang kedai, Nisa segera masuk ke kedai untuk memesan beberapa makanan dan minuman, kemudian mencari tempat duduk yang berada d

    Terakhir Diperbarui : 2022-11-13
  • Bismillahmu Bukan Untuk Aku   Pengakuan Nisa

    Nisa mengelus tengkuknya yang tertutup jilbab. Santi berusaha mengalihkan pandangan. Santi hapal betul kebiasaan Nisa ketika sedang menyembunyikan suatu hal atau saat sedang berbohong: mengelus tengkuk. Nisa berdehem. "Aku hubungi Kang Bahru dulu ya. Biar segera jemput Hanum." Nisa menggigit bibir sekilas, kemudian segera mengalihkan topik pembicaraan. Dengan kaku, ia meraih gawai di dalam tas, kemudian pura-pura fokus mencari kontak Bahrudin. Nisa menelepon Bahrudin. Sudah tersambung namun tak kunjung diangkat. Nisa tak menyerah, ia mencoba menghubungi Bahru lagi sebanyak beberapa kali. Hingga pada upaya ke lima barulah Bahru mengangkat telepon."Assalamualaikum, Kang Bahru." Nisa membuka obrolan."Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh. Ada apa Ibu Nisa?" Suara Bahru terdengar menenangkan: berat dan santun. "Ini Kang Bahru, saya ketemu dengan Hanum." Nisa berucap perlahan, sangat kontras dengan nada suaranya saat berdebat dengan Santi barusan. "Oh ya! Di mana Bu?" Bahru terden

    Terakhir Diperbarui : 2022-11-16
  • Bismillahmu Bukan Untuk Aku   Ardan dan Reta

    "Sayang, tolong kamu tungguin Adam sebentar ya. Aku mau mandi." Reta menghampiri Ardan yang sedang asyik menonton televisi. Ardan mengangguk, berangsur menghampiri Reta kemudian mencium puncak kepalanya. "Adam sudah tidur?" Ardan bertanya. "Iya. Barusan saja tidur." Reta memeluk tubuh Ardan dengan manja. "Terima kasih ya, sayang. Kamu sudah jadi ibu dan istri yang baik banget." Ardan membalas pelukan Reta, sekali lagi mencium puncak kepalanya. Ardan selalu merasa nyaman ketika bersama Reta, tapi jauh di lubuk hatinya ia juga merindukan Nisa. Apa kabar perempuan itu? Sudah satu pekan semenjak pertemuan mereka di mall, Nisa sudah tak pernah menghubungi Ardan lagi. Bahkan pesan Ardan kepada Nisa tak ada yang terbalas, satupun. "Sudah ah aku mau mandi dulu." Reta berusaha membebaskan dirinya dari Ardan. Ardan masih mempertahankan senyumnya ketika menatap punggung Reta. Ia sendiri membalikkan badan menuju kamar Adam, putra mereka. *Ardan terlihat riang saat Reta sudah memasuki kamar

    Terakhir Diperbarui : 2022-11-19
  • Bismillahmu Bukan Untuk Aku   Tidak Bisa Ditoleransi!

    Ardan memasuki ruang rapat dengan penuh semangat. Ia bahkan sama sekali tak merasa lelah setelah meniti berpuluh-puluh tangga. Hampir semua tentor LBB Mentari selalu mengeluh jika harus bersua di lantai tiga, sebab mereka harus menaiki satu demi satu anak tangga dengan segala upaya. Tentu saja mereka sangat malas berkeringat. Ardan memilih tempat duduk tepat di seberang tempat duduk Nisa. Ardan bersyukur pola duduk di ruang rapat melingkar. Ardan menatap lurus Nisa. Ia menyeringai. Perempuan itu terlihat sangat manis. Bahkan bros pemberian Ardan melekat manis di sisi kanan hijabnya. "Nisa, saya tahu kamu masih menginginkan saya." Ardan berbisik di dalam hatinya, kalap, lupa dengan Reta dan Adam. Nisa tak menyadari perilaku Ardan yang terus mengamati tiap gerak-geriknya sebab ia terlalu sibuk berkirim pesan dengan Bahru. Awalnya ia bermaksud mengucap terima kasih namun ternyata ada beberapa hal lain yang harus mereka bahas. Saat sedang asyik membaca kalimat demi kalimat dari Bahru,

    Terakhir Diperbarui : 2022-11-21
  • Bismillahmu Bukan Untuk Aku   Perselingkuhan di Kantor

    Napas Ridha tertahan. Tangannya bergetar saat memegang gawai. Ia tak tahu apakah hasil jepretannya kali ini bagus atau justru buram parah? "Ardan bangsat!" Ridha mengumpat dalam hati. Ridha tak menyangka jika perilaku Ardan ternyata tak berubah. Ia berulah lagi. Kali ini dengan Faranisa? Perempuan sialan itu dengan menjijikkannya rela saja dicumbu oleh lelaki yang bukan miliknya. Ada puluhan juta lelaki di dunia ini, mengapa Faranisa harus merayu Ardan. Hati Ridha terasa perih. Ia teringat kepada wajah lelah Reta saat mengurus Adam. Ardan memang sepupu Ridha, namun kali ini ia tak akan menutupi kesalahan Ardan lagi. Ridha masih menyaksikan kemesraan Faranisa dan Ardan. Ia berpikir panjang, apa sebaiknya ia lapor kepada Atnaya? Tapi jika masalah ini diketahui oleh orang luar maka yang kena tegur keluarga besar adalah Ridha. Ardan merupakan anak emas di keluarga besarnya. Mereka tidak tahu saja kelakuan busuk Ardan selalu ditutupi oleh Reta. "Ya ampun Ardan. Reta kurang baik apa sih?

    Terakhir Diperbarui : 2022-11-22
  • Bismillahmu Bukan Untuk Aku   Desas-Desus

    "Pelakor!" Air bening meluncur lancar dari mulut botol, mendarat tepat di atas kepala Nisa. Sementara perempuan itu hanya mampu memejamkan mata erat-erat, menahan air agar tak masuk matanya sekaligus rasa malu. Semua manusia yang ada di ruang itu tampak membisu, mereka adalah penonton setia drama yang sudah berlangsung selama 30 menit itu. Tak ada yang membela Nisa termasuk Ardan, lelaki yang membuatnya dibenci banyak orang di kantor. Nisa merutuk dalam hati, ia menyesal menceritakan kekagumannya terhadap Ardan kepada Naysila. "Saya nggak pernah merebut apapun dari siapapun!" Nisa membuka matanya lebar-lebar. Ia merasa penindasan ini harus dilawan. Ia harus bertahan di tempat itu jika ingin membantu orangtuanya menyelesaikan hutang piutang. Ridha berkacak pinggang. Ia adalah penyiram air mineral di atas kepala Nisa. Nisa tahu sejak awal Ridha kurang menyukainya, sebab Nisa mendapat murid les lebih banyak sedari pertama masuk kerja di Lembaga Bimbingan Belajar itu. Ridha dengan gala

    Terakhir Diperbarui : 2022-10-16

Bab terbaru

  • Bismillahmu Bukan Untuk Aku   Perselingkuhan di Kantor

    Napas Ridha tertahan. Tangannya bergetar saat memegang gawai. Ia tak tahu apakah hasil jepretannya kali ini bagus atau justru buram parah? "Ardan bangsat!" Ridha mengumpat dalam hati. Ridha tak menyangka jika perilaku Ardan ternyata tak berubah. Ia berulah lagi. Kali ini dengan Faranisa? Perempuan sialan itu dengan menjijikkannya rela saja dicumbu oleh lelaki yang bukan miliknya. Ada puluhan juta lelaki di dunia ini, mengapa Faranisa harus merayu Ardan. Hati Ridha terasa perih. Ia teringat kepada wajah lelah Reta saat mengurus Adam. Ardan memang sepupu Ridha, namun kali ini ia tak akan menutupi kesalahan Ardan lagi. Ridha masih menyaksikan kemesraan Faranisa dan Ardan. Ia berpikir panjang, apa sebaiknya ia lapor kepada Atnaya? Tapi jika masalah ini diketahui oleh orang luar maka yang kena tegur keluarga besar adalah Ridha. Ardan merupakan anak emas di keluarga besarnya. Mereka tidak tahu saja kelakuan busuk Ardan selalu ditutupi oleh Reta. "Ya ampun Ardan. Reta kurang baik apa sih?

  • Bismillahmu Bukan Untuk Aku   Tidak Bisa Ditoleransi!

    Ardan memasuki ruang rapat dengan penuh semangat. Ia bahkan sama sekali tak merasa lelah setelah meniti berpuluh-puluh tangga. Hampir semua tentor LBB Mentari selalu mengeluh jika harus bersua di lantai tiga, sebab mereka harus menaiki satu demi satu anak tangga dengan segala upaya. Tentu saja mereka sangat malas berkeringat. Ardan memilih tempat duduk tepat di seberang tempat duduk Nisa. Ardan bersyukur pola duduk di ruang rapat melingkar. Ardan menatap lurus Nisa. Ia menyeringai. Perempuan itu terlihat sangat manis. Bahkan bros pemberian Ardan melekat manis di sisi kanan hijabnya. "Nisa, saya tahu kamu masih menginginkan saya." Ardan berbisik di dalam hatinya, kalap, lupa dengan Reta dan Adam. Nisa tak menyadari perilaku Ardan yang terus mengamati tiap gerak-geriknya sebab ia terlalu sibuk berkirim pesan dengan Bahru. Awalnya ia bermaksud mengucap terima kasih namun ternyata ada beberapa hal lain yang harus mereka bahas. Saat sedang asyik membaca kalimat demi kalimat dari Bahru,

  • Bismillahmu Bukan Untuk Aku   Ardan dan Reta

    "Sayang, tolong kamu tungguin Adam sebentar ya. Aku mau mandi." Reta menghampiri Ardan yang sedang asyik menonton televisi. Ardan mengangguk, berangsur menghampiri Reta kemudian mencium puncak kepalanya. "Adam sudah tidur?" Ardan bertanya. "Iya. Barusan saja tidur." Reta memeluk tubuh Ardan dengan manja. "Terima kasih ya, sayang. Kamu sudah jadi ibu dan istri yang baik banget." Ardan membalas pelukan Reta, sekali lagi mencium puncak kepalanya. Ardan selalu merasa nyaman ketika bersama Reta, tapi jauh di lubuk hatinya ia juga merindukan Nisa. Apa kabar perempuan itu? Sudah satu pekan semenjak pertemuan mereka di mall, Nisa sudah tak pernah menghubungi Ardan lagi. Bahkan pesan Ardan kepada Nisa tak ada yang terbalas, satupun. "Sudah ah aku mau mandi dulu." Reta berusaha membebaskan dirinya dari Ardan. Ardan masih mempertahankan senyumnya ketika menatap punggung Reta. Ia sendiri membalikkan badan menuju kamar Adam, putra mereka. *Ardan terlihat riang saat Reta sudah memasuki kamar

  • Bismillahmu Bukan Untuk Aku   Pengakuan Nisa

    Nisa mengelus tengkuknya yang tertutup jilbab. Santi berusaha mengalihkan pandangan. Santi hapal betul kebiasaan Nisa ketika sedang menyembunyikan suatu hal atau saat sedang berbohong: mengelus tengkuk. Nisa berdehem. "Aku hubungi Kang Bahru dulu ya. Biar segera jemput Hanum." Nisa menggigit bibir sekilas, kemudian segera mengalihkan topik pembicaraan. Dengan kaku, ia meraih gawai di dalam tas, kemudian pura-pura fokus mencari kontak Bahrudin. Nisa menelepon Bahrudin. Sudah tersambung namun tak kunjung diangkat. Nisa tak menyerah, ia mencoba menghubungi Bahru lagi sebanyak beberapa kali. Hingga pada upaya ke lima barulah Bahru mengangkat telepon."Assalamualaikum, Kang Bahru." Nisa membuka obrolan."Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh. Ada apa Ibu Nisa?" Suara Bahru terdengar menenangkan: berat dan santun. "Ini Kang Bahru, saya ketemu dengan Hanum." Nisa berucap perlahan, sangat kontras dengan nada suaranya saat berdebat dengan Santi barusan. "Oh ya! Di mana Bu?" Bahru terden

  • Bismillahmu Bukan Untuk Aku   Keanehan Nisa

    Santi menyerahkan helm kepada Nisa. Mereka sama-sama saling diam. Santi sibuk dengan praduganya, sedangkan pikiran Nisa dipenuhi oleh Ardan dan istrinya. Sepertinya lebih baik memang Nisa tak usah berhubungan dengan Ardan lagi. Jangan sampai ia merusak pagar ayu yang sudah terjalin.Terlebih saat Nisa mengingat kembali wajah anak Ardan, ia jadi teringat dengan Devi dan anaknya, cerita rumah tangganya, serta kemalangan hidup yang harus mereka lalui karena peristiwa perselingkuhan. "Aku mau ngomong sama kamu Nis, mau mampir ke kedaiku dulu nggak?" Santi bertanya hati-hati. Nisa segera mengangguk setuju. Ia butuh teman bercerita saat ini. Santi pasti bisa mengerti kan bagaimana posisi Nisa saat ini? *Santi dan Nisa sama sekali tak bercakap-cakap saat berada di atas motor. Mereka masih saja terlipat oleh pikiran masing-masing. Ketika Santi memarkir motor di belakang kedai, Nisa segera masuk ke kedai untuk memesan beberapa makanan dan minuman, kemudian mencari tempat duduk yang berada d

  • Bismillahmu Bukan Untuk Aku   Cuci Mata

    Nisa menenteng tas belanjaan transparan yang berisi flatshoes dan beberapa hijab berwarna kalem. Santi berjalan mengiringi Nisa sambil melihat-lihat beberapa pakaian yang terjajar rapi. Santi berceloteh ria menyeritakan tempat kerja barunya, sedangkan Nisa terlihat tidak fokus karena sedang memainkan gawai. Berulang kali ia membuka aplikasi WhatsApp, memastikan tidak ada chat yang masuk dari Ardan. Nisa bertanya-tanya sedang apa Ardan saat ini, sehingga dia tidak berkirim pesan dengan Nisa. Semesta memang terlampau baik pada Nisa, baru saja ia mempertanyakan keberadaan Ardan, ternyata Ardan sedang berjalan dari arah yang berlawanan, agak jauh namun Nisa sangat hapal dengan perawakan Ardan. Nisa terlihat sumringah, lupa dengan keberadaan Santi. Nisa tak menyangka Ardan menyusulnya kemari. Nisa tak merasa heran jika Ardan tahu keberadaannya, sebab akses akun google Nisa juga bisa diakses oleh Ardan. Mungkin saja Ardan mengecek histori Google Maps Nisa sehingga dapat menemukan keberadaa

  • Bismillahmu Bukan Untuk Aku   Obrolan di Siang Bolong

    Nisa menelan ludah saat menyadari bahwa di ruang guru hanya ada dirinya dan Bahrudin. Lelaki itu sedang sibuk di depan komputer, tepat di seberang tempat Nisa duduk namun agak jauh menyerong ke timur. Meski begitu, Nisa bisa melihat dengan jelas wajah lelaki itu, pun sebaliknya. Nisa sedang tak ingin mengobrol karena suasana hatinya sedang buruk gegara pertemuannya dengan Ardan tiga hari lalu. Semenjak hari itu, Nisa tak membalas pesan Ardan lagi. Dia merasa dongkol, ia sendiri tak paham apa penyebab kekesalan hatinya itu. "Ardan terlihat baik-baik saja meski tanpa kabar dariku," Nisa sibuk berbicara dengan dirinya sendiri. "Bu Nisa sudah nggak ada jadwal mengajar?" Suara berat itu terdengar agak datar namun berusaha menyisipkan nada ramah. "Oh masih Kang. Nanti jam terakhir." Nisa tergelagap, menjawab dengan cepat. Ia bersyukur Bahrudin berinisiatif memecahkan keheningan terlebih dahulu, sebelum pikiran Nisa melayang kemanapun ia suka. "Oh saya kira sudah nggak ada. Kalau memang

  • Bismillahmu Bukan Untuk Aku   Apakah Itu Cinta?

    "Cinta itu bagaikan jamur ya tumbuh di tempat-tempat yang lembap." Ridha berucap agak nyaring dengan sengaja. Nisa sadar bahwa ucapan itu ditujukan untuk dirinya. Ia hanya bungkam sambil membereskan buku-buku yang berserakan di meja. Nisa hanya meyakini bahwa dirinya tak bersalah!"Dari mata turun ke dada, dari dada turun ke anu. Upsss." Ridha makin bersemangat dalam memancing amarah Nisa. Nisa tetap bungkam, selama namanya tidak disebut berarti perkataan Ridha tidak ditujukan untuknya. Nita yang memiliki kursi berdekatan dengan Nisa, hanya mampu memandang Nisa kasian. Ia tentu saja tak ingin melihat Nisa dipojokkan seperti itu, tapi masalahnya adalah Nisa memang salah. Saat akan keluar dari kantor gawai Nisa berdering dengan keras yang membuat seisi ruang terdiam, menunggu tindakan Nisa selanjutnya. Nisa menatap gawai yang tergeletak di atas meja. Nama Ardan tertera di layar gawai. Nisa tanpa sungkan menerima panggilan itu. "Assalamualaikum." Terdengar suara di seberang sana. "Waa

  • Bismillahmu Bukan Untuk Aku   Mengenalmu

    Nisa berjalan pelan memasuki ruang guru. Jumat lalu ia telah berkunjung ke situ, namun tetap saja nuansanya agak berbeda sekarang. Ketika ia memasuki gerbang, sambutan yang didapat adalah tatapan bertanya siswa-siswi. Tubuh mereka terbalut baju muslim dengan bawahan sarung, mereka tak memakai sepatu dan kaus kaki melainkan sandal biasa. Beberapa siswi memberanikan diri menyapa Nisa dengan senyum dan kebanyakan malu-malu hanya berbisik sambil melihat Nisa. Nisa duduk di salah satu bangku guru yang kosong, lengang tanpa ada satupun tumpukan buku. Ia menarik napas panjang kemudian mengembuskan perlahan. Ah! Hari pertama bekerja benar-benar mendebarkan. Apa yang harus ia katakan kepada rekan kerja barunya? Apa ia bisa cepat akrab dengan rekan kerjanya? ***Semua kalimat yang telah Nisa rancang lenyap seketika saat berhadapan dengan rekan-rekan kerjanya secara langsung. Mereka justru yang aktif bertanya kepada Nisa. Saran Ardan kemarin sore tak ada yang Nisa terapkan. "Bu Nisa sudah ada

DMCA.com Protection Status