Home / Romansa / Bismillahmu Bukan Untuk Aku / Obrolan di Siang Bolong

Share

Obrolan di Siang Bolong

Author: Yuniar Putri
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Nisa menelan ludah saat menyadari bahwa di ruang guru hanya ada dirinya dan Bahrudin. Lelaki itu sedang sibuk di depan komputer, tepat di seberang tempat Nisa duduk namun agak jauh menyerong ke timur. Meski begitu, Nisa bisa melihat dengan jelas wajah lelaki itu, pun sebaliknya.

Nisa sedang tak ingin mengobrol karena suasana hatinya sedang buruk gegara pertemuannya dengan Ardan tiga hari lalu. Semenjak hari itu, Nisa tak membalas pesan Ardan lagi. Dia merasa dongkol, ia sendiri tak paham apa penyebab kekesalan hatinya itu.

"Ardan terlihat baik-baik saja meski tanpa kabar dariku," Nisa sibuk berbicara dengan dirinya sendiri.

"Bu Nisa sudah nggak ada jadwal mengajar?" Suara berat itu terdengar agak datar namun berusaha menyisipkan nada ramah.

"Oh masih Kang. Nanti jam terakhir." Nisa tergelagap, menjawab dengan cepat. Ia bersyukur Bahrudin berinisiatif memecahkan keheningan terlebih dahulu, sebelum pikiran Nisa melayang kemanapun ia suka.

"Oh saya kira sudah nggak ada. Kalau memang nggak ada, pulang buat istirahat nggak apa Bu. Dari pada nganggur." Bahru memberi saran, matanya tak teralihkan dari komputer di depannya.

"Istirahatnya nanti malam Kang, pulang sekolah biasanya saya langsung ke LBB." Nisa tersenyum simpul.

"LBB?" Bahru memastikan pendengarannya.

"Iya. Bimbel gitu Kang." Nisa menjelaskan singkat. Bahru mengangguk, bahasa tubuh untuk mengisyaratkan bahwa ia memahami penjelasan Nisa.

"Nggak capek Bu?" Bahru bertanya lagi, tak enak rasanya bekerja dalam keheningan. Nisa terhenyak. Baru kali ini ada yang menanyakan tentang kondisinya. Selama ini segala hal dilakukan oleh Nisa untuk menutup segala kekurangan ekonomi keluarganya. Rasa lelah, mengantuk, sakit ia telan sendiri.

"Ya capek sih Kang tapi memang kondisinya harus begini." Nisa menjawab pelan. Bahru tampak tak peduli mendengar jawaban Nisa, namun dalam hatinya bertanya-tanya: apa yang sudah dilalui perempuan itu? Sampai meluncur tuturan itu dari bibir kecilnya? Bel pergantian pelajaran meraung dengan keras, Nisa terlihat membereskan buku-buku di atas mejanya. Bahru melirik sekilas, tubuh jakung dan kurus Nisa terlihat berdiri dari bangkunya.

"Ada jam ya Bu?" Bahru bertanya lagi.

"Iya, Kang. Di XI IPA 1, Kang." Nisa tersenyum sekilas sembari memeluk buku, jurnal mengajar, serta daftar presensi.

"Habis itu langsung pulang Bu?" Akhirnya Bahru mengalihkan tatapannya dari depan layar komputer, beralih mengamati gerak-gerik Nisa.

"Iya Kang. Sudah ada murid yang menunggu di LBB." Nisa tersenyum sekali lagi, kemudian berpamitan dengan sopan, "Saya ke kelas dulu ya Kang."

"Ah! Iya Bu. Semangat ya!" Bahru tergelagap karena tatapan mata mereka sempat bertemu.

"Astagfirullahaladzim." Bahru mengusap mukanya dengan telapak tangan ketika Nisa sudah meninggalkan ruang guru.

*

"Ibu cantik banget sih." Goda salah satu murid laki-laki yang duduk di bangku belakang, paling pojok. Mendengar pernyataan anak itu, seisi ruang bersorak-sorai. Nisa menghela napas berat. Ia tahu pernyataan tersebut adalah pujian, namun Nisa merasa sangat risih dengan perilaku para murid laki-laki di kelas itu. Sejak awal perkenalan tadi, mereka sama sekali tak mendengarkan, hanya terbengong-bengong menatap paras Nisa.

Nisa mulai berkeringat, di ruang kelas yang tak terlalu luas itu, tak terdapat satupun kipas angin.

"Oke fokus kembali ya! Jadi ada beberapa materi yang akan kalian dapatkan di semester satu. Kalian bisa buka buku LKS dan lihat di daftar isi apa saja kira-kira yang akan kalian pelajari." Nisa menjelaskan dengan suara yang agak lantang. Beberapa siswi melakukan instruksi yang diberikan oleh Nisa, sebagian lagi sibuk melamun atau tidur. Nisa tak ingin menyerah, ia menghampiri seorang anak yang hanya sibuk menggambar sedari tadi.

"Kamu ngapain?" Tanya Nisa dengan nada lembut. Murid lelaki itu hanya berkedip menatap Nisa dengan perasaan tak bersalah.

"Wo, Hanum." Ada beberapa anak yang bersorak terang-terangan.

"Bagus gambar kaligrafi kamu, tapi ada baiknya kamu fokus pada pelajaran dulu ya..." Nisa menasehati dengan kalem. Bocah lelaki itu tak menjawab sepatah katapun, ia justru berdiri dan pergi, meninggalkan kelas. Nisa yang belum menyelesaikan pembicaraannya terperangah menyaksikan sikap bocah itu. Nisa sakit hati, ia seperti tak dihargai namun tak ada yang bisa ia lakukan.

Ketika jam pelajaran usai salah satu siswi di kelas XI IPA 1 mengejar langkah Nisa, "Bu Nisa...." Panggil siswi itu yang Nisa tahu bahwa namanya adalah Zahra.

Nisa menghentikan langkahnya tepat di samping tangga lantai dua. Zahra berlari menghampiri Nisa. Saat sudah di hadapan Nisa, Zahra mengatur napas terlebih dahulu.

"Bu Nisa maafin sikap Hanum tadi ya Bu." Zahra berucap. Ia terlihat masih sedikit terengah-engah. Nisa tersenyum lembut sebagai balasan atas pernyataan Zahra.

"Iya Zahra. Bu Nisa nggak apa-apa kok, lagi pula mengapa harus kamu yang minta maaf sih." Nisa mengelus pundak Zahra.

"Iya Bu. Soalnya kan Hanum adik saya Bu." Zahra menjelaskan kepada Nisa, napasnya mulai normal. Nisa mengerutkan dahi, mengamati kembali wajah Zahra kemudian ingatannya beralih pada raut Hanum. Walau hanya samar-samar tapi ia agak ingat dengan fitur muka Hanum. Tidak ada kemiripan sedikitpun! Ketidakmiripan antar saudara sangatlah wajar, yang tak wajar adalah bagaimana mereka bisa berada dalam satu tingkat kelas? Apa mereka kembar tidak identik? Atau Zahra pernah tidak naik kelas? Nisa pada akhirnya pusing juga memikirkan hubungan Hanum dan Zahra.

"Ya sudah nggak apa-apa. Tolong diingatkan kepada Hanum agar tidak bersikap seperti itu ya Ra. Kamu balik ke kelas gih! Kan masih jam pelajaran ini." Nisa berusaha menutupi rasa penasarannya. Lain kali saja ia tanyakan kepada guru lain mengenai hubungan kedua anak itu.

"Iya Bu. Terima kasih ya Bu Nisa." Zahra tersenyum kemudian meraih tangan Nisa untuk bersalaman, ia mencium punggung tangan Nisa.

*

Tadinya Nisa berniat langsung pulang, tapi ternyata ia tak bisa menahan rasa penasaran tentang Zahra dan Hanum. Nisa baru menemukan anak seberani Hanum.

"Lho! Bu Nisa nggak jadi pulang." Sambut Bahru ketika Nisa baru saja memijak ambang pintu. Lelaki itu tetap berada di posisinya: depan komputer.

"Nggak jadi Kang. Ada hal yang mau saya tanyakan." Nisa duduk di bangkunya.

"Ciyeee mau tanya apa nih?" Devi bersorak jahil. Nisa kaget sebab ia tak menyadari keberadaan Devi.

"Lho ada Bu Devi toh! Saya sampai nggak sadar." Nisa tertawa renyah.

"Iyalah. Orang fokusnya ke Kang Bahru seorang," goda Devi.

"Ehh bukan begitu Bu. Saya tadi mau tanya suatu hal yang penting." Nisa mencoba membela diri. Devi terkikik melihat sikap salah tingkah Nisa, sementara Bahru terlihat adem ayem saja.

"Jadi mau tanya apa? Mau tanya status Kang Bahru? Tenang saja Bu Nisa, dia itu bujang lapuk. Masih buka lowongan calon istri." Bu Devi tertawa renyah. Nisa menggaruk kepalanya yang terbalut jilbab coklat. Mengapa jadi begini sih? Setiap kali ia digoda dengan jalan dijodoh-jodohkan dengan rekan kerjanya, selalu yang terlintas di benak Nisa adalah Ardan. Nisa sendiri tak tahu mengapa ia merasa terikat dengan Ardan, padahal hubungan mereka pun juga tidak jelas sebagai apa?

"Gini lho Bu. Saya kan waktu itu diminta menggantikan Pak Rahman yang sudah mutasi ke SMK untuk jadi wali kelas XI IPA 1. Nah ini ada satu anak yang bermasalah." Nisa mendekati Devi, kemudian duduk di bangku samping Devi yang kosong. Devi mengangguk mengerti sebab ia juga mengajar di XI IPA 1, "Hanum ya Bu?"

"Lho kok Bu Devi tahu sebelum saya sebut nama anak itu." Mata Nisa berbinar.

"Anak itu memang sejak kelas sebelas bermasalah Bu. Dulu waktu kelas sepuluh dia nggak seperti itu lho Bu. Pinter dulu." Kali ini air muka Devi terlihat serius. Nisa menyimak, menunggu penjelasan lebih lanjut.

"Semenjak orang tuanya cerai Hanum jadi seperti itu, apalagi sejak saudari tirinya pindah sekolah di sini." Devi terdengar menurunkan nada bicaranya, menandakan bahwa ia berempati dengan kisah hidup Hanum.

"Saudari tiri? Zahra?" Nisa bertanya untuk memastikan. Devi menganggukkan kepala dengan yakin sebagai jawaban atas pertanyaan Nisa.

"Ya. Dulu ayah Hanum berpisah dengan mamanya karena perselingkuhan. Hanum kan sudah mengerti Bu karena saat itu dia sudah SD kelas enam. Nah setelah itu mamanya pergi dari rumah. Jadi nggak ada kata cerai secara hukum Bu. Kemudian saat Hanum kelas sebelas, ayahnya menikah lagi dengan mama Zahra. Jadi, sekarang posisi Hanum tinggal bersama mama tiri, ayahnya, dan Zahra itu." Devi menjelaskan panjang lebar. Nisa mengangguk mengerti. Nisa mempercayai penjelasan Devi sebab ia merupakan guru bimbingan konseling, sudah tentu tahu latar belakang keluarga siswa-siswi.

"Yah gitu lah Bu. Anak yang pada akhirnya jadi korban keegoisan orang tuanya." Devi berucap dengan mata berkaca-kaca.

"Suami saya dulu juga selingkuh." Devi berkata lirih, kemudian tersenyum getir. Nisa menelan ludah. Ia tak mampu menanggapi ungkapan Devi.

"Hehe. Bu Nisa nggak usah terbebani dengan cerita ini, jangan takut menikah yang penting hati-hati dalam memilih pasangan." Devi berusaha menenangkan Nisa, sebab wajah perempuan itu tetiba terlihat pias setelah Devi bercerita tentang perselingkuhan dalam sebuah mahligai rumah tangga. Nisa tak mampu menjawab lagi, ia hanya tersenyum tipis. Masalahnya adalah bukan ia takut untuk menikah, tapi dirinya lah yang jadi orang ketiga dalam kehidupan rumah tangga Ardan dan istrinya.

Related chapters

  • Bismillahmu Bukan Untuk Aku   Cuci Mata

    Nisa menenteng tas belanjaan transparan yang berisi flatshoes dan beberapa hijab berwarna kalem. Santi berjalan mengiringi Nisa sambil melihat-lihat beberapa pakaian yang terjajar rapi. Santi berceloteh ria menyeritakan tempat kerja barunya, sedangkan Nisa terlihat tidak fokus karena sedang memainkan gawai. Berulang kali ia membuka aplikasi WhatsApp, memastikan tidak ada chat yang masuk dari Ardan. Nisa bertanya-tanya sedang apa Ardan saat ini, sehingga dia tidak berkirim pesan dengan Nisa. Semesta memang terlampau baik pada Nisa, baru saja ia mempertanyakan keberadaan Ardan, ternyata Ardan sedang berjalan dari arah yang berlawanan, agak jauh namun Nisa sangat hapal dengan perawakan Ardan. Nisa terlihat sumringah, lupa dengan keberadaan Santi. Nisa tak menyangka Ardan menyusulnya kemari. Nisa tak merasa heran jika Ardan tahu keberadaannya, sebab akses akun google Nisa juga bisa diakses oleh Ardan. Mungkin saja Ardan mengecek histori Google Maps Nisa sehingga dapat menemukan keberadaa

    Last Updated : 2024-10-29
  • Bismillahmu Bukan Untuk Aku   Keanehan Nisa

    Santi menyerahkan helm kepada Nisa. Mereka sama-sama saling diam. Santi sibuk dengan praduganya, sedangkan pikiran Nisa dipenuhi oleh Ardan dan istrinya. Sepertinya lebih baik memang Nisa tak usah berhubungan dengan Ardan lagi. Jangan sampai ia merusak pagar ayu yang sudah terjalin.Terlebih saat Nisa mengingat kembali wajah anak Ardan, ia jadi teringat dengan Devi dan anaknya, cerita rumah tangganya, serta kemalangan hidup yang harus mereka lalui karena peristiwa perselingkuhan. "Aku mau ngomong sama kamu Nis, mau mampir ke kedaiku dulu nggak?" Santi bertanya hati-hati. Nisa segera mengangguk setuju. Ia butuh teman bercerita saat ini. Santi pasti bisa mengerti kan bagaimana posisi Nisa saat ini? *Santi dan Nisa sama sekali tak bercakap-cakap saat berada di atas motor. Mereka masih saja terlipat oleh pikiran masing-masing. Ketika Santi memarkir motor di belakang kedai, Nisa segera masuk ke kedai untuk memesan beberapa makanan dan minuman, kemudian mencari tempat duduk yang berada d

    Last Updated : 2024-10-29
  • Bismillahmu Bukan Untuk Aku   Pengakuan Nisa

    Nisa mengelus tengkuknya yang tertutup jilbab. Santi berusaha mengalihkan pandangan. Santi hapal betul kebiasaan Nisa ketika sedang menyembunyikan suatu hal atau saat sedang berbohong: mengelus tengkuk. Nisa berdehem. "Aku hubungi Kang Bahru dulu ya. Biar segera jemput Hanum." Nisa menggigit bibir sekilas, kemudian segera mengalihkan topik pembicaraan. Dengan kaku, ia meraih gawai di dalam tas, kemudian pura-pura fokus mencari kontak Bahrudin. Nisa menelepon Bahrudin. Sudah tersambung namun tak kunjung diangkat. Nisa tak menyerah, ia mencoba menghubungi Bahru lagi sebanyak beberapa kali. Hingga pada upaya ke lima barulah Bahru mengangkat telepon."Assalamualaikum, Kang Bahru." Nisa membuka obrolan."Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh. Ada apa Ibu Nisa?" Suara Bahru terdengar menenangkan: berat dan santun. "Ini Kang Bahru, saya ketemu dengan Hanum." Nisa berucap perlahan, sangat kontras dengan nada suaranya saat berdebat dengan Santi barusan. "Oh ya! Di mana Bu?" Bahru terden

    Last Updated : 2024-10-29
  • Bismillahmu Bukan Untuk Aku   Ardan dan Reta

    "Sayang, tolong kamu tungguin Adam sebentar ya. Aku mau mandi." Reta menghampiri Ardan yang sedang asyik menonton televisi. Ardan mengangguk, berangsur menghampiri Reta kemudian mencium puncak kepalanya. "Adam sudah tidur?" Ardan bertanya. "Iya. Barusan saja tidur." Reta memeluk tubuh Ardan dengan manja. "Terima kasih ya, sayang. Kamu sudah jadi ibu dan istri yang baik banget." Ardan membalas pelukan Reta, sekali lagi mencium puncak kepalanya. Ardan selalu merasa nyaman ketika bersama Reta, tapi jauh di lubuk hatinya ia juga merindukan Nisa. Apa kabar perempuan itu? Sudah satu pekan semenjak pertemuan mereka di mall, Nisa sudah tak pernah menghubungi Ardan lagi. Bahkan pesan Ardan kepada Nisa tak ada yang terbalas, satupun. "Sudah ah aku mau mandi dulu." Reta berusaha membebaskan dirinya dari Ardan. Ardan masih mempertahankan senyumnya ketika menatap punggung Reta. Ia sendiri membalikkan badan menuju kamar Adam, putra mereka. *Ardan terlihat riang saat Reta sudah memasuki kamar

    Last Updated : 2024-10-29
  • Bismillahmu Bukan Untuk Aku   Tidak Bisa Ditoleransi!

    Ardan memasuki ruang rapat dengan penuh semangat. Ia bahkan sama sekali tak merasa lelah setelah meniti berpuluh-puluh tangga. Hampir semua tentor LBB Mentari selalu mengeluh jika harus bersua di lantai tiga, sebab mereka harus menaiki satu demi satu anak tangga dengan segala upaya. Tentu saja mereka sangat malas berkeringat. Ardan memilih tempat duduk tepat di seberang tempat duduk Nisa. Ardan bersyukur pola duduk di ruang rapat melingkar. Ardan menatap lurus Nisa. Ia menyeringai. Perempuan itu terlihat sangat manis. Bahkan bros pemberian Ardan melekat manis di sisi kanan hijabnya. "Nisa, saya tahu kamu masih menginginkan saya." Ardan berbisik di dalam hatinya, kalap, lupa dengan Reta dan Adam. Nisa tak menyadari perilaku Ardan yang terus mengamati tiap gerak-geriknya sebab ia terlalu sibuk berkirim pesan dengan Bahru. Awalnya ia bermaksud mengucap terima kasih namun ternyata ada beberapa hal lain yang harus mereka bahas. Saat sedang asyik membaca kalimat demi kalimat dari Bahru,

    Last Updated : 2024-10-29
  • Bismillahmu Bukan Untuk Aku   Perselingkuhan di Kantor

    Napas Ridha tertahan. Tangannya bergetar saat memegang gawai. Ia tak tahu apakah hasil jepretannya kali ini bagus atau justru buram parah? "Ardan bangsat!" Ridha mengumpat dalam hati. Ridha tak menyangka jika perilaku Ardan ternyata tak berubah. Ia berulah lagi. Kali ini dengan Faranisa? Perempuan sialan itu dengan menjijikkannya rela saja dicumbu oleh lelaki yang bukan miliknya. Ada puluhan juta lelaki di dunia ini, mengapa Faranisa harus merayu Ardan. Hati Ridha terasa perih. Ia teringat kepada wajah lelah Reta saat mengurus Adam. Ardan memang sepupu Ridha, namun kali ini ia tak akan menutupi kesalahan Ardan lagi. Ridha masih menyaksikan kemesraan Faranisa dan Ardan. Ia berpikir panjang, apa sebaiknya ia lapor kepada Atnaya? Tapi jika masalah ini diketahui oleh orang luar maka yang kena tegur keluarga besar adalah Ridha. Ardan merupakan anak emas di keluarga besarnya. Mereka tidak tahu saja kelakuan busuk Ardan selalu ditutupi oleh Reta. "Ya ampun Ardan. Reta kurang baik apa sih?

    Last Updated : 2024-10-29
  • Bismillahmu Bukan Untuk Aku   Desas-Desus

    "Pelakor!" Air bening meluncur lancar dari mulut botol, mendarat tepat di atas kepala Nisa. Sementara perempuan itu hanya mampu memejamkan mata erat-erat, menahan air agar tak masuk matanya sekaligus rasa malu. Semua manusia yang ada di ruang itu tampak membisu, mereka adalah penonton setia drama yang sudah berlangsung selama 30 menit itu. Tak ada yang membela Nisa termasuk Ardan, lelaki yang membuatnya dibenci banyak orang di kantor. Nisa merutuk dalam hati, ia menyesal menceritakan kekagumannya terhadap Ardan kepada Naysila. "Saya nggak pernah merebut apapun dari siapapun!" Nisa membuka matanya lebar-lebar. Ia merasa penindasan ini harus dilawan. Ia harus bertahan di tempat itu jika ingin membantu orangtuanya menyelesaikan hutang piutang. Ridha berkacak pinggang. Ia adalah penyiram air mineral di atas kepala Nisa. Nisa tahu sejak awal Ridha kurang menyukainya, sebab Nisa mendapat murid les lebih banyak sedari pertama masuk kerja di Lembaga Bimbingan Belajar itu. Ridha dengan gala

    Last Updated : 2024-10-29
  • Bismillahmu Bukan Untuk Aku   Perasaan Tak Pernah Salah!

    Ardan menunduk dalam, begitu pula dengan Nisa yang duduk tepat di sampingnya. Ini tak adil! Batin Nisa. Mengapa hanya Ardan dan dirinya yang "disidang" oleh Bu Atnaya, pemilik LBB? Memangnya mereka sudah melakukan apa sampai diperlakukan begini?"Saya sudah dengar kronologi ceritanya dari anak-anak." Atnaya memulai obrolan. Nisa sudah menduga bahwa pada akhirnya cerita soal dirinya dan masalah kemarin sampai di telinga Atnaya. Perempuan setengah baya itu sangat kapitalis, tapi baik hati. Nisa berharap hatinya yang baik masih bersedia mengendalikan otaknya, agar Nisa tak sampai dipecat! Atnaya berdehem. Ia paham bahwa kedua pegawainya itu tak akan berani membenarkan pernyataannya barusan. Bu Atnaya kembali membuka mulutnya, "Pak Ardan, mengapa kemarin anda hanya diam saja melihat pembullyan terjadi di tempat pendidikan seperti ini?" Ardan hanya membisu. Ia tak tahu harus menjawab apa. Hatinya dipenuhi kebimbangan, apabila dia membela Nisa mungkin kejadiaannya tak akan separah kemarin

    Last Updated : 2024-10-29

Latest chapter

  • Bismillahmu Bukan Untuk Aku   Perselingkuhan di Kantor

    Napas Ridha tertahan. Tangannya bergetar saat memegang gawai. Ia tak tahu apakah hasil jepretannya kali ini bagus atau justru buram parah? "Ardan bangsat!" Ridha mengumpat dalam hati. Ridha tak menyangka jika perilaku Ardan ternyata tak berubah. Ia berulah lagi. Kali ini dengan Faranisa? Perempuan sialan itu dengan menjijikkannya rela saja dicumbu oleh lelaki yang bukan miliknya. Ada puluhan juta lelaki di dunia ini, mengapa Faranisa harus merayu Ardan. Hati Ridha terasa perih. Ia teringat kepada wajah lelah Reta saat mengurus Adam. Ardan memang sepupu Ridha, namun kali ini ia tak akan menutupi kesalahan Ardan lagi. Ridha masih menyaksikan kemesraan Faranisa dan Ardan. Ia berpikir panjang, apa sebaiknya ia lapor kepada Atnaya? Tapi jika masalah ini diketahui oleh orang luar maka yang kena tegur keluarga besar adalah Ridha. Ardan merupakan anak emas di keluarga besarnya. Mereka tidak tahu saja kelakuan busuk Ardan selalu ditutupi oleh Reta. "Ya ampun Ardan. Reta kurang baik apa sih?

  • Bismillahmu Bukan Untuk Aku   Tidak Bisa Ditoleransi!

    Ardan memasuki ruang rapat dengan penuh semangat. Ia bahkan sama sekali tak merasa lelah setelah meniti berpuluh-puluh tangga. Hampir semua tentor LBB Mentari selalu mengeluh jika harus bersua di lantai tiga, sebab mereka harus menaiki satu demi satu anak tangga dengan segala upaya. Tentu saja mereka sangat malas berkeringat. Ardan memilih tempat duduk tepat di seberang tempat duduk Nisa. Ardan bersyukur pola duduk di ruang rapat melingkar. Ardan menatap lurus Nisa. Ia menyeringai. Perempuan itu terlihat sangat manis. Bahkan bros pemberian Ardan melekat manis di sisi kanan hijabnya. "Nisa, saya tahu kamu masih menginginkan saya." Ardan berbisik di dalam hatinya, kalap, lupa dengan Reta dan Adam. Nisa tak menyadari perilaku Ardan yang terus mengamati tiap gerak-geriknya sebab ia terlalu sibuk berkirim pesan dengan Bahru. Awalnya ia bermaksud mengucap terima kasih namun ternyata ada beberapa hal lain yang harus mereka bahas. Saat sedang asyik membaca kalimat demi kalimat dari Bahru,

  • Bismillahmu Bukan Untuk Aku   Ardan dan Reta

    "Sayang, tolong kamu tungguin Adam sebentar ya. Aku mau mandi." Reta menghampiri Ardan yang sedang asyik menonton televisi. Ardan mengangguk, berangsur menghampiri Reta kemudian mencium puncak kepalanya. "Adam sudah tidur?" Ardan bertanya. "Iya. Barusan saja tidur." Reta memeluk tubuh Ardan dengan manja. "Terima kasih ya, sayang. Kamu sudah jadi ibu dan istri yang baik banget." Ardan membalas pelukan Reta, sekali lagi mencium puncak kepalanya. Ardan selalu merasa nyaman ketika bersama Reta, tapi jauh di lubuk hatinya ia juga merindukan Nisa. Apa kabar perempuan itu? Sudah satu pekan semenjak pertemuan mereka di mall, Nisa sudah tak pernah menghubungi Ardan lagi. Bahkan pesan Ardan kepada Nisa tak ada yang terbalas, satupun. "Sudah ah aku mau mandi dulu." Reta berusaha membebaskan dirinya dari Ardan. Ardan masih mempertahankan senyumnya ketika menatap punggung Reta. Ia sendiri membalikkan badan menuju kamar Adam, putra mereka. *Ardan terlihat riang saat Reta sudah memasuki kamar

  • Bismillahmu Bukan Untuk Aku   Pengakuan Nisa

    Nisa mengelus tengkuknya yang tertutup jilbab. Santi berusaha mengalihkan pandangan. Santi hapal betul kebiasaan Nisa ketika sedang menyembunyikan suatu hal atau saat sedang berbohong: mengelus tengkuk. Nisa berdehem. "Aku hubungi Kang Bahru dulu ya. Biar segera jemput Hanum." Nisa menggigit bibir sekilas, kemudian segera mengalihkan topik pembicaraan. Dengan kaku, ia meraih gawai di dalam tas, kemudian pura-pura fokus mencari kontak Bahrudin. Nisa menelepon Bahrudin. Sudah tersambung namun tak kunjung diangkat. Nisa tak menyerah, ia mencoba menghubungi Bahru lagi sebanyak beberapa kali. Hingga pada upaya ke lima barulah Bahru mengangkat telepon."Assalamualaikum, Kang Bahru." Nisa membuka obrolan."Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh. Ada apa Ibu Nisa?" Suara Bahru terdengar menenangkan: berat dan santun. "Ini Kang Bahru, saya ketemu dengan Hanum." Nisa berucap perlahan, sangat kontras dengan nada suaranya saat berdebat dengan Santi barusan. "Oh ya! Di mana Bu?" Bahru terden

  • Bismillahmu Bukan Untuk Aku   Keanehan Nisa

    Santi menyerahkan helm kepada Nisa. Mereka sama-sama saling diam. Santi sibuk dengan praduganya, sedangkan pikiran Nisa dipenuhi oleh Ardan dan istrinya. Sepertinya lebih baik memang Nisa tak usah berhubungan dengan Ardan lagi. Jangan sampai ia merusak pagar ayu yang sudah terjalin.Terlebih saat Nisa mengingat kembali wajah anak Ardan, ia jadi teringat dengan Devi dan anaknya, cerita rumah tangganya, serta kemalangan hidup yang harus mereka lalui karena peristiwa perselingkuhan. "Aku mau ngomong sama kamu Nis, mau mampir ke kedaiku dulu nggak?" Santi bertanya hati-hati. Nisa segera mengangguk setuju. Ia butuh teman bercerita saat ini. Santi pasti bisa mengerti kan bagaimana posisi Nisa saat ini? *Santi dan Nisa sama sekali tak bercakap-cakap saat berada di atas motor. Mereka masih saja terlipat oleh pikiran masing-masing. Ketika Santi memarkir motor di belakang kedai, Nisa segera masuk ke kedai untuk memesan beberapa makanan dan minuman, kemudian mencari tempat duduk yang berada d

  • Bismillahmu Bukan Untuk Aku   Cuci Mata

    Nisa menenteng tas belanjaan transparan yang berisi flatshoes dan beberapa hijab berwarna kalem. Santi berjalan mengiringi Nisa sambil melihat-lihat beberapa pakaian yang terjajar rapi. Santi berceloteh ria menyeritakan tempat kerja barunya, sedangkan Nisa terlihat tidak fokus karena sedang memainkan gawai. Berulang kali ia membuka aplikasi WhatsApp, memastikan tidak ada chat yang masuk dari Ardan. Nisa bertanya-tanya sedang apa Ardan saat ini, sehingga dia tidak berkirim pesan dengan Nisa. Semesta memang terlampau baik pada Nisa, baru saja ia mempertanyakan keberadaan Ardan, ternyata Ardan sedang berjalan dari arah yang berlawanan, agak jauh namun Nisa sangat hapal dengan perawakan Ardan. Nisa terlihat sumringah, lupa dengan keberadaan Santi. Nisa tak menyangka Ardan menyusulnya kemari. Nisa tak merasa heran jika Ardan tahu keberadaannya, sebab akses akun google Nisa juga bisa diakses oleh Ardan. Mungkin saja Ardan mengecek histori Google Maps Nisa sehingga dapat menemukan keberadaa

  • Bismillahmu Bukan Untuk Aku   Obrolan di Siang Bolong

    Nisa menelan ludah saat menyadari bahwa di ruang guru hanya ada dirinya dan Bahrudin. Lelaki itu sedang sibuk di depan komputer, tepat di seberang tempat Nisa duduk namun agak jauh menyerong ke timur. Meski begitu, Nisa bisa melihat dengan jelas wajah lelaki itu, pun sebaliknya. Nisa sedang tak ingin mengobrol karena suasana hatinya sedang buruk gegara pertemuannya dengan Ardan tiga hari lalu. Semenjak hari itu, Nisa tak membalas pesan Ardan lagi. Dia merasa dongkol, ia sendiri tak paham apa penyebab kekesalan hatinya itu. "Ardan terlihat baik-baik saja meski tanpa kabar dariku," Nisa sibuk berbicara dengan dirinya sendiri. "Bu Nisa sudah nggak ada jadwal mengajar?" Suara berat itu terdengar agak datar namun berusaha menyisipkan nada ramah. "Oh masih Kang. Nanti jam terakhir." Nisa tergelagap, menjawab dengan cepat. Ia bersyukur Bahrudin berinisiatif memecahkan keheningan terlebih dahulu, sebelum pikiran Nisa melayang kemanapun ia suka. "Oh saya kira sudah nggak ada. Kalau memang

  • Bismillahmu Bukan Untuk Aku   Apakah Itu Cinta?

    "Cinta itu bagaikan jamur ya tumbuh di tempat-tempat yang lembap." Ridha berucap agak nyaring dengan sengaja. Nisa sadar bahwa ucapan itu ditujukan untuk dirinya. Ia hanya bungkam sambil membereskan buku-buku yang berserakan di meja. Nisa hanya meyakini bahwa dirinya tak bersalah!"Dari mata turun ke dada, dari dada turun ke anu. Upsss." Ridha makin bersemangat dalam memancing amarah Nisa. Nisa tetap bungkam, selama namanya tidak disebut berarti perkataan Ridha tidak ditujukan untuknya. Nita yang memiliki kursi berdekatan dengan Nisa, hanya mampu memandang Nisa kasian. Ia tentu saja tak ingin melihat Nisa dipojokkan seperti itu, tapi masalahnya adalah Nisa memang salah. Saat akan keluar dari kantor gawai Nisa berdering dengan keras yang membuat seisi ruang terdiam, menunggu tindakan Nisa selanjutnya. Nisa menatap gawai yang tergeletak di atas meja. Nama Ardan tertera di layar gawai. Nisa tanpa sungkan menerima panggilan itu. "Assalamualaikum." Terdengar suara di seberang sana. "Waa

  • Bismillahmu Bukan Untuk Aku   Mengenalmu

    Nisa berjalan pelan memasuki ruang guru. Jumat lalu ia telah berkunjung ke situ, namun tetap saja nuansanya agak berbeda sekarang. Ketika ia memasuki gerbang, sambutan yang didapat adalah tatapan bertanya siswa-siswi. Tubuh mereka terbalut baju muslim dengan bawahan sarung, mereka tak memakai sepatu dan kaus kaki melainkan sandal biasa. Beberapa siswi memberanikan diri menyapa Nisa dengan senyum dan kebanyakan malu-malu hanya berbisik sambil melihat Nisa. Nisa duduk di salah satu bangku guru yang kosong, lengang tanpa ada satupun tumpukan buku. Ia menarik napas panjang kemudian mengembuskan perlahan. Ah! Hari pertama bekerja benar-benar mendebarkan. Apa yang harus ia katakan kepada rekan kerja barunya? Apa ia bisa cepat akrab dengan rekan kerjanya? ***Semua kalimat yang telah Nisa rancang lenyap seketika saat berhadapan dengan rekan-rekan kerjanya secara langsung. Mereka justru yang aktif bertanya kepada Nisa. Saran Ardan kemarin sore tak ada yang Nisa terapkan. "Bu Nisa sudah ada

DMCA.com Protection Status