Share

Part 6

Penulis: Blade Armore
last update Terakhir Diperbarui: 2021-08-29 19:47:58

Bagi sebagian orang apa yang kulihat tidaklah nyata, tapi bagi sebagian orang yang pernah merasakan akan mengetahuinya. Tidak ingin mengeluh, aku hanya mampu menjalani kehidupanku sesuai yang diberikan Rabb-ku. 

Banyak yang bertanya kenapa tidak ditutup mata bathinmu? Kenapa tidak pergi ke tempat Ustadz dan tempat ruqyah?

Tidak tahukah kalian, usahaku sudah semaksimal dan semua tidak bisa membuat penglihatan ini hilang.

Aku bisa melihat kematian dari dekat dengan mata terbuka atau tertutup. Bahagia ataupun sedih. Bahkan hanya dengan berpapasan atau mendengar suaranya.

Menderitakah diriku? Jangan ditanya lagi, itu sudah pasti. 

***

Tubuhku mulai menggigil didekat pria ini. Pria berdarah dinginkah dia atau ... entahlah.

Dia begitu menikmati kematian gadis-gadis bergaun putih itu. Apakah aku dapat menolong mereka? Tapi bagaimana? Takdir Rabb-ku tidak mampu kuubah.

Melihat tubuhku menggigil, pria disebelahku melirik kearahku dan bertanya,

 "Kenapa Mbak, sakit ya?" Terlihat senyuman manis di wajahnya,

 "Ah enggak, AC-nya kebesaran." Aku menunjuk ke atas. Lalu dia menurunkan volume AC tanpa diminta.

Dia bisa sedingin itu kepada para gadis yang dibunuhnya? Padahal sikapnya baik dan hangat. Makin dipikirkan makin tak mendapatkan jawaban. Saat ingin melihat kembali kejadian itu, pandanganku kosong tidak berwarna. Gemetar tubuhku tidak juga reda, membuat lelaki di sampingku menyodorkan sebotol minuman. Entah bagaimana, aku bisa melihat sesuatu yang aneh pada botol yang dia berika, dengan halus aku menolaknya dan menunjukan botol minum yang kumilikki.

Tidak ada keberanianku melihat ke arahnya. Saat bis berhenti mendadak, tangannya tidak sengaja menyentuh jari jemariku, terlihat kilasan dia terbakar bersama gadis-gadis bergaun putih yang sebelumnya tersiksa dengan mati secara perlahan.

 "Ya Allah." Repleks aku berteriak.

 "Pak supir berhenti mendadak, karena mobil di depan berhenti." Jelas pria di sampingku menjelaskan.

Padahal apa yang kupikirkan berbeda dengan yang dipikirkannya. Beberapa saat hening diantara kami, hingga dia bertanya,

 "Mau ke mana Mbak?" Sambil melihat ke arahku.

 "Mau ... mau ke terminal, Mas." Mendengar jawabanku dia terkikik.

 "Baru kali ini ada yang memanggilku Mas." Lalu, pandangannya beralih.

 "Maaf kalau saya salah," ujarku pelan.

 "Mbak, apa yang mbak lihat dari seorang laki-laki." Dia bertanya dengan nada tinggi dan tatapan tajam namun, kosong.

 "Yang penting dia bisa menerima kekuranganku, karena aku tidak memiliki kelebihan." Dengan nada sedikit bergetar aku menjawab.

 "Tidak mungkin!" bantahnya, lalu memandangku dan menarik tanganku.

Terlihat sekali luka di mata indahnya, yang kini mulai berkaca-kaca. Bahkan, kurasakan tangannya bergetar. Ketika, aku menatapnya tangan yang digenggamnya dia lepaskan.

 "Kenapa tidak mungkin, Mas?" tanyaku lembut, takut amarahnya memuncak.

 "Karena wanita cantik sepertimu hanya memandang wajah dan harta saja. Setelah bangkrut akan pergi berpaling. Begitu juga jika wajah tampan seorang lelaki berubah, maka akan ditinggalkan!" ucapnya penuh penekanan.

Senyum smirk terukir di wajahnya yang tampan, tapi tidak bisa menutupi kepedihan hatinya. Bahkan, itu tergambar jelas olehku. Meskipun dia mencoba menyembunyikannya.

 "Maaf Mas, manusia berbeda-beda. Jika ada wanita seperti itu berarti dia tidak tulus mencintai hanya ingin mendapatkan sesuatu saja dari orang yang menbersamainya." Sedikit aku mengeluarkan apa yang ada di hati.

 "Berarti mereka memang pantas dibuat mampus, ya, kan Mbak!" ucapnya, yang membuat aku bergetar.

Bab terkait

  • Bisikan Kematian   Part 7

    "Tidak begitu, Mas. Kenapa kita harus membuat orang mati, sedangkan mereka mempunyai keluarga yang menanti. Mungkin saja mereka menjurus ke matre karna kebutuhan untuk mencukupi keperluan keluarga mereka, kita tak pernah tau." Bibirku bergetar mengatakannya, salah-salah takdirku akan sama dengan gadis-gadis bergaun putih itu. Tidak terdengar lagi pertanyaan darinya. Akupun mengalihkan pandangan ke jendela, melihat hiru pikuknya jalanan juga gedung-gedung yang menjulang tinggi. Air mata tetiba menetes tanpa bisa kubendung. Terlintas wajah gadis ayu namun, angkuh. Menantang sang pria berhati dingin dalam rengkuhan asmara yang dibuatnya. Hingga berakhir dalam balutan gaun putih dan berada di gubuk tengah hutan dengan tangis darah. Gadis-gadis itu mengharapkan harta yang melimpah dengan cara instant, tidak peduli apa yang dipikirkan orang lain. Pria berhati dingin ini ternyata memiliki trauma mendalam kepada gadis-gadis seperti mereka yang menghancurkan rumah tangga kedu

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-04
  • Bisikan Kematian   Part 8

    "Maaf, Pak. Hp anak Bapak ketinggalan di bis. Saya enggak tau ke mana harus mengembalikannya!" balasku, tidak ingin ada kecurigaan. "Pasti kamu perempuan enggak benar, ya? Mau merayu-rayu anak saya!" makiakinya tanpa mau mendengar penjelasan dariku. "Maaf, Pak jika Bapak berkenan kirim alamat Bapak ke no saya xxx..., besok saya akan kembalikan semua barang anak Bapak, dan ada sedikit pesan di dalamnya. Terimakasih sebelumnya." Enggan mendengar caciannya lagi, langsung aku putuskan sambungan telpon dari orang tua pemilik tas ini. Aku kembali menatap tas yang ada di pangkuanku. Begitu banyak poto gadis-gadis di dalamnya, yang aku yakini korban yang dia bunuh di gubuk itu dan satu poto keluarga utuh yang sangat menyedihkan. "Ya Rabb, amanah satu belum aku jalani, ada amanah lain yang harus didahulukan. Apa aku sanggup?" Kebencian akan selalu menghiasi hati manusia, dalam hal apapun jua. Namun dapat di cegah dengan perbanyak istighfar.

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-04
  • Bisikan Kematian   Part 9

    Aku mengurungkan niat masuk ke dalam kamar mandi, karena enggan terlibat sesuatu yang mengerikan. Ternyata. itulah tempat ternyaman bagi sosokyang menggangguku semalam. Awalnya aku berniat menunaikan salat subuh namun, dengan kondisi seperti ini bagaimana aku mengambil wudhu? Aku memilih untuk salat di luar hotel, tepatnya di Musala terdekat setelah bertanya ke penjaga hotel. Sepulang dari Musala, aku membereskan semua barang-barangku dan meninggalkan hotel yang penuh dengan sosok-sosok aneh. Sebelum meninggalkan hotel, aku memeriksa ponsel yang dititipkan padaku. Apakah alamat yang akan kutuju di kirim oleh orang yang memperkenalkan dirinya bernama Pak Ibra, saat dia meneleponku. Ternyata sudah ada di kotak pesan, dikirim saat aku terlelap. Aku bergegas ke sana meski masih terlalu pagi. Dengan dua kali menaiki angkutan umum dan harus berjalan kaki sedikit jauh. Akhirnya aku sampai namun, sambutan satpan sangat membuatku kesal. "Pagi-pagi cari

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-06
  • Bisikan Kematian   Part 10

    Aku di antar sampai bertemu dengan sosok laki-laki yang memakiku di telpon tanpa mau mendengar penjelasan apa-apa. Lalu, saptam itu pamit untuk kembali berjaga. Suasana di sini sangat dingin hingga menusuk tulang. Rumah ini mewah nan luas namun, di hiasi kesunyian yang nyata. Aku sedikit menjauh dari pria paruh baya ini, karena di belakangnya berdiri sosok yang menakutkan. Namun, makhluk itu seolah mengikuti gerakan manusia di depannya. Pak Ibra mempersilahkanku untuk duduk, di mana sudah disiapkan jamuan untukku. Ada keuntungan aku memiliki penglihatan ini, ya, aku dapat meliat beberapa makhluk menjilati makanan yang terhidangf di meja. Berkali-kali pak Ibra menyuruhku untuk makan namun, kutolak secara halus dengan alasan masih kenyang. Pak Ibra dengan santai memakan makananya dan aku hampir muntah melihatnya. Dia memakan sesuatu seperti daging mentah, tepatnya hati. Membuat sekujur tubuh kaku, tidak dapat membayangkannya jika aku ikut makan bersamanya.

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-06
  • Bisikan Kematian   Part 11

    "Kaget Pak, ada semut," jawabku asal. Saat pak Ibra kembali duduk, sosok di bawah meja menampakkan dirinya lagi. Dengan mata sendu dia menatapku. Saat ingin berbicara, dia ditarik oleh sosok yang selalu berdiri di belakangnya. Meski terkejut, aku berusaha tenang karena tidak ingin membuat pak Ibra curiga. Akhirnya aku menyanggupi permintaanya untuk memberikan uang-uang itu pada keluarga korban. Anggap saja permintaan maaf kami ujar pak Ibra. Aku pun berpamitan dan melangkah keluar. Terdengar denting dari piring dan sendok yang beradu. Aku yakin, Pak Ibra melanjutkan memakan organ itu lagi. Tentu saja membuat, perutku mual. Sesampainya di gerbang, aku melihat pak satpam sedang ber SMS ria. "Pak, tolong bukain pintu," Dengan sedikit berteriak aku meminta dan sukses membuatnya terkejut. "Alhamdulillah baik, Neng." Lalu dia membukakan pintu gerbang. Setelah keluar aku membalikan badan, ingin mengucapkan terimakasih. Namun, pemandanga

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-06
  • Bisikan Kematian   Part 12

    Setelah memberikan amanah untuk keluarga Nora, perjalanan ku lanjutkan kekampung sebelah dengan berjalan kaki. Karena jarak lumayan dekat, irit ongkos pikirku. Tapi pandangan sesosok wanita yang ku temui saat keluar dari rumah Nora selalu mengikuti langkahku, tak gentar sih hanya risih saja dipandangi saat kita berjalan. Aku coba membaca diary James dengan teliti, kenapa dia sampai menjadi segila itu. Hingga memilih mati bersama wanita-wanita yang pernah menemaninya. Membaca lembar demi lembar tanpa melihat ke jalanan yang lengang ini, tidak sadar aku terduduk diam membaca setiap bait tulisannya. Membuatku sedikit mengerti mengapa dia memintaku untuk memberikan amanah ini. Mungkin karena inilah yang membuat James, memilih mengakhiri dirinya. "Aku akan berhenti jika ada wanita yang tidak tertarik pada ketampan wajahku, pada mulusnya kulitku, pada lembutnya kata-kataku, pada gemerlap yang aku punya. Aku tak tahu kapan waktu itu akan tiba, tapi aku berhara

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-11
  • Bisikan Kematian   Part 13

    "Sudah Nak, sampai terjual rumah kami untuk ongkos mencarinya. Tapi tidak kunjung bertemu," Tidak disadarinya embun itu menetes sempurna dari mata rentanya. Aku membuka diary James dan melihat nama wanita cantik tersebut, lalu menanyakan kepada pria tua itu. "Siapa namanya Pak?" Tanyaku lirih. "Indriani, dia anak yang baik tapi bertemu pria yang tidak baik. Bapak sudah menasehatinya tapi tidak didengarnya, dia bilang pria itu mencintainya. Bapak dan Ibu akhirnya menyerah hingga kami tak pernah bertemu lagi," Dengan menahan sesak pria tua itu bercerita. Aku mengambil poto dalam tas, dan menunjukkan pada pria tua itu. Kuperlihatkan tetapi dia merasa tidak percaya jika aku mengenal putrinya. "Kamu kenal di mana? Di mana dia sekarang? Apa dia bahagia? Apa dia menderita? Apa ada yang terjadi? Ibunya pernah bermimpi Indri minta tolong lalu menghilang," tanya pria itu tanpa jeda. "Saya kenal anak Bapak di J

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-11
  • Bisikan Kematian   Part 14

    "Kamu lapar? Bik ... bik Inah?" tanyanya lalu dia berteriak memanggil pembantunya. Tidak lama pembantunya datang dan menanyakan apa yang perlu dikerjakan. Setelah memberi instruksi si Ibu mengajakku ke arah ruang makan. Karena tidak ingin menolaknya, akupun mengikutinya. Beberapa hidangan sudah tertata rapi dimeja dan bik Inah mennyiapkan makanan untuk Ibunya Lia. Akupun mengambil makananku lalu memakannya. Tidak ada pembicaraan apapun selama kami makan. Selesai makan si Ibu mengajakku ke kamarnya. Bingung dengan ajakkannya aku melihat ke arah Bik Inah dan dia hanya mengangguk. Namun, ada poto Pak Ibra menggantung di dekat kamar si Ibu. Meski di dalam poto, Pak Ibra menampakkan kekuasaannya dan aku merasa ada sepasang mata yang mengawasi dari balik poto itu. Rasa debaran di dada menguat tatkala aku memasuki kamar si Ibu. Aura yang sangat menakutkan menguar begitu saja saat pertama pintu terbuka. Padahal ruangan ini rapih dan bersih, aku menggenggam tang

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-12

Bab terbaru

  • Bisikan Kematian   Part 32

    "Masih ingat aku ...." tanya lelaki itu, tiba-tiba. "Kamu ... kamu itu," tunjukku pada polisi yang tidak kukenal, mencoba mengingat-ingat. "Lama tidak jumpa," sapanya. Lalu, dia mendekati dan mengulurkan tangannya. Aku mengeratkan pegangan tanganku pada Sopyan. Sopyan merasa ada sesuatu yang aneh, dia pun bertanya, "Kalian saling kenal?" tanyanya pada polisi itu. "Cukup kenal, saya hanya meminta milik saya di kembalikan," ujarnya dengan memicingkan matanya. "Kamu, mengambil miliknya," tanya Sopyan padaku. Aku hanya diam dan makin mengeratkan pegangan tanganku. Polisi itu makin mendekat dan berdiri di hadapanku. "Itu bukan milikmu, jika milikmu maka akan aku serahkan dengan suka rela," bentakku. "Kamu tak akan bisa lari dariku," ujarnya. "Tunggu ... Tunggu. Kalian saling kenal atau tidak?" tanya Sopyan, sambil melihat ke arahku dan polisi itu.

  • Bisikan Kematian   Part 31

    Tangan lelaki itu, mulai menjamah kakiku, Kemudian, terus merangkak di atasku. Tubuhku masih terasa sakit, ketika didorong olehnya tadi. "Ayolah, aku tahu, ini juga hal yang diinginkan wanita kebanyakan, yaitu ranjang yang hot!" cibirnya. Auranya sangat membuatku takut, bukan karena ilmu hitam, tapi karena kekuatan tuuhnya yang tidak bisa dibandingakan dengan kekuatan seorang wanita sepertiku. Apakah aku akan berakhir seperti ini? Bruk! Tubuh lelaki pemangsa, jatuh terkulai di atas tubuhku. Kukira karena dia mulai ingin melakukan hal buruk padaku, tapi ternyata kepalanya dipukul kayu balok oleh Nadin. "Ayo, Kak!" ajaknya menahan rasa sakit. Aku mendorong tubuh lelaki yang mulai tidak berdaya, membuatnya terjatuh dari dipan kayu. Aku dan Nadin saling memapah, berharap isa selamat berdua. Teringat akan Sopyan yang tidka kunjung datang, apakah mungkin dia takut dan pergi? "Nita!" seru Sopyan, membuka pintu. Rasanya a

  • Bisikan Kematian   Part 30

    "Ayo kita keluar, sebelum penjahat itu datang lagi!" seruku. Aku mencoba memapah tubuh kecil itu, untuk keluar dari dalam gubuk. Namun, dikejauhan terdengar suara langkah kaki mendekat. Aku yang setengah panik, mengangkat tubuh mungil di depanku. "Kak, pergilah dari sini! Nadin belum kuat untuk jalan," lirihnya "Kakak, kuat!" bantaku. Gadis kecil itu meringis, ketika lukanya tersenggol olehku. Ingin tidak memperdulikannya, tapi sepertinya dia benar-benar kesakitan. "Kak, pergila, jika dia kembali, kita berdua dalam bahaya!" pintanya. Baru saja aku ingin membuka pintu, sosok laki-laki menghadang langkahku. Matanya melotot dan napasnya memburu, tubuh yang tidak terbalut seelai benang pun membuatnya gaga, tapi sayangnya kelakuannya sungguh tidak manusiawi. "Siapa kamu? Mau apa? Kenapa mau bawa anak itu?" tanyanya beruntun. "Kamu sudah membunuh ibunya! Sekarang mau menyiksa anaknya?" tanyaku tanpa menjawab

  • Bisikan Kematian   Part 29

    "Apa kamu suka pria seperti itu?" tanyanya membuatku merasa aneh. Ingin rasanya kujawab, aku mulai menyukaimu meski menyebalkan. Namun, kutahan dalam diam. Suara azan berkumandang menandakan magrib sudah datang, dengan cekatan Sopyan mencari dimana tempat kami akan berhenti dan menunaikan kewajiban kami. Setelah menemukan Masjid Sopyan berhenti, lalu kami masuk dan melaksanakan kewajiban kami. Selesai sholat kami melanjutkan perjalanan kembali menuju rumah Umi, seperti pinta Sopyan sebelum mencari anak itu. "Ehem ... habis sholat koq diem aja," sindirnya. "Emang kalau habis sholat harus jungkir balik ya!" jawabku nyeleneh. "Harusnya salim dengan suami, itu baru afdhol. Cari pahala lagi," terangnya. "Ooo ... Kenapa nggak bilang aja langsung!" Tanyaku sengit. "Belajarkan pelan-pelan, masa mau ngegas nanti nabrak," ceramahnya. Dengan memaksakan diri, aku mengulurkan tangan dan disambut olehnya. "Barakallahu, semoga m

  • Bisikan Kematian   Part 28

    Aku menangis dalam pelukan Sopyan namun, teriakan juga isakan itu masih terdengar jelas di telingaku. Dieratkannya pelukan Sopyan, membuatku tenang sesaat. "Lepaskan! Jangan ... Jangan lakukan itu. Biarkan aku pergi," Suara anak itu kembali terdengar. Sopyan menarik tanganku menuju parkiran. Dirogoh saku celananya lalu mengambil ponsel, berulang kali melakukan panggilan akhirnya terhubung. Dilepaskan genggamannya dan sedikit menjauh dariku saat dia menerima panggilan itu. Aku terpaku menatap punggung lelaki setia itu, tapi sayang aku tidak mencintainya. Dikala aku asik memandanginya, dia berbalik dan menatapku dengan binar aneh dimatanya. "Ayo, kita pergi," ucapnya lirih. "Katanya ijin dokter dulu," bantahku. "Udah ada yang ngurus. Mau pergi apa nggak nih!" tantangnya. Tanpa menjawab aku mendekatinya, lalu dia menarikku mendekati sebuah mobil. Dari mobil itu turun seorang lelaki muda, bisa saja itu sepupu atau siapanya Sopyan. Akukan b

  • Bisikan Kematian   Part 27

    Tanpa mau mendengarnya lagi aku berjalan, namun dia mengekoriku seperti anak ayam kehilangan induknya. Menjengkelkan tapi tak bisa berbuat banyak. Pikiranku makin melayang mengingat amanah yang banyak aku pegang, namun belum juga aku selesaikan. "Tenang amanah dari James sudah hampir selesai, jangan jadi beban lagi!" ujar Sopyan, menghentikan langkahku. "Kamu buka tas milikku? Kenapa enggak ijin!" cecarku. "Kamu tau seberapa lama kamu di rumah sakit?" tanyanya, membuat aku sedikit merenung. Benar juga perkataannya, aku tidak tahu sudah berapa lama aku tidak sadarkan diri. Luka didadaku cukup parah, hampir mematahkan tulangku dan menggores jantungku. Tak ingin berterimakasih aku melangkah lagi. Kesombonganku mengalahkan segalanya, hanya untuknya. Kami berjalan ke taman rumah sakit, di sana bisa melihat pemandangan sore. Menyejukan mata yang selama ini tertidur. Perlahan aku menceritakan niatku untuk menolong anak dari Suster Dian, pada Sopyan.

  • Bisikan Kematian   Part 26

    [01.33, 30/3/2022] Dwi: "Maaf Sus," ucapku lirih. Setelah pemeriksaan, para suster keluar ruangan untuk memeriksa pasien yang lain. Rasa sedih menjalar keseluruh badanku, mengingat senyum sang Suster yang sangat manis. Begitu melihat Sopyan datang, rasa kesal memuncak. Menahan amarah yang tertunda semalam, "Ngapain datang ke sini, menolong manusia lain saja kamu keberatan!" omelanku menyambutnya. "Maaf, banyak pertimbangan kenapa aku tidak bisa keluar semalam. Semua sudah takdir ilahi, bersabarlah," ujarnya lembut. "Mudah sekali menukar nyawa orang. Sudah pergi sana!" teriakku kesal. "Kamu jangan lupa, aku suamimu meski hanya secara agama!" ucapnya penuh penekanan. Aku hanya diam mendengar kata-katanya. Rasanya tak kuasa menahan amarah yang bergejolak, tapi harus dipendam. "Pergilah ke ruang dokter, tanyakan apakah aku sudah diperbolehkan pulang. Rasanya sudah tidak betah," pintaku dingin. Tidak lama dia p

  • Bisikan Kematian   Part 25

    [01.31, 30/3/2022] Dwi: "Sudah sembuhkan dirimu dulu, baru aku ceritakan. Apa yang kamu lihat hingga seperti ini?" Tanyanya. "Entahlah, samar." Jawabku, lalu aku merebahkan diriku kembali. Dan Sopyan menggengam tanganku erat. Lalu aku mencoba tertidur kembali. Tiada henti mulut ini berzikir mengharap tidur lelap kembali. Namun penghuni di kamar ini sepertinya ketakutan akan hal yang aneh, bukan karena diriku atau pun Sopyan. Entahlah, terdengar auman keras yang bersahutan.Lalu terlihat dua harimau yang pernah aku lihat dikamar Sopyan. "Eh, bangun," Kugoncangkan tubuh Sopyan. "Ada apa, baru juga tidur!" jawabnya. "Tu pengikutmu." Aku menunjuk ke sampingnya. "Biarin, mereka menjaga kita," ucapnya ngawur. Belum sempat aku berbicara lagi, harimau itu mendekatiku dan duduk tepat dibawah ranjangku. Terdengar jeritan saling bersahutan, membuatku tak tenang. Setiap kali jeritan terdengar auman harimua

  • Bisikan Kematian   Part 24

    "Enggak apa-apa Bu, saya sudah terbiasa." Jawabnya santai. Aku bingung mengutarakan padanya perihal apa yang terlihat, lalu dia pergi. Hampir saja jam sembilan malam, kembali terlintas kejadian yang akan menimpa Suster tadi. Aku semakin gemetar, saat Sopyan masuk aku langsung memintanya memanggil Suster yang mengurus diriku tadi. Meski ingin bertanya Sopyan pun berlalu pergi mencari Suster. Kegelisahan makin membuatku tak tenang. Sopyan kembali dan mengatakan jika Suster tersebut sudah pulang. Sedikit kecewa tapi apalah daya. Lalu aku mencoba memejamkan mataku, terdengar Sopyan berbicara. Ku abaikan Sopyan dan memilih memejamkan mataku. "Ampuun ... ampuun, jangan sakiti saya," teriak seorang wanita. "Kamu harus mati, kamu yang menyebabkan ini semua," bentak seorang lelaki. Lalu, pemandangan itu semakin samar, membuat tubuhku menggigil. Terasa sesuatu di dahiku, ternyata Sopyan sedang mengkompresku. Mataku terbuka dan melihat sekita

DMCA.com Protection Status