Pesan itu seolah tertuju padaku. Kumasukan amplop pada keadaan semula dan memakan makanan yang sudah tersedia. Dada ini semakin sesak merasakan sesuatu yang belum pernah terasa sama sekali. Hanya pikiranku saja mungkin, batinku mulai berkecamuk. Aku menyelesaikan makanku dan membayarnya, namun lagi-lagi uang yang kuberikan ditolak secara halus. Apakah penampilanku aneh atau ada yang aneh dengan uang ini? Tak habis pikir kenapa mereka menolaknya meski aku memaksa.
Perjalanan kulanjutkan. Sesampainya di tempat tujuan ternyata rumah sahabatku sudah rata dengan tanah. Rasa sedih tidak terlukiskan lagi jarak yang kutempuh sia-sia. Langkahku gontai meninggalkan tempat pertama yang kudatangi. Hujan turun di hari yang secerah ini, menambah kebimbangan akan langkah ini.
Berdiri di depan sebuah mini market menunggu hujan yang sangat lebat berhenti, di kejauhan sekelebat bayangan terlihat sangat mengerikan. Aku tidak berani menatap jauh ke depan, orang-orang di sekitarku hanya bersedakep menahan rasa dingin yang tercipta.
Rintik hujan masih saja turun, sebagian orang sudah meninggalkan minimarket, tapi tidak denganku karna tidak ada angkot yang lewat sejak hujan lebat tadi.
Sebuah mobil mewah berhenti di depan mini di market lalu turun seorang wanita cantik dari dalamnya dan aku mengenalinya. Dia Lolita temanku sewaktu aku masih SMP, tak kusangka akan bertemu ditempat seperti ini. Aku tidak berani menyapanya karena penampilannya yang super 'WAH' begitupun dengannya melangkah dengan anggun menuju ke dalam minimarket. Aku terpaksa duduk di lantai karena dinginnya udara saat itu,
"Eeh ... Kamu kan Nita anak 2B, ya?" tanya seorang wanita disampingku.
"Iya," Lalu aku menoleh ke arahnya.
"Sudah lama ya kita enggak pernah bertemu." Ujarnya dengan menyodorkan sebuah roti dan susu.
"I-iya Lit, kamu tambah cantik. Alhamdulillah kamu masih mengingatku." Ujarku dengan suara lemah.
"Sama saja Nit, kamu mau kemana? Kenapa bawa tas besar seperti ini?" Tanyanya berulang.
Kupandangi wajahnya yang cantik namun ada guratan kesedihan dimatanya. Sampai tak kuhiraukan tanyannya.
"Nit ditanya koq diam!" Sergahnya.
"Enggak apa-apa Lit, hujan sudah reda aku mau cari angkot dulu ya. Terimakasih atas traktirannya." Aku berdiri ingin meninggalkannya.
"Nit jangan pergi, aku butuh teman saat ini." Dia mencegahku pergi dan menggenggam tanganku.
"Tapi Lita! Aku enggak, bisa membantu banyak."
"Ku mohon Nita kalau tidak biarkan aku mengantarmu." Lalu Lita menarikku mendekati mobilnya dan mempersilahkan aku masuk.
Lita melajukan mobilnya dengan perlahan, terlihat jelas matanya berkaca-kaca. Ada apa dengan tubuhnya yang penuh luka, apakah aku harus bertanya atau biarkan saja dia berbicara. Aku hanya diam menatap jalanan di depan kami.
Mendadak Lita memberhentikan mobilnya lalu memelukku erat.
"Maafkan aku Nita, dulu aku menghinamu sehina-hinanya, tapi sekarang akulah yang hina." Dengan isakan dia tetap memelukku.
"Lita, yang dulu biarlah berlalu jangan diingat lagi. Jalanilah hidupmu dengan baik atau kamu tinggalkan jika tersiksa." lalu aku berusaha melepaskan pelukannya.
"Sekarang aku tahu bagaimana posisi Ibumu Nit, maaf kan aku ... maafkan aku." tangisnya tak jua reda dan semakin erat memelukku.
Kubiarkan dia meluapkan rasa bersalahnya yang telah lalu karena pernah menghinaku dan juga Ibuku. Klakson mobil tak berhenti dari arah belakang, membuat Lita kembali melajukan mobilnya perlahan. Wajah itu berganti cerah dan entahlah. Sepertinya kematian mengintainya, namun perlahan tapi aku tak pasti melihatnya.
"Lita aku pergi dulu ya semoga semua urusanmu akan cepat selesai."
"Sudah selesai Nita, dan aku akan pulang dengan tenang." Ucapnya dengan binar ketenangan.
"Lebih baik kamu pulang ke rumah jika perasaanmu sedang gundah." Jelasku, karena wajahnya kian pias.
Aku memeluknya dan meninggalkannya seorang diri menuju angkutan umum. Belum juga aku menaikinya, terlihat Lita berteriak dan terkulai di aspal. Aku berlari sebisaku mendekatinya namun sebuah pistol mengarah lurus ke kepalaku.
"Jangan ikut campur kamu! Pergi dari sini." Pria itu membentakku.
"Dia temanku bang, kenapa sampai kamu menembaknya!" Rasa takut dan kesal menjadi satu.
"Banyak bacot ni perempuan! Mau ikut mati haah!" Teriaknya.
Dan suara tembakan terdengar jelas di telingaku. Aku pikir aku yang tertembak tapi tidak ada rasa sakit di tubuhku.
Ternyata Pria di depanku yang tumbang dan menggelepar di aspal.
Dari belakang mendekat seorang pria bertubuh tegap terlihat dari bayangannya,
"Tidak akan pernah bisa kamu lari dariku, serahkan yang bukan milikmu." Bisiknya.
Refleks aku melihat kearahnya dan tubuhku mendadak kaku.
"Kamu ... kamu mengikutiku? Bagaimana mungkin?" Tanyaku.
"Serahkan saja itu." Dia menunjuk tas yang aku pegeng.
"Ini juga bukan hakmu biarkan aku memberikan amanah ini." lalu memeluk tas milikku.
"Heiii Dani, cepat evakuasi mereka!" terdengar suara bariton memberi perintah pada laki-laki disampingku.
"Siap komandan." Lalu dia bergeser mendekati penembak Lita.
"Mbak nanti dimintai keterangan ya, karna Mbak yang melihatnya." Seorang polisi lain menghampiriku. Aku hanya menganggukan kepalaku menyetujui permintaanya.
Selesai proses introgasi akupun bergegas pergi. Meninggalkan tempat itu agar terhindar dari polisi yang selalu ingin mengambil amplop ini. Meski kekhawatiranku akan nasib Lita besar, akupun tak bisa mengabaikan diriku sendiri yang tengah diincar pria berseragam itu.
Keberuntungan masih memihakku saat di butuhkan sebuah angkot lewat dan berhenti setelah aku melambaikan tangan. Tak banyak penumpang yang ada tapi sepertinya sang supir tergesa-gesa sekali.
Dan anehnya mata ini selalu berat tatkala menaiki angkot dan dengan sekejap aku tertidur.
"Mbak sudah sampai!" Seseorang berteriak membuatku gelagapan.
"Maaf Pak, saya tertidur!" Aku bergegas turun dan membayar ongkos, kali ini tak ada penolakkan.
Aku langsung mencari bis tujuan Merak dan menaikinya. Poselku berdering saat aku hendak duduk dan bau menyengat menguar ketika aku mengangkat ponsel untuk menerima panggilan.
Tak ada suara yang terdengar hanya suara burung berkicau. Kumatikan ponselku karna tak ada sahutan dari seberang sana.
Tidak lama ponselku berdering kembali dari nomor yang sama. Bau menyengat menguar lagi saat ku tekan tombol hijau. Sekelebat bayangan akan kematian terlihat jelas dan ada aroma busuk seperti bangkai menyelingi pandanganku. Aroma dari tubuh seorang wanita bergaun putih.
Karena ngerinya pemandangan di mataku, aku mematikan ponselku enggan menerima panggilan yang tidak jelas.
Saat sedang asyik melihat keluar melalui jendela bis, seseorang duduk di sampingku, tapi kuabaikan karena sudah biasa penumpang bisa duduk di mana saja yang mereka mau. Namun bau bensin sangat kuat memenuhi indra penciumanku. Aku beranikan diri menoleh kesamping dan dia ... dia. Dadaku sesak melihat lelaki ini. Kilasan bayangan tadi memenuhi kelopak mataku dan tak bisa aku hilangkan.
Wanita bergaun putih di rias sedemikian rupa sehingga menampilkan kecantikan yang diingikan sang perias. Wanita itu diam saja saat dirias dan dibaringkan di ranjang, tubuhnya kaku bak kayu hiasan. Tak ada senyum di wajahnya tetapi matanya tetap terbuka. Ruangan yang ditata apik sungguh menarik untuk diabadikan. Dipakai untuk mengumpulkan gadis-gadis bergaun putih.
Terkejut, ketika melihat sang perias wanita itu ternyata lelaki disampingku, tadi. Wajah yang imut namun, berhati dingin nan sadis. Siapapun yang melihatnya akan bergetar.
Tak lama sang pria mendekati gadis bergaun putih itu dan melumuri kakinya dengan sesuatu yang panas. Terlihat wanita bergaun putih itu meneteskan airmata tapi tak mampu berbuat apa-apa.
Jiwa sang gadis meronta dan berteriak namun bibirnya terkunci rapat. Cairan itu kini menutupi tubuhnya perlahan. Dengan senyuman sang pria mengelus pipi wanita itu dan mengecup bibirnya lalu meninggalkannya sendirian.
Sang gadis merintih menahan panas dari cairan itu, namun tak ada seorang pun yang mendengar. Bau menyengat itu datang lagi dan mengusik diriku. Membuat gelisah karna debaran didada sangat menyesakkan. Melihat kematian perlahan namun tak mampu menolongnya. Siapa lagi gadis-gadis bergaun putih itu! mengapa mereka bisa di gubuk yang jauh berada didalam hutan.
Bagi sebagian orang apa yang kulihat tidaklah nyata, tapi bagi sebagian orang yang pernah merasakan akan mengetahuinya. Tidak ingin mengeluh, aku hanya mampu menjalani kehidupanku sesuai yang diberikan Rabb-ku. Banyak yang bertanya kenapa tidak ditutup mata bathinmu? Kenapa tidak pergi ke tempat Ustadz dan tempat ruqyah? Tidak tahukah kalian, usahaku sudah semaksimal dan semua tidak bisa membuat penglihatan ini hilang. Aku bisa melihat kematian dari dekat dengan mata terbuka atau tertutup. Bahagia ataupun sedih. Bahkan hanya dengan berpapasan atau mendengar suaranya. Menderitakah diriku? Jangan ditanya lagi, itu sudah pasti. *** Tubuhku mulai menggigil didekat pria ini. Pria berdarah dinginkah dia atau ... entahlah. Dia begitu menikmati kematian gadis-gadis bergaun putih itu. Apakah aku dapat menolong mereka? Tapi bagaimana? Takdir Rabb-ku tidak mampu kuubah. Melihat tubuhku menggigil, pria disebelahku melir
"Tidak begitu, Mas. Kenapa kita harus membuat orang mati, sedangkan mereka mempunyai keluarga yang menanti. Mungkin saja mereka menjurus ke matre karna kebutuhan untuk mencukupi keperluan keluarga mereka, kita tak pernah tau." Bibirku bergetar mengatakannya, salah-salah takdirku akan sama dengan gadis-gadis bergaun putih itu. Tidak terdengar lagi pertanyaan darinya. Akupun mengalihkan pandangan ke jendela, melihat hiru pikuknya jalanan juga gedung-gedung yang menjulang tinggi. Air mata tetiba menetes tanpa bisa kubendung. Terlintas wajah gadis ayu namun, angkuh. Menantang sang pria berhati dingin dalam rengkuhan asmara yang dibuatnya. Hingga berakhir dalam balutan gaun putih dan berada di gubuk tengah hutan dengan tangis darah. Gadis-gadis itu mengharapkan harta yang melimpah dengan cara instant, tidak peduli apa yang dipikirkan orang lain. Pria berhati dingin ini ternyata memiliki trauma mendalam kepada gadis-gadis seperti mereka yang menghancurkan rumah tangga kedu
"Maaf, Pak. Hp anak Bapak ketinggalan di bis. Saya enggak tau ke mana harus mengembalikannya!" balasku, tidak ingin ada kecurigaan. "Pasti kamu perempuan enggak benar, ya? Mau merayu-rayu anak saya!" makiakinya tanpa mau mendengar penjelasan dariku. "Maaf, Pak jika Bapak berkenan kirim alamat Bapak ke no saya xxx..., besok saya akan kembalikan semua barang anak Bapak, dan ada sedikit pesan di dalamnya. Terimakasih sebelumnya." Enggan mendengar caciannya lagi, langsung aku putuskan sambungan telpon dari orang tua pemilik tas ini. Aku kembali menatap tas yang ada di pangkuanku. Begitu banyak poto gadis-gadis di dalamnya, yang aku yakini korban yang dia bunuh di gubuk itu dan satu poto keluarga utuh yang sangat menyedihkan. "Ya Rabb, amanah satu belum aku jalani, ada amanah lain yang harus didahulukan. Apa aku sanggup?" Kebencian akan selalu menghiasi hati manusia, dalam hal apapun jua. Namun dapat di cegah dengan perbanyak istighfar.
Aku mengurungkan niat masuk ke dalam kamar mandi, karena enggan terlibat sesuatu yang mengerikan. Ternyata. itulah tempat ternyaman bagi sosokyang menggangguku semalam. Awalnya aku berniat menunaikan salat subuh namun, dengan kondisi seperti ini bagaimana aku mengambil wudhu? Aku memilih untuk salat di luar hotel, tepatnya di Musala terdekat setelah bertanya ke penjaga hotel. Sepulang dari Musala, aku membereskan semua barang-barangku dan meninggalkan hotel yang penuh dengan sosok-sosok aneh. Sebelum meninggalkan hotel, aku memeriksa ponsel yang dititipkan padaku. Apakah alamat yang akan kutuju di kirim oleh orang yang memperkenalkan dirinya bernama Pak Ibra, saat dia meneleponku. Ternyata sudah ada di kotak pesan, dikirim saat aku terlelap. Aku bergegas ke sana meski masih terlalu pagi. Dengan dua kali menaiki angkutan umum dan harus berjalan kaki sedikit jauh. Akhirnya aku sampai namun, sambutan satpan sangat membuatku kesal. "Pagi-pagi cari
Aku di antar sampai bertemu dengan sosok laki-laki yang memakiku di telpon tanpa mau mendengar penjelasan apa-apa. Lalu, saptam itu pamit untuk kembali berjaga. Suasana di sini sangat dingin hingga menusuk tulang. Rumah ini mewah nan luas namun, di hiasi kesunyian yang nyata. Aku sedikit menjauh dari pria paruh baya ini, karena di belakangnya berdiri sosok yang menakutkan. Namun, makhluk itu seolah mengikuti gerakan manusia di depannya. Pak Ibra mempersilahkanku untuk duduk, di mana sudah disiapkan jamuan untukku. Ada keuntungan aku memiliki penglihatan ini, ya, aku dapat meliat beberapa makhluk menjilati makanan yang terhidangf di meja. Berkali-kali pak Ibra menyuruhku untuk makan namun, kutolak secara halus dengan alasan masih kenyang. Pak Ibra dengan santai memakan makananya dan aku hampir muntah melihatnya. Dia memakan sesuatu seperti daging mentah, tepatnya hati. Membuat sekujur tubuh kaku, tidak dapat membayangkannya jika aku ikut makan bersamanya.
"Kaget Pak, ada semut," jawabku asal. Saat pak Ibra kembali duduk, sosok di bawah meja menampakkan dirinya lagi. Dengan mata sendu dia menatapku. Saat ingin berbicara, dia ditarik oleh sosok yang selalu berdiri di belakangnya. Meski terkejut, aku berusaha tenang karena tidak ingin membuat pak Ibra curiga. Akhirnya aku menyanggupi permintaanya untuk memberikan uang-uang itu pada keluarga korban. Anggap saja permintaan maaf kami ujar pak Ibra. Aku pun berpamitan dan melangkah keluar. Terdengar denting dari piring dan sendok yang beradu. Aku yakin, Pak Ibra melanjutkan memakan organ itu lagi. Tentu saja membuat, perutku mual. Sesampainya di gerbang, aku melihat pak satpam sedang ber SMS ria. "Pak, tolong bukain pintu," Dengan sedikit berteriak aku meminta dan sukses membuatnya terkejut. "Alhamdulillah baik, Neng." Lalu dia membukakan pintu gerbang. Setelah keluar aku membalikan badan, ingin mengucapkan terimakasih. Namun, pemandanga
Setelah memberikan amanah untuk keluarga Nora, perjalanan ku lanjutkan kekampung sebelah dengan berjalan kaki. Karena jarak lumayan dekat, irit ongkos pikirku. Tapi pandangan sesosok wanita yang ku temui saat keluar dari rumah Nora selalu mengikuti langkahku, tak gentar sih hanya risih saja dipandangi saat kita berjalan. Aku coba membaca diary James dengan teliti, kenapa dia sampai menjadi segila itu. Hingga memilih mati bersama wanita-wanita yang pernah menemaninya. Membaca lembar demi lembar tanpa melihat ke jalanan yang lengang ini, tidak sadar aku terduduk diam membaca setiap bait tulisannya. Membuatku sedikit mengerti mengapa dia memintaku untuk memberikan amanah ini. Mungkin karena inilah yang membuat James, memilih mengakhiri dirinya. "Aku akan berhenti jika ada wanita yang tidak tertarik pada ketampan wajahku, pada mulusnya kulitku, pada lembutnya kata-kataku, pada gemerlap yang aku punya. Aku tak tahu kapan waktu itu akan tiba, tapi aku berhara
"Sudah Nak, sampai terjual rumah kami untuk ongkos mencarinya. Tapi tidak kunjung bertemu," Tidak disadarinya embun itu menetes sempurna dari mata rentanya. Aku membuka diary James dan melihat nama wanita cantik tersebut, lalu menanyakan kepada pria tua itu. "Siapa namanya Pak?" Tanyaku lirih. "Indriani, dia anak yang baik tapi bertemu pria yang tidak baik. Bapak sudah menasehatinya tapi tidak didengarnya, dia bilang pria itu mencintainya. Bapak dan Ibu akhirnya menyerah hingga kami tak pernah bertemu lagi," Dengan menahan sesak pria tua itu bercerita. Aku mengambil poto dalam tas, dan menunjukkan pada pria tua itu. Kuperlihatkan tetapi dia merasa tidak percaya jika aku mengenal putrinya. "Kamu kenal di mana? Di mana dia sekarang? Apa dia bahagia? Apa dia menderita? Apa ada yang terjadi? Ibunya pernah bermimpi Indri minta tolong lalu menghilang," tanya pria itu tanpa jeda. "Saya kenal anak Bapak di J
"Masih ingat aku ...." tanya lelaki itu, tiba-tiba. "Kamu ... kamu itu," tunjukku pada polisi yang tidak kukenal, mencoba mengingat-ingat. "Lama tidak jumpa," sapanya. Lalu, dia mendekati dan mengulurkan tangannya. Aku mengeratkan pegangan tanganku pada Sopyan. Sopyan merasa ada sesuatu yang aneh, dia pun bertanya, "Kalian saling kenal?" tanyanya pada polisi itu. "Cukup kenal, saya hanya meminta milik saya di kembalikan," ujarnya dengan memicingkan matanya. "Kamu, mengambil miliknya," tanya Sopyan padaku. Aku hanya diam dan makin mengeratkan pegangan tanganku. Polisi itu makin mendekat dan berdiri di hadapanku. "Itu bukan milikmu, jika milikmu maka akan aku serahkan dengan suka rela," bentakku. "Kamu tak akan bisa lari dariku," ujarnya. "Tunggu ... Tunggu. Kalian saling kenal atau tidak?" tanya Sopyan, sambil melihat ke arahku dan polisi itu.
Tangan lelaki itu, mulai menjamah kakiku, Kemudian, terus merangkak di atasku. Tubuhku masih terasa sakit, ketika didorong olehnya tadi. "Ayolah, aku tahu, ini juga hal yang diinginkan wanita kebanyakan, yaitu ranjang yang hot!" cibirnya. Auranya sangat membuatku takut, bukan karena ilmu hitam, tapi karena kekuatan tuuhnya yang tidak bisa dibandingakan dengan kekuatan seorang wanita sepertiku. Apakah aku akan berakhir seperti ini? Bruk! Tubuh lelaki pemangsa, jatuh terkulai di atas tubuhku. Kukira karena dia mulai ingin melakukan hal buruk padaku, tapi ternyata kepalanya dipukul kayu balok oleh Nadin. "Ayo, Kak!" ajaknya menahan rasa sakit. Aku mendorong tubuh lelaki yang mulai tidak berdaya, membuatnya terjatuh dari dipan kayu. Aku dan Nadin saling memapah, berharap isa selamat berdua. Teringat akan Sopyan yang tidka kunjung datang, apakah mungkin dia takut dan pergi? "Nita!" seru Sopyan, membuka pintu. Rasanya a
"Ayo kita keluar, sebelum penjahat itu datang lagi!" seruku. Aku mencoba memapah tubuh kecil itu, untuk keluar dari dalam gubuk. Namun, dikejauhan terdengar suara langkah kaki mendekat. Aku yang setengah panik, mengangkat tubuh mungil di depanku. "Kak, pergilah dari sini! Nadin belum kuat untuk jalan," lirihnya "Kakak, kuat!" bantaku. Gadis kecil itu meringis, ketika lukanya tersenggol olehku. Ingin tidak memperdulikannya, tapi sepertinya dia benar-benar kesakitan. "Kak, pergila, jika dia kembali, kita berdua dalam bahaya!" pintanya. Baru saja aku ingin membuka pintu, sosok laki-laki menghadang langkahku. Matanya melotot dan napasnya memburu, tubuh yang tidak terbalut seelai benang pun membuatnya gaga, tapi sayangnya kelakuannya sungguh tidak manusiawi. "Siapa kamu? Mau apa? Kenapa mau bawa anak itu?" tanyanya beruntun. "Kamu sudah membunuh ibunya! Sekarang mau menyiksa anaknya?" tanyaku tanpa menjawab
"Apa kamu suka pria seperti itu?" tanyanya membuatku merasa aneh. Ingin rasanya kujawab, aku mulai menyukaimu meski menyebalkan. Namun, kutahan dalam diam. Suara azan berkumandang menandakan magrib sudah datang, dengan cekatan Sopyan mencari dimana tempat kami akan berhenti dan menunaikan kewajiban kami. Setelah menemukan Masjid Sopyan berhenti, lalu kami masuk dan melaksanakan kewajiban kami. Selesai sholat kami melanjutkan perjalanan kembali menuju rumah Umi, seperti pinta Sopyan sebelum mencari anak itu. "Ehem ... habis sholat koq diem aja," sindirnya. "Emang kalau habis sholat harus jungkir balik ya!" jawabku nyeleneh. "Harusnya salim dengan suami, itu baru afdhol. Cari pahala lagi," terangnya. "Ooo ... Kenapa nggak bilang aja langsung!" Tanyaku sengit. "Belajarkan pelan-pelan, masa mau ngegas nanti nabrak," ceramahnya. Dengan memaksakan diri, aku mengulurkan tangan dan disambut olehnya. "Barakallahu, semoga m
Aku menangis dalam pelukan Sopyan namun, teriakan juga isakan itu masih terdengar jelas di telingaku. Dieratkannya pelukan Sopyan, membuatku tenang sesaat. "Lepaskan! Jangan ... Jangan lakukan itu. Biarkan aku pergi," Suara anak itu kembali terdengar. Sopyan menarik tanganku menuju parkiran. Dirogoh saku celananya lalu mengambil ponsel, berulang kali melakukan panggilan akhirnya terhubung. Dilepaskan genggamannya dan sedikit menjauh dariku saat dia menerima panggilan itu. Aku terpaku menatap punggung lelaki setia itu, tapi sayang aku tidak mencintainya. Dikala aku asik memandanginya, dia berbalik dan menatapku dengan binar aneh dimatanya. "Ayo, kita pergi," ucapnya lirih. "Katanya ijin dokter dulu," bantahku. "Udah ada yang ngurus. Mau pergi apa nggak nih!" tantangnya. Tanpa menjawab aku mendekatinya, lalu dia menarikku mendekati sebuah mobil. Dari mobil itu turun seorang lelaki muda, bisa saja itu sepupu atau siapanya Sopyan. Akukan b
Tanpa mau mendengarnya lagi aku berjalan, namun dia mengekoriku seperti anak ayam kehilangan induknya. Menjengkelkan tapi tak bisa berbuat banyak. Pikiranku makin melayang mengingat amanah yang banyak aku pegang, namun belum juga aku selesaikan. "Tenang amanah dari James sudah hampir selesai, jangan jadi beban lagi!" ujar Sopyan, menghentikan langkahku. "Kamu buka tas milikku? Kenapa enggak ijin!" cecarku. "Kamu tau seberapa lama kamu di rumah sakit?" tanyanya, membuat aku sedikit merenung. Benar juga perkataannya, aku tidak tahu sudah berapa lama aku tidak sadarkan diri. Luka didadaku cukup parah, hampir mematahkan tulangku dan menggores jantungku. Tak ingin berterimakasih aku melangkah lagi. Kesombonganku mengalahkan segalanya, hanya untuknya. Kami berjalan ke taman rumah sakit, di sana bisa melihat pemandangan sore. Menyejukan mata yang selama ini tertidur. Perlahan aku menceritakan niatku untuk menolong anak dari Suster Dian, pada Sopyan.
[01.33, 30/3/2022] Dwi: "Maaf Sus," ucapku lirih. Setelah pemeriksaan, para suster keluar ruangan untuk memeriksa pasien yang lain. Rasa sedih menjalar keseluruh badanku, mengingat senyum sang Suster yang sangat manis. Begitu melihat Sopyan datang, rasa kesal memuncak. Menahan amarah yang tertunda semalam, "Ngapain datang ke sini, menolong manusia lain saja kamu keberatan!" omelanku menyambutnya. "Maaf, banyak pertimbangan kenapa aku tidak bisa keluar semalam. Semua sudah takdir ilahi, bersabarlah," ujarnya lembut. "Mudah sekali menukar nyawa orang. Sudah pergi sana!" teriakku kesal. "Kamu jangan lupa, aku suamimu meski hanya secara agama!" ucapnya penuh penekanan. Aku hanya diam mendengar kata-katanya. Rasanya tak kuasa menahan amarah yang bergejolak, tapi harus dipendam. "Pergilah ke ruang dokter, tanyakan apakah aku sudah diperbolehkan pulang. Rasanya sudah tidak betah," pintaku dingin. Tidak lama dia p
[01.31, 30/3/2022] Dwi: "Sudah sembuhkan dirimu dulu, baru aku ceritakan. Apa yang kamu lihat hingga seperti ini?" Tanyanya. "Entahlah, samar." Jawabku, lalu aku merebahkan diriku kembali. Dan Sopyan menggengam tanganku erat. Lalu aku mencoba tertidur kembali. Tiada henti mulut ini berzikir mengharap tidur lelap kembali. Namun penghuni di kamar ini sepertinya ketakutan akan hal yang aneh, bukan karena diriku atau pun Sopyan. Entahlah, terdengar auman keras yang bersahutan.Lalu terlihat dua harimau yang pernah aku lihat dikamar Sopyan. "Eh, bangun," Kugoncangkan tubuh Sopyan. "Ada apa, baru juga tidur!" jawabnya. "Tu pengikutmu." Aku menunjuk ke sampingnya. "Biarin, mereka menjaga kita," ucapnya ngawur. Belum sempat aku berbicara lagi, harimau itu mendekatiku dan duduk tepat dibawah ranjangku. Terdengar jeritan saling bersahutan, membuatku tak tenang. Setiap kali jeritan terdengar auman harimua
"Enggak apa-apa Bu, saya sudah terbiasa." Jawabnya santai. Aku bingung mengutarakan padanya perihal apa yang terlihat, lalu dia pergi. Hampir saja jam sembilan malam, kembali terlintas kejadian yang akan menimpa Suster tadi. Aku semakin gemetar, saat Sopyan masuk aku langsung memintanya memanggil Suster yang mengurus diriku tadi. Meski ingin bertanya Sopyan pun berlalu pergi mencari Suster. Kegelisahan makin membuatku tak tenang. Sopyan kembali dan mengatakan jika Suster tersebut sudah pulang. Sedikit kecewa tapi apalah daya. Lalu aku mencoba memejamkan mataku, terdengar Sopyan berbicara. Ku abaikan Sopyan dan memilih memejamkan mataku. "Ampuun ... ampuun, jangan sakiti saya," teriak seorang wanita. "Kamu harus mati, kamu yang menyebabkan ini semua," bentak seorang lelaki. Lalu, pemandangan itu semakin samar, membuat tubuhku menggigil. Terasa sesuatu di dahiku, ternyata Sopyan sedang mengkompresku. Mataku terbuka dan melihat sekita