Lalu pintu mobil terbuka dan aku terdorong keluar. Rasa sakit karna terkilir dan luka yang belum sembuh tak kuhirau kan, aku mencoba berlari sekuat tegaku. Meninggalkan polisi itu, amplop ini sepertinya penting. Kenapa polisi itu tau akan amplop ini?.
Rasanya sudah tak kuat lagi berlari dan aku berhenti didepan rumah seseorang, ku istirahatkan kakiku sejenak.
Kepada siapa aku menceritakan hal aneh ini? Bathin ku bergejolak.
Tetiba debaran didada membuat sesak!
"Pergilah ... pergilah!" Suara itu lagi.
Dengan sisa tenaga aku berlari lagi dan segera mencari angkot untuk kembali pulang. Sesampainya dirumah aku langsung masuk kamar dan menguncinya. Terdengar pintu diketuk,
"Nit, kamu sakit lagi?" Tanya mbak Afsah.
Aku hanya diam saja.
"Nita buka ... Nit. Rinda dari tadi menelpon, kenapa kamu enggak jadi kekantornya?" Tanyanya penasaran.
Aku membuka pintu lalu menghampiri mbak Afsah,
"Tadi kakiku terkilir Mbak, jadi balik lagi." Terangku.
"Ough ya sudah, kamu istirahat dulu."
Aku mengangguk dan masuk kekamar tak lupa mengunci kembali pintunya.
Penasaran dengan amplop coklat berisi tebal, akupun membuka perlahan dan mencari alamat yang di maksud ibu muda tadi. Seketika bau aroma daging panggang menguar, menusuk hidungkku sehingga ingin mengeluarkan isi perut.
"Pergilah sebelum terlambat dan jangan takut, ikuti takdirmu." Lagi-lagi suara itu memenuhi ruang pendengaranku.
Istighfar tak henti aku ucapkan agar dapat menenangkan diri, sembari aku mencari alamat yang dimaksud.
Isi amplop ku keluarkan semuanya karna belum juga menemukan alamat yang dimaksud.
Dan .... terlihat poto-poto yang mengerikan membuat jantungku serasa lepas. Apa-apaan ini, batinku.
Terlihat amplop kecil tebal namun di lem, sehingga aku tak berani membukannya.
Satu kertas ku baca, dan terdapat tulisan "ini adalah korban-korbannya, carilah Rian ke alamat ini. Berlindung disana sementara!"
Setelah ku baca ternyata alamatnya berada dipalembang. Bingung dengan keadaan ini, seperti sebuah kebetulan.
Ponsel berbunyi disaat jantungku tak henti berdebar,
"Hallo siapa ini?"
"Serahkan amplop itu, atau!" Terdengar suara pria, sepertinya polisi tadi.
Lalu ku matikan ponselku, tapi tak membuat deringnya berhenti. Dalam gamangnya hati kuputuskan untuk berangkat kepalembang dan mengambil pekerjaan disana.
Aku harus cepat atau banyak yang akan terluka, sepertinya ini hal yang buruk, karena jantungku semakin berdebar dan menyesakkan pertanda sesuatu yang terburuk akan terus terjadi.
Ku masukan semua baju dan peralatanku kedalam tas. Kuraih ponsel dan mendail nomor, tak lama sudah terhubung,
"Assalamualaikum pak Andri, saya terima tawara Bapak dan saya saat ini sedang menuju lampung, dari sana saya akan naik kereta saja." aku berbicara tanpa jeda.
"Waalaikumusalam, iya Nit. Sabar sebentar. Sepertinya kamu tergesa-gesa." Jawabnya.
"Iya Pak, dijemput teman dari lampung. Oya Pak mohon dirahasiakan ya kepergian saya kesana, biar saya yang beri tahu mereka kedepannya." Terangku
"Oke ... Oke, kamu kesini untuk ambil berkas dan ongkos kesana ya."
Ponsel kumatikan setelah mengucap salam.
Pertengkaran sedikit terjadi dengan mbak Afsah karena keputusan yang mendadak.
Dan akhirnya dia merelakan aku pergi meski berat hati. Persahabatan yang dijalani erat menjadikan kami layaknya saudara.
Sore itu aku berangkat dengan membawa bekal dari pak Andri dan sedikit dari paksaan mbak Afsah. Rasa hati bimbang tapi wajah ibu muda yang tengah hamil itu membayangiku setiap waktu.
Perjalanan berat menanti didepan sana, entah apa yang akan terjadi padaku esok. Semua ku pasrahkan pada pemilik diri.
Dengan 'Basmalah' aku memulai kengerian ini.
****
Aku menaiki metromini menuju keterminal Kampung rambutan. Dalam perjalanan kali ini pun debaran jantungku tak berhenti sesak dan sakit sekali.
"Ya Rabb jauhkan keburukan dariku, hindarkan yang tak mampu untukku bantu. Lemah imanku hanya bisa mengharap pertolonganmu."
Doa dan zikir tak hentinya dipanjatkan pada sang pemilik diri. Andai saja ada yang mau menemaniku untuk menjalani ini semua maka ini tak akan terasa berat.
Metromini memasuki terminal dan berhenti, lalu aku berjalan menuju tempat kumpulnya angkutan-angkutan umum mangkal (biasa disebut angkot). Aku menaiki angkot jurusan bogor dengan nomer satu dua satu A yang sudah ada beberapa penumpangnya. Saat menunggu angkot berangkat, salah satu dari mereka memandangiku dengan tatapan tajam membuatku bergidik. Aku mengalihkan pandangan dari lelaki itu karna merasa risih sekali.
Angkot sudah penuh dan perjalanan tak tertunda lama. Mata terasa sangat berat hingga tak bisa menahan untuk dipejamkan, seketika aku tertidur lelap. Merasa tertidur cukup lama aku terbangun dan di angkot hanya tersisa aku, supir, wanita setengah baya dan lelaki yang terus menatapku tajam.
"Hati-hati, apa yang kamu bawa bisa membunuh banyak orang. Baiknya kamu pertimbangkan lagi." Lelaki itu akhirnya bersuara.
"Maksudnya apa ya Pak? Saya tidak mengerti."
"Jangan pergi bila kamu tidak memiliki nyali kuat!" Imbuhnya yang makin membuatku tak mengerti.
"Pak maaf saya tidak faham apa yang Bapak maksud, bisa jelaskan?" Aku menuntut penjelasan darinya.
Bukannya menjawabku dia malah memberhentikan angkot, turun dan pergi. Rasa penasaran akan maksudnya membuat dadaku sesak tiba-tiba. Lalu aku melihat ke arah dia berjalan menjauh dan ... tak ada orang sama sekali disana, tak ada gang atau gapura yang menandakan ada sebuah jalan lain. Bulu kuduk kian meremang.
Aku memeluk tas yang ada dipangkuanyku dan berzikir tak henti. Air mata tetiba menetes perlahan tidak mampu kubendung. Ada apa sebenarnya ini? Apa ini sebuah peristiwa besar atau peristiwa yang tidak boleh diketahui orang banyak? Pikiranku menjadi kalut.
"Nak, yakin saja pada pemberi nyawa. Apa yang sudah digariskan pasti itu yang terbaik meskipun menurut kita tidak." Ibu itu berbicara mungkin karena melihatku sedih.
"Iya Bu, berat memang. Tapi saya enggak tau harus bagaimana?" Keluhku.
"Yakin saja pada dirimu karena tak akan ada yang membantumu selain dirimu sendiri!" Jawabnya lalu menepuk pundakku.
Angkot pun diberhentikkannya dan dia menyodorkan amplop putih padaku.
"Maaf Bu untuk apa ini? Kenapa diberikan pada saya?" Tanyaku.
"Kamu akan membutuhkannya cepat atau lambat." dia memaksakan kehendaknya dengan menyelipkan amplop itu kedalam tas dan aku pasrah, hanya mampu mengucapkan terimakasih banyak.
Saat si ibu turun, ada desiran angin dingin menyapu leher belakangku apalagi melihat senyumnya bulu kudukku seakan menyapanya dengan berdiri. Siapa mereka-mereka ini? Tak ingin memperdulikan mereka aku memfokuskan mataku keponsel. Banyak pesan yang masuk dan salah satunya dari lelaki berseragam itu. Mataku melotot begitu melihat tulisan yang dia kirim,
"Jangan kamu injak tanah palembang dan memberikan amlop itu pada orang yang tidak tepat."
"Kematian akan selalu mengintaimu jika kamu tetap bersikeras."
"Segera hubungi saya dan serahkan amplop itu!"
Dan begitu banyak pesan darinya yang tak ku baca. Ponsel terpaksa ku nonaktifkan dan menyimpannya ke dalam tas karena tujuanku sudah sampai. Saat akan membayar ongkos sang sopir menolaknya,
"Kenapa pak? Saya naik dari Rambutan looh!" Tanya ku heran.
"Bisa untuk neng beli minum, sepertinya neng kehausan. Sok atuh Bapak mah ikhlas neng." Ujarnya.
"Tapi Bapak kan lagi mencari rezeki, kenapa menolaknya?" Rasa penasaran membuatku bertanya.
"Rezeki mah Neng aya tie mana wae, tong dipikirkeun ( rezeki ada dimana saja, jangan dipikirkan)." Ucapnya lalu pergi meninggalkanku tanpa mendengar penolakkanku lagi.
Rasa janggal menyelimuti perjalananku, karena lelah berjalan dan lapar, aku berhenti di sebuah warteg. Memesan satu porsi nasi lengkap dengan sayur dan beberapa lauknya. Sebelum makan teringat akan amplop putih yang diberikan padaku oleh ibu tadi, aku membukanya dan taraaa ... Uang lembaran merah terpampang di sana. Terkejut campur rasa yang tidak bisa diungkapkan, setelah kuperhatikan di antara uang itu ada selembar kertas yang terselip, ku ambil dan membacanya,
"Gunakan di waktu yang tepat, ya!"
Pesan itu seolah tertuju padaku. Kumasukan amplop pada keadaan semula dan memakan makanan yang sudah tersedia. Dada ini semakin sesak merasakan sesuatu yang belum pernah terasa sama sekali. Hanya pikiranku saja mungkin, batinku mulai berkecamuk. Aku menyelesaikan makanku dan membayarnya, namun lagi-lagi uang yang kuberikan ditolak secara halus. Apakah penampilanku aneh atau ada yang aneh dengan uang ini? Tak habis pikir kenapa mereka menolaknya meski aku memaksa.Perjalanan kulanjutkan. Sesampainya di tempat tujuan ternyata rumah sahabatku sudah rata dengan tanah. Rasa sedih tidak terlukiskan lagi jarak yang kutempuh sia-sia. Langkahku gontai meninggalkan tempat pertama yang kudatangi. Hujan turun di hari yang secerah ini, menambah kebimbangan akan langkah ini.Berdiri di depan sebuah mini market menunggu hujan yang sangat lebat berhenti, di kejauhan sekelebat bayangan terlihat sangat mengerikan. Aku tidak berani menatap jauh ke depan, orang-orang di sekitarku ha
Bagi sebagian orang apa yang kulihat tidaklah nyata, tapi bagi sebagian orang yang pernah merasakan akan mengetahuinya. Tidak ingin mengeluh, aku hanya mampu menjalani kehidupanku sesuai yang diberikan Rabb-ku. Banyak yang bertanya kenapa tidak ditutup mata bathinmu? Kenapa tidak pergi ke tempat Ustadz dan tempat ruqyah? Tidak tahukah kalian, usahaku sudah semaksimal dan semua tidak bisa membuat penglihatan ini hilang. Aku bisa melihat kematian dari dekat dengan mata terbuka atau tertutup. Bahagia ataupun sedih. Bahkan hanya dengan berpapasan atau mendengar suaranya. Menderitakah diriku? Jangan ditanya lagi, itu sudah pasti. *** Tubuhku mulai menggigil didekat pria ini. Pria berdarah dinginkah dia atau ... entahlah. Dia begitu menikmati kematian gadis-gadis bergaun putih itu. Apakah aku dapat menolong mereka? Tapi bagaimana? Takdir Rabb-ku tidak mampu kuubah. Melihat tubuhku menggigil, pria disebelahku melir
"Tidak begitu, Mas. Kenapa kita harus membuat orang mati, sedangkan mereka mempunyai keluarga yang menanti. Mungkin saja mereka menjurus ke matre karna kebutuhan untuk mencukupi keperluan keluarga mereka, kita tak pernah tau." Bibirku bergetar mengatakannya, salah-salah takdirku akan sama dengan gadis-gadis bergaun putih itu. Tidak terdengar lagi pertanyaan darinya. Akupun mengalihkan pandangan ke jendela, melihat hiru pikuknya jalanan juga gedung-gedung yang menjulang tinggi. Air mata tetiba menetes tanpa bisa kubendung. Terlintas wajah gadis ayu namun, angkuh. Menantang sang pria berhati dingin dalam rengkuhan asmara yang dibuatnya. Hingga berakhir dalam balutan gaun putih dan berada di gubuk tengah hutan dengan tangis darah. Gadis-gadis itu mengharapkan harta yang melimpah dengan cara instant, tidak peduli apa yang dipikirkan orang lain. Pria berhati dingin ini ternyata memiliki trauma mendalam kepada gadis-gadis seperti mereka yang menghancurkan rumah tangga kedu
"Maaf, Pak. Hp anak Bapak ketinggalan di bis. Saya enggak tau ke mana harus mengembalikannya!" balasku, tidak ingin ada kecurigaan. "Pasti kamu perempuan enggak benar, ya? Mau merayu-rayu anak saya!" makiakinya tanpa mau mendengar penjelasan dariku. "Maaf, Pak jika Bapak berkenan kirim alamat Bapak ke no saya xxx..., besok saya akan kembalikan semua barang anak Bapak, dan ada sedikit pesan di dalamnya. Terimakasih sebelumnya." Enggan mendengar caciannya lagi, langsung aku putuskan sambungan telpon dari orang tua pemilik tas ini. Aku kembali menatap tas yang ada di pangkuanku. Begitu banyak poto gadis-gadis di dalamnya, yang aku yakini korban yang dia bunuh di gubuk itu dan satu poto keluarga utuh yang sangat menyedihkan. "Ya Rabb, amanah satu belum aku jalani, ada amanah lain yang harus didahulukan. Apa aku sanggup?" Kebencian akan selalu menghiasi hati manusia, dalam hal apapun jua. Namun dapat di cegah dengan perbanyak istighfar.
Aku mengurungkan niat masuk ke dalam kamar mandi, karena enggan terlibat sesuatu yang mengerikan. Ternyata. itulah tempat ternyaman bagi sosokyang menggangguku semalam. Awalnya aku berniat menunaikan salat subuh namun, dengan kondisi seperti ini bagaimana aku mengambil wudhu? Aku memilih untuk salat di luar hotel, tepatnya di Musala terdekat setelah bertanya ke penjaga hotel. Sepulang dari Musala, aku membereskan semua barang-barangku dan meninggalkan hotel yang penuh dengan sosok-sosok aneh. Sebelum meninggalkan hotel, aku memeriksa ponsel yang dititipkan padaku. Apakah alamat yang akan kutuju di kirim oleh orang yang memperkenalkan dirinya bernama Pak Ibra, saat dia meneleponku. Ternyata sudah ada di kotak pesan, dikirim saat aku terlelap. Aku bergegas ke sana meski masih terlalu pagi. Dengan dua kali menaiki angkutan umum dan harus berjalan kaki sedikit jauh. Akhirnya aku sampai namun, sambutan satpan sangat membuatku kesal. "Pagi-pagi cari
Aku di antar sampai bertemu dengan sosok laki-laki yang memakiku di telpon tanpa mau mendengar penjelasan apa-apa. Lalu, saptam itu pamit untuk kembali berjaga. Suasana di sini sangat dingin hingga menusuk tulang. Rumah ini mewah nan luas namun, di hiasi kesunyian yang nyata. Aku sedikit menjauh dari pria paruh baya ini, karena di belakangnya berdiri sosok yang menakutkan. Namun, makhluk itu seolah mengikuti gerakan manusia di depannya. Pak Ibra mempersilahkanku untuk duduk, di mana sudah disiapkan jamuan untukku. Ada keuntungan aku memiliki penglihatan ini, ya, aku dapat meliat beberapa makhluk menjilati makanan yang terhidangf di meja. Berkali-kali pak Ibra menyuruhku untuk makan namun, kutolak secara halus dengan alasan masih kenyang. Pak Ibra dengan santai memakan makananya dan aku hampir muntah melihatnya. Dia memakan sesuatu seperti daging mentah, tepatnya hati. Membuat sekujur tubuh kaku, tidak dapat membayangkannya jika aku ikut makan bersamanya.
"Kaget Pak, ada semut," jawabku asal. Saat pak Ibra kembali duduk, sosok di bawah meja menampakkan dirinya lagi. Dengan mata sendu dia menatapku. Saat ingin berbicara, dia ditarik oleh sosok yang selalu berdiri di belakangnya. Meski terkejut, aku berusaha tenang karena tidak ingin membuat pak Ibra curiga. Akhirnya aku menyanggupi permintaanya untuk memberikan uang-uang itu pada keluarga korban. Anggap saja permintaan maaf kami ujar pak Ibra. Aku pun berpamitan dan melangkah keluar. Terdengar denting dari piring dan sendok yang beradu. Aku yakin, Pak Ibra melanjutkan memakan organ itu lagi. Tentu saja membuat, perutku mual. Sesampainya di gerbang, aku melihat pak satpam sedang ber SMS ria. "Pak, tolong bukain pintu," Dengan sedikit berteriak aku meminta dan sukses membuatnya terkejut. "Alhamdulillah baik, Neng." Lalu dia membukakan pintu gerbang. Setelah keluar aku membalikan badan, ingin mengucapkan terimakasih. Namun, pemandanga
Setelah memberikan amanah untuk keluarga Nora, perjalanan ku lanjutkan kekampung sebelah dengan berjalan kaki. Karena jarak lumayan dekat, irit ongkos pikirku. Tapi pandangan sesosok wanita yang ku temui saat keluar dari rumah Nora selalu mengikuti langkahku, tak gentar sih hanya risih saja dipandangi saat kita berjalan. Aku coba membaca diary James dengan teliti, kenapa dia sampai menjadi segila itu. Hingga memilih mati bersama wanita-wanita yang pernah menemaninya. Membaca lembar demi lembar tanpa melihat ke jalanan yang lengang ini, tidak sadar aku terduduk diam membaca setiap bait tulisannya. Membuatku sedikit mengerti mengapa dia memintaku untuk memberikan amanah ini. Mungkin karena inilah yang membuat James, memilih mengakhiri dirinya. "Aku akan berhenti jika ada wanita yang tidak tertarik pada ketampan wajahku, pada mulusnya kulitku, pada lembutnya kata-kataku, pada gemerlap yang aku punya. Aku tak tahu kapan waktu itu akan tiba, tapi aku berhara
"Masih ingat aku ...." tanya lelaki itu, tiba-tiba. "Kamu ... kamu itu," tunjukku pada polisi yang tidak kukenal, mencoba mengingat-ingat. "Lama tidak jumpa," sapanya. Lalu, dia mendekati dan mengulurkan tangannya. Aku mengeratkan pegangan tanganku pada Sopyan. Sopyan merasa ada sesuatu yang aneh, dia pun bertanya, "Kalian saling kenal?" tanyanya pada polisi itu. "Cukup kenal, saya hanya meminta milik saya di kembalikan," ujarnya dengan memicingkan matanya. "Kamu, mengambil miliknya," tanya Sopyan padaku. Aku hanya diam dan makin mengeratkan pegangan tanganku. Polisi itu makin mendekat dan berdiri di hadapanku. "Itu bukan milikmu, jika milikmu maka akan aku serahkan dengan suka rela," bentakku. "Kamu tak akan bisa lari dariku," ujarnya. "Tunggu ... Tunggu. Kalian saling kenal atau tidak?" tanya Sopyan, sambil melihat ke arahku dan polisi itu.
Tangan lelaki itu, mulai menjamah kakiku, Kemudian, terus merangkak di atasku. Tubuhku masih terasa sakit, ketika didorong olehnya tadi. "Ayolah, aku tahu, ini juga hal yang diinginkan wanita kebanyakan, yaitu ranjang yang hot!" cibirnya. Auranya sangat membuatku takut, bukan karena ilmu hitam, tapi karena kekuatan tuuhnya yang tidak bisa dibandingakan dengan kekuatan seorang wanita sepertiku. Apakah aku akan berakhir seperti ini? Bruk! Tubuh lelaki pemangsa, jatuh terkulai di atas tubuhku. Kukira karena dia mulai ingin melakukan hal buruk padaku, tapi ternyata kepalanya dipukul kayu balok oleh Nadin. "Ayo, Kak!" ajaknya menahan rasa sakit. Aku mendorong tubuh lelaki yang mulai tidak berdaya, membuatnya terjatuh dari dipan kayu. Aku dan Nadin saling memapah, berharap isa selamat berdua. Teringat akan Sopyan yang tidka kunjung datang, apakah mungkin dia takut dan pergi? "Nita!" seru Sopyan, membuka pintu. Rasanya a
"Ayo kita keluar, sebelum penjahat itu datang lagi!" seruku. Aku mencoba memapah tubuh kecil itu, untuk keluar dari dalam gubuk. Namun, dikejauhan terdengar suara langkah kaki mendekat. Aku yang setengah panik, mengangkat tubuh mungil di depanku. "Kak, pergilah dari sini! Nadin belum kuat untuk jalan," lirihnya "Kakak, kuat!" bantaku. Gadis kecil itu meringis, ketika lukanya tersenggol olehku. Ingin tidak memperdulikannya, tapi sepertinya dia benar-benar kesakitan. "Kak, pergila, jika dia kembali, kita berdua dalam bahaya!" pintanya. Baru saja aku ingin membuka pintu, sosok laki-laki menghadang langkahku. Matanya melotot dan napasnya memburu, tubuh yang tidak terbalut seelai benang pun membuatnya gaga, tapi sayangnya kelakuannya sungguh tidak manusiawi. "Siapa kamu? Mau apa? Kenapa mau bawa anak itu?" tanyanya beruntun. "Kamu sudah membunuh ibunya! Sekarang mau menyiksa anaknya?" tanyaku tanpa menjawab
"Apa kamu suka pria seperti itu?" tanyanya membuatku merasa aneh. Ingin rasanya kujawab, aku mulai menyukaimu meski menyebalkan. Namun, kutahan dalam diam. Suara azan berkumandang menandakan magrib sudah datang, dengan cekatan Sopyan mencari dimana tempat kami akan berhenti dan menunaikan kewajiban kami. Setelah menemukan Masjid Sopyan berhenti, lalu kami masuk dan melaksanakan kewajiban kami. Selesai sholat kami melanjutkan perjalanan kembali menuju rumah Umi, seperti pinta Sopyan sebelum mencari anak itu. "Ehem ... habis sholat koq diem aja," sindirnya. "Emang kalau habis sholat harus jungkir balik ya!" jawabku nyeleneh. "Harusnya salim dengan suami, itu baru afdhol. Cari pahala lagi," terangnya. "Ooo ... Kenapa nggak bilang aja langsung!" Tanyaku sengit. "Belajarkan pelan-pelan, masa mau ngegas nanti nabrak," ceramahnya. Dengan memaksakan diri, aku mengulurkan tangan dan disambut olehnya. "Barakallahu, semoga m
Aku menangis dalam pelukan Sopyan namun, teriakan juga isakan itu masih terdengar jelas di telingaku. Dieratkannya pelukan Sopyan, membuatku tenang sesaat. "Lepaskan! Jangan ... Jangan lakukan itu. Biarkan aku pergi," Suara anak itu kembali terdengar. Sopyan menarik tanganku menuju parkiran. Dirogoh saku celananya lalu mengambil ponsel, berulang kali melakukan panggilan akhirnya terhubung. Dilepaskan genggamannya dan sedikit menjauh dariku saat dia menerima panggilan itu. Aku terpaku menatap punggung lelaki setia itu, tapi sayang aku tidak mencintainya. Dikala aku asik memandanginya, dia berbalik dan menatapku dengan binar aneh dimatanya. "Ayo, kita pergi," ucapnya lirih. "Katanya ijin dokter dulu," bantahku. "Udah ada yang ngurus. Mau pergi apa nggak nih!" tantangnya. Tanpa menjawab aku mendekatinya, lalu dia menarikku mendekati sebuah mobil. Dari mobil itu turun seorang lelaki muda, bisa saja itu sepupu atau siapanya Sopyan. Akukan b
Tanpa mau mendengarnya lagi aku berjalan, namun dia mengekoriku seperti anak ayam kehilangan induknya. Menjengkelkan tapi tak bisa berbuat banyak. Pikiranku makin melayang mengingat amanah yang banyak aku pegang, namun belum juga aku selesaikan. "Tenang amanah dari James sudah hampir selesai, jangan jadi beban lagi!" ujar Sopyan, menghentikan langkahku. "Kamu buka tas milikku? Kenapa enggak ijin!" cecarku. "Kamu tau seberapa lama kamu di rumah sakit?" tanyanya, membuat aku sedikit merenung. Benar juga perkataannya, aku tidak tahu sudah berapa lama aku tidak sadarkan diri. Luka didadaku cukup parah, hampir mematahkan tulangku dan menggores jantungku. Tak ingin berterimakasih aku melangkah lagi. Kesombonganku mengalahkan segalanya, hanya untuknya. Kami berjalan ke taman rumah sakit, di sana bisa melihat pemandangan sore. Menyejukan mata yang selama ini tertidur. Perlahan aku menceritakan niatku untuk menolong anak dari Suster Dian, pada Sopyan.
[01.33, 30/3/2022] Dwi: "Maaf Sus," ucapku lirih. Setelah pemeriksaan, para suster keluar ruangan untuk memeriksa pasien yang lain. Rasa sedih menjalar keseluruh badanku, mengingat senyum sang Suster yang sangat manis. Begitu melihat Sopyan datang, rasa kesal memuncak. Menahan amarah yang tertunda semalam, "Ngapain datang ke sini, menolong manusia lain saja kamu keberatan!" omelanku menyambutnya. "Maaf, banyak pertimbangan kenapa aku tidak bisa keluar semalam. Semua sudah takdir ilahi, bersabarlah," ujarnya lembut. "Mudah sekali menukar nyawa orang. Sudah pergi sana!" teriakku kesal. "Kamu jangan lupa, aku suamimu meski hanya secara agama!" ucapnya penuh penekanan. Aku hanya diam mendengar kata-katanya. Rasanya tak kuasa menahan amarah yang bergejolak, tapi harus dipendam. "Pergilah ke ruang dokter, tanyakan apakah aku sudah diperbolehkan pulang. Rasanya sudah tidak betah," pintaku dingin. Tidak lama dia p
[01.31, 30/3/2022] Dwi: "Sudah sembuhkan dirimu dulu, baru aku ceritakan. Apa yang kamu lihat hingga seperti ini?" Tanyanya. "Entahlah, samar." Jawabku, lalu aku merebahkan diriku kembali. Dan Sopyan menggengam tanganku erat. Lalu aku mencoba tertidur kembali. Tiada henti mulut ini berzikir mengharap tidur lelap kembali. Namun penghuni di kamar ini sepertinya ketakutan akan hal yang aneh, bukan karena diriku atau pun Sopyan. Entahlah, terdengar auman keras yang bersahutan.Lalu terlihat dua harimau yang pernah aku lihat dikamar Sopyan. "Eh, bangun," Kugoncangkan tubuh Sopyan. "Ada apa, baru juga tidur!" jawabnya. "Tu pengikutmu." Aku menunjuk ke sampingnya. "Biarin, mereka menjaga kita," ucapnya ngawur. Belum sempat aku berbicara lagi, harimau itu mendekatiku dan duduk tepat dibawah ranjangku. Terdengar jeritan saling bersahutan, membuatku tak tenang. Setiap kali jeritan terdengar auman harimua
"Enggak apa-apa Bu, saya sudah terbiasa." Jawabnya santai. Aku bingung mengutarakan padanya perihal apa yang terlihat, lalu dia pergi. Hampir saja jam sembilan malam, kembali terlintas kejadian yang akan menimpa Suster tadi. Aku semakin gemetar, saat Sopyan masuk aku langsung memintanya memanggil Suster yang mengurus diriku tadi. Meski ingin bertanya Sopyan pun berlalu pergi mencari Suster. Kegelisahan makin membuatku tak tenang. Sopyan kembali dan mengatakan jika Suster tersebut sudah pulang. Sedikit kecewa tapi apalah daya. Lalu aku mencoba memejamkan mataku, terdengar Sopyan berbicara. Ku abaikan Sopyan dan memilih memejamkan mataku. "Ampuun ... ampuun, jangan sakiti saya," teriak seorang wanita. "Kamu harus mati, kamu yang menyebabkan ini semua," bentak seorang lelaki. Lalu, pemandangan itu semakin samar, membuat tubuhku menggigil. Terasa sesuatu di dahiku, ternyata Sopyan sedang mengkompresku. Mataku terbuka dan melihat sekita