"Masih ingat aku ...." tanya lelaki itu, tiba-tiba.
"Kamu ... kamu itu," tunjukku pada polisi yang tidak kukenal, mencoba mengingat-ingat.
"Lama tidak jumpa," sapanya.
Lalu, dia mendekati dan mengulurkan tangannya. Aku mengeratkan pegangan tanganku pada Sopyan. Sopyan merasa ada sesuatu yang aneh, dia pun bertanya,
"Kalian saling kenal?" tanyanya pada polisi itu.
"Cukup kenal, saya hanya meminta milik saya di kembalikan," ujarnya dengan memicingkan matanya.
"Kamu, mengambil miliknya," tanya Sopyan padaku.
Aku hanya diam dan makin mengeratkan pegangan tanganku. Polisi itu makin mendekat dan berdiri di hadapanku.
"Itu bukan milikmu, jika milikmu maka akan aku serahkan dengan suka rela," bentakku.
"Kamu tak akan bisa lari dariku," ujarnya.
"Tunggu ... Tunggu. Kalian saling kenal atau tidak?" tanya Sopyan, sambil melihat ke arahku dan polisi itu.
Kenalkan namaku Nita, aku merantau ke kota besar demi mencari kehidupan yang layak, karena kabur dari rumah. Tidak banyak pekerjaan yang dapat aku pilih, karena hanya lulusan SMA dan tak ada pengalaman. Aku bekerja di sebuah showroom motor karena diberi kesempatan oleh tetangga kost'an. Bekerja di bagian kasir, mengharuskanku menjadi orang yang ramah dan bisa berinteraksi dengan banyak costumer.Banyak costumer yang datang untuk membeli motor, tapi bukan hanya orang biasa saja. Banyak dari mereka yang mendapakan uang dari cara-cara yang diluar akal manusia namun, tidak mungkin aku menghakimi mereka.Tak terasa sudah hampir satu tahun bekerja di sini dan aku bisa mengeksplor kemampuan diri. Ada niat untuk melanjutkan kuliah, tapi masih terbentur dengan biaya.Hari ini Jum'at penuh berkah, belum juga jam makan siang, tapi lapar sudah menyiksa, biasanya aku membawa bekal untuk makan siang, entah ada apa dengan hari ini sehingga tidak ingin membawa bekal yang telah
Berjalannya waktu perlahan kesembuhanku semakin baik dan aku berusaha keras untuk sembuh kembali. Begitu banyak biaya yang sudah keluar untuk kesembuhan kakiku. Keluargaku tak diberitahu, karna mereka pasti berhutang untuk pengobatanku.Pagi ini aku memaksa mencari pekerjaan. Selain merasa jenuh karena hanya diam saja dan ada rasa sungkan. Persiapan sudah selesai, amplop-amplop coklat sudah terisi dan tersusun rapi didalam tasku. Aku berpamitan untuk menyusuri Ibu kota mencari pekerjaan yang tersedia.Diperjalanan terdengar rintihan, suara menangis juga teriakan orang yang sepertinya tersiksa. Ku sapu mata ini mengelilingi daerah sekitar, tak ada yang mencurigakan. Orang berlalu lalang dengan santai dan ada juga yang tergesa-gesa.Ada apa lagi dengan diriku, kupercepat langkahku didaerah pertokoan. Kucoba datangi satu persatu mencari lowongan kerja yang tersedia, untuk sementara tak apa kerja ditoko, pikirku.Rintihan itu makin jelas terdengar ditelinga,
Tiada kematian yang mampu kita hindari, sekeras apapun kita berusaha. Takdir sudah tertulis jelas saat kita akan terlahir didunia ini, kita perlu perbanyak bekal sehingga saat kematian itu datang kita akan selalu siap.Setelah mendengar kabar dari Rinda, aku hanya termenung tanpa berbuat apa-apa. Rasa debaran ini belum hilang karena kecelakaan itu, sekarang ditambah kabar kematian yang masih menyisakan bau menyengat di hidung.Tiga hari aku mengurung diri dan akhirnya dering ponsel membuatku bangkit dari ranjang. Tertera nama manager tempatku bekerja dulu.Ku tekan tombol berwarna hijau,"Assalamualaikum pak Andri, ada apa pak?" Tanyaku sopan."Waalaikumusalam Nit, sekarang kamu sudah bekerja?""Alhamdulillah belum pak, sahabat saya belum mengabarkan saya diterima atau tidak ditempatnya bekerja." Jelasku."Kalau begitu saya mau menawarkan pekerjaan ke kamu tapi di daerah palembang, gimana?" tanyanya membuat ku
Lalu pintu mobil terbuka dan aku terdorong keluar. Rasa sakit karna terkilir dan luka yang belum sembuh tak kuhirau kan, aku mencoba berlari sekuat tegaku. Meninggalkan polisi itu, amplop ini sepertinya penting. Kenapa polisi itu tau akan amplop ini?. Rasanya sudah tak kuat lagi berlari dan aku berhenti didepan rumah seseorang, ku istirahatkan kakiku sejenak. Kepada siapa aku menceritakan hal aneh ini? Bathin ku bergejolak. Tetiba debaran didada membuat sesak! "Pergilah ... pergilah!" Suara itu lagi. Dengan sisa tenaga aku berlari lagi dan segera mencari angkot untuk kembali pulang. Sesampainya dirumah aku langsung masuk kamar dan menguncinya. Terdengar pintu diketuk, "Nit, kamu sakit lagi?" Tanya mbak Afsah. Aku hanya diam saja. "Nita buka ... Nit. Rinda dari tadi menelpon, kenapa kamu enggak jadi kekantornya?" Tanyanya penasaran. Aku membuka pintu lalu menghampiri mbak Afsah, "T
Pesan itu seolah tertuju padaku. Kumasukan amplop pada keadaan semula dan memakan makanan yang sudah tersedia. Dada ini semakin sesak merasakan sesuatu yang belum pernah terasa sama sekali. Hanya pikiranku saja mungkin, batinku mulai berkecamuk. Aku menyelesaikan makanku dan membayarnya, namun lagi-lagi uang yang kuberikan ditolak secara halus. Apakah penampilanku aneh atau ada yang aneh dengan uang ini? Tak habis pikir kenapa mereka menolaknya meski aku memaksa.Perjalanan kulanjutkan. Sesampainya di tempat tujuan ternyata rumah sahabatku sudah rata dengan tanah. Rasa sedih tidak terlukiskan lagi jarak yang kutempuh sia-sia. Langkahku gontai meninggalkan tempat pertama yang kudatangi. Hujan turun di hari yang secerah ini, menambah kebimbangan akan langkah ini.Berdiri di depan sebuah mini market menunggu hujan yang sangat lebat berhenti, di kejauhan sekelebat bayangan terlihat sangat mengerikan. Aku tidak berani menatap jauh ke depan, orang-orang di sekitarku ha
Bagi sebagian orang apa yang kulihat tidaklah nyata, tapi bagi sebagian orang yang pernah merasakan akan mengetahuinya. Tidak ingin mengeluh, aku hanya mampu menjalani kehidupanku sesuai yang diberikan Rabb-ku. Banyak yang bertanya kenapa tidak ditutup mata bathinmu? Kenapa tidak pergi ke tempat Ustadz dan tempat ruqyah? Tidak tahukah kalian, usahaku sudah semaksimal dan semua tidak bisa membuat penglihatan ini hilang. Aku bisa melihat kematian dari dekat dengan mata terbuka atau tertutup. Bahagia ataupun sedih. Bahkan hanya dengan berpapasan atau mendengar suaranya. Menderitakah diriku? Jangan ditanya lagi, itu sudah pasti. *** Tubuhku mulai menggigil didekat pria ini. Pria berdarah dinginkah dia atau ... entahlah. Dia begitu menikmati kematian gadis-gadis bergaun putih itu. Apakah aku dapat menolong mereka? Tapi bagaimana? Takdir Rabb-ku tidak mampu kuubah. Melihat tubuhku menggigil, pria disebelahku melir
"Tidak begitu, Mas. Kenapa kita harus membuat orang mati, sedangkan mereka mempunyai keluarga yang menanti. Mungkin saja mereka menjurus ke matre karna kebutuhan untuk mencukupi keperluan keluarga mereka, kita tak pernah tau." Bibirku bergetar mengatakannya, salah-salah takdirku akan sama dengan gadis-gadis bergaun putih itu. Tidak terdengar lagi pertanyaan darinya. Akupun mengalihkan pandangan ke jendela, melihat hiru pikuknya jalanan juga gedung-gedung yang menjulang tinggi. Air mata tetiba menetes tanpa bisa kubendung. Terlintas wajah gadis ayu namun, angkuh. Menantang sang pria berhati dingin dalam rengkuhan asmara yang dibuatnya. Hingga berakhir dalam balutan gaun putih dan berada di gubuk tengah hutan dengan tangis darah. Gadis-gadis itu mengharapkan harta yang melimpah dengan cara instant, tidak peduli apa yang dipikirkan orang lain. Pria berhati dingin ini ternyata memiliki trauma mendalam kepada gadis-gadis seperti mereka yang menghancurkan rumah tangga kedu
"Maaf, Pak. Hp anak Bapak ketinggalan di bis. Saya enggak tau ke mana harus mengembalikannya!" balasku, tidak ingin ada kecurigaan. "Pasti kamu perempuan enggak benar, ya? Mau merayu-rayu anak saya!" makiakinya tanpa mau mendengar penjelasan dariku. "Maaf, Pak jika Bapak berkenan kirim alamat Bapak ke no saya xxx..., besok saya akan kembalikan semua barang anak Bapak, dan ada sedikit pesan di dalamnya. Terimakasih sebelumnya." Enggan mendengar caciannya lagi, langsung aku putuskan sambungan telpon dari orang tua pemilik tas ini. Aku kembali menatap tas yang ada di pangkuanku. Begitu banyak poto gadis-gadis di dalamnya, yang aku yakini korban yang dia bunuh di gubuk itu dan satu poto keluarga utuh yang sangat menyedihkan. "Ya Rabb, amanah satu belum aku jalani, ada amanah lain yang harus didahulukan. Apa aku sanggup?" Kebencian akan selalu menghiasi hati manusia, dalam hal apapun jua. Namun dapat di cegah dengan perbanyak istighfar.
"Masih ingat aku ...." tanya lelaki itu, tiba-tiba. "Kamu ... kamu itu," tunjukku pada polisi yang tidak kukenal, mencoba mengingat-ingat. "Lama tidak jumpa," sapanya. Lalu, dia mendekati dan mengulurkan tangannya. Aku mengeratkan pegangan tanganku pada Sopyan. Sopyan merasa ada sesuatu yang aneh, dia pun bertanya, "Kalian saling kenal?" tanyanya pada polisi itu. "Cukup kenal, saya hanya meminta milik saya di kembalikan," ujarnya dengan memicingkan matanya. "Kamu, mengambil miliknya," tanya Sopyan padaku. Aku hanya diam dan makin mengeratkan pegangan tanganku. Polisi itu makin mendekat dan berdiri di hadapanku. "Itu bukan milikmu, jika milikmu maka akan aku serahkan dengan suka rela," bentakku. "Kamu tak akan bisa lari dariku," ujarnya. "Tunggu ... Tunggu. Kalian saling kenal atau tidak?" tanya Sopyan, sambil melihat ke arahku dan polisi itu.
Tangan lelaki itu, mulai menjamah kakiku, Kemudian, terus merangkak di atasku. Tubuhku masih terasa sakit, ketika didorong olehnya tadi. "Ayolah, aku tahu, ini juga hal yang diinginkan wanita kebanyakan, yaitu ranjang yang hot!" cibirnya. Auranya sangat membuatku takut, bukan karena ilmu hitam, tapi karena kekuatan tuuhnya yang tidak bisa dibandingakan dengan kekuatan seorang wanita sepertiku. Apakah aku akan berakhir seperti ini? Bruk! Tubuh lelaki pemangsa, jatuh terkulai di atas tubuhku. Kukira karena dia mulai ingin melakukan hal buruk padaku, tapi ternyata kepalanya dipukul kayu balok oleh Nadin. "Ayo, Kak!" ajaknya menahan rasa sakit. Aku mendorong tubuh lelaki yang mulai tidak berdaya, membuatnya terjatuh dari dipan kayu. Aku dan Nadin saling memapah, berharap isa selamat berdua. Teringat akan Sopyan yang tidka kunjung datang, apakah mungkin dia takut dan pergi? "Nita!" seru Sopyan, membuka pintu. Rasanya a
"Ayo kita keluar, sebelum penjahat itu datang lagi!" seruku. Aku mencoba memapah tubuh kecil itu, untuk keluar dari dalam gubuk. Namun, dikejauhan terdengar suara langkah kaki mendekat. Aku yang setengah panik, mengangkat tubuh mungil di depanku. "Kak, pergilah dari sini! Nadin belum kuat untuk jalan," lirihnya "Kakak, kuat!" bantaku. Gadis kecil itu meringis, ketika lukanya tersenggol olehku. Ingin tidak memperdulikannya, tapi sepertinya dia benar-benar kesakitan. "Kak, pergila, jika dia kembali, kita berdua dalam bahaya!" pintanya. Baru saja aku ingin membuka pintu, sosok laki-laki menghadang langkahku. Matanya melotot dan napasnya memburu, tubuh yang tidak terbalut seelai benang pun membuatnya gaga, tapi sayangnya kelakuannya sungguh tidak manusiawi. "Siapa kamu? Mau apa? Kenapa mau bawa anak itu?" tanyanya beruntun. "Kamu sudah membunuh ibunya! Sekarang mau menyiksa anaknya?" tanyaku tanpa menjawab
"Apa kamu suka pria seperti itu?" tanyanya membuatku merasa aneh. Ingin rasanya kujawab, aku mulai menyukaimu meski menyebalkan. Namun, kutahan dalam diam. Suara azan berkumandang menandakan magrib sudah datang, dengan cekatan Sopyan mencari dimana tempat kami akan berhenti dan menunaikan kewajiban kami. Setelah menemukan Masjid Sopyan berhenti, lalu kami masuk dan melaksanakan kewajiban kami. Selesai sholat kami melanjutkan perjalanan kembali menuju rumah Umi, seperti pinta Sopyan sebelum mencari anak itu. "Ehem ... habis sholat koq diem aja," sindirnya. "Emang kalau habis sholat harus jungkir balik ya!" jawabku nyeleneh. "Harusnya salim dengan suami, itu baru afdhol. Cari pahala lagi," terangnya. "Ooo ... Kenapa nggak bilang aja langsung!" Tanyaku sengit. "Belajarkan pelan-pelan, masa mau ngegas nanti nabrak," ceramahnya. Dengan memaksakan diri, aku mengulurkan tangan dan disambut olehnya. "Barakallahu, semoga m
Aku menangis dalam pelukan Sopyan namun, teriakan juga isakan itu masih terdengar jelas di telingaku. Dieratkannya pelukan Sopyan, membuatku tenang sesaat. "Lepaskan! Jangan ... Jangan lakukan itu. Biarkan aku pergi," Suara anak itu kembali terdengar. Sopyan menarik tanganku menuju parkiran. Dirogoh saku celananya lalu mengambil ponsel, berulang kali melakukan panggilan akhirnya terhubung. Dilepaskan genggamannya dan sedikit menjauh dariku saat dia menerima panggilan itu. Aku terpaku menatap punggung lelaki setia itu, tapi sayang aku tidak mencintainya. Dikala aku asik memandanginya, dia berbalik dan menatapku dengan binar aneh dimatanya. "Ayo, kita pergi," ucapnya lirih. "Katanya ijin dokter dulu," bantahku. "Udah ada yang ngurus. Mau pergi apa nggak nih!" tantangnya. Tanpa menjawab aku mendekatinya, lalu dia menarikku mendekati sebuah mobil. Dari mobil itu turun seorang lelaki muda, bisa saja itu sepupu atau siapanya Sopyan. Akukan b
Tanpa mau mendengarnya lagi aku berjalan, namun dia mengekoriku seperti anak ayam kehilangan induknya. Menjengkelkan tapi tak bisa berbuat banyak. Pikiranku makin melayang mengingat amanah yang banyak aku pegang, namun belum juga aku selesaikan. "Tenang amanah dari James sudah hampir selesai, jangan jadi beban lagi!" ujar Sopyan, menghentikan langkahku. "Kamu buka tas milikku? Kenapa enggak ijin!" cecarku. "Kamu tau seberapa lama kamu di rumah sakit?" tanyanya, membuat aku sedikit merenung. Benar juga perkataannya, aku tidak tahu sudah berapa lama aku tidak sadarkan diri. Luka didadaku cukup parah, hampir mematahkan tulangku dan menggores jantungku. Tak ingin berterimakasih aku melangkah lagi. Kesombonganku mengalahkan segalanya, hanya untuknya. Kami berjalan ke taman rumah sakit, di sana bisa melihat pemandangan sore. Menyejukan mata yang selama ini tertidur. Perlahan aku menceritakan niatku untuk menolong anak dari Suster Dian, pada Sopyan.
[01.33, 30/3/2022] Dwi: "Maaf Sus," ucapku lirih. Setelah pemeriksaan, para suster keluar ruangan untuk memeriksa pasien yang lain. Rasa sedih menjalar keseluruh badanku, mengingat senyum sang Suster yang sangat manis. Begitu melihat Sopyan datang, rasa kesal memuncak. Menahan amarah yang tertunda semalam, "Ngapain datang ke sini, menolong manusia lain saja kamu keberatan!" omelanku menyambutnya. "Maaf, banyak pertimbangan kenapa aku tidak bisa keluar semalam. Semua sudah takdir ilahi, bersabarlah," ujarnya lembut. "Mudah sekali menukar nyawa orang. Sudah pergi sana!" teriakku kesal. "Kamu jangan lupa, aku suamimu meski hanya secara agama!" ucapnya penuh penekanan. Aku hanya diam mendengar kata-katanya. Rasanya tak kuasa menahan amarah yang bergejolak, tapi harus dipendam. "Pergilah ke ruang dokter, tanyakan apakah aku sudah diperbolehkan pulang. Rasanya sudah tidak betah," pintaku dingin. Tidak lama dia p
[01.31, 30/3/2022] Dwi: "Sudah sembuhkan dirimu dulu, baru aku ceritakan. Apa yang kamu lihat hingga seperti ini?" Tanyanya. "Entahlah, samar." Jawabku, lalu aku merebahkan diriku kembali. Dan Sopyan menggengam tanganku erat. Lalu aku mencoba tertidur kembali. Tiada henti mulut ini berzikir mengharap tidur lelap kembali. Namun penghuni di kamar ini sepertinya ketakutan akan hal yang aneh, bukan karena diriku atau pun Sopyan. Entahlah, terdengar auman keras yang bersahutan.Lalu terlihat dua harimau yang pernah aku lihat dikamar Sopyan. "Eh, bangun," Kugoncangkan tubuh Sopyan. "Ada apa, baru juga tidur!" jawabnya. "Tu pengikutmu." Aku menunjuk ke sampingnya. "Biarin, mereka menjaga kita," ucapnya ngawur. Belum sempat aku berbicara lagi, harimau itu mendekatiku dan duduk tepat dibawah ranjangku. Terdengar jeritan saling bersahutan, membuatku tak tenang. Setiap kali jeritan terdengar auman harimua
"Enggak apa-apa Bu, saya sudah terbiasa." Jawabnya santai. Aku bingung mengutarakan padanya perihal apa yang terlihat, lalu dia pergi. Hampir saja jam sembilan malam, kembali terlintas kejadian yang akan menimpa Suster tadi. Aku semakin gemetar, saat Sopyan masuk aku langsung memintanya memanggil Suster yang mengurus diriku tadi. Meski ingin bertanya Sopyan pun berlalu pergi mencari Suster. Kegelisahan makin membuatku tak tenang. Sopyan kembali dan mengatakan jika Suster tersebut sudah pulang. Sedikit kecewa tapi apalah daya. Lalu aku mencoba memejamkan mataku, terdengar Sopyan berbicara. Ku abaikan Sopyan dan memilih memejamkan mataku. "Ampuun ... ampuun, jangan sakiti saya," teriak seorang wanita. "Kamu harus mati, kamu yang menyebabkan ini semua," bentak seorang lelaki. Lalu, pemandangan itu semakin samar, membuat tubuhku menggigil. Terasa sesuatu di dahiku, ternyata Sopyan sedang mengkompresku. Mataku terbuka dan melihat sekita