Share

Bimbingan Panas Pemred Dingin
Bimbingan Panas Pemred Dingin
Penulis: Komalasari

Shining Breeze

“Aku sungguh minta maaf, Nona Roberts. Pemimpin redaksi tidak menyukai cerita yang kau ajukan,” ucap Nathalie, seorang editor akuisisi yang bekerja di penerbitan Golden Paper (GP) Enterprise. 

“Lalu?” Helena mulai khawatir. Padahal, dia sudah merevisi naskah habis-habisan.

“Kau harus merevisi naskah sesuai saran kami.”

“Apa?” Helena terbelalak tak percaya. “Aku menghabiskan tiga bulan lebih untuk menyelesaikan cerita itu, kemudian merevisinya."

Nathalie mengangkat bahu. “Terserah. Namun, ingat dengan kontrak yang sudah ditandatangani. Kau harus memberikan empat judul kepada kami. Artinya, masih ada sisa satu judul yang belum terpenuhi. Jika tidak, kau akan mendapat penalti. Untuk nominalnya, sudah tertera jelas dalam berkas kontrak kerjasama yang telah disepakati. Tanda tanganmu ada di sana, Nona Roberts.” 

Helena mengembuskan napas pelan bernada keluhan. “Cerita seperti apa yang pemimpin redaksi inginkan?”

“Sesuatu yang bisa mengundang minat pembaca. Kurasa, itu sudah jadi keharusan untuk setiap karya tulis,” jelas Nathalie tenang, seraya menatap lekat Helena yang tampak sebaliknya. “Kau memiliki cerita serta gaya menulis yang unik. Namun, itu tidak cukup. Zaman sekarang, orang-orang tertarik pada sesuatu yang lebih menggemparkan. Mungkin, kau bisa menulis kisah yang berbau skandal,” sarannya. 

“Skandal?” ulang Helena tak percaya.

Nathalie mengangguk. “Ya. Coba saja keluar dari jalur nyaman. Kita bandingkan seperti apa respon yang kau dapat.”

“Ah, sungguh keterlaluan,” protes Helena tak terima. “Tiga cerita sebelumnya tak mendapat penolakan seperti ini.” 

“Aku hanya menjalankan instruksi dari atasan. Kau tahu Tuan Cuthbert memiliki cara pandang sendiri. Orang-orang di sini menganggapnya lebih menarik, dibandingkan pemimpin terdahulu,” ujar Nathalie berkilah. “Sebagaimana tugasku sebagai editor, aku pasti akan memberikan bimbingan. Namun, alasannya masih sama seperti kemarin. Ceritamu kurang menjual. Jadi, kusarankan untuk mengambil tema yang —”

“Pemimpin redaksi benar-benar tidak menghargai, berapa banyak waktu yang telah kuhabiskan untuk menyelesaikan cerita itu. Jika kemarin aku diam saja, bolehkah kali ini melayangkan protes secara langsung padanya?” 

Nathalie menggeleng tak setuju. “Tolong jangan membuat kegaduhan, Nona Roberts. Lagi pula, apa pun yang kau lakukan, aku yakin tak akan membuat keputusan pemimpin redaksi berubah. Dia jauh lebih tahu. Seharusnya, kau menyadari di mana letak kekurangan tulisanmu.”

“Tapi, tadi kau mengatakan cerita dan gaya menulisku unik, Nona Sawyer.”

“Ya. Aku mengakuinya. Untuk beberapa waktu ke belakang, tema yang kau ambil memang sedang diminati. Namun, ada banyak perubahan yang terjadi begitu cepat. Pembaca menyukai sesuatu yang lebih sensasional dan penuh gairah. Sebagai penulis cerdas, kau harus memperhatikan hal itu."

Helena mengembuskan napas pelan bernada keluhan. Wanita muda berambut pirang tersebut tak bisa memberikan bantahan, apalagi melayangkan protes. Mau tak mau, dia harus kembali berkutat dengan cerita yang bahkan belum terpikirkan sama sekali. 

“Jadi, aku harus membuat cerita yang sensasional dan penuh gairah?”

Nathalie tersenyum, sebagai tanda setuju dengan apa yang Helena katakan.

Setelah berdiskusi beberapa saat dengan Nathalie, Helena langsung pulang dengan berjalan kaki. Namun, ketika melintasi taman kota, wanita muda itu memutuskan duduk dan berpikir beberapa saat di sana, sekadar mencari inspirasi yang mungkin hadir secara tak terduga.

Helena duduk termenung sambil memperhatikan orang yang berlalu-lalang. Tanpa disadari, seekor Belgian Sheepdog Groenendael tiba-tiba menghampirinya. 

“Aw! Astaga!” Helena memekik kaget, bahkan sampai berjingkat naik ke kursi taman. 

“Dax!” panggil seorang pria tampan berperawakan tinggi tegap, yang tengah berjalan mendekat ke arah Helena dan anjing itu.

“Apa itu anjingmu?” tanya Helena. Hati-hati, dia turun dari kursi taman.

“Ya,” jawab si pria, seraya memberi isyarat pada hewan peliharaannya agar menjauhi Helena. “Jangan khawatir. Dax tidak menyerang siapa pun, kecuali jika kau mengganggunya. Kurasa itu wajar.”

“Ya. Tapi, anjingmu terlihat sangat menyeramkan,” ujar Helena, disertai ringisan kecil.

Pria tampan itu tertawa pelan, lalu duduk. “Kau pikir, aku akan memelihara poodle?”

“Ah, ya.” Helena ikut tertawa. “Tentu saja tidak,” ujarnya, seraya membetulkan posisi duduk. Dia melirik pria di sebelahnya, yang kali ini fokus ke layar ponsel.

Sesaat kemudian, terdengar dering panggilan dari seseorang bernama Ashley. Helena langsung menjawab dan berbasa-basi, tanpa berpindah tempat. 

“Pemimpin redaksi menolak naskah cerita yang sudah kurevisi. Ini bukan kabar baik,” ucap Helena pelan, lalu diam mendengarkan apa yang Ashley katakan. 

“Ya, kau benar. Aku harus membayar ganti rugi sesuai kesepakatan. Apakah ini gila? Tentu saja. Aku sudah muak. Naskahku ditolak mentah-mentah oleh seseorang bernama Justin Cuthbert, yang kebetulan menjabat sebagai pemimpin redaksi baru di penerbitan. Pria sialan itu ingin agar aku menulis sesuatu yang berbau skandal. Bagaimana bisa? Aku penulis kisah action fantasy.”

Ashley menanggapi dengan tawa renyah. Itu membuat Helena kian jengkel.

“Jangan tertawa, Ash! Kau sama menyebalkan seperti mereka!” 

Kesal, Helena langsung menutup sambungan telepon tanpa basa-basi. Wanita muda itu lupa, di sampingnya ada orang lain yang pasti mendengar pembicaraan tadi. 

“Jadi, kau seorang penulis?” tanya pria dengan topi baseball itu. 

Helena menoleh. “Ya,” jawabnya kikuk. “Hanya penulis amatir."

“Tapi, tulisanmu sudah masuk ke penerbitan. Itu artinya, kau sangat beruntung,” ujar si pria tenang, seraya menggerakkan ujung kaki kanan yang diletakkan di atas paha kiri.

“Biasa saja,” balas Helena singkat, lalu mengembuskan napas pelan. “Ini adalah saat terberat dalam karier menulisku ….” Tiba-tiba, dia menggeleng cukup kencang. “Saat terberat yang kesekian kalinya,” ralat wanita muda tersebut. 

“Apa karena penolakan?” tanya si pria, yang langsung berbalas tatapan aneh Helena. “Ah, maaf. Aku hanya mendengar sekilas apa yang kau katakan tadi.”

Helena tak segera menjawab. Sesaat kemudian, si pemilik rambut pirang itu menggumam pelan. “Begitulah,” ucapnya malas, seraya menatap lurus ke depan.

“Bayangkan saja. Aku menghabiskan waktu empat bulan untuk menyelesaikan satu judul. Namun, pemimpin redaksi menolak dan memintaku merevisi total atau membuat baru. Kuputuskan merevisi total. Kuselesaikan selama kurang lebih tiga bulan. Akan tetapi, pemimpin redaksi tetap menolaknya.” Helena berdecak kesal.

“Aku disarankan membuat cerita yang sensasional dan penuh gairah. Astaga. Betapa mesum pikiran pria itu. Dia ingin aku menuliskan sesuatu yang ….” Helena menatap tak percaya, pada pria pemilik anjing yang juga tengah memandang ke arahnya. 

“Mungkin itu berdasarkan kebutuhan pasar.”

“Apa? Kurasa, dia menyukai sesuatu yang berbau sensualitas. Bisa saja seorang hypersex.”

“Begitu, ya?” Si pria manggut-manggut. “Boleh kutahu nama penamu?” 

Shining Breeze.”

Shining Breeze,” ulang si pria. “Lalu, siapa nama aslimu?”

“Untuk apa?” 

“Hanya berkenalan.”

Helena tersenyum kecil, lalu menatap pria tampan itu. “Helena Roberts. Dan kau?” 

Si pria tersenyum simpul, seraya mengajak Helena bersalaman. “Justin Cuthbert.”

Seketika, Helena diam membeku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status