“Aku sungguh minta maaf, Nona Roberts. Pemimpin redaksi tidak menyukai cerita yang kau ajukan,” ucap Nathalie, seorang editor akuisisi yang bekerja di penerbitan Golden Paper (GP) Enterprise.
“Lalu?” Helena mulai khawatir. Padahal, dia sudah merevisi naskah habis-habisan.
“Kau harus merevisi naskah sesuai saran kami.”
“Apa?” Helena terbelalak tak percaya. “Aku menghabiskan tiga bulan lebih untuk menyelesaikan cerita itu, kemudian merevisinya."
Nathalie mengangkat bahu. “Terserah. Namun, ingat dengan kontrak yang sudah ditandatangani. Kau harus memberikan empat judul kepada kami. Artinya, masih ada sisa satu judul yang belum terpenuhi. Jika tidak, kau akan mendapat penalti. Untuk nominalnya, sudah tertera jelas dalam berkas kontrak kerjasama yang telah disepakati. Tanda tanganmu ada di sana, Nona Roberts.”
Helena mengembuskan napas pelan bernada keluhan. “Cerita seperti apa yang pemimpin redaksi inginkan?”
“Sesuatu yang bisa mengundang minat pembaca. Kurasa, itu sudah jadi keharusan untuk setiap karya tulis,” jelas Nathalie tenang, seraya menatap lekat Helena yang tampak sebaliknya. “Kau memiliki cerita serta gaya menulis yang unik. Namun, itu tidak cukup. Zaman sekarang, orang-orang tertarik pada sesuatu yang lebih menggemparkan. Mungkin, kau bisa menulis kisah yang berbau skandal,” sarannya.
“Skandal?” ulang Helena tak percaya.
Nathalie mengangguk. “Ya. Coba saja keluar dari jalur nyaman. Kita bandingkan seperti apa respon yang kau dapat.”
“Ah, sungguh keterlaluan,” protes Helena tak terima. “Tiga cerita sebelumnya tak mendapat penolakan seperti ini.”
“Aku hanya menjalankan instruksi dari atasan. Kau tahu Tuan Cuthbert memiliki cara pandang sendiri. Orang-orang di sini menganggapnya lebih menarik, dibandingkan pemimpin terdahulu,” ujar Nathalie berkilah. “Sebagaimana tugasku sebagai editor, aku pasti akan memberikan bimbingan. Namun, alasannya masih sama seperti kemarin. Ceritamu kurang menjual. Jadi, kusarankan untuk mengambil tema yang —”
“Pemimpin redaksi benar-benar tidak menghargai, berapa banyak waktu yang telah kuhabiskan untuk menyelesaikan cerita itu. Jika kemarin aku diam saja, bolehkah kali ini melayangkan protes secara langsung padanya?”
Nathalie menggeleng tak setuju. “Tolong jangan membuat kegaduhan, Nona Roberts. Lagi pula, apa pun yang kau lakukan, aku yakin tak akan membuat keputusan pemimpin redaksi berubah. Dia jauh lebih tahu. Seharusnya, kau menyadari di mana letak kekurangan tulisanmu.”
“Tapi, tadi kau mengatakan cerita dan gaya menulisku unik, Nona Sawyer.”
“Ya. Aku mengakuinya. Untuk beberapa waktu ke belakang, tema yang kau ambil memang sedang diminati. Namun, ada banyak perubahan yang terjadi begitu cepat. Pembaca menyukai sesuatu yang lebih sensasional dan penuh gairah. Sebagai penulis cerdas, kau harus memperhatikan hal itu."
Helena mengembuskan napas pelan bernada keluhan. Wanita muda berambut pirang tersebut tak bisa memberikan bantahan, apalagi melayangkan protes. Mau tak mau, dia harus kembali berkutat dengan cerita yang bahkan belum terpikirkan sama sekali.
“Jadi, aku harus membuat cerita yang sensasional dan penuh gairah?”
Nathalie tersenyum, sebagai tanda setuju dengan apa yang Helena katakan.
Setelah berdiskusi beberapa saat dengan Nathalie, Helena langsung pulang dengan berjalan kaki. Namun, ketika melintasi taman kota, wanita muda itu memutuskan duduk dan berpikir beberapa saat di sana, sekadar mencari inspirasi yang mungkin hadir secara tak terduga.
Helena duduk termenung sambil memperhatikan orang yang berlalu-lalang. Tanpa disadari, seekor Belgian Sheepdog Groenendael tiba-tiba menghampirinya.
“Aw! Astaga!” Helena memekik kaget, bahkan sampai berjingkat naik ke kursi taman.
“Dax!” panggil seorang pria tampan berperawakan tinggi tegap, yang tengah berjalan mendekat ke arah Helena dan anjing itu.
“Apa itu anjingmu?” tanya Helena. Hati-hati, dia turun dari kursi taman.
“Ya,” jawab si pria, seraya memberi isyarat pada hewan peliharaannya agar menjauhi Helena. “Jangan khawatir. Dax tidak menyerang siapa pun, kecuali jika kau mengganggunya. Kurasa itu wajar.”
“Ya. Tapi, anjingmu terlihat sangat menyeramkan,” ujar Helena, disertai ringisan kecil.
Pria tampan itu tertawa pelan, lalu duduk. “Kau pikir, aku akan memelihara poodle?”
“Ah, ya.” Helena ikut tertawa. “Tentu saja tidak,” ujarnya, seraya membetulkan posisi duduk. Dia melirik pria di sebelahnya, yang kali ini fokus ke layar ponsel.
Sesaat kemudian, terdengar dering panggilan dari seseorang bernama Ashley. Helena langsung menjawab dan berbasa-basi, tanpa berpindah tempat.
“Pemimpin redaksi menolak naskah cerita yang sudah kurevisi. Ini bukan kabar baik,” ucap Helena pelan, lalu diam mendengarkan apa yang Ashley katakan.
“Ya, kau benar. Aku harus membayar ganti rugi sesuai kesepakatan. Apakah ini gila? Tentu saja. Aku sudah muak. Naskahku ditolak mentah-mentah oleh seseorang bernama Justin Cuthbert, yang kebetulan menjabat sebagai pemimpin redaksi baru di penerbitan. Pria sialan itu ingin agar aku menulis sesuatu yang berbau skandal. Bagaimana bisa? Aku penulis kisah action fantasy.”
Ashley menanggapi dengan tawa renyah. Itu membuat Helena kian jengkel.
“Jangan tertawa, Ash! Kau sama menyebalkan seperti mereka!”
Kesal, Helena langsung menutup sambungan telepon tanpa basa-basi. Wanita muda itu lupa, di sampingnya ada orang lain yang pasti mendengar pembicaraan tadi.
“Jadi, kau seorang penulis?” tanya pria dengan topi baseball itu.
Helena menoleh. “Ya,” jawabnya kikuk. “Hanya penulis amatir."
“Tapi, tulisanmu sudah masuk ke penerbitan. Itu artinya, kau sangat beruntung,” ujar si pria tenang, seraya menggerakkan ujung kaki kanan yang diletakkan di atas paha kiri.
“Biasa saja,” balas Helena singkat, lalu mengembuskan napas pelan. “Ini adalah saat terberat dalam karier menulisku ….” Tiba-tiba, dia menggeleng cukup kencang. “Saat terberat yang kesekian kalinya,” ralat wanita muda tersebut.
“Apa karena penolakan?” tanya si pria, yang langsung berbalas tatapan aneh Helena. “Ah, maaf. Aku hanya mendengar sekilas apa yang kau katakan tadi.”
Helena tak segera menjawab. Sesaat kemudian, si pemilik rambut pirang itu menggumam pelan. “Begitulah,” ucapnya malas, seraya menatap lurus ke depan.
“Bayangkan saja. Aku menghabiskan waktu empat bulan untuk menyelesaikan satu judul. Namun, pemimpin redaksi menolak dan memintaku merevisi total atau membuat baru. Kuputuskan merevisi total. Kuselesaikan selama kurang lebih tiga bulan. Akan tetapi, pemimpin redaksi tetap menolaknya.” Helena berdecak kesal.
“Aku disarankan membuat cerita yang sensasional dan penuh gairah. Astaga. Betapa mesum pikiran pria itu. Dia ingin aku menuliskan sesuatu yang ….” Helena menatap tak percaya, pada pria pemilik anjing yang juga tengah memandang ke arahnya.
“Mungkin itu berdasarkan kebutuhan pasar.”
“Apa? Kurasa, dia menyukai sesuatu yang berbau sensualitas. Bisa saja seorang hypersex.”
“Begitu, ya?” Si pria manggut-manggut. “Boleh kutahu nama penamu?”
“Shining Breeze.”
“Shining Breeze,” ulang si pria. “Lalu, siapa nama aslimu?”
“Untuk apa?”
“Hanya berkenalan.”
Helena tersenyum kecil, lalu menatap pria tampan itu. “Helena Roberts. Dan kau?”
Si pria tersenyum simpul, seraya mengajak Helena bersalaman. “Justin Cuthbert.”
Seketika, Helena diam membeku.
“A-apa? Ju-Justin Cuth-bert?” Helena menelan ludah dalam-dalam. Dia sadar betul. Ini pasti akan jadi akhir dari karier menulisnya. “Ya,” sahut pria tampan dengan topi baseball itu kalem. “Hanya sebuah nama. Abaikan saja,” ujarnya tenang. Namun, Helena jelas makin kehilangan ketenangan. Dia tertunduk, lalu diam-diam menoleh. Akan tetapi, kembali menyembunyikan wajah karena si pria ternyata tengah menatapnya. “Ah, baiklah,” ucap wanita muda itu pelan bernada keluhan. “Anda bisa menuntutku, Tuan Cuthbert,” ujarnya pasrah.Namun, Justin justru tersenyum kecil menanggapi ucapan Helena. Dia mengalihkan pandangan ke depan, sambil mengusap-usap bulu anjing peliharaan yang duduk di sebelahnya. “Shining Breeze,” ucap Justin pelan. Akan tetapi, nada bicaranya terdengar cukup menakutkan di telinga Helena. “Kalau tidak salah, aku membaca naskahmu beberapa hari yang lalu. Kisah Heidy McGraw dengan Sam Farley. Cukup menarik,” ucap Justin, masih dengan sikap tenangnya. “Menarik, tapi Anda menolak
Justin tersenyum simpul. “Mungkin kau membutuhkan sedikit penyegaran,” ujarnya tenang.“Penyegaran?” ulang Helena tak mengerti.Justin meraih kunci motor dari meja. “Aku bersedia memberikan bimbingan gratis untukmu. Kita bisa membahas alur seperti apa yang sebaiknya kau pakai. Itu juga jika kau mau.”“Lalu, bagaimana dengan Nona Sawyer?” tanya Helena ragu.“Terserah. Aku memberikan penawaran ini karena kau meminta kompensasi atas waktu yang terbuang percuma. Akan kuberikan kau arahan. Seperti apa cara mengeksekusinya, di situlah letak kecerdasanmu sebagai penulis.” Helena tak segera menanggapi. Wanita muda bermata biru itu tampak bimbang. Bagaimana tidak? Ini merupakan penawaran menarik dan mungkin tak didapat semua penulis, yang berada dalam naungan GP Enterprise. “A-ba-baiklah. Aku menerima tawaran Anda, Tuan Cuthbert,” putus Helena yakin. Setelah mendengar jawaban wanita berkacamata itu, Justin mengambil secarik kertas dari wadah khusus. Dia menuliskan sesuatu di sana, lalu memb
“Ya. Terima kasih,” ulang Helena. “Apa ada yang salah?” “Tidak,” sahut Justin. “Tentu saja tidak.” Dia terlihat kurang nyaman. “Baiklah. Kalau begitu, aku pulang dulu,” pamit Helena, seraya berdiri. Begitu juga dengan Justin. Dia ikut berdiri, lalu melangkah gagah ke dekat lift. Menyusul Helena, yang lebih dulu ke sana. “Kau tinggal di mana?” tanya Justin, dengan tatapan tertuju ke pintu lift. “East London,” jawab Helena, Dia menoleh sekilas, lalu membetulkan letak kacamatanya. “Oh. Jauh juga.” “Begitulah. Setengah jam dengan tube." Tube merupakan istilah yang biasa digunakan, untuk menyebut kereta bawah tanah. Justin mengangguk samar. Dia hanya berdiri tanpa melakukan apa pun. Pria tampan itu tampak bimbang. “Kenapa liftnya tidak terbuka juga?” gumam Helena, yang mulai tak nyaman setelah menunggu beberapa saat. Mendengar ucapan wanita muda itu, Justin langsung tersadar. Dia menyentuh pangkal hidung menggunakan ujung ibu jari, kemudian mengeluarkan kartu akses dan mene
Detik berlalu. Tempat tidur di kamar Justin terasa begitu nyaman. Sprei yang melapisinya pun sangat lembut. Begitu juga dengan selimut yang menutupi sebagian tubuh polos Helena. Lelah menyergap wanita muda 24 tahun tersebut. Helena terlelap, setelah melayani hasrat biologis sang pemilik apartemen mewah itu. “Hey. Selamat pagi,” sapa Justin, yang sudah duduk di tepian tempat tidur. Dia menghadapkan tubuh sepenuhnya, seraya membelai pipi Helena yang masih terpejam. Helena yang terlelap karena kelelahan, perlahan membuka mata. Samar, dirinya menatap pria tampan itu. “Tu-tuan.” Wanita berambut pirang tersebut langsung bangkit, lalu duduk sambil memegangi selimut yang menutupi tubuh sebatas dada. “Apa kau sudah lapar?” tanya Justin, tak mengalihkan pandangan dari wanita yang sudah melayaninya hampir semalam suntuk. Helena tampak kebingungan. Ini merupakan pengalaman pertama bagi wanita muda itu. “A-aku ….” “Berpakaianlah. Setelah itu, kita sarapan bersama.” Justin beranjak dari duduk
“I-istri?” ulang Helena tak percaya. “Jadi, Anda sudah menikah?” Justin mengangguk. Ekspresinya teramat tenang, seakan tak ada rasa bersalah setelah mengkhianati pasangan.Raut tenang Justin justru berbanding terbalik dengan Helena. Rasa bersalah menyeruak hebat, menghadirkan penyesalan mendalam atas apa yang telah dilakukan semalam dengan pria tampan tersebut. “Kenapa Anda bisa berbuat seperti itu?” Helena kembali melayangkan sorot tak percaya.“Kenapa? Tak perlu ada alasan. Satu yang pasti karena aku menginginkannya.” Jawaban yang diberikan Justin terdengar sangat menakutkan. Jelas sudah dia tak merasa bersalah. “Tapi, Anda sud —”Justin langsung mengangkat tangan sebatas dada, sebagai tanda agar Helena diam. “Kau tidak perlu berkomentar, Nona Roberts. Aku akan meloloskan naskah terakhirmu. Hanya itu perjanjian kita. Jadi, kau tak kuizinkan melakukan protes atau banyak bertanya tentang hal lain.”“Anda … Anda sangat menakutkan, Tuan Cuthbert.”Justin menatap Helena cukup tajam, s
“Kami masih nyaman berdua saja. Begitu kan, Sayang?” Justin menoleh pada sang istri, yang langsung membalas dengan senyuman manis.“Oh, tidak,” bantah Eleanor. “Kalian sudah menikah selama satu setengah tahun. Kami pikir itu cukup, untuk menghabiskan momen manis berdua saja. Lagi pula, kehadiran anak tak akan membuat keromantisan jadi berkurang. Lihatlah aku dan Hudson. Hingga usia sekarang, kami tetap romantis seperti baru pertama menikah.”Justin hanya menanggapi dengan senyum kecil, sedangkan Agatha memijat pelipis. “Silakan lanjutkan. Aku ke belakang sebentar,” pamit Justin, seraya beranjak dari duduk. Dia berlalu dari sana."Apa Justin tidak menyukai perbincangan tadi?” tanya Eleanor, setelah sang menantu tak terlihat. “Tidak juga. Dia kembali merokok akhir-akhir ini,” jawab Agatha disertai senyum lembut. Seperti biasa, dia berusaha menutupi buruknya hubungan dengan sang suami. Sementara itu, Justin justru memilih menyendiri di balkon rumah sambil merokok dan termenung, memiki
“Denganku?” Helena menatap tajam.Justin tersenyum kalem.“Ini gila. Apa lagi yang akan Anda tawarkan sekarang?” “Apa pun yang kau mau. Tas, sepatu, baju bermerk? Kemewahan?” Justin menaikkan sebelah alis.Helena menggeleng kencang. “Anda pikir, aku membutuhkan semua itu?” Dia tak terima karena ucapan Justin dinilai telah merendahkan harga diri serta martabatnya sebagai wanita. “Aku sadar telah melakukan kesalahan, dengan melayani keinginanmu kemarin malam! Namun, kutegaskan hal seperti itu tidak akan pernah terulang lagi!”Namun, Justin tak mengindahkan penolakan keras Helena. Dia hanya tersenyum kecil, sembari menyentuh pangkal hidung dengan ujung ibu jari. “Kau yakin, Nona Roberts?” tanyanya begitu tenang.“Aku yakin Anda bisa membedakan mana candaan, mana pula yang serius.”“Hm.” Justin menggumam pelan, tanpa mengalihkan perhatian dari Helena yang berpenampilan acak-acakan. Entah apa yang membuatnya memilih wanita berambut pirang itu.“Sebaiknya, Anda pergi dari sini,” usir Helen
“Apa yang Anda inginkan sebenarnya?” tanya Helena serius.“Aku menawarkan banyak hal padamu,” jawab Justin tenang.“Aku tidak mengerti kegilaan macam apa ini."“Jika kau menganggapnya suatu kegilaan, aku justru mengatakan sebagai kesempatan emas karena penawaran menarik ini tak kuberikan pada siapa pun,” balas Justin, tetap terdengar tenang.“Ah! Apa yang bisa kupercaya, dari pria yang berselingkuh?” cibir Helena. “Astaga. Kau juga menikmatinya,” balas Justin.
Justin tersenyum sinis. "Justru sebaliknya, Agatha," bantah pria tampan itu yakin. "Seharusnya, aku mengambil keputusan ini sejak dulu. Bertahan dalam pernikahan bodoh, hanya membuatku jadi badut memalukan.""Kau sudah tahu perasaanku yang sebenarnya. Kenapa masih menganggap ini sebagai suatu kebodohan?" protes Agatha tak terima.Justin menggeleng pelan."Sudahlah. Satu yang pasti, aku akan mengurus proses perceraian kita. Dengan atau tanpa restu orang tua, sebaiknya kita menyudahi ini secara baik-baik," putus Justin, dengan nada bicara mulai tenang."Kau benar-benar keterlaluan!" sentak Agatha. Ucapan Justin membuat amarah dalam dirinya kian menjadi. "Kau pikir, aku akan membiarkanmu dengan pelacur itu?""Tutup mulutmu! Kau yang pelacur!" sergah Helena tak terima. Dia mendekat, lalu mendorong Agatha hingga mundur beberapa langkah. "Jika kau mencintai Justin, seharusnya tunjukkan seberapa besar rasa cintamu. Namun, kau justru bersikap jual mahal dan berhar
Agatha yang sudah memiliki akses masuk ke unit tempat tinggal Justin, langsung memasuki lift dan menuju lantai teratas. Selama menunggu tiba di sana, wanita cantik berambut pendek tersebut terus mengepalkan tangan, demi menahan gejolak amarah dalam dada. Pikirannya tak keruan. Terlebih, setelah melihat rekaman video yang Grayson tunjukkan.Beberapa saat kemudian, pintu lift terbuka. Meskipun agak ragu, Agatha memaksakan diri melangkah keluar. Dia mengedarkan pandangan ke setiap sudut ruangan yang terasa sepi.Agatha melangkah perlahan menyusuri koridor menuju kamar Justin. Dalam setiap ayunan kaki jenjangnya, wanita itu merasa tengah mendekati kematian mengerikan. Entah apa yang akan ditemui di ruangan pribadi sang suami.Setelah tiba di depan kamar, Agatha tertegun beberapa saat. Dia memutar handle pint
“Wanita lain?” cibir Agatha. “Aku membebaskannya dengan wanita manapun,selama tidak —”“Membebaskan?” Grayson menautkan alis, lalu berdecak pelan. “Agatha, Agatha. Kau ini bodoh atau apa?” ledeknya, seakan membalas telak cibiran sang mantan kekasih.Grayson makin mendekat. “Kau tahu siapa Justin? Dia adalah seorang cassanova. Bagaimana bisa kau membebaskan pria semacam itu untuk menjalani hidup semaunya, sedangkan kalian sudah terikat pernikahan? Astaga, Kekonyolan macam apa ini?”Grayson kembali berdecak pelan, diiringi gelengan tak mengerti. “Kau mencampakkanku hanya untuk menjalani hidup dalam kegilaan?” ujarnya heran. “Kau pikir bisa menaklukan Justin dengan cara seperti itu? Salah besar.”“Apa maksudmu?” tanya Agatha tak mengerti.“Justin membawa wanita lain ke apartemennya. Bukan cuma satu kali,” jawab Gr
Helena menatap aneh, lalu menggeleng kencang sebagai tanda penolakan. “Kenapa? Kau menjadi kekasih gelap kakak-ku. Apa susahnya menjadi kekasihku juga. Lagi pula, itu akan jauh lebih aman bagimu.”“Lupakan, Tuan Grayson. Aku tidak tertarik sama sekali,” tolak Helena cukup tegas. “Sebaiknya, biarkan aku pergi.” Helena memaksa membuka pintu. Dengan setengah berlari, dia meninggalkan ruangan Grayson. Melihat itu, Grayson langsung menyusul. Langkahnya yang jauh lebih lebar dibanding Helena, membuat pria itu diuntungkan. Dia bisa mengejar dengan mudah. “Tunggu, Nona Roberts,” cegah Grayson, seraya meraih tangan Helena. “Lepaskan aku! Kita baru bertemu, tapi Anda sudah berani bersikap seperti ini. Benar-benar kurang ajar!” maki Helena tak suka.“Baiklah. Baiklah.” Grayson langsung melepaskan genggamannya dari pergelangan tangan Helena. “Maafkan aku karena tidak bisa mengontrol diri,” sesalnya. “Kumohon.”“Aku tidak mengerti, apa yang Anda inginkan sebenarnya dengan mendekatiku?” “Kau s
Helena tersenyum sinis. “Maaf, Tuan. Aku tidak mau bekerja sama dengan siapa pun,” tolaknya pelan, tapi cukup tegas.“Kenapa? Kau jatuh cinta pada kakakku?” “Itu bukan urusan Anda.” Helena berbalik, Dia bermaksud membuka pintu. Namun, lagi-lagi Grayson menghalanginya. Pria itu mencegah, tak membiarkan Helena keluar. “Jangan pergi dulu. Aku masih ingin bicara denganmu.”Helena menoleh, menatap malas adik Justin tersebut. “Aku menghormati Anda sebagai pemimpin redaksi yang baru, Tuan. Aku sangat berterima kasih, bila Anda menerima naskah terakhirku tanpa harus direvisi terlebih dulu. Namun, itu bukan berarti aku mau melakukan sesuatu yang lebih.”“Kau melakukan itu dengan Justin.”“Situasi kami berbeda, Anda tidak berhak ….” Helena seperti sengaja menjeda kalimatnya. Wanita muda itu tampak malas bicara lebih banyak. “Kumohon. Biarkan aku pergi.”“Kenapa? Apa karena Justin menunggumu di luar?” Grayson menatap Helena dengan sorot aneh. Adik kandung Justin tersebut mengembuskan napas ber
Helena langsung salah tingkah, mendengar tawaran dari Grayson. Wanita muda bermata biru itu memaksakan tersenyum, walaupun ada rasa tak nyaman dalam hati. Dia tak menghendaki apa pun dari adik Justin tersebut. “Bagaimana?” tanya Grayson memastikan, berhubung Helena tak juga menanggapi tawarannya. Pria tampan itu tersenyum kalem. “Tenang saja, Nona Roberts. Aku pria lajang. Tak ada apa pun yang perlu kau khawatirkan,” ujarnya dengan tatapan tak dapat diartikan. “Apa maksud Anda?” Helena berpura-pura tak mengerti. Raut wajah si pemilik rambut pirang itu sudah mulai tegang. Namun, ekspresi berbeda diperlihatkan Grayson. Dia tetap tenang, dengan senyum kalem yang menghiasi paras tampannya. “Aku yakin, kau memahami maksud ucapanku tadi,” ujarnya. Helena segera berdiri. Dia tidak ingin lebih lama lagi berhadapan dengan Grayson. Wanita 24 tahun itu bergegas menuju pintu keluar. Namun, Grayson bergerak sangat cepat menghadang di depan Helena. “Perbincangan kita belum selesai, Nona Robert
Justin menoleh sekilas, sebelum kembali mengarahkan pandangan ke depan. Dia bermaksud melanjutkan langkah, meninggalkan Agatha yang berdiri tak jauh di belakangnya. "Tunggu, Justin. Kenapa kau begitu terburu-buru?" tanya Agatha penasaran. Dia meraih lengan sang suami, menahannya agar tak kemana pun. "Aku harus pergi. Kita lanjutkan saja perbincangan ini kapan-kapan." Justin menyingkirkan tangan Agatha dari lengannya, lalu melangkah gagah kembali ke aula tempat acara berlangsung. Ternyata, acara perkenalan dan serah terima jabatan sudah selesai. Beberapa orang tampak sedang merapikan property yang telah digunakan. Justin mengedarkan pandangan. Dia menghampiri Nathalie, yang tengah sibuk dengan rekannya sesama editor. "Apa ayahku sudah pulang?" tanya Justin. "Ah, Tuan." Nathalie menoleh. "Tadi, Tuan Duncan menanyakan keberadaan Anda," jawabnya. "Kurasa, sekarang dia sudah pulang.""Bagaimana dengan Grayson?" tanya Justin lagi. "Tuan Grayson ke ruangannya bersama Nona Roberts, Kud
Justin memicingkan mata, menyikapi ucapan Agatha. Pria tampan bermata abu-abu itu tersenyum samar, sebelum berbalik meninggalkan sang istri. “Justin,” panggil Agatha, seraya bergegas menyusul sang suami. “Apa kau tidak ingin bertanya lebih jauh?” Justin tertegun, lalu menoleh. “Aku tidak tahu apa maksudmu berkata begitu. Kenapa kita harus membahas masalah ini?” “Aku hanya ingin memulai semua dari awal. Pernikahan kita yang …. Aku bersungguh-sungguh.” Agatha terlihat sangat serius, dengan apa yang dikatakannya. “Kenapa? Kenapa kau tiba-tiba bersikap seperti ini?” Agatha tak langsung menjawab. Dia menarik tangan Justin, lalu menuntun pria itu menjauh dari aula. Setelah tiba di tempat yang lebih sepi, Agatha baru melepaskan genggaman tangannya. “Kau seperti remaja ingusan, Agatha. Haruskah kita bicara dengan cara seperti ini?” “Aku hanya ingin bicara berdua denganmu, tanpa ada suara berisik atau siapa pun yang akan mengganggu.”.“Astaga.” Justin menggeleng tak mengerti. “Kalau beg
Justin langsung bereaksi, mendengar Grayson menyebutkan nama pena Helena. Walaupun dia yakin sang adik tengah memancing reaksinya, tapi tetap saja itu membuat pria tampan tersebut benar-benar tak suka. Sulung dari dua bersaudara itu menggeleng tak mengerti. Entah mengapa, dia tidak rela Helena didekati pria lain. “Seharusnya seperti itu, G. Tak ada salahnya menjalin kedekatan dan keakraban dengan karyawan serta para penulis. Namun, selalu jaga wibawamu di depan mereka. Jangan sampai hilang kontrol,” saran Duncan, seraya menepuk pelan pundak putra bungsunya. Grayson tersenyum simpul menanggapi ucapan sang ayah. Dia menoleh sekilas pada Justin dan Agatha, sebelum berlalu meninggalkan mereka. Sementara itu, Justin terus memperhatikan sang adik, dengan segala yang dilakukannya. Dia seperti hendak memastikan sang adik, yang tadi menyebutkan nama Shining Breeze. Ah, sial! Justin tak bisa fokus menyimak perbincangan dengan sang ayah, saat melihat Grayson membuktikan ucapannya. Justin ing