“Kami masih nyaman berdua saja. Begitu kan, Sayang?” Justin menoleh pada sang istri, yang langsung membalas dengan senyuman manis.“Oh, tidak,” bantah Eleanor. “Kalian sudah menikah selama satu setengah tahun. Kami pikir itu cukup, untuk menghabiskan momen manis berdua saja. Lagi pula, kehadiran anak tak akan membuat keromantisan jadi berkurang. Lihatlah aku dan Hudson. Hingga usia sekarang, kami tetap romantis seperti baru pertama menikah.”Justin hanya menanggapi dengan senyum kecil, sedangkan Agatha memijat pelipis. “Silakan lanjutkan. Aku ke belakang sebentar,” pamit Justin, seraya beranjak dari duduk. Dia berlalu dari sana."Apa Justin tidak menyukai perbincangan tadi?” tanya Eleanor, setelah sang menantu tak terlihat. “Tidak juga. Dia kembali merokok akhir-akhir ini,” jawab Agatha disertai senyum lembut. Seperti biasa, dia berusaha menutupi buruknya hubungan dengan sang suami. Sementara itu, Justin justru memilih menyendiri di balkon rumah sambil merokok dan termenung, memiki
“Denganku?” Helena menatap tajam.Justin tersenyum kalem.“Ini gila. Apa lagi yang akan Anda tawarkan sekarang?” “Apa pun yang kau mau. Tas, sepatu, baju bermerk? Kemewahan?” Justin menaikkan sebelah alis.Helena menggeleng kencang. “Anda pikir, aku membutuhkan semua itu?” Dia tak terima karena ucapan Justin dinilai telah merendahkan harga diri serta martabatnya sebagai wanita. “Aku sadar telah melakukan kesalahan, dengan melayani keinginanmu kemarin malam! Namun, kutegaskan hal seperti itu tidak akan pernah terulang lagi!”Namun, Justin tak mengindahkan penolakan keras Helena. Dia hanya tersenyum kecil, sembari menyentuh pangkal hidung dengan ujung ibu jari. “Kau yakin, Nona Roberts?” tanyanya begitu tenang.“Aku yakin Anda bisa membedakan mana candaan, mana pula yang serius.”“Hm.” Justin menggumam pelan, tanpa mengalihkan perhatian dari Helena yang berpenampilan acak-acakan. Entah apa yang membuatnya memilih wanita berambut pirang itu.“Sebaiknya, Anda pergi dari sini,” usir Helen
“Apa yang Anda inginkan sebenarnya?” tanya Helena serius.“Aku menawarkan banyak hal padamu,” jawab Justin tenang.“Aku tidak mengerti kegilaan macam apa ini."“Jika kau menganggapnya suatu kegilaan, aku justru mengatakan sebagai kesempatan emas karena penawaran menarik ini tak kuberikan pada siapa pun,” balas Justin, tetap terdengar tenang.“Ah! Apa yang bisa kupercaya, dari pria yang berselingkuh?” cibir Helena. “Astaga. Kau juga menikmatinya,” balas Justin.
Helena terdiam, menunggu apa yang akan Justin lakukan. Dia tak tahu apakah pria itu dalam keadaan sama seperti dirinya atau tidak, berhubung kedua matanya ditutup kain.Embusan napas pelan meluncur dari bibir Helena, saat merasakan sentuhan di telapak kaki. Dia bergerak karena geli. Namun, tak lama kemudian Helena kembali diam, meresapi rabaan lembut di betis yang terangkat lurus dan disandarkan ke pundak Justin.“Ah ….”Desahan pelan terdengar, saat Justin menciumi betis jenjang Helena. Padahal, dia sudah tak tahan untuk segera memulai penyatuan. Namun, Justin seperti ingin bermain-main terlebih dulu.“Kakimu sangat indah, Helena. Aku menyukainya,” sanjung Justin, seraya meraba lembut betis mulus wanita muda itu.
Justin tersenyum kecil. Dia tidak terlalu memedulikan ucapan Agatha. “Aku sedang sibuk. Jadi, sebaiknya kau pulang saja.” Pria itu terlihat sangat tenang, seakan tidak sedang menyembunyikan apa pun.“Kau selalu begitu.” Agatha tersenyum kelu, lalu berbalik. Dia memutar gagang pintu kamar, kemudian membukanya.“Hm.” Agatha menggumam pelan, sambil tertegun di ambang pintu.Sementara itu, Justin menatap dengan sorot tak dapat diartikan. Walaupun ditutupi, tetapi rasa waswas itu tetap ada. Untungnya, Agatha tidak memperhatikan perubahan air muka sang suami.Agatha melenggang tenang ke dalam kamar. Itu membuat Justin menautkan alis tak mengerti. Dia langsung mengikuti wanita itu.
Helena menggigit pelan bibirnya, demi menahan kegetiran yang tiba-tiba hadir. Dia tak suka karena harus melakukan sesuatu yang bertentangan dengan hati nurani. Namun, anehnya ada satu sisi dalam diri yang justru begitu menikmati kesalahan itu.“Apakah karena aku wanita dengan standar di bawah rata-rata?”“Persetan dengan hal itu,” balas Justin pelan, tapi penuh penekanan. "Tidak ada istilah demikian.""Anda sendiri yang mengatakannya tadi," sanggah Helena.Justin tak menanggapi. Dia hanya menatap Helena, dengan sorot tak dapat diartikan.Melihat tatapan sang pemimpin redaksi yang dirasa lain, membuat Helena mengeluh pelan. Dia menggeleng tak mengerti, lalu berbalik hendak membuka pintu.
Helena menatap Justin, sambil menggigit ujung bolpoin. Dia tersenyum, kemudian mengambil dokumen perjanjian. “Selain mencuri keperawanan, Anda juga menjiplak kata-kataku,” celetuknya, lalu membaca isi dokumen tadi.“Ya, Tuhan. Banyak sekali peraturan yang Anda buat, Tuan,” ujar Helena, seraya menoleh sekilas pada Justin yang tengah memandangnya.“Apa itu memberatkanmu?” tanya Justin, tanpa mengalihkan perhatian sedikit pun.“Entahlah.” Helena mengangkat bahu. “Aku terbiasa hidup tanpa aturan jelas. Maksudku … um … ada aturan, tapi tidak kutaati,” ujarnya tak acuh.“Aku bisa melihat itu,” balas Justin menanggapi.
“Jujur?” ulang Justin, seraya menegakkan kepala, lalu menatap Helena. “Itu akan jadi hal terbodoh yang kulakukan,” ujarnya.“Kenapa? Tak ada salahnya mengungkapkan perasaan terhadap orang yang kita cintai.”Justin menggeleng pelan, lalu mengembuskan napas berat bernada keluhan. “Lain cerita jika cintamu bertepuk sebelah tangan.”Tiba-tiba, Helena tertawa renyah mendengar ucapan Justin. Sikapnya membuat sang pemimpin redaksi GP Enterprise keheranan.“Itu tidak mungkin,” bantah Helena tak percaya.“Apanya yang tidak mungkin?”&ldq