Helena terdiam, menunggu apa yang akan Justin lakukan. Dia tak tahu apakah pria itu dalam keadaan sama seperti dirinya atau tidak, berhubung kedua matanya ditutup kain.
Embusan napas pelan meluncur dari bibir Helena, saat merasakan sentuhan di telapak kaki. Dia bergerak karena geli. Namun, tak lama kemudian Helena kembali diam, meresapi rabaan lembut di betis yang terangkat lurus dan disandarkan ke pundak Justin.
“Ah ….”
Desahan pelan terdengar, saat Justin menciumi betis jenjang Helena. Padahal, dia sudah tak tahan untuk segera memulai penyatuan. Namun, Justin seperti ingin bermain-main terlebih dulu.
“Kakimu sangat indah, Helena. Aku menyukainya,” sanjung Justin, seraya meraba lembut betis mulus wanita muda itu.
Justin tersenyum kecil. Dia tidak terlalu memedulikan ucapan Agatha. “Aku sedang sibuk. Jadi, sebaiknya kau pulang saja.” Pria itu terlihat sangat tenang, seakan tidak sedang menyembunyikan apa pun.“Kau selalu begitu.” Agatha tersenyum kelu, lalu berbalik. Dia memutar gagang pintu kamar, kemudian membukanya.“Hm.” Agatha menggumam pelan, sambil tertegun di ambang pintu.Sementara itu, Justin menatap dengan sorot tak dapat diartikan. Walaupun ditutupi, tetapi rasa waswas itu tetap ada. Untungnya, Agatha tidak memperhatikan perubahan air muka sang suami.Agatha melenggang tenang ke dalam kamar. Itu membuat Justin menautkan alis tak mengerti. Dia langsung mengikuti wanita itu.
Helena menggigit pelan bibirnya, demi menahan kegetiran yang tiba-tiba hadir. Dia tak suka karena harus melakukan sesuatu yang bertentangan dengan hati nurani. Namun, anehnya ada satu sisi dalam diri yang justru begitu menikmati kesalahan itu.“Apakah karena aku wanita dengan standar di bawah rata-rata?”“Persetan dengan hal itu,” balas Justin pelan, tapi penuh penekanan. "Tidak ada istilah demikian.""Anda sendiri yang mengatakannya tadi," sanggah Helena.Justin tak menanggapi. Dia hanya menatap Helena, dengan sorot tak dapat diartikan.Melihat tatapan sang pemimpin redaksi yang dirasa lain, membuat Helena mengeluh pelan. Dia menggeleng tak mengerti, lalu berbalik hendak membuka pintu.
Helena menatap Justin, sambil menggigit ujung bolpoin. Dia tersenyum, kemudian mengambil dokumen perjanjian. “Selain mencuri keperawanan, Anda juga menjiplak kata-kataku,” celetuknya, lalu membaca isi dokumen tadi.“Ya, Tuhan. Banyak sekali peraturan yang Anda buat, Tuan,” ujar Helena, seraya menoleh sekilas pada Justin yang tengah memandangnya.“Apa itu memberatkanmu?” tanya Justin, tanpa mengalihkan perhatian sedikit pun.“Entahlah.” Helena mengangkat bahu. “Aku terbiasa hidup tanpa aturan jelas. Maksudku … um … ada aturan, tapi tidak kutaati,” ujarnya tak acuh.“Aku bisa melihat itu,” balas Justin menanggapi.
“Jujur?” ulang Justin, seraya menegakkan kepala, lalu menatap Helena. “Itu akan jadi hal terbodoh yang kulakukan,” ujarnya.“Kenapa? Tak ada salahnya mengungkapkan perasaan terhadap orang yang kita cintai.”Justin menggeleng pelan, lalu mengembuskan napas berat bernada keluhan. “Lain cerita jika cintamu bertepuk sebelah tangan.”Tiba-tiba, Helena tertawa renyah mendengar ucapan Justin. Sikapnya membuat sang pemimpin redaksi GP Enterprise keheranan.“Itu tidak mungkin,” bantah Helena tak percaya.“Apanya yang tidak mungkin?”&ldq
Justin yang awalnya berdiri di ambang pintu, berjalan masuk. Dia langsung menghampiri Helena. Membuat wanita itu terkejut bukan main.Helena segera berbalik. Dia bermaksud mengambil pakaian Akan tetapi, niatnya terjegal oleh gerakan Justin yang jauh lebih cepat.“Kenapa kau melepas pakaian?” tanya Justin dengan sorot aneh.“Aku ….” Helena merasa begitu konyol. “Maaf. Aku hanya …. Oh, astaga. Memalukan.” Wanita itu menggeleng tak percaya.Namun, Justin tak menanggapi ekspresi penuh sesal yang Helena tunjukkan. Dia justru terlihat serius, saat menatap wanita berambut pirang tersebut. “Apa kau menyukai sepatu itu?” tanyanya.“Ini sepatu y
“Terserah kau.” Justin berlalu mengambil minuman. “Aku memanggilmu untuk membahas itu. Tentang kursi kepemimpinan di GP Enterprise,” ucap Duncan, seraya mengarahkan perhatian sepenuhnya kepada Justin. “Bisakah bergabung di sini?” Justin yang awalnya malas, terpaksa ikut duduk di antara Duncan dan Grayson. Walaupun raut wajah pria itu tampak masam, tapi tak mengurangi kesan wibawa yang terpancar dari bahasa tubuhnya. “Aku sudah bicara dengan Grayson,” ucap Duncan, membuka perbincangan. “Dia setuju dan siap menduduki kursi pemimpin redaksi di GP Enterprise. Itu berarti, kau bisa kembali fokus mengawasi OneVision dan usahamu yang lain.” “Baguslah,” ucap Justin menanggapi datar, lalu meneguk minumannya. “Aku akan mengadakan acara khusus untuk memperkenalkan Grayson pada seluruh staf di sana,” ucap Duncan lagi. “Acara khusus?” Justin menatap sang ayah, seraya menautkan alis. “Ya. Bukan acara formal.” Duncan melirik Grayson sekilas, sebelum kembali mengarahkan perhatian pada Justi
“Aku tak harus meladeni semua omonganmu. Lagi pula, aku tidak peduli dengan segala penilaian yang kau berikan. Kenyataannya sekarang adalah aku pemilik OneVision. Lalu kau? Apa yang sudah dirimu raih selama ini?”“Kau pikir mudah menjalani hidup sebagai diriku?” Grayson menghadapkan tubuh sepenuhnya pada sang kakak.“Menyedihkan. Patah hati membuatmu jadi pria tak berguna dan —”Satu hantaman keras langsung mendarat di wajah Justin, membuat pria itu hampir terjengkang andai tak segera menyeimbangkan tubuh. Justin tak menyangka Grayson berani menghajarnya.Justin mengusap sudut bibir yang berdarah dengan ujung jari tengah. Dia menatap tajam sang adik. Namun, tak ada sedikit pun niat untuk memb
“Apa yang Anda lakukan?” tanya Helena penasaran.“Pengkhianatan,” jawab Justin. “Seperti yang kita lakukan?” Helena menatap sayu pria itu. Justin tidak langsung menjawab. Dia balas menatap Helena. “Aku seorang pengkhianat. Apa kau bisa melihatnya?” Kali ini, giliran Helena yang terdiam beberapa saat. Dia tak mengalihkan pandangan sedetik pun, bagai tengah menyelami lebih dalam pria di hadapannya. Helena tahu Justin memang seorang pengkhianat. Itu bukan sekadar cerita, melainkan dirinya alami sendiri. Namun, ada satu sisi di mana Helena begitu penasaran dan menyangkal semua yang pria itu lakukan. Secara sederhana, wanita bermata biru tersebut seperti mencari pembenaran yang belum ditemukan dan terlihat jelas. “Aku tidak yakin Anda sejahat itu, Tuan,” ucap Helena beberapa saat kemudian. “Bagaimana kau bisa yakin? Kita baru saling mengenal beberapa hari yang lalu.” “Entahlah.” Helena menggeleng pelan. Pikirannya seakan tidak sejalan dengan apa yang diucapkan. “Aku hanya merasa ad