Justin tersenyum kecil. Dia tidak terlalu memedulikan ucapan Agatha. “Aku sedang sibuk. Jadi, sebaiknya kau pulang saja.” Pria itu terlihat sangat tenang, seakan tidak sedang menyembunyikan apa pun.
“Kau selalu begitu.” Agatha tersenyum kelu, lalu berbalik. Dia memutar gagang pintu kamar, kemudian membukanya.
“Hm.” Agatha menggumam pelan, sambil tertegun di ambang pintu.
Sementara itu, Justin menatap dengan sorot tak dapat diartikan. Walaupun ditutupi, tetapi rasa waswas itu tetap ada. Untungnya, Agatha tidak memperhatikan perubahan air muka sang suami.
Agatha melenggang tenang ke dalam kamar. Itu membuat Justin menautkan alis tak mengerti. Dia langsung mengikuti wanita itu.
Helena menggigit pelan bibirnya, demi menahan kegetiran yang tiba-tiba hadir. Dia tak suka karena harus melakukan sesuatu yang bertentangan dengan hati nurani. Namun, anehnya ada satu sisi dalam diri yang justru begitu menikmati kesalahan itu.“Apakah karena aku wanita dengan standar di bawah rata-rata?”“Persetan dengan hal itu,” balas Justin pelan, tapi penuh penekanan. "Tidak ada istilah demikian.""Anda sendiri yang mengatakannya tadi," sanggah Helena.Justin tak menanggapi. Dia hanya menatap Helena, dengan sorot tak dapat diartikan.Melihat tatapan sang pemimpin redaksi yang dirasa lain, membuat Helena mengeluh pelan. Dia menggeleng tak mengerti, lalu berbalik hendak membuka pintu.
Helena menatap Justin, sambil menggigit ujung bolpoin. Dia tersenyum, kemudian mengambil dokumen perjanjian. “Selain mencuri keperawanan, Anda juga menjiplak kata-kataku,” celetuknya, lalu membaca isi dokumen tadi.“Ya, Tuhan. Banyak sekali peraturan yang Anda buat, Tuan,” ujar Helena, seraya menoleh sekilas pada Justin yang tengah memandangnya.“Apa itu memberatkanmu?” tanya Justin, tanpa mengalihkan perhatian sedikit pun.“Entahlah.” Helena mengangkat bahu. “Aku terbiasa hidup tanpa aturan jelas. Maksudku … um … ada aturan, tapi tidak kutaati,” ujarnya tak acuh.“Aku bisa melihat itu,” balas Justin menanggapi.
“Jujur?” ulang Justin, seraya menegakkan kepala, lalu menatap Helena. “Itu akan jadi hal terbodoh yang kulakukan,” ujarnya.“Kenapa? Tak ada salahnya mengungkapkan perasaan terhadap orang yang kita cintai.”Justin menggeleng pelan, lalu mengembuskan napas berat bernada keluhan. “Lain cerita jika cintamu bertepuk sebelah tangan.”Tiba-tiba, Helena tertawa renyah mendengar ucapan Justin. Sikapnya membuat sang pemimpin redaksi GP Enterprise keheranan.“Itu tidak mungkin,” bantah Helena tak percaya.“Apanya yang tidak mungkin?”&ldq
Justin yang awalnya berdiri di ambang pintu, berjalan masuk. Dia langsung menghampiri Helena. Membuat wanita itu terkejut bukan main.Helena segera berbalik. Dia bermaksud mengambil pakaian Akan tetapi, niatnya terjegal oleh gerakan Justin yang jauh lebih cepat.“Kenapa kau melepas pakaian?” tanya Justin dengan sorot aneh.“Aku ….” Helena merasa begitu konyol. “Maaf. Aku hanya …. Oh, astaga. Memalukan.” Wanita itu menggeleng tak percaya.Namun, Justin tak menanggapi ekspresi penuh sesal yang Helena tunjukkan. Dia justru terlihat serius, saat menatap wanita berambut pirang tersebut. “Apa kau menyukai sepatu itu?” tanyanya.“Ini sepatu y
“Terserah kau.” Justin berlalu mengambil minuman. “Aku memanggilmu untuk membahas itu. Tentang kursi kepemimpinan di GP Enterprise,” ucap Duncan, seraya mengarahkan perhatian sepenuhnya kepada Justin. “Bisakah bergabung di sini?” Justin yang awalnya malas, terpaksa ikut duduk di antara Duncan dan Grayson. Walaupun raut wajah pria itu tampak masam, tapi tak mengurangi kesan wibawa yang terpancar dari bahasa tubuhnya. “Aku sudah bicara dengan Grayson,” ucap Duncan, membuka perbincangan. “Dia setuju dan siap menduduki kursi pemimpin redaksi di GP Enterprise. Itu berarti, kau bisa kembali fokus mengawasi OneVision dan usahamu yang lain.” “Baguslah,” ucap Justin menanggapi datar, lalu meneguk minumannya. “Aku akan mengadakan acara khusus untuk memperkenalkan Grayson pada seluruh staf di sana,” ucap Duncan lagi. “Acara khusus?” Justin menatap sang ayah, seraya menautkan alis. “Ya. Bukan acara formal.” Duncan melirik Grayson sekilas, sebelum kembali mengarahkan perhatian pada Justi
“Aku tak harus meladeni semua omonganmu. Lagi pula, aku tidak peduli dengan segala penilaian yang kau berikan. Kenyataannya sekarang adalah aku pemilik OneVision. Lalu kau? Apa yang sudah dirimu raih selama ini?”“Kau pikir mudah menjalani hidup sebagai diriku?” Grayson menghadapkan tubuh sepenuhnya pada sang kakak.“Menyedihkan. Patah hati membuatmu jadi pria tak berguna dan —”Satu hantaman keras langsung mendarat di wajah Justin, membuat pria itu hampir terjengkang andai tak segera menyeimbangkan tubuh. Justin tak menyangka Grayson berani menghajarnya.Justin mengusap sudut bibir yang berdarah dengan ujung jari tengah. Dia menatap tajam sang adik. Namun, tak ada sedikit pun niat untuk memb
“Apa yang Anda lakukan?” tanya Helena penasaran.“Pengkhianatan,” jawab Justin. “Seperti yang kita lakukan?” Helena menatap sayu pria itu. Justin tidak langsung menjawab. Dia balas menatap Helena. “Aku seorang pengkhianat. Apa kau bisa melihatnya?” Kali ini, giliran Helena yang terdiam beberapa saat. Dia tak mengalihkan pandangan sedetik pun, bagai tengah menyelami lebih dalam pria di hadapannya. Helena tahu Justin memang seorang pengkhianat. Itu bukan sekadar cerita, melainkan dirinya alami sendiri. Namun, ada satu sisi di mana Helena begitu penasaran dan menyangkal semua yang pria itu lakukan. Secara sederhana, wanita bermata biru tersebut seperti mencari pembenaran yang belum ditemukan dan terlihat jelas. “Aku tidak yakin Anda sejahat itu, Tuan,” ucap Helena beberapa saat kemudian. “Bagaimana kau bisa yakin? Kita baru saling mengenal beberapa hari yang lalu.” “Entahlah.” Helena menggeleng pelan. Pikirannya seakan tidak sejalan dengan apa yang diucapkan. “Aku hanya merasa ad
“Pertama kali melihatnya, dia begitu cantik. Jujur saja, aku langsung jatuh cinta. Namun, belakangan kutahu ternyata dia adalah kekasih Grayson, adikku,” tutur Justin, dengan tatapan menerawang. Justin ingat betul pada malam pertama kali bertemu dengan Agatha, di sebuah pesta yang diselenggarakan salah seorang temannya.“Aku sengaja mengundang banyak wanita ke pesta ini,” ucap Brant, sang penyelenggara pesta. “Menyenangkan. Tapi, aku tidak bisa lama di sini,” ucap Justin menanggapi, lalu meneguk minuman dalam gelas. Iseng, pria tampan bermata abu-abu itu mengedarkan pandangan ke sekitar area pesta yang cukup ramai. Dalam hiruk-pikuk pria dan wanita yang tengah asyik menikmati pesta, tatapan pria itu terkunci pada seraut wajah cantik beberapa langkah di depannya. Justin yang awalnya merasa bosan dan memutuskan pulang lebih cepat, tanpa sadar tersenyum kecil. “Hm,” gumamnya pelan, sambil berjalan menghampiri wanita yang tengah menikmati musik sambil menari. Dari jarak hanya beberapa
Justin tersenyum sinis. "Justru sebaliknya, Agatha," bantah pria tampan itu yakin. "Seharusnya, aku mengambil keputusan ini sejak dulu. Bertahan dalam pernikahan bodoh, hanya membuatku jadi badut memalukan.""Kau sudah tahu perasaanku yang sebenarnya. Kenapa masih menganggap ini sebagai suatu kebodohan?" protes Agatha tak terima.Justin menggeleng pelan."Sudahlah. Satu yang pasti, aku akan mengurus proses perceraian kita. Dengan atau tanpa restu orang tua, sebaiknya kita menyudahi ini secara baik-baik," putus Justin, dengan nada bicara mulai tenang."Kau benar-benar keterlaluan!" sentak Agatha. Ucapan Justin membuat amarah dalam dirinya kian menjadi. "Kau pikir, aku akan membiarkanmu dengan pelacur itu?""Tutup mulutmu! Kau yang pelacur!" sergah Helena tak terima. Dia mendekat, lalu mendorong Agatha hingga mundur beberapa langkah. "Jika kau mencintai Justin, seharusnya tunjukkan seberapa besar rasa cintamu. Namun, kau justru bersikap jual mahal dan berhar
Agatha yang sudah memiliki akses masuk ke unit tempat tinggal Justin, langsung memasuki lift dan menuju lantai teratas. Selama menunggu tiba di sana, wanita cantik berambut pendek tersebut terus mengepalkan tangan, demi menahan gejolak amarah dalam dada. Pikirannya tak keruan. Terlebih, setelah melihat rekaman video yang Grayson tunjukkan.Beberapa saat kemudian, pintu lift terbuka. Meskipun agak ragu, Agatha memaksakan diri melangkah keluar. Dia mengedarkan pandangan ke setiap sudut ruangan yang terasa sepi.Agatha melangkah perlahan menyusuri koridor menuju kamar Justin. Dalam setiap ayunan kaki jenjangnya, wanita itu merasa tengah mendekati kematian mengerikan. Entah apa yang akan ditemui di ruangan pribadi sang suami.Setelah tiba di depan kamar, Agatha tertegun beberapa saat. Dia memutar handle pint
“Wanita lain?” cibir Agatha. “Aku membebaskannya dengan wanita manapun,selama tidak —”“Membebaskan?” Grayson menautkan alis, lalu berdecak pelan. “Agatha, Agatha. Kau ini bodoh atau apa?” ledeknya, seakan membalas telak cibiran sang mantan kekasih.Grayson makin mendekat. “Kau tahu siapa Justin? Dia adalah seorang cassanova. Bagaimana bisa kau membebaskan pria semacam itu untuk menjalani hidup semaunya, sedangkan kalian sudah terikat pernikahan? Astaga, Kekonyolan macam apa ini?”Grayson kembali berdecak pelan, diiringi gelengan tak mengerti. “Kau mencampakkanku hanya untuk menjalani hidup dalam kegilaan?” ujarnya heran. “Kau pikir bisa menaklukan Justin dengan cara seperti itu? Salah besar.”“Apa maksudmu?” tanya Agatha tak mengerti.“Justin membawa wanita lain ke apartemennya. Bukan cuma satu kali,” jawab Gr
Helena menatap aneh, lalu menggeleng kencang sebagai tanda penolakan. “Kenapa? Kau menjadi kekasih gelap kakak-ku. Apa susahnya menjadi kekasihku juga. Lagi pula, itu akan jauh lebih aman bagimu.”“Lupakan, Tuan Grayson. Aku tidak tertarik sama sekali,” tolak Helena cukup tegas. “Sebaiknya, biarkan aku pergi.” Helena memaksa membuka pintu. Dengan setengah berlari, dia meninggalkan ruangan Grayson. Melihat itu, Grayson langsung menyusul. Langkahnya yang jauh lebih lebar dibanding Helena, membuat pria itu diuntungkan. Dia bisa mengejar dengan mudah. “Tunggu, Nona Roberts,” cegah Grayson, seraya meraih tangan Helena. “Lepaskan aku! Kita baru bertemu, tapi Anda sudah berani bersikap seperti ini. Benar-benar kurang ajar!” maki Helena tak suka.“Baiklah. Baiklah.” Grayson langsung melepaskan genggamannya dari pergelangan tangan Helena. “Maafkan aku karena tidak bisa mengontrol diri,” sesalnya. “Kumohon.”“Aku tidak mengerti, apa yang Anda inginkan sebenarnya dengan mendekatiku?” “Kau s
Helena tersenyum sinis. “Maaf, Tuan. Aku tidak mau bekerja sama dengan siapa pun,” tolaknya pelan, tapi cukup tegas.“Kenapa? Kau jatuh cinta pada kakakku?” “Itu bukan urusan Anda.” Helena berbalik, Dia bermaksud membuka pintu. Namun, lagi-lagi Grayson menghalanginya. Pria itu mencegah, tak membiarkan Helena keluar. “Jangan pergi dulu. Aku masih ingin bicara denganmu.”Helena menoleh, menatap malas adik Justin tersebut. “Aku menghormati Anda sebagai pemimpin redaksi yang baru, Tuan. Aku sangat berterima kasih, bila Anda menerima naskah terakhirku tanpa harus direvisi terlebih dulu. Namun, itu bukan berarti aku mau melakukan sesuatu yang lebih.”“Kau melakukan itu dengan Justin.”“Situasi kami berbeda, Anda tidak berhak ….” Helena seperti sengaja menjeda kalimatnya. Wanita muda itu tampak malas bicara lebih banyak. “Kumohon. Biarkan aku pergi.”“Kenapa? Apa karena Justin menunggumu di luar?” Grayson menatap Helena dengan sorot aneh. Adik kandung Justin tersebut mengembuskan napas ber
Helena langsung salah tingkah, mendengar tawaran dari Grayson. Wanita muda bermata biru itu memaksakan tersenyum, walaupun ada rasa tak nyaman dalam hati. Dia tak menghendaki apa pun dari adik Justin tersebut. “Bagaimana?” tanya Grayson memastikan, berhubung Helena tak juga menanggapi tawarannya. Pria tampan itu tersenyum kalem. “Tenang saja, Nona Roberts. Aku pria lajang. Tak ada apa pun yang perlu kau khawatirkan,” ujarnya dengan tatapan tak dapat diartikan. “Apa maksud Anda?” Helena berpura-pura tak mengerti. Raut wajah si pemilik rambut pirang itu sudah mulai tegang. Namun, ekspresi berbeda diperlihatkan Grayson. Dia tetap tenang, dengan senyum kalem yang menghiasi paras tampannya. “Aku yakin, kau memahami maksud ucapanku tadi,” ujarnya. Helena segera berdiri. Dia tidak ingin lebih lama lagi berhadapan dengan Grayson. Wanita 24 tahun itu bergegas menuju pintu keluar. Namun, Grayson bergerak sangat cepat menghadang di depan Helena. “Perbincangan kita belum selesai, Nona Robert
Justin menoleh sekilas, sebelum kembali mengarahkan pandangan ke depan. Dia bermaksud melanjutkan langkah, meninggalkan Agatha yang berdiri tak jauh di belakangnya. "Tunggu, Justin. Kenapa kau begitu terburu-buru?" tanya Agatha penasaran. Dia meraih lengan sang suami, menahannya agar tak kemana pun. "Aku harus pergi. Kita lanjutkan saja perbincangan ini kapan-kapan." Justin menyingkirkan tangan Agatha dari lengannya, lalu melangkah gagah kembali ke aula tempat acara berlangsung. Ternyata, acara perkenalan dan serah terima jabatan sudah selesai. Beberapa orang tampak sedang merapikan property yang telah digunakan. Justin mengedarkan pandangan. Dia menghampiri Nathalie, yang tengah sibuk dengan rekannya sesama editor. "Apa ayahku sudah pulang?" tanya Justin. "Ah, Tuan." Nathalie menoleh. "Tadi, Tuan Duncan menanyakan keberadaan Anda," jawabnya. "Kurasa, sekarang dia sudah pulang.""Bagaimana dengan Grayson?" tanya Justin lagi. "Tuan Grayson ke ruangannya bersama Nona Roberts, Kud
Justin memicingkan mata, menyikapi ucapan Agatha. Pria tampan bermata abu-abu itu tersenyum samar, sebelum berbalik meninggalkan sang istri. “Justin,” panggil Agatha, seraya bergegas menyusul sang suami. “Apa kau tidak ingin bertanya lebih jauh?” Justin tertegun, lalu menoleh. “Aku tidak tahu apa maksudmu berkata begitu. Kenapa kita harus membahas masalah ini?” “Aku hanya ingin memulai semua dari awal. Pernikahan kita yang …. Aku bersungguh-sungguh.” Agatha terlihat sangat serius, dengan apa yang dikatakannya. “Kenapa? Kenapa kau tiba-tiba bersikap seperti ini?” Agatha tak langsung menjawab. Dia menarik tangan Justin, lalu menuntun pria itu menjauh dari aula. Setelah tiba di tempat yang lebih sepi, Agatha baru melepaskan genggaman tangannya. “Kau seperti remaja ingusan, Agatha. Haruskah kita bicara dengan cara seperti ini?” “Aku hanya ingin bicara berdua denganmu, tanpa ada suara berisik atau siapa pun yang akan mengganggu.”.“Astaga.” Justin menggeleng tak mengerti. “Kalau beg
Justin langsung bereaksi, mendengar Grayson menyebutkan nama pena Helena. Walaupun dia yakin sang adik tengah memancing reaksinya, tapi tetap saja itu membuat pria tampan tersebut benar-benar tak suka. Sulung dari dua bersaudara itu menggeleng tak mengerti. Entah mengapa, dia tidak rela Helena didekati pria lain. “Seharusnya seperti itu, G. Tak ada salahnya menjalin kedekatan dan keakraban dengan karyawan serta para penulis. Namun, selalu jaga wibawamu di depan mereka. Jangan sampai hilang kontrol,” saran Duncan, seraya menepuk pelan pundak putra bungsunya. Grayson tersenyum simpul menanggapi ucapan sang ayah. Dia menoleh sekilas pada Justin dan Agatha, sebelum berlalu meninggalkan mereka. Sementara itu, Justin terus memperhatikan sang adik, dengan segala yang dilakukannya. Dia seperti hendak memastikan sang adik, yang tadi menyebutkan nama Shining Breeze. Ah, sial! Justin tak bisa fokus menyimak perbincangan dengan sang ayah, saat melihat Grayson membuktikan ucapannya. Justin ing