“Ya. Terima kasih,” ulang Helena. “Apa ada yang salah?”
“Tidak,” sahut Justin. “Tentu saja tidak.” Dia terlihat kurang nyaman. “Baiklah. Kalau begitu, aku pulang dulu,” pamit Helena, seraya berdiri. Begitu juga dengan Justin. Dia ikut berdiri, lalu melangkah gagah ke dekat lift. Menyusul Helena, yang lebih dulu ke sana. “Kau tinggal di mana?” tanya Justin, dengan tatapan tertuju ke pintu lift. “East London,” jawab Helena, Dia menoleh sekilas, lalu membetulkan letak kacamatanya. “Oh. Jauh juga.” “Begitulah. Setengah jam dengan tube." Tube merupakan istilah yang biasa digunakan, untuk menyebut kereta bawah tanah. Justin mengangguk samar. Dia hanya berdiri tanpa melakukan apa pun. Pria tampan itu tampak bimbang. “Kenapa liftnya tidak terbuka juga?” gumam Helena, yang mulai tak nyaman setelah menunggu beberapa saat. Mendengar ucapan wanita muda itu, Justin langsung tersadar. Dia menyentuh pangkal hidung menggunakan ujung ibu jari, kemudian mengeluarkan kartu akses dan menempelkannya ke alat pendeteksi khusus. Sesaat kemudian, pintu lift terbuka. Namun, saat Helena hendak melangkah masuk, Justin langsung menahan gerak wanita muda tersebut. Helena menatap tak mengerti. “Kenapa?” tanyanya heran. Akan tetapi, Justin tak langsung menjawab. Dia menggeleng pelan, lalu menarik pelan wanita muda berambut pirang itu agar kembali mundur ke sebelahnya. “Aku harus pulang, sebelum terlalu ma —” Helena tak sempat melanjutkan kalimatnya, berhubung Justin lebih dulu membalikkan badan, lalu menyandarkannya ke dinding dekat lift. “Tu-tuan.” Helena tampak resah. “Bisakah kau tetap di sini?” Suara Justin terdengar berat dan dalam. Begitu juga dengan embusan napasnya, yang menghangat di wajah Helena. “Untuk apa? Bukankah diskusi kita sudah selesai?” Helena kembali menatap heran dan penasaran. “Temani aku minum,” ucap Justin, seraya menuntun Helena ke mini bar, “Ta-tapi, aku harus pulang,” tolak Helena. Dia tak mengerti kenapa Justin bersikap berbeda. Namun, wanita dengan T-shirt longgar itu tetap menurut, saat Justin menyuruhnya duduk di stool bar. Justin membuka sebotol minuman, lalu duduk di stool bar sebelah Helena. Dia meneguk langsung dari botol tanpa banyak bicara. Sementara itu, Helena terus memperhatikan dengan sorot keheranan. Dia tak mengenal sosok Justin Cuthbert, selain sebagai pemimpin redaksi yang baru menjabat kurang lebih satu tahun di GP Enterprise, bersamaan dengan buku terakhir yang dirinya ajukan. “Anda ….” Helena ragu untuk bicara. “Aku tidak bicara terlalu lama dengan siapa pun dalam dua minggu terakhir,” ucap Justin, di sela tegukannya. “Kenapa?” tanya Helena penasaran. “Tidak ada yang menarik,” jawab Justin tak acuh. “Anda bicara panjang lebar tadi,” ucap Helena, berusaha menguasai keadaan. Wanita muda bermata biru itu terus menenangkan diri sendiri, mengatakan tidak akan ada sesuatu yang terjadi antara dirinya dengan Justin. Ya, tentu saja. Helena merasa tak memiliki sesuatu yang bisa menarik perhatian lawan jenis, selain mantan kekasihnya yang brengsek, Liam Spencer. Justin tak menanggapi. Dia hanya meneguk minuman dengan tatapan lurus ke depan, pada deretan botol anggur bermerk terkenal. Sesaat kemudian, pria itu meletakkan botol minuman di meja, lalu menoleh. Tatapannya terlihat aneh. “Apa kau ingin sesuatu yang lebih mudah dan menguntungkan?” tawarnya. “Tentang apa?” Justin tidak menjawab. Dia menghadapkan tubuh sepenuhnya, lalu meraih tangan Helena. Dibantunya wanita muda itu turun dari stool bar. Tanpa meminta izin terlebih dulu, Justin menyingkirkan ransel kecil dari punggung Helena, kemudian meletakkannya di meja. “Apa yang Anda inginkan?” tanya Helena, dengan sorot tak mengerti. “Mari buat kesepakatan,” ucap Justin serius. “Kesepakatan?” ulang Helena, yang langsung berbalas anggukan pelan “Apakah ini tentang cerita yang —” “Ya,” sahut Justin segera. “Sebenarnya, aku bukan tipikal orang yang suka mencampuradukkan urusan pekerjaan dengan masalah pribadi. Namun, kali ini berbeda." “Maksud Anda?” tanya Helena lagi. Justin tak segera menjawab. Dia menatap lekat wanita berambut pirang tersebut. “Mari,” ajaknya, seraya menuntun Helena ke bagian lain dari ruang apartemen mewah itu. Helena tak membantah. Namun, dia langsung melayangkan tatapan protes, saat mengetahui Justin membawanya ke kamar. “Ke-kenapa kita kemari?” tanya Helena mulai resah. Lagi-lagi, Justin tak menjawab. Pria tampan berkemeja putih itu berdiri tepat di hadapan Helena. Menatap intens, seakan tengah memengaruhi wanita itu lewat pikiran. Tanpa meminta izin, Justin melepas ikat rambut Helena, sehingga mahkota indah wanita muda itu tergerai bebas sebatas punggung. Justin juga melepas kacamata, yang membuat wajah Helena seketika terlihat berbeda. “Tuan Cuthbert ...." “Layani aku malam ini. Akan kupermudah pengajuan naskah ceritamu,” ucap Justin, yang seketika membuat Helena terbelalak tak percaya. “Ti-tidak. Ba-bagaimana mungkin A-Anda berpikir seperti itu?” Helena mencoba menolak. Namun, Justin tidak menggubrisnya. Dia merengkuh pinggang Helena, sehingga tubuh mereka merapat. Saat itulah, Helena mencium aroma yang teramat memabukan. Wangi yang menguar dari tubuh pria tampan tersebut membuatnya teramat rileks. “Ini tidak akan jadi sesuatu yang aneh, Nona Roberts,” ucap Justin, seraya meraba bagian bawah T-shirt yang Helena kenakan, lalu menaikkannya perlahan. “Tidak. Ini salah. Aku ….” Helena tak sempat melanjutkan kalimatnya karena Justin lebih dulu membungkam dengan ciuman, meskipun hanya sekilas. “Kau membutuhkan bantuanku untuk meloloskan naskah ceritamu,” ucap Justin lagi, seraya memasukkan tangan ke dalam T-shirt Helena. Meraba tubuh wanita muda itu perlahan, bagai tengah memberikan rangsangan penuh godaan. Helena tak kuasa menolak. Dia sibuk menetralkan debaran dalam dada, merasakan sentuhan di beberapa bagian tubuh yang melumpuhkan akal sehatnya. “Hanya malam ini,” bisik Justin. Hangat napasnya menyapu daun telinga Helena, yang langsung memejamkan mata. “Katakan kau bersedia,” bisik Justin lagi. Pria tampan itu berubah jadi seseorang yang sangat berbeda, dengan yang Helena temui kemarin dan tadi sore. Lagi-lagi, Helena hanya terdiam. Dia sudah terlena begitu dalam. Si pemilik mata biru tersebut pasrah, saat Justin melepas T-shirt yang dikenakannya. Begitu juga ketika pria tampan itu melumat bibirnya. Mesra dan penuh gairah. Benar-benar mendebarkan. Entah ke mana perginya logika seorang Helena Roberts. Dengan begitu mudah, dia terbuai dalam pesona serta godaan penuh nafsu yang diberikan Justin Cuthbert. Entah apa yang akan terjadi setelah ini. Helena seperti tak lagi peduli. Satu yang pasti, dia sangat menikmati cumbuan pria tampan 31 tahun itu. Helena kehilangan rasa malu, saat tubuh polosnya sudah terekspos sempurna. Dia benar-benar terpedaya, dalam pesona penuh rayuan pria yang baru ditemui dua kali. Helena juga hanya diam, saat Justin menutup matanya menggunakan kain satin halus. "Kenapa?" tanya Helena lirih, setelah Justin membaringkannya di kasur. "Agar kau tak melihatku telanjang." "Ta-tapi ...." Helena terkesiap. Justin tiba-tiba memulai permainan!"Akh..." rintihnya, tanpa sadar, "pelan-pelan, Tuan."
"Ingat, Helena. Aku yang memimpin," ucapnya, mendominasi.Deg!
Detik berlalu. Tempat tidur di kamar Justin terasa begitu nyaman. Sprei yang melapisinya pun sangat lembut. Begitu juga dengan selimut yang menutupi sebagian tubuh polos Helena. Lelah menyergap wanita muda 24 tahun tersebut. Helena terlelap, setelah melayani hasrat biologis sang pemilik apartemen mewah itu. “Hey. Selamat pagi,” sapa Justin, yang sudah duduk di tepian tempat tidur. Dia menghadapkan tubuh sepenuhnya, seraya membelai pipi Helena yang masih terpejam. Helena yang terlelap karena kelelahan, perlahan membuka mata. Samar, dirinya menatap pria tampan itu. “Tu-tuan.” Wanita berambut pirang tersebut langsung bangkit, lalu duduk sambil memegangi selimut yang menutupi tubuh sebatas dada. “Apa kau sudah lapar?” tanya Justin, tak mengalihkan pandangan dari wanita yang sudah melayaninya hampir semalam suntuk. Helena tampak kebingungan. Ini merupakan pengalaman pertama bagi wanita muda itu. “A-aku ….” “Berpakaianlah. Setelah itu, kita sarapan bersama.” Justin beranjak dari duduk
“I-istri?” ulang Helena tak percaya. “Jadi, Anda sudah menikah?” Justin mengangguk. Ekspresinya teramat tenang, seakan tak ada rasa bersalah setelah mengkhianati pasangan.Raut tenang Justin justru berbanding terbalik dengan Helena. Rasa bersalah menyeruak hebat, menghadirkan penyesalan mendalam atas apa yang telah dilakukan semalam dengan pria tampan tersebut. “Kenapa Anda bisa berbuat seperti itu?” Helena kembali melayangkan sorot tak percaya.“Kenapa? Tak perlu ada alasan. Satu yang pasti karena aku menginginkannya.” Jawaban yang diberikan Justin terdengar sangat menakutkan. Jelas sudah dia tak merasa bersalah. “Tapi, Anda sud —”Justin langsung mengangkat tangan sebatas dada, sebagai tanda agar Helena diam. “Kau tidak perlu berkomentar, Nona Roberts. Aku akan meloloskan naskah terakhirmu. Hanya itu perjanjian kita. Jadi, kau tak kuizinkan melakukan protes atau banyak bertanya tentang hal lain.”“Anda … Anda sangat menakutkan, Tuan Cuthbert.”Justin menatap Helena cukup tajam, s
“Kami masih nyaman berdua saja. Begitu kan, Sayang?” Justin menoleh pada sang istri, yang langsung membalas dengan senyuman manis.“Oh, tidak,” bantah Eleanor. “Kalian sudah menikah selama satu setengah tahun. Kami pikir itu cukup, untuk menghabiskan momen manis berdua saja. Lagi pula, kehadiran anak tak akan membuat keromantisan jadi berkurang. Lihatlah aku dan Hudson. Hingga usia sekarang, kami tetap romantis seperti baru pertama menikah.”Justin hanya menanggapi dengan senyum kecil, sedangkan Agatha memijat pelipis. “Silakan lanjutkan. Aku ke belakang sebentar,” pamit Justin, seraya beranjak dari duduk. Dia berlalu dari sana."Apa Justin tidak menyukai perbincangan tadi?” tanya Eleanor, setelah sang menantu tak terlihat. “Tidak juga. Dia kembali merokok akhir-akhir ini,” jawab Agatha disertai senyum lembut. Seperti biasa, dia berusaha menutupi buruknya hubungan dengan sang suami. Sementara itu, Justin justru memilih menyendiri di balkon rumah sambil merokok dan termenung, memiki
“Denganku?” Helena menatap tajam.Justin tersenyum kalem.“Ini gila. Apa lagi yang akan Anda tawarkan sekarang?” “Apa pun yang kau mau. Tas, sepatu, baju bermerk? Kemewahan?” Justin menaikkan sebelah alis.Helena menggeleng kencang. “Anda pikir, aku membutuhkan semua itu?” Dia tak terima karena ucapan Justin dinilai telah merendahkan harga diri serta martabatnya sebagai wanita. “Aku sadar telah melakukan kesalahan, dengan melayani keinginanmu kemarin malam! Namun, kutegaskan hal seperti itu tidak akan pernah terulang lagi!”Namun, Justin tak mengindahkan penolakan keras Helena. Dia hanya tersenyum kecil, sembari menyentuh pangkal hidung dengan ujung ibu jari. “Kau yakin, Nona Roberts?” tanyanya begitu tenang.“Aku yakin Anda bisa membedakan mana candaan, mana pula yang serius.”“Hm.” Justin menggumam pelan, tanpa mengalihkan perhatian dari Helena yang berpenampilan acak-acakan. Entah apa yang membuatnya memilih wanita berambut pirang itu.“Sebaiknya, Anda pergi dari sini,” usir Helen
“Apa yang Anda inginkan sebenarnya?” tanya Helena serius.“Aku menawarkan banyak hal padamu,” jawab Justin tenang.“Aku tidak mengerti kegilaan macam apa ini."“Jika kau menganggapnya suatu kegilaan, aku justru mengatakan sebagai kesempatan emas karena penawaran menarik ini tak kuberikan pada siapa pun,” balas Justin, tetap terdengar tenang.“Ah! Apa yang bisa kupercaya, dari pria yang berselingkuh?” cibir Helena. “Astaga. Kau juga menikmatinya,” balas Justin.
Helena terdiam, menunggu apa yang akan Justin lakukan. Dia tak tahu apakah pria itu dalam keadaan sama seperti dirinya atau tidak, berhubung kedua matanya ditutup kain.Embusan napas pelan meluncur dari bibir Helena, saat merasakan sentuhan di telapak kaki. Dia bergerak karena geli. Namun, tak lama kemudian Helena kembali diam, meresapi rabaan lembut di betis yang terangkat lurus dan disandarkan ke pundak Justin.“Ah ….”Desahan pelan terdengar, saat Justin menciumi betis jenjang Helena. Padahal, dia sudah tak tahan untuk segera memulai penyatuan. Namun, Justin seperti ingin bermain-main terlebih dulu.“Kakimu sangat indah, Helena. Aku menyukainya,” sanjung Justin, seraya meraba lembut betis mulus wanita muda itu.
Justin tersenyum kecil. Dia tidak terlalu memedulikan ucapan Agatha. “Aku sedang sibuk. Jadi, sebaiknya kau pulang saja.” Pria itu terlihat sangat tenang, seakan tidak sedang menyembunyikan apa pun.“Kau selalu begitu.” Agatha tersenyum kelu, lalu berbalik. Dia memutar gagang pintu kamar, kemudian membukanya.“Hm.” Agatha menggumam pelan, sambil tertegun di ambang pintu.Sementara itu, Justin menatap dengan sorot tak dapat diartikan. Walaupun ditutupi, tetapi rasa waswas itu tetap ada. Untungnya, Agatha tidak memperhatikan perubahan air muka sang suami.Agatha melenggang tenang ke dalam kamar. Itu membuat Justin menautkan alis tak mengerti. Dia langsung mengikuti wanita itu.
Helena menggigit pelan bibirnya, demi menahan kegetiran yang tiba-tiba hadir. Dia tak suka karena harus melakukan sesuatu yang bertentangan dengan hati nurani. Namun, anehnya ada satu sisi dalam diri yang justru begitu menikmati kesalahan itu.“Apakah karena aku wanita dengan standar di bawah rata-rata?”“Persetan dengan hal itu,” balas Justin pelan, tapi penuh penekanan. "Tidak ada istilah demikian.""Anda sendiri yang mengatakannya tadi," sanggah Helena.Justin tak menanggapi. Dia hanya menatap Helena, dengan sorot tak dapat diartikan.Melihat tatapan sang pemimpin redaksi yang dirasa lain, membuat Helena mengeluh pelan. Dia menggeleng tak mengerti, lalu berbalik hendak membuka pintu.