Justin tersenyum simpul. “Mungkin kau membutuhkan sedikit penyegaran,” ujarnya tenang.
“Penyegaran?” ulang Helena tak mengerti.
Justin meraih kunci motor dari meja. “Aku bersedia memberikan bimbingan gratis untukmu. Kita bisa membahas alur seperti apa yang sebaiknya kau pakai. Itu juga jika kau mau.”
“Lalu, bagaimana dengan Nona Sawyer?” tanya Helena ragu.
“Terserah. Aku memberikan penawaran ini karena kau meminta kompensasi atas waktu yang terbuang percuma. Akan kuberikan kau arahan. Seperti apa cara mengeksekusinya, di situlah letak kecerdasanmu sebagai penulis.”
Helena tak segera menanggapi. Wanita muda bermata biru itu tampak bimbang. Bagaimana tidak? Ini merupakan penawaran menarik dan mungkin tak didapat semua penulis, yang berada dalam naungan GP Enterprise.
“A-ba-baiklah. Aku menerima tawaran Anda, Tuan Cuthbert,” putus Helena yakin.
Setelah mendengar jawaban wanita berkacamata itu, Justin mengambil secarik kertas dari wadah khusus. Dia menuliskan sesuatu di sana, lalu memberikannya pada Helena. “Datanglah pukul tujuh ke alamat ini.”
“I-ini … ini alamat siapa?” tanya Helena agak gugup.
“Apartemenku,” jawab Justin kalem.
Ekspresi berlainan justru diperlihatkan Helena. Si pemilik rambut pirang itu terbelalak lebar. “Apartemen?” ulangnya tak percaya. “Kenapa harus di sana? Apakah tidak ada tempat lain?”
“Kita bukan sedang bertransaksi. Tak ada tawar-menawar, Nona Roberts. Jika kau mau, silakan datang. Jika tidak, itu bukan masalah bagiku,” balas Justin, dengan pembawaannya yang tetap terlihat tenang.
Helena terpaku beberapa saat. Dia bahkan tak merespon, saat Justin mempersilakannya keluar ruangan. Helena baru tersadar, saat Justin berdehem pelan.
"Ah, maaf." Helena tersipu. Dia segera berpamitan dari sana. Bimbang menyelimuti hatinya, antara menerima tawaran atau lebih memilih berkutat dalam permasalahan tentang alur, yang bukan tidak mungkin akan kembali ditolak.
Setibanya di flat sederhana yang disewa dengan harga terbilang murah, Helena segera merebahkan tubuh di kasur berukuran kecil. Tatapannya tertuju ke langit-langit ruangan. Sekilas, dia melirik jam digital di meja sebelah tempat tidur.
Wanita dengan T-shirt putih longgar itu bangkit, lalu beranjak ke depan cermin rias. Helena menatap dirinya beberapa saat, kemudian tersenyum konyol. “Kau jelek dan tidak menarik. Kau aman, Nona Roberts,” ucapnya, diakhiri tawa geli.
Tiba-tiba, rasa takut yang tadi sempat menggelayuti sirna seketika. Helena bersiul riang, seraya meraih handuk dan masuk ke kamar mandi. Tak mungkin dirinya menghadap Justin, dengan penampilan dan bau seperti tadi.
Sekitar pukul tujuh lewat beberapa menit, Helena tiba di alamat yang dituju. Dia segera menemui resepsionis, mengatakan maksud kedatangannya ke sana.
Petugas resepsionis mempersilakan Helena, setelah mendapat izin dari Justin. Dia menekan tombol teratas, sesaat setelah masuk lift.
Tak berselang lama, pintu lift terbuka. Helena langsung disuguhi pemandangan luar biasa, yaitu ruangan apartemen mewah dengan segala hal yang membuatnya tampak mahal.
“Ya, Tuhan,” gumam Helena, seraya melangkah keluar dari lift. Dia mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan. Sesaat kemudian, tatapannya terkunci pada sosok tampan berkemeja putih, yang tengah berjalan menuruni tangga.
“Tuan Cuthbert,” sapa Helena sopan.
Namun, Justin tidak membalas sapaan tadi. Pria tampan berambut cokelat terang itu hanya tersenyum simpul, seraya mengarahkan tangan ke sofa, mempersilakan Helena duduk.
“Kupikir kau tidak bersedia datang,” ucap Justin. Dia berjalan gagah ke mini bar, di mana terdapat beberapa botol minuman. Justin memilih, lalu menuangkannya ke dalam dua gelas kristal. Dia memberikan satu kepada Helena
“Terima kasih,” ucap Helena, saat menerima minuman yang disajikan Justin. Dia yang awalnya tenang, tiba-tiba kembali gugup. “Aku …. Kupikir ini tawaran yang sangat menarik. Lagi pula, aku ingin segera menyelesaikan kontrak dengan GP Enterprise,” jelasnya.
“Kenapa? Apa kau tidak berniat memperpanjang kontrakmu?” tanya Justin, setelah meneguk minumannya.
Helena menggeleng pelan. “Kurasa, selama Anda duduk di kursi pemimpin redaksi …. Oh, astaga.” Helena menggigit bibir bawah, setelah menyadari ucapannya barusan.
Namun, reaksi yang Justin perlihatkan justru di luar dugaan. Pria tampan bermata abu-abu itu tersenyum kecil, lalu kembali meneguk minumannya. “Apa aku terlalu menakutkan bagimu?”
“Tidak. Bukan begitu,” bantah Helena, diiringi gelengan cukup kencang.
“Lalu? Tidak apa-apa. Katakan saja.”
Helena jadi serba salah. “Um, aku ….” Wanita itu terdiam sejenak. “Apakah bisa langsung ke inti pertemuan ini, Tuan? Bagaimana caranya agar naskah yang akan kuajukan bisa menarik perhatianmu?” tanya Helena, dengan tatapan penuh harap.
Akan tetapi, Justin justru hanya diam. Entah apa yang tengah pria itu pikirkan.
“Tuan?” Setelah beberapa saat, Helena kembali menyadarkan pria itu dari lamunannya.
Justin langsung menoleh. Menatap lekat Helena, seakan ada sesuatu yang menarik perhatiannya. Dia tak peduli, meskipun telah membuat si wanita jadi salah tingkah.
“Bagaimana?” tanya Helena lagi, berusaha menepiskan rasa tak nyaman atas tatapan aneh yang dilayangkan Justin.
“Berapa usiamu?” Bukannya menjawab pertanyaan tadi, Justin justru balik bertanya.
“Aku? Um … usiaku 24 tahun,” jawab Helena ragu.
“Apa kau punya kekasih?”
“Kekasih?” ulang Helena, seraya mengernyitkan kening. “Apakah itu penting?” Dia balik bertanya.
“Tidak,” jawab Justin, seakan baru tersadar sepenuhnya. “Lupakan apa yang kutanyakan tadi. Aku hanya sedang tidak fokus,” kilahnya, lalu menghabiskan sisa minuman dalam gelas.
Helena tak menanggapi. Dia memperhatikan bahasa tubuh Justin yang tampak aneh. Pria itu terlihat berbeda, dengan saat berada di kantor tadi sore.
“Jika Anda sedang ada masalah … maksudku, kita bisa membatalkan pertemuan ini. Aku akan berusaha mencari alur sendiri, sesuai dengan yang sudah Nona Sawyer sarankan kemarin,” ucap Helena, bermaksud meraih ransel yang diletakkan di sebelahnya.
Namun, Justin segera menoleh, menatap dengan sorot tak dapat diartikan. Dia menggeleng pelan, sebagai isyarat agar Helena tak pergi ke manapun. “Tidak apa-apa, Kau bisa tetap di sini,” ucapnya. “Aku sedang butuh teman bicara,” lanjut pria itu lagi.
“Baiklah. Jadi, bagaimana?” Helena tak ingin berpikir terlalu jauh. Dia terus mengarahkan perbincangan pada jalur semestinya, yaitu membahas tentang alur cerita seperti yang diinginkan Justin.
Diskusi terus berjalan. Perbincangan mengalir begitu saja. Kecanggungan mulai tersingkirkan, berganti obrolan santai seputar novel. Sesekali, diselingi pembahasan lain yang tak kalah menarik.
Justin begitu paham dengan dunia kepenulisan. Itulah mengapa dia bisa menduduki kursi pemimpin redaksi. Tak bisa dipungkiri, ide serta pemikiran pria 31 tahun tersebut begitu luar biasa, sehingga membuka lebih dalam wawasan Helena.
“Baiklah, Tuan Cuthbert. Aku benar-benar berterima kasih, untuk semua penjelasan yang sudah Anda berikan. Ini akan sangat membantuku,” ucap Helena, setelah sesi diskusi selesai.
“Itu bukan apa-apa. Aku harap, kau bisa mengeksekusi ide yang telah kita bahas tadi sesuai yang diharapkan."
Helena mengangguk antusias. “Terima kasih sekali lagi.”
“Hanya ucapan terima kasih?” tanya Justin, dengan tatapan aneh.
“Ya. Terima kasih,” ulang Helena. “Apa ada yang salah?” “Tidak,” sahut Justin. “Tentu saja tidak.” Dia terlihat kurang nyaman. “Baiklah. Kalau begitu, aku pulang dulu,” pamit Helena, seraya berdiri. Begitu juga dengan Justin. Dia ikut berdiri, lalu melangkah gagah ke dekat lift. Menyusul Helena, yang lebih dulu ke sana. “Kau tinggal di mana?” tanya Justin, dengan tatapan tertuju ke pintu lift. “East London,” jawab Helena, Dia menoleh sekilas, lalu membetulkan letak kacamatanya. “Oh. Jauh juga.” “Begitulah. Setengah jam dengan tube." Tube merupakan istilah yang biasa digunakan, untuk menyebut kereta bawah tanah. Justin mengangguk samar. Dia hanya berdiri tanpa melakukan apa pun. Pria tampan itu tampak bimbang. “Kenapa liftnya tidak terbuka juga?” gumam Helena, yang mulai tak nyaman setelah menunggu beberapa saat. Mendengar ucapan wanita muda itu, Justin langsung tersadar. Dia menyentuh pangkal hidung menggunakan ujung ibu jari, kemudian mengeluarkan kartu akses dan mene
Detik berlalu. Tempat tidur di kamar Justin terasa begitu nyaman. Sprei yang melapisinya pun sangat lembut. Begitu juga dengan selimut yang menutupi sebagian tubuh polos Helena. Lelah menyergap wanita muda 24 tahun tersebut. Helena terlelap, setelah melayani hasrat biologis sang pemilik apartemen mewah itu. “Hey. Selamat pagi,” sapa Justin, yang sudah duduk di tepian tempat tidur. Dia menghadapkan tubuh sepenuhnya, seraya membelai pipi Helena yang masih terpejam. Helena yang terlelap karena kelelahan, perlahan membuka mata. Samar, dirinya menatap pria tampan itu. “Tu-tuan.” Wanita berambut pirang tersebut langsung bangkit, lalu duduk sambil memegangi selimut yang menutupi tubuh sebatas dada. “Apa kau sudah lapar?” tanya Justin, tak mengalihkan pandangan dari wanita yang sudah melayaninya hampir semalam suntuk. Helena tampak kebingungan. Ini merupakan pengalaman pertama bagi wanita muda itu. “A-aku ….” “Berpakaianlah. Setelah itu, kita sarapan bersama.” Justin beranjak dari duduk
“I-istri?” ulang Helena tak percaya. “Jadi, Anda sudah menikah?” Justin mengangguk. Ekspresinya teramat tenang, seakan tak ada rasa bersalah setelah mengkhianati pasangan.Raut tenang Justin justru berbanding terbalik dengan Helena. Rasa bersalah menyeruak hebat, menghadirkan penyesalan mendalam atas apa yang telah dilakukan semalam dengan pria tampan tersebut. “Kenapa Anda bisa berbuat seperti itu?” Helena kembali melayangkan sorot tak percaya.“Kenapa? Tak perlu ada alasan. Satu yang pasti karena aku menginginkannya.” Jawaban yang diberikan Justin terdengar sangat menakutkan. Jelas sudah dia tak merasa bersalah. “Tapi, Anda sud —”Justin langsung mengangkat tangan sebatas dada, sebagai tanda agar Helena diam. “Kau tidak perlu berkomentar, Nona Roberts. Aku akan meloloskan naskah terakhirmu. Hanya itu perjanjian kita. Jadi, kau tak kuizinkan melakukan protes atau banyak bertanya tentang hal lain.”“Anda … Anda sangat menakutkan, Tuan Cuthbert.”Justin menatap Helena cukup tajam, s
“Kami masih nyaman berdua saja. Begitu kan, Sayang?” Justin menoleh pada sang istri, yang langsung membalas dengan senyuman manis.“Oh, tidak,” bantah Eleanor. “Kalian sudah menikah selama satu setengah tahun. Kami pikir itu cukup, untuk menghabiskan momen manis berdua saja. Lagi pula, kehadiran anak tak akan membuat keromantisan jadi berkurang. Lihatlah aku dan Hudson. Hingga usia sekarang, kami tetap romantis seperti baru pertama menikah.”Justin hanya menanggapi dengan senyum kecil, sedangkan Agatha memijat pelipis. “Silakan lanjutkan. Aku ke belakang sebentar,” pamit Justin, seraya beranjak dari duduk. Dia berlalu dari sana."Apa Justin tidak menyukai perbincangan tadi?” tanya Eleanor, setelah sang menantu tak terlihat. “Tidak juga. Dia kembali merokok akhir-akhir ini,” jawab Agatha disertai senyum lembut. Seperti biasa, dia berusaha menutupi buruknya hubungan dengan sang suami. Sementara itu, Justin justru memilih menyendiri di balkon rumah sambil merokok dan termenung, memiki
“Denganku?” Helena menatap tajam.Justin tersenyum kalem.“Ini gila. Apa lagi yang akan Anda tawarkan sekarang?” “Apa pun yang kau mau. Tas, sepatu, baju bermerk? Kemewahan?” Justin menaikkan sebelah alis.Helena menggeleng kencang. “Anda pikir, aku membutuhkan semua itu?” Dia tak terima karena ucapan Justin dinilai telah merendahkan harga diri serta martabatnya sebagai wanita. “Aku sadar telah melakukan kesalahan, dengan melayani keinginanmu kemarin malam! Namun, kutegaskan hal seperti itu tidak akan pernah terulang lagi!”Namun, Justin tak mengindahkan penolakan keras Helena. Dia hanya tersenyum kecil, sembari menyentuh pangkal hidung dengan ujung ibu jari. “Kau yakin, Nona Roberts?” tanyanya begitu tenang.“Aku yakin Anda bisa membedakan mana candaan, mana pula yang serius.”“Hm.” Justin menggumam pelan, tanpa mengalihkan perhatian dari Helena yang berpenampilan acak-acakan. Entah apa yang membuatnya memilih wanita berambut pirang itu.“Sebaiknya, Anda pergi dari sini,” usir Helen
“Apa yang Anda inginkan sebenarnya?” tanya Helena serius.“Aku menawarkan banyak hal padamu,” jawab Justin tenang.“Aku tidak mengerti kegilaan macam apa ini."“Jika kau menganggapnya suatu kegilaan, aku justru mengatakan sebagai kesempatan emas karena penawaran menarik ini tak kuberikan pada siapa pun,” balas Justin, tetap terdengar tenang.“Ah! Apa yang bisa kupercaya, dari pria yang berselingkuh?” cibir Helena. “Astaga. Kau juga menikmatinya,” balas Justin.
Helena terdiam, menunggu apa yang akan Justin lakukan. Dia tak tahu apakah pria itu dalam keadaan sama seperti dirinya atau tidak, berhubung kedua matanya ditutup kain.Embusan napas pelan meluncur dari bibir Helena, saat merasakan sentuhan di telapak kaki. Dia bergerak karena geli. Namun, tak lama kemudian Helena kembali diam, meresapi rabaan lembut di betis yang terangkat lurus dan disandarkan ke pundak Justin.“Ah ….”Desahan pelan terdengar, saat Justin menciumi betis jenjang Helena. Padahal, dia sudah tak tahan untuk segera memulai penyatuan. Namun, Justin seperti ingin bermain-main terlebih dulu.“Kakimu sangat indah, Helena. Aku menyukainya,” sanjung Justin, seraya meraba lembut betis mulus wanita muda itu.
Justin tersenyum kecil. Dia tidak terlalu memedulikan ucapan Agatha. “Aku sedang sibuk. Jadi, sebaiknya kau pulang saja.” Pria itu terlihat sangat tenang, seakan tidak sedang menyembunyikan apa pun.“Kau selalu begitu.” Agatha tersenyum kelu, lalu berbalik. Dia memutar gagang pintu kamar, kemudian membukanya.“Hm.” Agatha menggumam pelan, sambil tertegun di ambang pintu.Sementara itu, Justin menatap dengan sorot tak dapat diartikan. Walaupun ditutupi, tetapi rasa waswas itu tetap ada. Untungnya, Agatha tidak memperhatikan perubahan air muka sang suami.Agatha melenggang tenang ke dalam kamar. Itu membuat Justin menautkan alis tak mengerti. Dia langsung mengikuti wanita itu.