"Hentikan." Helena berusaha melepaskan pertautan itu.Akan tetapi, Justin tak membiarkan. Dia menangkup wajah Helena, menahannya agar tak bergerak. Pria tampan tersebut kembali melumat mesra bibir wanita muda itu, sambil mendorongnya perlahan ke dinding. Justin menyandarkan Helena, yang lama-kelamaan menerima dan justru menikmati adegan tadi."Kau mulai memberontak," ucap Justin pelan dan dalam, tanpa menjauhkan paras tampannya dari wajah Helena. "Aku tidak suka jika kau banyak protes."Helena tidak menanggapi. Awalnya, dia membalas tatapan Justin. Namun, sesaat kemudian wanita berkacamata itu memalingkan muka."Tatap aku."Helena tak menurut. Dia tetap mengarahkan perhatian ke arah lain."Seperti inikah saat kau marah?" Justin mencoba bersikap manis, dengan cara membelai lembut pipi Helena. "Tatap aku.""Untuk apa?""Mungkin, kau ingin melihat sesuatu."Helena menggeleng pelan, lalu mengembuskan napas pelan bernada keluhan."Aku tidak ingin menyimpulkan terlalu cepat," ucap Justin la
Helena tidak menjawab. Dalam hati, dia merasakan ada jutaaan kupu-kupu yang beterbangan ke sana kemari hingga membuatnya geli. Wanita muda itu tersipu, meskipun berusaha keras menyembunyikan apa yang tengah melandanya kini. Melihat perubahan air muka Helena, membuat Justin ingin menggoda wanita itu. Dia mengubah posisi tidur jadi menghadap Helena. Tatapannya pun terlihat sangat nakal. “Kemarilah.” Justin menarik Helena, agar menghadap padanya. “Apa kau percaya pada cinta?” tanyanya.“Memangnya kenapa?” Helena balik bertanya. “Kau pernah jatuh cinta sebelumnya?” tanya Justin lagi, seraya membelai lembut pipi Helena, menggunakan punggung tangan. Helena tidak segera menjawab. Wanita muda bermata biru itu tampak berpikir, lalu tiba-tiba tersenyum geli.“Kenapa?” tanya Justin penasaran. “Aku pernah menyukai seseorang. Dia adalah teman sekelasku di sekolah lanjutan. Anda tahu siapa nama pemuda itu?” Justin mengernyitkan kening, mendengar pertanyaan aneh Helena. “Mana kutahu,” jawabnya
Justin terpaku membaca pesan yang sang adik kirimkan. [Apa kau sedang bersama selingkuhanmu?]“Apa kita tidak jadi berangkat, Tuan?” Pertanyaan Helena membuat Justin tersadar. Dia menoleh, lalu mengangguk samar. Justin segera membukakan pintu untuk wanita muda itu.“Apakah Agatha menyuruhmu pulang?” tanya Helena, setelah Justin duduk di belakang kemudi. “Kenapa?” Bukannya menjawab, Justin justru balik bertanya.“Anda terlihat berbeda, saat membaca pesan tadi,” jawab Helena, tanpa mengalihkan pandangan dari paras tampan sang pemimpin redaksi GP Enterprise. Justin menggeleng pelan, sebelum melajukan mobil mewahnya. Dia tak memperpanjang perbincangan itu. Helena pun berusaha tak peduli, meskipun sebenarnya merasa terganggu. Namun, dia tak tahu harus bagaimana, selain menyadari posisinya saat ini. Selama dalam perjalanan, tak ada percakapan berarti di antara mereka. Justin dan Helena terlarut dalam pikiran masing-masing. Keadaan itu terus berlangsung, hingga keduanya tiba di tempat
“Aku tidak memiliki alasan lagi, untuk menjeratmu dengan peraturan revisi naskah,” ucap Justin pelan.“Ta-tapi ….” Helena terdengar ragu.“Lagi pula, ada banyak hal yang harus kupertimbangkan. Salah satunya adalah reputasi keluarga. Grayson mengetahui hubungan kita. Dia mengancam akan memberitahukan ini pada ayah dan mertuaku,” terang Justin.“Anda takut?” Helena mengembuskan napas pelan bernada keluhan. Dia seperti ingin menarik kembali kata-katanya. “Ya, tentu saja. Tak ada yang perlu dipertahankan dari hubungan gelap kita. Ini hanya permainan dan tidak berarti apa pun.”Helena beranjak dari sofa, kemudian berlalu meninggalkan Justin yang masih duduk. Dia kembali ke kamar, lalu masuk k
Grayson bangkit, seraya kembali menyentuh sudut bibir yang robek karena pukulan Justin tadi. Dia berdiri gagah, setelah merapikan pakaian yang agak kusut. “Rupanya, kau sudah mengambil keputusan.”“Waktuku hanya akan terbuang percuma, bila terus mempermasalahkan jabatan di penerbitan. Lagi pula, itu memang milikmu, Dan aku lelah harus menjelaskan berulang kali, pada orang tolol sepertimu.” Kata-kata yang meluncur dari bibir Justin begitu kasar, seakan bukan ditujukan untuk adik sendiri. “Baguslah. Jadi, wanita itu jauh lebih berarti dibanding jabatan yang kau duduki di penerbitan.”“Itu bukan urusanmu!” sergah Justin, dengan telunjuk lurus ke arah sang adik. “Justin sang pemikat. Kau akan selalu jadi pria brengsek, yang tak bisa menetap di satu hati,” ledek Grayson. “Terserah apa katamu! Setidaknya, aku tidak pernah patah hati berkepanjangan,” balas Justin puas. Setelah berkata demikian, dia berlalu dari hadapan Grayson. Justin bahkan keluar sambil membanting pintu kamar. Justin m
Grayson tersenyum aneh, dengan tatapan tak dapat diartikan. Dia masih ingat betul akan sosok wanita yang jadi kekasih gelap sang kakak.”Ini Nona Helena Roberts. Dia merupakan salah satu penulis kontrak di penerbitan ini,” ucap Nathalie, memperkenalkan Helena dengan sangat percaya diri .“Oh, Nona Helena Roberts. Apa kabar?” sapa Grayson hangat. “Baik, Tuan Cuthbert.” Helena merasa tak nyaman, saat menyebutkan nama itu. Pasalnya, dia langsung teringat pada sosok Justin. “Karya-karya milik Nona Roberts sangat luar biasa. Hasil penjualan bukunya pun terbilang bagus, Tuan,” ucap Nathalie lagi.“Ow! Aku jadi penasaran,” balas Grayson antusias. “Apa nama penamu, Nona Roberts?” tanyanya. Helena tersenyum kecil, sebelum menjawab pertanyaan tadi. “Shining Breeze.” “Hm. Manis,” ucap Grayson menanggapi, dengan tatapan tak teralihkan dari sosok Helena yang terlihat sangat berbeda dalam penampilan seperti itu. “Kami sangat bangga memiliki penulis-penulis berbakat seperti dirimu, Nona Roberts.
Entah mengapa, tiba-tiba ada getaran aneh yang menjalar di sekujur tubuh Helena. Sejujurnya, itu merupakan perasaan yang sangat indah dan terasa nikmat. Helena menyukai, saat dirinya jatuh dalam buaian penuh pesona seorang Justin Cuthbert. Helena memejamkan mata, ketika bibirnya dilumat mesra pria tampan 31 tahun itu. Dia membalas dengan tak kalah bergairah. Setengah dari kesadaran Helena mulai bereaksi, mengingatkan bahwa dirinya tengah melakukan kebodohan lagi. Namun, sebagian lain tak peduli dan justru begitu menikmati pertautan manis itu. “Ah,” desah Helena pelan, saat Justin mengakhiri adegan ciuman tadi dengan gigitan kecil di bibir bawahnya. “Kenapa?” tanya wanita bermata biru itu tak mengerti. “Aku tidak bisa,” ucap Justin pelan dan dalam. “Bukankah Anda ingin mengakhiri ini?” Justin tak segera menjawab. Raut wajahnya menyiratkan kebimbangan besar, yang tak dapat dijelaskan secara gamblang. Sikap diam Justin sangat Helena pahami. Dia tak harus meminta penjelasan lagi. P
Justin langsung bereaksi, mendengar Grayson menyebutkan nama pena Helena. Walaupun dia yakin sang adik tengah memancing reaksinya, tapi tetap saja itu membuat pria tampan tersebut benar-benar tak suka. Sulung dari dua bersaudara itu menggeleng tak mengerti. Entah mengapa, dia tidak rela Helena didekati pria lain. “Seharusnya seperti itu, G. Tak ada salahnya menjalin kedekatan dan keakraban dengan karyawan serta para penulis. Namun, selalu jaga wibawamu di depan mereka. Jangan sampai hilang kontrol,” saran Duncan, seraya menepuk pelan pundak putra bungsunya. Grayson tersenyum simpul menanggapi ucapan sang ayah. Dia menoleh sekilas pada Justin dan Agatha, sebelum berlalu meninggalkan mereka. Sementara itu, Justin terus memperhatikan sang adik, dengan segala yang dilakukannya. Dia seperti hendak memastikan sang adik, yang tadi menyebutkan nama Shining Breeze. Ah, sial! Justin tak bisa fokus menyimak perbincangan dengan sang ayah, saat melihat Grayson membuktikan ucapannya. Justin ing
Justin tersenyum sinis. "Justru sebaliknya, Agatha," bantah pria tampan itu yakin. "Seharusnya, aku mengambil keputusan ini sejak dulu. Bertahan dalam pernikahan bodoh, hanya membuatku jadi badut memalukan.""Kau sudah tahu perasaanku yang sebenarnya. Kenapa masih menganggap ini sebagai suatu kebodohan?" protes Agatha tak terima.Justin menggeleng pelan."Sudahlah. Satu yang pasti, aku akan mengurus proses perceraian kita. Dengan atau tanpa restu orang tua, sebaiknya kita menyudahi ini secara baik-baik," putus Justin, dengan nada bicara mulai tenang."Kau benar-benar keterlaluan!" sentak Agatha. Ucapan Justin membuat amarah dalam dirinya kian menjadi. "Kau pikir, aku akan membiarkanmu dengan pelacur itu?""Tutup mulutmu! Kau yang pelacur!" sergah Helena tak terima. Dia mendekat, lalu mendorong Agatha hingga mundur beberapa langkah. "Jika kau mencintai Justin, seharusnya tunjukkan seberapa besar rasa cintamu. Namun, kau justru bersikap jual mahal dan berhar
Agatha yang sudah memiliki akses masuk ke unit tempat tinggal Justin, langsung memasuki lift dan menuju lantai teratas. Selama menunggu tiba di sana, wanita cantik berambut pendek tersebut terus mengepalkan tangan, demi menahan gejolak amarah dalam dada. Pikirannya tak keruan. Terlebih, setelah melihat rekaman video yang Grayson tunjukkan.Beberapa saat kemudian, pintu lift terbuka. Meskipun agak ragu, Agatha memaksakan diri melangkah keluar. Dia mengedarkan pandangan ke setiap sudut ruangan yang terasa sepi.Agatha melangkah perlahan menyusuri koridor menuju kamar Justin. Dalam setiap ayunan kaki jenjangnya, wanita itu merasa tengah mendekati kematian mengerikan. Entah apa yang akan ditemui di ruangan pribadi sang suami.Setelah tiba di depan kamar, Agatha tertegun beberapa saat. Dia memutar handle pint
“Wanita lain?” cibir Agatha. “Aku membebaskannya dengan wanita manapun,selama tidak —”“Membebaskan?” Grayson menautkan alis, lalu berdecak pelan. “Agatha, Agatha. Kau ini bodoh atau apa?” ledeknya, seakan membalas telak cibiran sang mantan kekasih.Grayson makin mendekat. “Kau tahu siapa Justin? Dia adalah seorang cassanova. Bagaimana bisa kau membebaskan pria semacam itu untuk menjalani hidup semaunya, sedangkan kalian sudah terikat pernikahan? Astaga, Kekonyolan macam apa ini?”Grayson kembali berdecak pelan, diiringi gelengan tak mengerti. “Kau mencampakkanku hanya untuk menjalani hidup dalam kegilaan?” ujarnya heran. “Kau pikir bisa menaklukan Justin dengan cara seperti itu? Salah besar.”“Apa maksudmu?” tanya Agatha tak mengerti.“Justin membawa wanita lain ke apartemennya. Bukan cuma satu kali,” jawab Gr
Helena menatap aneh, lalu menggeleng kencang sebagai tanda penolakan. “Kenapa? Kau menjadi kekasih gelap kakak-ku. Apa susahnya menjadi kekasihku juga. Lagi pula, itu akan jauh lebih aman bagimu.”“Lupakan, Tuan Grayson. Aku tidak tertarik sama sekali,” tolak Helena cukup tegas. “Sebaiknya, biarkan aku pergi.” Helena memaksa membuka pintu. Dengan setengah berlari, dia meninggalkan ruangan Grayson. Melihat itu, Grayson langsung menyusul. Langkahnya yang jauh lebih lebar dibanding Helena, membuat pria itu diuntungkan. Dia bisa mengejar dengan mudah. “Tunggu, Nona Roberts,” cegah Grayson, seraya meraih tangan Helena. “Lepaskan aku! Kita baru bertemu, tapi Anda sudah berani bersikap seperti ini. Benar-benar kurang ajar!” maki Helena tak suka.“Baiklah. Baiklah.” Grayson langsung melepaskan genggamannya dari pergelangan tangan Helena. “Maafkan aku karena tidak bisa mengontrol diri,” sesalnya. “Kumohon.”“Aku tidak mengerti, apa yang Anda inginkan sebenarnya dengan mendekatiku?” “Kau s
Helena tersenyum sinis. “Maaf, Tuan. Aku tidak mau bekerja sama dengan siapa pun,” tolaknya pelan, tapi cukup tegas.“Kenapa? Kau jatuh cinta pada kakakku?” “Itu bukan urusan Anda.” Helena berbalik, Dia bermaksud membuka pintu. Namun, lagi-lagi Grayson menghalanginya. Pria itu mencegah, tak membiarkan Helena keluar. “Jangan pergi dulu. Aku masih ingin bicara denganmu.”Helena menoleh, menatap malas adik Justin tersebut. “Aku menghormati Anda sebagai pemimpin redaksi yang baru, Tuan. Aku sangat berterima kasih, bila Anda menerima naskah terakhirku tanpa harus direvisi terlebih dulu. Namun, itu bukan berarti aku mau melakukan sesuatu yang lebih.”“Kau melakukan itu dengan Justin.”“Situasi kami berbeda, Anda tidak berhak ….” Helena seperti sengaja menjeda kalimatnya. Wanita muda itu tampak malas bicara lebih banyak. “Kumohon. Biarkan aku pergi.”“Kenapa? Apa karena Justin menunggumu di luar?” Grayson menatap Helena dengan sorot aneh. Adik kandung Justin tersebut mengembuskan napas ber
Helena langsung salah tingkah, mendengar tawaran dari Grayson. Wanita muda bermata biru itu memaksakan tersenyum, walaupun ada rasa tak nyaman dalam hati. Dia tak menghendaki apa pun dari adik Justin tersebut. “Bagaimana?” tanya Grayson memastikan, berhubung Helena tak juga menanggapi tawarannya. Pria tampan itu tersenyum kalem. “Tenang saja, Nona Roberts. Aku pria lajang. Tak ada apa pun yang perlu kau khawatirkan,” ujarnya dengan tatapan tak dapat diartikan. “Apa maksud Anda?” Helena berpura-pura tak mengerti. Raut wajah si pemilik rambut pirang itu sudah mulai tegang. Namun, ekspresi berbeda diperlihatkan Grayson. Dia tetap tenang, dengan senyum kalem yang menghiasi paras tampannya. “Aku yakin, kau memahami maksud ucapanku tadi,” ujarnya. Helena segera berdiri. Dia tidak ingin lebih lama lagi berhadapan dengan Grayson. Wanita 24 tahun itu bergegas menuju pintu keluar. Namun, Grayson bergerak sangat cepat menghadang di depan Helena. “Perbincangan kita belum selesai, Nona Robert
Justin menoleh sekilas, sebelum kembali mengarahkan pandangan ke depan. Dia bermaksud melanjutkan langkah, meninggalkan Agatha yang berdiri tak jauh di belakangnya. "Tunggu, Justin. Kenapa kau begitu terburu-buru?" tanya Agatha penasaran. Dia meraih lengan sang suami, menahannya agar tak kemana pun. "Aku harus pergi. Kita lanjutkan saja perbincangan ini kapan-kapan." Justin menyingkirkan tangan Agatha dari lengannya, lalu melangkah gagah kembali ke aula tempat acara berlangsung. Ternyata, acara perkenalan dan serah terima jabatan sudah selesai. Beberapa orang tampak sedang merapikan property yang telah digunakan. Justin mengedarkan pandangan. Dia menghampiri Nathalie, yang tengah sibuk dengan rekannya sesama editor. "Apa ayahku sudah pulang?" tanya Justin. "Ah, Tuan." Nathalie menoleh. "Tadi, Tuan Duncan menanyakan keberadaan Anda," jawabnya. "Kurasa, sekarang dia sudah pulang.""Bagaimana dengan Grayson?" tanya Justin lagi. "Tuan Grayson ke ruangannya bersama Nona Roberts, Kud
Justin memicingkan mata, menyikapi ucapan Agatha. Pria tampan bermata abu-abu itu tersenyum samar, sebelum berbalik meninggalkan sang istri. “Justin,” panggil Agatha, seraya bergegas menyusul sang suami. “Apa kau tidak ingin bertanya lebih jauh?” Justin tertegun, lalu menoleh. “Aku tidak tahu apa maksudmu berkata begitu. Kenapa kita harus membahas masalah ini?” “Aku hanya ingin memulai semua dari awal. Pernikahan kita yang …. Aku bersungguh-sungguh.” Agatha terlihat sangat serius, dengan apa yang dikatakannya. “Kenapa? Kenapa kau tiba-tiba bersikap seperti ini?” Agatha tak langsung menjawab. Dia menarik tangan Justin, lalu menuntun pria itu menjauh dari aula. Setelah tiba di tempat yang lebih sepi, Agatha baru melepaskan genggaman tangannya. “Kau seperti remaja ingusan, Agatha. Haruskah kita bicara dengan cara seperti ini?” “Aku hanya ingin bicara berdua denganmu, tanpa ada suara berisik atau siapa pun yang akan mengganggu.”.“Astaga.” Justin menggeleng tak mengerti. “Kalau beg
Justin langsung bereaksi, mendengar Grayson menyebutkan nama pena Helena. Walaupun dia yakin sang adik tengah memancing reaksinya, tapi tetap saja itu membuat pria tampan tersebut benar-benar tak suka. Sulung dari dua bersaudara itu menggeleng tak mengerti. Entah mengapa, dia tidak rela Helena didekati pria lain. “Seharusnya seperti itu, G. Tak ada salahnya menjalin kedekatan dan keakraban dengan karyawan serta para penulis. Namun, selalu jaga wibawamu di depan mereka. Jangan sampai hilang kontrol,” saran Duncan, seraya menepuk pelan pundak putra bungsunya. Grayson tersenyum simpul menanggapi ucapan sang ayah. Dia menoleh sekilas pada Justin dan Agatha, sebelum berlalu meninggalkan mereka. Sementara itu, Justin terus memperhatikan sang adik, dengan segala yang dilakukannya. Dia seperti hendak memastikan sang adik, yang tadi menyebutkan nama Shining Breeze. Ah, sial! Justin tak bisa fokus menyimak perbincangan dengan sang ayah, saat melihat Grayson membuktikan ucapannya. Justin ing