Pendekar Teratai Putih tak mau kalah. Dia kesal karena dua jurus andalannya telah berhasil dikalahkan Bimantara. Kini Teratai Putih langsung menyerang Bimantara dengan jurus-jurus bela dirinya. Bimantara pun mencoba menahannya. Berkali-kali Pendekar Perempuan itu hendak menyerang pukulan dan tendangannya, Bimantara selalu berhasil menahannya.Kali ini Bimantara hendak mengarahkan tendangannya pada Pendekar Perempuan itu, namun karena tidak tega melihat dia seorang perempuan, Bimantara urung melakukannya hingga kesempatan itu digunakan Pendekar itu untuk melancarkan aksi tendangannya. Bimantara terdorong ke belakang terkena tendangan Pendekar Putih itu. Lalu saat Bimantara mencoba bertahan agar tubuhnya tetap tegak karena dorongan itu, Pendekar Perempuan itu langsung meniupkan satu jarum bambu hingga berhasil mengenai lengan Bimantara.“Aaaakh!” Bimantara tampak kesakitan karenanya.Putri Kidung Putri tampak langsung berdiri dengan paniknya. Penonton yang mendukungnya tampak ternganga
Pendekar Bunga Teratai pun akhirnya melompat dari atas kepala Bimantara. Kini dia mengeluarkan tenaga dalamnya hingga membentuk bulatan cahaya di tangannya. Pendekar itu menyerang Bimantara dengan bulatan cahaya itu untuk memecahkan dinding pembatas tak terlihat itu. Namun berkali-kali serangan itu dilakukan, bulatan cahaya itu tak mampu menembus dinding pembatas tak terlihat itu.Panglima Indra masih tak percaya melihatnya. Dia menatap Pendekar Tersembunyi dengan rasa penasarannya.“Kenapa kau menyangka dia menggunakan pelindung dinding pembatas tak terlihat dari kekuatan Dewa?” tanya Panglima Indra penasaran.“Aku pernah mendengarnya dari pedagang yang datang dari Nusantara,” jawab Pendekar Tersembunyi. “Dia pernah berkata padaku bahwa ada Pendekar hebat di Nusantara yang dianugerahi para Dewa yang memiliki dinding pembatas tak terlihat itu.”Panglima Indra terbelalak tak percaya mendengarnya.“Tidak mungkin pendekar itu Bimantara,” ucap Panglima Indra tak percaya.“Aku juga tak per
Bimantara membuka matanya. Racun-racun di dalam tubuhnya telah keluar sempurna. Akhirnya dia meraih Pedang Perak Cahaya Merahnya kemudian dinding pembatas tak terlihat itu tampak menghilang. Dia berdiri dengan kaki satunya sambil menghadap Pendekar Bunga Teratai dan bersiap mengeluarkan jurusnya.“Ayo lawan aku!” tantang Bimantara.Riuh penonton semakin terdengar. Putri Kidung Putih tampak lega melihat lelaki yang sangat dicintainya itu sudah bersiap melawan Pendekar Bunga Teratai kembali. Sementara Panglima Indra tampak menunjukkan wajah kesal dan masamnya. Dia sangat berharap Pendekar Bunga Teratai kembali melumpuhkannya.“Maju, Pendekar!” teriak Panglima Indra pada Pendekar Teratai Putih.Pendekar Bunga Teratai pun tampak semangat. Dia langsung melompat dan menyerang Bimantara dengan jurus pukulannya. Seketika Bimantara mengayunkan Pedang Perak Cahaya merahnya ke arah Pendekar Perempuan itu. Mereka kini tampak bertarung kian sengit.Kali ini Pendekar Bunga Teratai kembali melesatka
Sementara masih menunggu pertarungan selanjutnya dimulai, Panglima indra menyepi bersama kelima pendekar terbaiknya. Dia menatap dua wajah pendekar yang kalah melawan Bimantara dengan heran. Pendekar Pasir Putih dan Bunga Teratai tampak menunduk dengan malu dan menyimpan dendam pada Bimantara. Sementara Pendekar Tersembunyi, Pendekar Gunung Nun dan Pendekar Merpati tampak diam. Mereka masih memikirkan apa kelemahan Pemuda Pincang itu.“Kenapa kalian berdua bisa kalah oleh anak ingusan itu?” tanya Panglima Indra dengan geram.“Aku sendiri tidak menyangka kalau pemuda pincang itu bisa sehebat itu,” ujar Pendekar Pasir Putih.Panglima Indra geram mendengar jawabannya.“Yang Mulia Raja dan para Pejabat Istana bisa saja menurunkanmu dari penjaga garis pantai kerajaan kita karena kau kalah dengan pemuda pincang itu! Masyarakat pasti tidak akan percaya padamu lagi untuk bisa menjaga kedaulatan negeri ini karena penjaga garis pantainya saja kalah dalam bertarung, bagaimana dia bisa menjaga ne
Dua prajurit itu berlari mencari Pangeran Kedua sambil membawa tongkat hitam milik Bimantara. Mereka mencari-cari keberadaan Pangeran Kedua.“Pangeran! Pangeran!” teriak dua prajurit itu memanggil Tuannya.Tak lama kemudian Pangeran Kedua yang menunggu di sana tampak datang dengan lega.“Kalian berhasil?” tanya Pangeran Kedua tak percaya.“Kami berhasil Yang Mulia,” ucap Prajurit itu langsung menyerahkan tongkat hitam milik Bimantara itu padanya.Pangeran Kedua pun meraih tongkat hitam itu dan menatapnya dengan lekat.“Kekuatan Pemuda Pincang itu ada di tongkat ini,” ucap Pangeran Kedua dengan senyum liciknya. “Pertarungan selanjutnya dia tak akan menang melawan ketiga pendekar dan Panglima Indra.”Dua Prajurit turut senang mendengarnya.“Ikut aku! Kita harus sembunyikan tongkat hitam ini. Jangan sampai Bimantara dan Putri tahu,” pinta Pangeran Kedua.“Baik, Yang Mulia,” ucap kedua prajurit itu secara bersamaan.Mereka pun pergi dari sana untuk menyembunyikan tongkat itu.Sementara it
Bimantara langsung terbang dan menyerang Pendekar Burung Merpati dengan menggunakan jurus kaki seribunya. Namun dengan cepat Pendekar Burung Merpati menghilang dari hadapannya, lalu dia tampak seperti mengepak dan dengan cepat berpindah-pindah tempat. Bimantara tampak berkonsentrasi untuk mencari keberadaan Pendekar itu, dan saat dia lengah, Pendekar Burung Merpati berhasil menendang perut Bimantara hingga dia tersungkur ke atas panggung. Kaki cahayanya menghilang tiba-tiba.Putri Kidung Putih tampak panik melihatnya. Pendekar Burung Merpati mendarat ke atas panggung dengan wajah penuh kemenangannya. Sementara Bimantara berusaha bangkit dengan kaki satunya.Para penonton tampak tenang. Pangeran Kedua tampak tersenyum licik. Usahanya menyembunyikan tongkat hitam milik Bimantara telah berhasil. Dia yakin, sekali serangan lagi, Pemuda Pincang itu akan tumbang. Pikirnya.Panglima Indra tampak senang melihat Bimantara terkena serangan Pendekar terbaiknya. Dia menatap Kedua Pendekar yang te
“Berdililah dan lawan aku!” teriak Pendekar Burung Merpati tampak menantangnya.Mendengar itu Bimantara berusaha bangkit kembali. Kali ini dia berhasil bangkit meski kakinya terasa sangat sakit dan darah bekas tertancapnya sayap burung dari serangan Pendekar Burung Merpati masih tampak mengucur.“Aku tak akan kalah,” ucap Bimantara semangat penuhnya.Seketika naluri penerawangannya muncul. Dia melihat tongkat hitamnya sedang berada di sebuah ruangan bawah tanah dan tengah diperebutkan oleh sekumpulan Ninja dan Prajurit Istana. Di sana dia melihat ada Pangeran Kedua yang membantu prajurti itu mempertahankan tongkat hitam itu.“Apa Pangeran Kedua yang mencuri tongkatku?” tanya Bimantara dalam hatinya.Tak lama kemudian, tangannya mengarah ke suatu tempat. Seketika dia melihat dalam bayangannya bahwa tongkat hitamnya itu melesat menjauhi para petarung yang sedang bertarung memperebutkannya. Para petarung itu tampak tak percaya melihat tongkatnya melesat meninggalkan mereka. Tak lama kemu
Pendekar Burung Merpati tampak tak percaya melihat burung besarnya telah tunduk pada Bimantara.“Apakah Pemuda Pincang itu memiliki ilmu sihir?” tanya Pendekar Burung Merpati yang berusaha bangkit sambil mengelap mulutnya yang tersisa bekas muntahan darah.Bimantara menatap burung besar itu dengan tatapan lembut. Dia mengelus kepala burung besar itu dengan penuh kasih sayang.“Kembalilah ke asalmu,” pinta Bimantara pada burung besar itu. “Setelah pertarungan selesai, kau harus kembali pada Tuanmu.”Burung besar itu bersuara lalu terbang meninggalkan arena pertarungan itu. Semua penonton tercengan melihatnya.“Kemana dia?” tanya penonton.“Pendekar itu telah kalah karena burung peliharaannya telah tunduk pada orang lain,” ucap Penonton tak percaya.Sementara Pendekar Burung Merpati tampak terkejut melihat burung besarnya telah terbang jauh meninggalkannya.“Sakti! Sakti! Kembali kau ke sini!” panggil Pendekar Burung Merpati pada burung besar itu. Namun burung itu kian menghilang dari m
Bimantara berjalan dengan tongkat hitamnya di pedesaan pinggir laut itu. Dia sudah tidak lagi menggunakan kaki cahaya naganya. Dia melihat di pulau seberang sudah tidak ada lagi bangunan tinggi yang memiliki menara yang menjulang. Bagunan Perguruan Matarhari telah lenyap di sana. Perkampungannya tampak sunyi. Beberapa rumah tampak sudah hancur berkeping-keping. Hanya ada beberapa rumah yang tampak baik-baik saja.Bimantara tidak tahu siapa yang masih hidup di negeri itu. Setelah dia memeriksa tiga kerajaan Nusantara yang hancur berkeping-keping, dia mengendalikan naganya untuk kembali ke kampung halamanannya.Bimantara berdiri di sisi tebing itu. Dia teringat saat menemui Dahayu di sana dahulu."Tahun depan aku akan menjadi murid di sana!" ucap Bimantara tiba-tiba. Memecah lamunan tiga remaja di hadapannya itu. Seolah ingin menunjukkan pada Dahayu bahwa tanpa kaki satu, dia masih layak mengejar impiannya. Tiga remaja itu menoleh ke arah Bimantara bersamaan. Saat menyadari yang bicara
Setelah itu keadaan menjadi hening. Putra Mahkota Iblis dan keempat saudaranya benar-benar sudah mati. Bahari tersenyum.“Sekarang aku bisa mati dengan tenang,” ucap Bahari.Bahari pun memejamkan matanya. Kini Bimantara, Tanaka, Pendekar Dua Alam dan Pendekar Sungai Panjang kembali merasakan dingin.Sementara Bimantara langsung berlari menuju Raja Dawuh yang tidak lagi bernyawa itu. Dia memeriksa tubuhnya. Denyut nadinya sudah berhenti. Bimantara menangis sambil memeluk mayatnya.“Maafkan aku yang tidak bisa menjagamu!” isak Bimantara.Tanaka, Pendekar Dua Alam dan Pendekar Sungai Panjang berjalan mendekat ke arahnya.“Kita sudah berhasil Bimantara,” ucap Tanaka.Bimantara pun menutup mata Raja Dawuh lalu berdiri di hadapan ketiga Panglimanya yang tersisa itu.“Tapi kita tidak berhasil mencegah mereka menghancurkan setiap kerajaan di atas muka bumi ini,” ucap Bimantara menyayangkannya. “Dan aku tidak berhasil menjaga Bahari dan Raja Dawuh.”“Aku yakin mereka akan tenang di nirwana kar
“Aku bisa melakukannya tanpa harus membangkitkan Dahayu kembali,” ucap Bimantara.Pendekar Dua Alam mengernyit mendengarnya.“Cahaya di tubuh Dahayu sangat berguna untukmu, Bimantara. Jika cahaya kalian menyatu maka tidak ada satupun yang bisa melawan kalian, termasuk para Iblis itu,” protes Pendekar Dua Alam.“Dahayu telah mengalirkan cahayanya kepadaku,” ujar Bimantara.“Tapi cahayanya telah menyusut di tubuhmu,” protes Pendekar Dua Alam.Raja Dawuh pun bangkit.“Jika kau menolaknya karena sudah mengkhianatinya, aku rasa Dahayu akan mengerti, Bimantara. Kita tidak memiliki cara lain untuk membunuh mereka!” tambah Raja Dawuh.“Jangan paksa aku!” teriak Bimantara.Bimantara pun mengeluarkan tenaga dalamnya, dia pun langsung mengalirkannya pada Pendekar Dua Alam, Raja Dawuh, Bahari, Pendekar Sungai Panjang dan Tanaka.“Jangan lakukan itu, jika tidak tenagamu akan habis!” protes Tanaka yang menerima aliran tenaga dalam dari Bimantara.Bimantara tidak menggubris perkataan Tanaka. Tenaga
“Jangan menangis,” pinta Ki Walang.“Aku tidak berhasil menjadi Chandaka Uddhiharata, Tuan Guru,” isak Bimantara. “Dunia sudah dihancurkan anak-anak iblis itu. Tiga kerajaan Nusantara telah habis terbakar, juga istana-istana di kerajaan lain. Sebentar lagi semua manusia akan mati. Mungkin aku juga akan mati. Padahal aku sudah membawa kelima Panglima terbaik di dunia ini.”“Apakah seperti ini akhirnya seorang murid yang sangat aku banggakan itu?” ucap Ki Walang sedikit marah. “Dahulu aku kagum padanya karena keterbatasannya dia memiliki cita-cita begitu agung untuk menjadi seorang pendekar yang berguna bagi sesama. Pahadal dia hanya memiliki kaki satu, tapi dia ingin memiliki jurus tendangan seribu.”Bimantara terdiam mendengar itu.“Hal yang tidak mungkin. Siapapun yang mendengarnya pasti akan tertawa karena ketidakpercayaannya. Tapi aku percaya akan itu. Akhirnya aku ajarkan semua ilmuku padamu. Dan kini, kau mengeluh disaat nyawa masih berada di dalam ragamu?!” teriak Ki Walang.“Ap
Bimantara kembali menyerang Putra Mahkota Iblis yang tampak geram. Dia menggunakan segala jurus yang dia punya untuk melawannya. Sekuat tega Bimantara lakukan sendirian untuk melawannya. Berbagai serangan yang dilakukan Bimantara berhasil dilawannya dengan baik. Bimantara tampak kewalahan dan hampir saja kehilangan tenaga.“Kita harus membantunya,” pinta Raja Dawuh yang tampak khawatir pada Bimantara.“Aku tahu kau seorang raja,” sahut Tanaka. “Tapi yang paling penting dari sebuah tim adalah mengikuti arahan Pimpinannya. Sekarang kau bukan seorang raja lagi. Kau harus mengikuti permintaan Bimantara yang meminta kita menjaga Pendekar Dua Alam sampai dia selesai melakukan ritualnya. Nyawa kita sekarang untuk Pendekar Dua Alam.”“Tapi dia bisa mati melawan Putra Mahkota Iblis itu sendirian,” ucap Raja Dawuh semakin khawatir.“Percaya saja,” pinta Tanaka menenangkannya.Sementara Pendekar Sungai Panjang masih berusaha menggunakan tenaga dalamnya untuk mengembalikan tulang-tulang yang pata
Bimantara terbang ke atas langit. Tubuhnya mengeluarkan cahaya. Sesaat kemudian dia meluncur ke bawah lalu menggunakan jurus tendangan seribunya untuk menghalau roh-roh hitam yang menyerang mereka. Satu persatu dari roh-roh hitam itu terpelanting jauh dan terbakar.Bahari dan Pendekar Sungai Panjang terngaga melihatnya. Bimantara pun kembali mendarat di dekat mereka dengan sorot mata yang masih menyala. Putra Mahkota Iblis di dalam benteng itu tampak geram. Dia berteriak lalu mengeluarkan cahaya di tubuhnya. Gemanya hampir saja memecahkan dinding pembatas tak terlihat.“Sekarang saatnya kau harus memecahkan dinding pembatas tak terlihat itu,” pinta Bahari.Bimantara mengangguk.“Semuanya segera bersiap!” pinta Bimantara pada kedua Panglima yang menemaninya itu.Bahari dan Pendekar Sungai Panjang mengangguk. Mereka pun sudah bersiap dengan jurus masing-masing.Bimantara menoleh pada Tanaka dan Raja Dawuh yang masih menjaga Pendekar Dua Alam yang sedang membangkitkan para pendekar sakti
Putra Mahkota Iblis itu berhenti berlari menuju benteng yang terbuka itu. Iblis itu menatap kepada empat saudaranya yang ikut berhenti.“Berpencarlah kalian semuanya,” pinta Putra Mahkota Iblis. “Hancurkan semua kerajaan di muka bumi ini! Biar aku saja yang menghadapi musuh kita di depan benteng sana!”“Tapi mereka telah membunuh adik bungsu kita,” protes salah satu dari mereka. “Kita harus bersama-sama membunuh mereka sebelum kita keluar dari negeri ini dan menghancurkan semua kerajaan di atas muka bumi ini!”“Diriku sendiri sudah cukup untuk membunuh semuanya! Ikuti perintahku jika kalian masih menganggapku sebagai pengganti Raja!” teriak Putra Mahkota Iblis itu pada adik-adiknya.“Baiklah,” jawab salah satu dari mereka.Empat anak-anak Iblis yang perkasa itu pun langsung melompati benteng yang luas nan tinggi itu. Mereka berpencar ke empat penjuru untuk menghancurkan kerajaan-kerajaan di berbagai wilayah.Sementara Bimantara di luar benteng itu tampak terkejut melihat para Iblis it
“Biar aku saja yang menghadapinya,” ucap Tanaka pada Bimantara.Bimantara mengangguk. Tanaka pun langsung melompat dari punggung naga lalu terbang melawan Pendekar Tombak Angin. Tanaka mengeluarkan golok hitamnya, sementara Pendekar Tombak Angin mengeluarkan pedangnya. Mereka berdua bertarung di atas langit.Bimantara menoleh pada Bahari, Pendekar Sungai Panjang, Pendekar Dua Alam dan Raja Dawuh.“Kalian serang prajurit mereka!” perintah Bimantara.Keempat Panglimanya itu mengangguk. Mereka langsung mengendalikan naga masing-masing lalu naga-naga yang ditunggangi mereka itu menghembuskan api dari mulut mereka untuk membakar ribuan prajurit yang berusaha memecahkan benteng tinggi itu. Sebagian prajuritnya mati terbakar karenanya. Para prajurit yang lain berusaha menyerang mereka dengan senjata masing-masing.Dengan sigap Raja Dawuh menggunakan kekuatannya untuk melelehkan pedang dan senjata lainnya yang digunakan para prajurit itu. Seketika senjata mereka meleleh.Sementara Bimantara l
Ribuan burung besar yang membawa Pendekar Tombak Angin dan pasukan roh-nya telah tiba di daratan negeri salju itu. Angin dingin berhembus menusuk tulang. Pendekar Tombak angin yang berada paling depan di punggung burung besar itu tampak menggigil. Ribuan tentaranya pun tampak kedinginan. Burung-burung besar itu pun tampak sudah lemah memasuki negeri salju itu, mereka tidak kuat akan dinginnya negeri itu.Pendekar Tombak Angin melihat patung es raksasa yang sedang memegang tongkat di hadapan benteng tinggi yang memutih. Ribuan prajurit di dekatnya pun mematung, mereka bagai patung es yang dipahat oleh seorang seniman yang masyhur.“Apakah dia Bubungkala?” tanya Pendekar Tombak Angin pada tiga makhluk hitam yang kedinginan di dekatnya. Tiga makhluk hitam itu terbang mengikutinya.“Benar, Tuanku,” jawab Makhluk hitam itu. “Dia yang paling bungsu dari ke enam saudara Iblismu.”Pendekar Tombak Angin tampak tidak kuat lagi karena dinginnya tempat itu.“Sekarang keluarkan batu dari neraka it