Pendekar Burung Merpati tampak tak percaya melihat burung besarnya telah tunduk pada Bimantara.“Apakah Pemuda Pincang itu memiliki ilmu sihir?” tanya Pendekar Burung Merpati yang berusaha bangkit sambil mengelap mulutnya yang tersisa bekas muntahan darah.Bimantara menatap burung besar itu dengan tatapan lembut. Dia mengelus kepala burung besar itu dengan penuh kasih sayang.“Kembalilah ke asalmu,” pinta Bimantara pada burung besar itu. “Setelah pertarungan selesai, kau harus kembali pada Tuanmu.”Burung besar itu bersuara lalu terbang meninggalkan arena pertarungan itu. Semua penonton tercengan melihatnya.“Kemana dia?” tanya penonton.“Pendekar itu telah kalah karena burung peliharaannya telah tunduk pada orang lain,” ucap Penonton tak percaya.Sementara Pendekar Burung Merpati tampak terkejut melihat burung besarnya telah terbang jauh meninggalkannya.“Sakti! Sakti! Kembali kau ke sini!” panggil Pendekar Burung Merpati pada burung besar itu. Namun burung itu kian menghilang dari m
Cahaya Naga dan Cahaya Burung Besar masih bertarung di atas langit sana. Pertarungan itu tampak begitu sengit hingga membuat penonton di bawahnya terlihat tegang. Pangeran Padama sudah kembali di tempat duduknya bersama para Tetua. Dia menyimpan kesal karena tidak dapat merebut tongkat hitam milik Bimantara. Tadi dia sudah memakai pakaian Ninja dibantu para Tetua saat tahu bahwa Panglima Kedua telah berhasil diam-diam merebut tongkat itu dari Bimantara.Sementara Pangeran Kedua pun sudah duduk di tempatnya dengan raut kesalnya. Dia tidak percaya kalau tongkat itu akan melesat dan kembali pada Tuannya. Dia mendongak ke atas langit. Dua cahaya masih bertarung sengit di atas sana.“Siapa dia sebenarnya?” tanya Pangeran Kedua tak percaya. “Kenapa dia begitu hebat dan mampu mengalahkan beberapa Pendekar terbaik milik istana?”Akhirnya, ekor cahaya Naga itu melilit cahaya burung besar itu hingga menghempaskannya ke bawah. Seketika cahaya burung besar itu kembali berubah menjadi Pendekar Bur
Putri Kidung Putih panik melihat Bimantara terhimpit batu besar itu. “Ayo, Bimantara!” teriak Putri Kidung Putih. Mendengar itu semangat Bimantara mulai tumbuh. Para penonton tampak tegang melihatnya. Sementara Panglima Indra seakan memiliki harapan saat melihat Bimantara kesusahan mendorong himpitan batu besar itu. “Sepertinya dia sudah lelah,” ucap Gavin yang ikut tegang melihat Bimantara yang masih berusaha selamat dari himpitan batu besar itu. “Harusnya pertarungan ini dijeda,” protes Gala. Namun Gavin dan Gala tidak bisa berbuat apa-apa. Putra Mahkota berdiri. Entah kenapa saat melihat kehebatan Bimantara melawan tiga pendekar sebelumnya, dia mulai simpati padanya. Dia merasakan tidak ada aura jahat pada diri Lelaki Pincang itu. Bimantara masih berusaha mengeluarkan tenaga dalamnya untuk bebas dari himpitan batu besar itu. “Kenapa susah sekali?” tanya Bimantara pada dirinya sendiri. “Sebelumnya aku telah berhasil saat Kakek Gentar mengajariku untuk melawan pendekar itu.” S
Tanah di bawah panggung yang dipijak Bimantara tiba-tiba terbelah. Bimantara tahu akan hal itu. Kakek Gentar pernah mengujinya dengan jurus itu. Bimantara pun masuk ke dalam lubang tanah yang membuka itu. Semua penonton yang mendukung Bimantara tampak panik. Begitupun dengan Putri Kidung Putih.Seketika Bimantara berhasil terbang dan keluar dari himpitan tanah itu. Kini dia terbang di atas panggung itu. Semua penonton yang mendukung Bimantara tampak lega. Pendekar Gunung Nun semakin kesal melihat Bimantara telah berhasil melewati semua jurus-jurus yang dia gunakan untuk melawannya.“Dia selalu punya cara untuk melawan setiap jurus yang digunakan para pendekarku,” ucap Panglima Indra pada Pendekar Tersembunyi di sebelahnya.Pendekar Tersembunyi hanya diam. Dia malah berharap Pendekar Gunung Nun segera kalah hingga dia bisa membantu Panglima Padama untuk membunuh Bimantara dan merebut tongkat hitamnya.“Jika dia kalah,” ucap Panglima Indra. “Harapanku satu-satunya hanya kamu.”Pendekar
Pendekar Gunung Nun kini kehilangan tenaganya. Dia tak bisa lagi mengendalikan bebatuan disaat basah kuyup begitu. Dia lupa menggunakan pakaian khusus agar tubuhnya tidak terkena air saat bertarung. Dia pikir hujan tak akan turun. Dia menatap tajam wajah Bimantara yang masih berdiri di hadapannya.“Aku tak akan menyerah!” teriak Pendekar Gunung Nun.Bimantara pun bersiap menggunakan jurus-jurus berikutnya. Sementara penonton yang tampak kebasahan terlihat semakin tegang. Sementara Pangeran Padama tampak menggunakan penutup kepala dari anyaman bambu yang disediakan para Tetuanya. Gavin dan Gala yang kebasahan pun tampak tak peduli akan hujan yang semakin deras.Seketika Pendekar Gunun Nun kembali menyerang Bimantara dengan jurus yang dia punya. Tanpa tenaga dalamnya yang membuat tubuhnya keras seperti batu. Bimantara pun berusaha melawan setiap serangan yang dilakukan Pendekar itu.Saat Pendekar Gunung Nun hendak menendang Bimantara. Pemuda Pincang itu segera menangkap kakinya dan memb
Tubuh Bimantara tengah dilap para pelayan di kediaman itu. Dua Tabib yang dibawa Putri Kidung Putih pun bersiap memeriksa tubuh Bimantara dan akan memberikannya ramuan. Sementara Putri Kidung Putih tampak duduk penuh khawatir di hadapannya.“Aku baik-baik saja. Harusnya tak perlu memperlakukan aku seperti ini,” ucap Bimantara pada Putri Kidung Putih.“Tubuhmu harus dibersihkan agar luka-luka di tubuhmu tidak menimbulkan nanah. Dan Tabib-Tabib ini akan memeriksa bagian tubuhmu yang cedera agar esok kau dapat bertarung dengan tubuh sehat,” ucap Putri Kidung Putih.Seketika Bimantara tersenyum. Dia tampak terharu melihat perhatian Putri Kidung Putih yang begitu mendalam.“Terima kasih,” ucap Bimantara.“Terima kasih untuk apa?” tanya Putri Kidung Putih dengan heran.“Kau telah memberikan semua ilmu terhebatmu padaku,” ucap Bimantara.Putri Kidung Putih terdiam. Dia sadar bahwa semua itu bukan darinya. Jika bertarung pun, sudah pasti Sang Putri akan kalah.“Tak perlu mengatakan itu padaku
Panglima Indra sedang duduk menghadap kelima Pendekar terbaiknya. Empat pendekar yang sudah kalah melawan Bimantara tampak lemah. Sementara Pendekar Tersembunyi yang belum bertarung dengan Bimantara tampak tenang. “Sulit untuk menemukan kelemahan Pemuda Pincang itu,” ucap Panglima Indra tak percaya. “Dia begitu kuat dan memiliki jurus yang mengejutkan,” ujar Pendekar Bunga Teratai. “Aku juga begitu sulit untuk menemukan titik kelemahannya,” tambah Pendekar Pasir Putih. “Dia memiliki segalanya untuk melawan kita,” tambah Pendekar Burung Merpati. “Dan aku tak percaya dia bisa menemukan kelemahanku dan mampu menyembuhkan luka dalamku disaat tubuhku mengeluarkan ilmu mengeraskan tubuh tanpa kusadari,” tambah Pendekar Gunung Nun. Sementara Pendekar Tersembunyi hanya diam saja. Dia tampak tidak tertarik untuk mengituki pembicaraan itu. Dia sudah tidak sabar untuk segera bertarung dengan Pemuda Pincang itu. “Aku rasa dia titisan Dewa,” celetuk Pendekar Gunung Nun. Panglima Indra tampa
Saat Bimantara dan Panglima Padama sudah berdiri saling menghadap di atas panggung itu, Pejabat Istana yang lain menghadap Yang Mulia Raja yang sedang duduk di tempatnya.“Ampun, Yang Mulia,” ucapnya, “Apa tidak sebaiknya Pendekar Tersembunyi saja yang lebih dahulu bertarung dengan Bimantara?”Raja Abinawa tampak mengernyit heran.“Kenapa memangnya?”“Jika Panglima Indra yang lebih dahulu bertarung dengannya, itu artinya Bimantara akan menang dan otomatis menggantikan Panglima Indra sebagai Panglima tertinggi di kerajaan ini jika Panglima Indra kalah. Karena jika Bimantara menang melawan Panglima Indra dan kalah menghadapi Pendekar Tersembunyi, kehormatan Panglima Indra akan tercemar jika dia tetap menjadi Panglima disaat kalah melawan Bimantara.”Sang Raja pun tampak berpikir mendengar itu. Sang Ratu yang duduk di sebelahnya menoleh pada Sang Raja.“Benar kata Pejabat Istana,” ucap Sang Ratu mendukung perkataan Pejabat Istana.“Baiklah!” jawab Sang Raja.Akhirnya Sang Raja memerintah