Pendekar Gunung Nun kini kehilangan tenaganya. Dia tak bisa lagi mengendalikan bebatuan disaat basah kuyup begitu. Dia lupa menggunakan pakaian khusus agar tubuhnya tidak terkena air saat bertarung. Dia pikir hujan tak akan turun. Dia menatap tajam wajah Bimantara yang masih berdiri di hadapannya.“Aku tak akan menyerah!” teriak Pendekar Gunung Nun.Bimantara pun bersiap menggunakan jurus-jurus berikutnya. Sementara penonton yang tampak kebasahan terlihat semakin tegang. Sementara Pangeran Padama tampak menggunakan penutup kepala dari anyaman bambu yang disediakan para Tetuanya. Gavin dan Gala yang kebasahan pun tampak tak peduli akan hujan yang semakin deras.Seketika Pendekar Gunun Nun kembali menyerang Bimantara dengan jurus yang dia punya. Tanpa tenaga dalamnya yang membuat tubuhnya keras seperti batu. Bimantara pun berusaha melawan setiap serangan yang dilakukan Pendekar itu.Saat Pendekar Gunung Nun hendak menendang Bimantara. Pemuda Pincang itu segera menangkap kakinya dan memb
Tubuh Bimantara tengah dilap para pelayan di kediaman itu. Dua Tabib yang dibawa Putri Kidung Putih pun bersiap memeriksa tubuh Bimantara dan akan memberikannya ramuan. Sementara Putri Kidung Putih tampak duduk penuh khawatir di hadapannya.“Aku baik-baik saja. Harusnya tak perlu memperlakukan aku seperti ini,” ucap Bimantara pada Putri Kidung Putih.“Tubuhmu harus dibersihkan agar luka-luka di tubuhmu tidak menimbulkan nanah. Dan Tabib-Tabib ini akan memeriksa bagian tubuhmu yang cedera agar esok kau dapat bertarung dengan tubuh sehat,” ucap Putri Kidung Putih.Seketika Bimantara tersenyum. Dia tampak terharu melihat perhatian Putri Kidung Putih yang begitu mendalam.“Terima kasih,” ucap Bimantara.“Terima kasih untuk apa?” tanya Putri Kidung Putih dengan heran.“Kau telah memberikan semua ilmu terhebatmu padaku,” ucap Bimantara.Putri Kidung Putih terdiam. Dia sadar bahwa semua itu bukan darinya. Jika bertarung pun, sudah pasti Sang Putri akan kalah.“Tak perlu mengatakan itu padaku
Panglima Indra sedang duduk menghadap kelima Pendekar terbaiknya. Empat pendekar yang sudah kalah melawan Bimantara tampak lemah. Sementara Pendekar Tersembunyi yang belum bertarung dengan Bimantara tampak tenang. “Sulit untuk menemukan kelemahan Pemuda Pincang itu,” ucap Panglima Indra tak percaya. “Dia begitu kuat dan memiliki jurus yang mengejutkan,” ujar Pendekar Bunga Teratai. “Aku juga begitu sulit untuk menemukan titik kelemahannya,” tambah Pendekar Pasir Putih. “Dia memiliki segalanya untuk melawan kita,” tambah Pendekar Burung Merpati. “Dan aku tak percaya dia bisa menemukan kelemahanku dan mampu menyembuhkan luka dalamku disaat tubuhku mengeluarkan ilmu mengeraskan tubuh tanpa kusadari,” tambah Pendekar Gunung Nun. Sementara Pendekar Tersembunyi hanya diam saja. Dia tampak tidak tertarik untuk mengituki pembicaraan itu. Dia sudah tidak sabar untuk segera bertarung dengan Pemuda Pincang itu. “Aku rasa dia titisan Dewa,” celetuk Pendekar Gunung Nun. Panglima Indra tampa
Saat Bimantara dan Panglima Padama sudah berdiri saling menghadap di atas panggung itu, Pejabat Istana yang lain menghadap Yang Mulia Raja yang sedang duduk di tempatnya.“Ampun, Yang Mulia,” ucapnya, “Apa tidak sebaiknya Pendekar Tersembunyi saja yang lebih dahulu bertarung dengan Bimantara?”Raja Abinawa tampak mengernyit heran.“Kenapa memangnya?”“Jika Panglima Indra yang lebih dahulu bertarung dengannya, itu artinya Bimantara akan menang dan otomatis menggantikan Panglima Indra sebagai Panglima tertinggi di kerajaan ini jika Panglima Indra kalah. Karena jika Bimantara menang melawan Panglima Indra dan kalah menghadapi Pendekar Tersembunyi, kehormatan Panglima Indra akan tercemar jika dia tetap menjadi Panglima disaat kalah melawan Bimantara.”Sang Raja pun tampak berpikir mendengar itu. Sang Ratu yang duduk di sebelahnya menoleh pada Sang Raja.“Benar kata Pejabat Istana,” ucap Sang Ratu mendukung perkataan Pejabat Istana.“Baiklah!” jawab Sang Raja.Akhirnya Sang Raja memerintah
“Ayo keluarkan sekali lagi kesaktianmu!” teriak Pendekar Tersembunyi.Bimantara mencoba bangkit. Dia kembali berkonsentrasi agar naluri ilmunya keluar. Dia mencoba berkonsentrasi untuk mendengarkan gerakan Pendekar Tersembunyi. Mungkin dengan cara itulah dia mengetahui keberadaannya disaat pendekar itu masih menggunakan jurus menghilangnya.Pangeran Padama menutup matanya. Dia menggunakan ajian untuk dapat melihat Pendekar Tersembunyi dalam menggunakan jurus menghilangnya. Saat Pangeran Terbuang itu membuka mata, dia melihat Pendekar Tersembunyi sedang mencabut pedangnya dan bersiap untuk menusuk perut Bimantara untuk membunuhnya.“Bagus,” gumam Pangeran Padama. “Kau harus membunuhnya.”Bimantara pun masih awas. Dia mencoba mendengarkan suara kaki Pendekar Tersembunyi, namun riuh penonton membuatnya tidak bisa berkonsentrasi. Putra Mahkota yang menyadari itu akhirnya berteriak.“Diam semuanya! Aku ingin menonton mereka dengan tenang! Tolong jangan ada yang bicara!” teriak Putra Mahkot
Pangeran Padama sudah tidak sabar melihat Bimantara mati di pertarungan itu. Dia tampak tersenyum kecut ketika melihat Pendekar Tersembunyi tengah berlari ke arah Bimantara yang tengah berlutut sambil memegangi telinganya karena kesakitan medengar bunyian yang dibunyikan Pendekar itu. Pedang di tangan Pendekar Tersembunyi sudah siap menebas leher Bimantara. Seketika Bimantara mendengar suara langkah kaki yang sedang menujunya. Tak lama kemudian dia berteriak. Teriakannya mengeluarkan gelombang yang keras hingga Pendekar Tersembunyi terpental ke belakang dan terjatuh di atas tanah. Pedang dan alat bunyiannya lepas dari tangannya. Tiba-tiba dia dapat dilihat oleh penonton. Penonton terkejut melihat Pendekar itu ternyata tengah terkapar tak berdaya. Bimantara berdiri dengan tenang di atas panggung dengan tongkatnya. Dia menatap Pendekar Tersembunyi dengan lekat. Dia sendiri heran, dari mana Pendekar Tersembunyi tahu akan kelemahannya itu. “Pasti ada yang mengetahuinya bahwa aku telah h
Bimantara tampak awas dan kembali berkonsentrasi. Dia mencari-cari keberadaan Pendekar Tersembunyi. Seketika cahaya petir itu datang lalu menyambar tubuh Bimantara dengan kuat. Bimantara yang belum tahu keberadaan pendekar itu tampak terpelanting jauh. Tubuhnya terhempas ke atas tanah di luar panggung.Putri Kidung Putih yang melihatnya tampak panik.“Bimantara...”Sementara itu, Bimantara mencoba bangkit di saat tubuhnya terasa lemah. Saat kilatan cahaya itu kembali hendak menyerangnya, Bimantara langsung mengangkat tongkat hitamnya hingga tongkat itu mampu menangkal kilatan cahaya itu.Semua penonton tampak lega melihatnya. Kini Bimantara sudah bisa bangkit sempurna. Seketika bayangannya melihat sosok Pendekar Tersembunyi yang berada cukup jauh dari arah dapannya. Pendekar itu tengah berubah wujud menjadi kilatan cahaya.Saat sudah mengetehaui keberadaan Pendekar itu, Bimantara langsung berteriak. Seketika dia melompat ke atas. Kaki cahaya naganya berkilat-kilat. Tak lama kemudian d
Seketika mata Bimantara menyala. Putri Kidung Putih yang berada di dekatnya tampak terkejut.“Bimantara?” teriak Sang Putri.Setelah itu Bimantara duduk. Wajahnya seperti tidak sadar akan semuanya. Seketika luka di punggungnya menyemput lalu tak lama kemudian bekas tusukan pedang itu tampak sembuh seketika. Para Tabib tercengan melihatnya.“Lukanya sembuh sendiri!” teriak Tabib.Ya, beruntung tusukan pedang itu tidak mengenai jantungnya. Bimantara masih bisa mengeluarkan tenaga dalamnya. Energi cahaya dirinya yang dulu menyatu dengan energi cahaya bangsa peri dari dahayu telah membuat tenaga dalamnya sempurna hingga bisa menyembuhkan sekejap luka-luka di tubuhnya.Bimantara berdiri lalu terbang melesat secepat kilat. Putri Kidung Putih tampak terkejut.“Bimantara!!!”Dia bingung Bimantara hendak kemana. Sementara itu Sang Raja yang melihatnya juga heran. Para penonton yang masih berada di sana juga penasaran kenapa Bimantara bisa hidup lagi.Sementara itu, Pendekar Tersembunyi berlari
Bimantara berjalan dengan tongkat hitamnya di pedesaan pinggir laut itu. Dia sudah tidak lagi menggunakan kaki cahaya naganya. Dia melihat di pulau seberang sudah tidak ada lagi bangunan tinggi yang memiliki menara yang menjulang. Bagunan Perguruan Matarhari telah lenyap di sana. Perkampungannya tampak sunyi. Beberapa rumah tampak sudah hancur berkeping-keping. Hanya ada beberapa rumah yang tampak baik-baik saja.Bimantara tidak tahu siapa yang masih hidup di negeri itu. Setelah dia memeriksa tiga kerajaan Nusantara yang hancur berkeping-keping, dia mengendalikan naganya untuk kembali ke kampung halamanannya.Bimantara berdiri di sisi tebing itu. Dia teringat saat menemui Dahayu di sana dahulu."Tahun depan aku akan menjadi murid di sana!" ucap Bimantara tiba-tiba. Memecah lamunan tiga remaja di hadapannya itu. Seolah ingin menunjukkan pada Dahayu bahwa tanpa kaki satu, dia masih layak mengejar impiannya. Tiga remaja itu menoleh ke arah Bimantara bersamaan. Saat menyadari yang bicara
Setelah itu keadaan menjadi hening. Putra Mahkota Iblis dan keempat saudaranya benar-benar sudah mati. Bahari tersenyum.“Sekarang aku bisa mati dengan tenang,” ucap Bahari.Bahari pun memejamkan matanya. Kini Bimantara, Tanaka, Pendekar Dua Alam dan Pendekar Sungai Panjang kembali merasakan dingin.Sementara Bimantara langsung berlari menuju Raja Dawuh yang tidak lagi bernyawa itu. Dia memeriksa tubuhnya. Denyut nadinya sudah berhenti. Bimantara menangis sambil memeluk mayatnya.“Maafkan aku yang tidak bisa menjagamu!” isak Bimantara.Tanaka, Pendekar Dua Alam dan Pendekar Sungai Panjang berjalan mendekat ke arahnya.“Kita sudah berhasil Bimantara,” ucap Tanaka.Bimantara pun menutup mata Raja Dawuh lalu berdiri di hadapan ketiga Panglimanya yang tersisa itu.“Tapi kita tidak berhasil mencegah mereka menghancurkan setiap kerajaan di atas muka bumi ini,” ucap Bimantara menyayangkannya. “Dan aku tidak berhasil menjaga Bahari dan Raja Dawuh.”“Aku yakin mereka akan tenang di nirwana kar
“Aku bisa melakukannya tanpa harus membangkitkan Dahayu kembali,” ucap Bimantara.Pendekar Dua Alam mengernyit mendengarnya.“Cahaya di tubuh Dahayu sangat berguna untukmu, Bimantara. Jika cahaya kalian menyatu maka tidak ada satupun yang bisa melawan kalian, termasuk para Iblis itu,” protes Pendekar Dua Alam.“Dahayu telah mengalirkan cahayanya kepadaku,” ujar Bimantara.“Tapi cahayanya telah menyusut di tubuhmu,” protes Pendekar Dua Alam.Raja Dawuh pun bangkit.“Jika kau menolaknya karena sudah mengkhianatinya, aku rasa Dahayu akan mengerti, Bimantara. Kita tidak memiliki cara lain untuk membunuh mereka!” tambah Raja Dawuh.“Jangan paksa aku!” teriak Bimantara.Bimantara pun mengeluarkan tenaga dalamnya, dia pun langsung mengalirkannya pada Pendekar Dua Alam, Raja Dawuh, Bahari, Pendekar Sungai Panjang dan Tanaka.“Jangan lakukan itu, jika tidak tenagamu akan habis!” protes Tanaka yang menerima aliran tenaga dalam dari Bimantara.Bimantara tidak menggubris perkataan Tanaka. Tenaga
“Jangan menangis,” pinta Ki Walang.“Aku tidak berhasil menjadi Chandaka Uddhiharata, Tuan Guru,” isak Bimantara. “Dunia sudah dihancurkan anak-anak iblis itu. Tiga kerajaan Nusantara telah habis terbakar, juga istana-istana di kerajaan lain. Sebentar lagi semua manusia akan mati. Mungkin aku juga akan mati. Padahal aku sudah membawa kelima Panglima terbaik di dunia ini.”“Apakah seperti ini akhirnya seorang murid yang sangat aku banggakan itu?” ucap Ki Walang sedikit marah. “Dahulu aku kagum padanya karena keterbatasannya dia memiliki cita-cita begitu agung untuk menjadi seorang pendekar yang berguna bagi sesama. Pahadal dia hanya memiliki kaki satu, tapi dia ingin memiliki jurus tendangan seribu.”Bimantara terdiam mendengar itu.“Hal yang tidak mungkin. Siapapun yang mendengarnya pasti akan tertawa karena ketidakpercayaannya. Tapi aku percaya akan itu. Akhirnya aku ajarkan semua ilmuku padamu. Dan kini, kau mengeluh disaat nyawa masih berada di dalam ragamu?!” teriak Ki Walang.“Ap
Bimantara kembali menyerang Putra Mahkota Iblis yang tampak geram. Dia menggunakan segala jurus yang dia punya untuk melawannya. Sekuat tega Bimantara lakukan sendirian untuk melawannya. Berbagai serangan yang dilakukan Bimantara berhasil dilawannya dengan baik. Bimantara tampak kewalahan dan hampir saja kehilangan tenaga.“Kita harus membantunya,” pinta Raja Dawuh yang tampak khawatir pada Bimantara.“Aku tahu kau seorang raja,” sahut Tanaka. “Tapi yang paling penting dari sebuah tim adalah mengikuti arahan Pimpinannya. Sekarang kau bukan seorang raja lagi. Kau harus mengikuti permintaan Bimantara yang meminta kita menjaga Pendekar Dua Alam sampai dia selesai melakukan ritualnya. Nyawa kita sekarang untuk Pendekar Dua Alam.”“Tapi dia bisa mati melawan Putra Mahkota Iblis itu sendirian,” ucap Raja Dawuh semakin khawatir.“Percaya saja,” pinta Tanaka menenangkannya.Sementara Pendekar Sungai Panjang masih berusaha menggunakan tenaga dalamnya untuk mengembalikan tulang-tulang yang pata
Bimantara terbang ke atas langit. Tubuhnya mengeluarkan cahaya. Sesaat kemudian dia meluncur ke bawah lalu menggunakan jurus tendangan seribunya untuk menghalau roh-roh hitam yang menyerang mereka. Satu persatu dari roh-roh hitam itu terpelanting jauh dan terbakar.Bahari dan Pendekar Sungai Panjang terngaga melihatnya. Bimantara pun kembali mendarat di dekat mereka dengan sorot mata yang masih menyala. Putra Mahkota Iblis di dalam benteng itu tampak geram. Dia berteriak lalu mengeluarkan cahaya di tubuhnya. Gemanya hampir saja memecahkan dinding pembatas tak terlihat.“Sekarang saatnya kau harus memecahkan dinding pembatas tak terlihat itu,” pinta Bahari.Bimantara mengangguk.“Semuanya segera bersiap!” pinta Bimantara pada kedua Panglima yang menemaninya itu.Bahari dan Pendekar Sungai Panjang mengangguk. Mereka pun sudah bersiap dengan jurus masing-masing.Bimantara menoleh pada Tanaka dan Raja Dawuh yang masih menjaga Pendekar Dua Alam yang sedang membangkitkan para pendekar sakti
Putra Mahkota Iblis itu berhenti berlari menuju benteng yang terbuka itu. Iblis itu menatap kepada empat saudaranya yang ikut berhenti.“Berpencarlah kalian semuanya,” pinta Putra Mahkota Iblis. “Hancurkan semua kerajaan di muka bumi ini! Biar aku saja yang menghadapi musuh kita di depan benteng sana!”“Tapi mereka telah membunuh adik bungsu kita,” protes salah satu dari mereka. “Kita harus bersama-sama membunuh mereka sebelum kita keluar dari negeri ini dan menghancurkan semua kerajaan di atas muka bumi ini!”“Diriku sendiri sudah cukup untuk membunuh semuanya! Ikuti perintahku jika kalian masih menganggapku sebagai pengganti Raja!” teriak Putra Mahkota Iblis itu pada adik-adiknya.“Baiklah,” jawab salah satu dari mereka.Empat anak-anak Iblis yang perkasa itu pun langsung melompati benteng yang luas nan tinggi itu. Mereka berpencar ke empat penjuru untuk menghancurkan kerajaan-kerajaan di berbagai wilayah.Sementara Bimantara di luar benteng itu tampak terkejut melihat para Iblis it
“Biar aku saja yang menghadapinya,” ucap Tanaka pada Bimantara.Bimantara mengangguk. Tanaka pun langsung melompat dari punggung naga lalu terbang melawan Pendekar Tombak Angin. Tanaka mengeluarkan golok hitamnya, sementara Pendekar Tombak Angin mengeluarkan pedangnya. Mereka berdua bertarung di atas langit.Bimantara menoleh pada Bahari, Pendekar Sungai Panjang, Pendekar Dua Alam dan Raja Dawuh.“Kalian serang prajurit mereka!” perintah Bimantara.Keempat Panglimanya itu mengangguk. Mereka langsung mengendalikan naga masing-masing lalu naga-naga yang ditunggangi mereka itu menghembuskan api dari mulut mereka untuk membakar ribuan prajurit yang berusaha memecahkan benteng tinggi itu. Sebagian prajuritnya mati terbakar karenanya. Para prajurit yang lain berusaha menyerang mereka dengan senjata masing-masing.Dengan sigap Raja Dawuh menggunakan kekuatannya untuk melelehkan pedang dan senjata lainnya yang digunakan para prajurit itu. Seketika senjata mereka meleleh.Sementara Bimantara l
Ribuan burung besar yang membawa Pendekar Tombak Angin dan pasukan roh-nya telah tiba di daratan negeri salju itu. Angin dingin berhembus menusuk tulang. Pendekar Tombak angin yang berada paling depan di punggung burung besar itu tampak menggigil. Ribuan tentaranya pun tampak kedinginan. Burung-burung besar itu pun tampak sudah lemah memasuki negeri salju itu, mereka tidak kuat akan dinginnya negeri itu.Pendekar Tombak Angin melihat patung es raksasa yang sedang memegang tongkat di hadapan benteng tinggi yang memutih. Ribuan prajurit di dekatnya pun mematung, mereka bagai patung es yang dipahat oleh seorang seniman yang masyhur.“Apakah dia Bubungkala?” tanya Pendekar Tombak Angin pada tiga makhluk hitam yang kedinginan di dekatnya. Tiga makhluk hitam itu terbang mengikutinya.“Benar, Tuanku,” jawab Makhluk hitam itu. “Dia yang paling bungsu dari ke enam saudara Iblismu.”Pendekar Tombak Angin tampak tidak kuat lagi karena dinginnya tempat itu.“Sekarang keluarkan batu dari neraka it