Seorang Lelaki gagah itu berlari terengah-engah menghadap Pangeran Padama. Pangeran itu berdiri heran.“Kau pulang sendirian? Kemana kelima Ninja yang lainnya?” tanya Pangeran Padama dengan heran.Lelaki gagah itu gemetar lalu berlutut di hadapannya penuh takut. Keringat mengucur di dahi dan lehernya.“Ampun, Yang Mulia. Pemuda pincang itu telah membunuh lima Ninja terbaik kita.”Pangeran Padama geram mendengarnya. Dia mengepal tangannya lalu tenaga dalamnya terkumpul di sana. Dia arahkan tangannya ke dinding gua hingga batu-batu berjatuhan tepat yang dikenai tenaga dalamnnya. Para Tetua yang berada di dalam sana tampak gemetar ketakutan.“Benar-benar tidak berguna!” geram Pangeran Padama.“Ampun Yang Mulia, sebaiknya kita gunakan cara yang lainnya saja,” nasehat Tetua padanya.Pangeran Padama menatap Tetua yang bicara itu dengan amarah.“Dengan cara apa? Kita tidak memiliki cara apapun selain menghadapinya dan merebut langsung tongkat yang dimiliki Pemuda itu!” geram Pangeran Padama.
Pangeran Kedua berlari menuju kediaman Putra Mahkota. Dia berlari melewati bebungaan jalan setapak menuju kediaman itu. Putra Mahkota yang tengah duduk menikmati makanannya di teras kediamannya langsung berdiri saat melihat adiknya berlari terengah-engah padanya.“Kakak! Kakak!” teriak Pangeran Kedua.“Ada apa adikku?” tanya Putra Mahkota dengan herannya.“Ayah telah meminta Putri untuk menjemput kekasihnya di kediamannya,” jawab Pangeran Kedua.Putra Mahkota terbelalak mendengarnya.“Apakah para prajurit terbaik yang aku pilih itu gagal membunuh pemuda pincang itu?” tanya Putra Mahkota tak percaya. Ya, dia telah memerintahkan prajurit pilihannya itu untuk langsung membunuh Bimantara agar tak perlu dibawa menghadap Sang Raja. Putra Mahkota tidak terima melihat adiknya mencintai rakyat jelata yang tidak jelas asal usulnya. Putra Mahkota khawatir Sang Putri akan dimanfaatkan oleh Bimantara.“Kabarnya Pemuda Pincang itu sangat kuat. Dia memiliki ilmu bela diri yang mumpuni hingga para pr
Bimantara memasuki kamar Putri Kidung Putih. Dia memeriksa kamar itu dengan seksama. Dia ingin tahu bagaimana dia bisa mencintai Sang Putri itu dan bagaimana Sang Putri sesungguhnya. Dia memperhatikan lukisan yang berada di kamar itu. Ada lukisan pemandangan yang indah. Di dalam lukisan itu ada sebuah gunung. Namun saat memperhatikan lukisan itu dengan jelas, dia melihat ada seorang lelaki pincang yang tengah berdiri dengan tongkatnya di atas batu. Sosok lelaki pincang itu tampak sangat kecil.Bimantara memperhatikannya lagi. Dia heran melihat sosok di dalam lukisan itu sangat mirip dengannya. Tak lama kemudian Pelayan masuk.“Ampun, Tuan,” ucap Pelayan itu.Bimantara terkejut.“Maaf, saya tidak izin untuk memasuki kamar Tuan Putri,” ucap Bimantara,“Tidak mengapa Tuan, toh Yang Mulia juga tidak melarang Tuan untuk memasuki kamarnya. Hamba datang karena ini menawarkan makanan kepada Tuan. Apakah Tuan lapar?” tanya Sang Pelayan.“Aku masih kenyang,” jawab Bimantara. “Boleh aku bertanya
Pangeran kedua kembali mengangkat pedangnya lalu diulurkannya ke arah Bimantara. Wajahnya tampak menyimpan amarah. Bimantara dapat menangkap dengan jelas di matanya. Dia tidak tahu harus bersikap seperti apa. Untuk ikut bersimpuh seperti Pelayan dan Prajurit penjaga dia enggan. Dia masih tak mengerti kenapa Pangeran itu hendak membunuhnya. Saat ke sembilan Ninja itu langsung berbaris di belakang Pangeran Kedua.“Siapa kau sebenarnya?” tanya Pangeran Kedua pada Bimantara.“Namaku Bimantara,” jawabnya. Begitulah yang dia ketahui saat ingatannya dicabut Dewa Air. Dia hanya tahu namanya Bimantara dari orang-orang memanggilnya.“Dari mana asalmu?” tanya Pangeran Kedua lagi.“Aku dari rakyat jelata,” jawab Bimantara seperti yang didengarnya dari Tuan Putri.“Maksudku, dari mana asal tempat lahirmu?!”“Aku lahir dari negeri ini,” jawab Bimantara.“Jangan berbohong padaku!” Pangeran Kedua tampak tak percaya. “Aku tahu ilmu bela dirimu bukan berasal dari adikku Putri! Kau pasti mempelajarinya
Amita tampak duduk melamun di beranda rumahnya. Gavin dan Gala yang baru saja pulang dari menangkap ikan di lautan berjalan heran menujunya.“Nenek kenapa?” tanya Gavin bingung.“Aku masih memikirkan kesalahanku pada Pangeran Padama,” ucap Amita.Mendengar itu Gavin dan Gala langsung meletakkan ikan-ikan mereka di atas tanah lalu duduk mengapit Amita dengan kasihan.“Jangan dipikirkan, Nek. Ini bukan kesalahan Nenek. Justri harusnya Pangeran Padama berterima kasih pada Nenek karena telah memberitahukan sosok pemuda yang ada di ramalan itu,” ucap Gala menenangkannya.“Benar, Nek. Yang penting Nenek sudah berusaha sebaik mungkin untuk tetap setia pada Pangeran Padama,” tambah Gavin.Amita berdiri dengan raut sedih.“Nenek sudah tidak sabar, tahta kerajaan di negeri ini kembali pada Pangeran Padama hingga kita bisa kembali menyembah Bubungkala di gunung Nun. Coba kalian lihat, sejak kita berhenti menyembah Bubungkala, kita kesuahan mencari rezeki. Semua yang ada di negeri ini milik keraj
Saat Panglima hendak menyiapkan tenda di atas tanah lapang. Bimantara tiba-tiba memiliki Naluri seolah mendengar suara hujan. Suara-suara itu mengatakan Bimantara bisa menghentikannya jika Bimantara mau.“Apakah kau mendengar sesuatu?” tanya Bimantara pada Sang Putri.“Aku hanya mendengar suara hujan dan angin di luar sana,” jawab Sang Putri. “Memangnya kenapa? Kau mendengar suara-suara aneh?”Bimantara heran karena hanya dia saja yang mendengar suara itu. Tak Lama kemudian Bimantara turun dari kereta kencana. Putri Kidung Putih tampak heran.“Kau mau kemana?” tanya Sang Putri heran.Bimantara tidak menjawab pertanyaannya. Dia malah berdiri di atas tanah dengan tongkatnya. Wajahnya menengadah pada langit yang menjatuhi hujan yang begitu deras itu. Titik-titik air hujan itu membasahi wajah dan pakaiannya.“Bimantara! Apa yang kau lakukan?!” tanya Sang Putri dengan khawatirnya.Sang Panglima dan pasukannya yang sedang sibuk membuat tenda pun tampak heran. Apalagi Sang Pelayan. Dia heran
Lelaki Tua itu berjalan menembus hutan. Rerumputan yang diinjaknya tampak basah. Daun-daun menteskan air sisa hujan yang mengenainya. Tetesan hujan dari dedaunan itu sesekali mengenai rambutnya. Saat tiba di tepi jurang, dia melihat tanaman yang dicarinya. Tanaman yang mirip dengan lidah buaya namun tanaman itu memiliki bunga yang mirip dengan bunga teratai.“Itulah yang aku cari,” ujar Lelaki Tua itu.Dia bingung bagaimana untuk mendapatkan tanaman itu sementara keberadaannya berada di tebing jurang itu, bersembunyi di balik rerumputan yang daunnya begitu tinggi. Hanya terlihat bebungaannya saja yang tengah mekar.“Aku harus mendapatkannya. Bagaimana pun ingatan Bimantara harus kembali,” ujarnya dalam hati. “Dia telah menyelamatkan nyawaku. Aku harus membalas budi padanya.”Namun saat Lelaki Tua itu berusaha menuruni tebing itu, tiba-tiba ada sosok cahaya putih datang ke hadapannya. Sosok Lelaki yang tidak dapat dilihatnya dengan jelas bagaimana rupanya karena cahaya yang keluar dari
Raja Abinawa tampak gelisah menunggu kedatangan Putri Kidung Putih. Tak lama kemudian Ratu datang diikuti oleh Pelayan-Pelayannya. Ratu langsung bersimpuh menghadapnya.“Kenapa Yang Mulia memanggilku?” tanya Sang Ratu. Dia tampak heran melihat raut kegelisahan di wajah suaminya itu. “Apa kau memiliki masalah?”“Putri Kidung Putih,” jawab Sang Raja.Ratu menghela napas mendengarnya.“Aku sudah mendengar itu,” ucap Ratu. “Aku tidak mempermasalahkan Putri bungsu kita mencintai siapapun di negeri ini. Meskipun lelaki yang dicintainya itu dari golongan rakyat jelata. Selama Putri mencintainya dan Lelaki itu mencintainya, aku rasa tidak ada masalah. Karena aku yakin, Putri pasti memiliki alasan yang tepat kenapa dia menginginkan lelaki itu. Putri kita tidak bodoh. Dia cerdas dan memiliki kecerdasan di atas kedua kakaknya,” ucap Sang Ratu.“Aku khawatir dia menjadi buta karena cinta. Bagaimana jikalau lelaki itu sengaja memanfaatkan perasaan Putri kita? Aku tak akan pernah menerimanya jika d