Pendekar Rambut Emas datang kepada Kepala Perguruan Matahari. Pendekar Tangan Besi itu tampak terkejut melihat guru utama itu datang menemuinya di tengah malam begitu di pinggir dermaga.“Tuan Guru Besar!” teriak Pendekar Perempuan itu.“Ada apa?” tanya Kepala Perguruan dengan bingung.“Salah satu murid dari perguruan matahari yang tengah berjuang bersama Bimantara telah mengirimkan surat padaku. Mereka mengatakan saat ini Bimantara tengah terjebak di dalam lingkaran dinding pembatas tak terlihat bersama Gajendra. Bimantara tengah tidak sadarkan diri akibat serangan tenaga dalam dari Gajendra, begitupun Gajendra. Mereka meminta bantuan kita untuk mencari pedang perak cahaya merah untuk merubuhkan dinding pembatas tak terlihat itu agar bisa menyelamatkan Bimantara,” jawab Pendekar Rambut Emas.Kepala Perguruan terkejut mendengarnya.“Kalau begitu, pergilah untuk mencari pedang perak cahaya merah itu,” pinta Kepala Perguruan padanya.“Baik, Tuan Guru besar,” jawab Pendekar Rambut Emas.
Panglima Sada menyerang Pangeran Kantata dengan pedangnya. Seketika Pedang di tangan Panglima Sada terlempar jauh. Pangeran Kantata menendang Panglima Sada hingga dia tersungkur. Pangeran Sakai hendak maju, namun Rajo dan Wira memeganginya dengan kuta.“Jangan, Pangeran. Kau bisa mati jika melawan dia!” pinta Rajo.“Aku sudah menjadi murid perguruan matahari! Aku memiliki ilmu yang bisa melawan dia! Kalian jangan meremehkanku!” teriak Pangeran Sakai yang mencoba melepaskan diri dari pegangan Rajo dan Wira. Namun karena pegangan Rajo dan Wira begitu kuat, Pangeran Sakai tak bisa melepaskan diri.Seketika amarah Pangeran Sakai yang sudah dirasuki cahaya merah kian menjadi. Dia mendatangkan angin puting beliung yang besar hingga semua yang berada di sekitar lingkaran dinding pembatas tak terlihat yang mengurung Bimantara dan Gajendra terlempar jauh dari sana.Saat semua pasukan yang mendukung Bimantara terlempar jauh dari Pangeran Kantata, dia tertawa begitu kencang. Kini pasukan yang me
Pendekar Pedang Emas mengulurkan pedangnya ke hadapan Pangeran Kantata dengan tatapan tajamnya.“Serahkan Pedang Perak Cahaya Merah itu padaku! Jika kau mau selamat dari maut!” tantang Pendekar Pedang Emas padanya.Pangeran Kantata tertawa. “Kau tak akan bisa merebut pedang ini dariku! Justru kau yang harus menyingkir dariku jika tidak mau mati di tanganku!” ancam Pangeran Kantata.“Aku masih menghormatimu sebagai yang mulaiku! Jika kau tidak mau menyerahkan pedang itu, maka aku tak punya pilihan lain selain membunuhmu,” jawab Pendekar Pedang Emas.Pangeran Kantata langsung menyerang Pendekar Pedang Emas dengan pedangnya. Pendekar itu pun melawan serangan Pangeran Kantata dengan gesit. Petarungan keduanya tampak sengit dikelilingi oleh angin puting beliung.Semuanya menunggu siapa yang akan menang dan kalah dalam pertarungan itu. Kini, Pangeran Kantata hampir saja menusuk kaki Pendekar Pedang Emas, namun pendekar itu berhasil menghindarinya hingga dia langsung mengarahkan tendangannya
“Sekarang kau sudah memiliki pedang itu! Aku tak menyangka ternyata kaulah Candaka Uddhiharta yang ditunggu-tunggu para pendekar selama ini,” ucap Gajendra.“Aku tidak peduli siapa diriku! Yang aku pikirkan saat ini kau harus mati di tanganku! Kau telah membuat kekacauan demi kekacuan di bumi Nusantara ini!” teriak Bimantara, “Kau telah mengoyak ketenangan dan kedamian di bumi Nusantara ini!” Bimantara mengangkat pedangnya.Gajendra tertawa. “Kau tahu, keturunan-keturunan Raja di tiga kerajaan nusantra ini bukanlah keturuan yang sah untuk mendapatkan tahta?!” tanya Gajendra.Bimantara terkejut mendengarnya. Pangeran Dawuh, Kancil dan Pangeran Sakai pun terkejut mendengarnya.“Aku tidak tahu itu! Aku tidak peduli! Itu bukan urusanku!” teriak Bimantara.“Makanya aku memberitahumu anak muda! Leluhur mereka!” ucap Gajendra menunjuk Pangeran Sakai, Pangeran Dawuh dan Kancil. “Bukan keturunan yang sah untuk mendapatkan tahta kerajaan! Leluhurku lah yang seharusnya menjadi penguasa di bumi N
“Tuan Guruuuuu!” teriak murid-murid Gajendra tampak terduduk sedih melihat Gajendra tak lagi bernyawa.Seketika dinding pembatas tak terlihat terbuka. Para murid Gajendra berlarian hendak membalaskan dendam Tuan Gurunya. Bimantara dan semua pasukan yang mendukung Bimantara pun berlarian ke arah para pendekar bertopeng yang jumlahnya ratusan itu.Pertarungan kembali terjadi. Satu persatu dari para pendekar dari perguruan tengkorak itu tumbang di tangan Bimantara dan pasukan yang mendukungnya. Bimantara pun menggunakan tendangan seribunya melibas para pendekar dari perguruan tengkorak yang tersisa itu. Kini, semua dari murid Gajendra itu telah meregang nyawa. Mayat-mayat bergelimpangan di atas padang rumput itu.Bimantara berlutut sambil memegang pedangnya. Keringat bercucuran di dahinya. Matahari pun muncul di ufuk timur.“Misi kita telah berhasil Bimantara,” ucap Pangeran Dawuh terengah-engah.Tak lama kemudian air mata Bimantara mengalir ke pipinya. Pangeran Dawuh heran melihatnya.
Raja Dwilaga berdiri saat melihat kedatangan Panglima Sada sendirian menuju singgasananya. Semua pejabat istana pun berdiri dengan penasaran, menunggu laporan dari sang Panglima. Saat Panglima Sada tiba di hadapan Raja Dwilaga, dia berlutut penuh hormat padanya lalu bicara padanya. “Ampun, Yang Mulia. Pangeran Sakai dan teman-teman seperguruannya sudah berhasil melaksanakan misi perguruan matahari untuk membasmi keberadaan Perguruan Tengkorak di muka bumi ini! Saat ini Gajendra dan murid-muridnya telah mati,” ucap Panglima Sada. Raja Dwilaga tampak haru mendengarnya. “Syukurlah! Aku senang mendengarnya,” sahut Raja Dwilaga padanya. “Tapi ada berita duka yang ingin hamba sampaikan yang mulia!” ucap Panglima Sada. “Apa itu, Panglima?” tanya Raja Dwilaga penasaran. “Semua pasukanku gugur dalam membantu misi itu dan Pangeran Kantata yang tiba-tiba datang menghalangi misi Pangeran Sakai, telah mati di tangan Pangeran Sakai sendiri,” jawab Panglima Sada yang masih menunduk hormat pada
Lima kapal layar yang sangat besar tengah mengarungi lautan. Saat itu laut tampak tenang. Seorang Panglima berdiri di atas kapal layar yang paling depan. Dia adalah Panglima Susesa yang datang dari kerajaan Tala. Seorang prajurit berdiri di sampingnya. Panglima Susesa menoleh padanya.“Berapa lama lagi kita akan tiba di Nusantara?” tanyanya.“Mungkin lima hari lima malam lagi, Panglima,” jawabnya.Panglima Susesa pun terdiam lalu kembali menatap lautan di hadapannya. Dia mengarungi samudera dari Tala menuju Nusantara atas perintah yang mulia rajanya. Beberapa upeti sudah disimpan baik-baik di perut kapal. Surat dari yang mulia rajanya untuk para raja di Nusantara sudah dia simpannya dengan baik.“Apa yang terjadi jika mereka menolak kedatangan kita, Panglima?” tanya prajuritnya.“Apapun itu, pesan dari yang mulia raja harus sampai kepada mereka. Jika tidak, mungkin peperangan jalannya,” jawab Panglima Susesa.Prajurit itu pun terdiam.“Sebenarnya, apakah tujuan yang mulia raja hanya u
Pangeran Sakai berlutut di hadapan Raja Dwilaga di singgasana. Raja Dwilaga telah menjemput Pangeran Sakai di perguruan Matahari untuk menghadapnya sementara sebelum dia melaksanakan tugas terakhir di perguruan – mencari kitab sakti. Di sana sudah duduk Panglima Sada dan para pejabat istana.“Maafkan aku, yang mulia. Sepertinya rencana mengadakan upacara ikrar itu harus dibatalkan,” pinta Pangeran Sakai.Raja Dwilaga terkejut mendengarnya. Panglima Sada pun tak kalah terkejutnya.“Kenapa?”“Aku telah salah sangka. Aku kira Dahayu selama ini mencintaiku, ternyata itu dilakukan Dahayu karena tidak enak kepadaku, karena aku seorang Pangeran dari kerjaan ini, dia tidak bisa menolak cintaku sementara hatinya bukan untukku,” jawab Pangeran Sakai.Raja Dwilaga berdiri dengan marah.“Itu artinya Dahayu telah membohongimu dan mengkhianatimu! Dia harus dihukum!” geram Raja Dwilaga.Panglima Sada tampak panik mendengarnya, namun dia tidak bisa berbuat apa-apa. Pangeran Sakai bersujud padanya.“I