Share

Biar Kutanggung Dosa Malam Itu
Biar Kutanggung Dosa Malam Itu
Penulis: Nike Ardila Sari

Diusir

‘’Mama ingin memberi kamu jamu supaya haid kamu lancar.’’

Aku yang tengah termenung di kamar, sontak terkesiap. 

Jamu untuk mempelancar haid?

Sejak mantan kekasihku tak mau bertanggungjawab, usia kandunganku sudah dua bulan.

Tetapi, sebencinya aku akan kejadian yang meninpa ini, aku  teringat  dengan nasihat sahabatku, Ayu yang mengatakan janin ini tak bersalah.

Bagaimana ini? Apa jangan-jangan, mama mencurigaiku selama ini?

‘’Monik!!’’ panggil Mama yang masih berdiri sembari memegang segelas jamu. 

Aku terperanjat dengan suara Mama yang menggelegar.  ‘’A—anu. Ma’af, Ma..’’ Susah payah aku berucap.

‘’Kamu takut minum jamu ini?’’ tanyanya lagi, "apa kamu hamil?"

PLAAKKK!!

Satu tamparan mendarat di pipi kananku. Aku kaget dan meringis kesakitan. 

Dari mana Mama tahu kalau aku sedang hamil?

Aku tak tahu apa yang harus aku lakukan saat ini. 

‘’Ma—Mama…’’ lirihku dengan buliran air mata membasahi pipi, sembari memegang pipi yang terasa perih.

‘’Apa maksud dari pesan kamu itu? Hah? Jawaab!’’ Mata Mama tampak memerah, buliran bening mulai membasahi pipinya dan mengguncang tubuhku. 

‘’Pe—pesan apa maksud Mama?’’ tanyaku pura-pura tak mengerti.

‘’Pesan di hp kamu!’’ teriak Mama. Sembari meraih ponselku dengan kasar.

Wanita itu langsung memperlihatkan semua pesan itu dengan kasar, hingga aku tak mampu berucap.

Hanya buliran air mata yang terus menganak. 

‘’Monik, jawab! Apa kamu benaran hamil!’’ Kali ini Mama benar-benar tak dapat mengendalikan emosinya.  Hingga tangannya hampir melayang kembali ke pipiku. 

’’ Ya Allah! Ada apa ini? Istighfar, Ma!’’ lirih Papa yang tiba-tiba datang lalu menepis tangan Mama.

‘’Istighfar kata kamu, Pa? Anak kamu ini seharusnya yang disuruh istigfar dan bertobat,’’ ketus Mama.

‘’Apa maksud, Mama?’’ 

‘’Di—dia hamil…’’ ketus Mama dengan buliran air mata membanjiri pipinya, sedangkan Papa tampak kaget dan mengacak rambut.

‘’Apa? Kamu jangan bercanda, Ma?’’ Papa beralih menatapku dengan tatapan tajam.

‘’Papa tanya aja sama dia!’’ Mama memijit keningnya. 

‘’Apa benar itu, Monik? Jawab!’’ Baru kali ini aku melihat kemarahan Papa. Tangan beliau kembali terangkat. Aku hanya mengangguk pelan dengan buliran air mata yang tak henti-hentinya.

PLAAKKK!!

Kali ini aku mendapat satu tamparan kembali dari cinta pertamaku, lelaki yang selama ini begitu sangat menyayangiku.

‘’Pergi kamu dari sini! Aku malu punya anak kayak kamu! Dasar anak ngga tau diri. Apa kamu ngga tau dosa? Hah?’’ Emosi Papa benar memuncak. Kata-kata yang tak pernah keluar dari mulutnya sekarang keluar untukku. Aku menangis histeris.

‘’Kamu ngga boleh tinggal di rumahku! Silakan angkat kaki dari sini"

Deg!


Tanpa basa-basi, Papa menyeretku keluar rumah dengan kasar.

Tak dibiarkannya aku membawa apapun, kecuali yang melekat di tubuhku saat ini.

Sedangkan Mama berteriak dan menangis histeris di dalam rumah.

‘’Pa!’ ’panggilku dengan deraian air mata. Aku berlutut di kakinya.

‘’Jangan kamu panggil aku Papa! Aku bukan Papa kamu!’’

Papa mengunci gerbang dan mendorong tubuhku hingga tersungkur. Aku mengerang kesakitan dan memegang perutku. 

‘’Pa! Ma!’’ teriakku sembari berderaian air mata. 

Ya, Allah!

Kenapa semua ini terjadi? Apakah ini hukuman untukku?

Aku terdiam.

Ya, ini pantas untukku. Dengan mudahnya aku menyerahkan kehormatanku pada lelaki yang belum halal untukku.

Dengan mudahnya aku mencicipi kemanisan yang bersifat sesaat karena bujuk rayu mantanku.

Pikiranku begitu kalud, kepala terasa pusing, perut juga terasa sakit, dan pemandanganku seketika kabur. 

Aku tak tahu apa yang terjadi.

Aku juga tak tahu berapa lama aku dalam kegelapan itu.

Hanya saja,  bau minyak kayu putih terasa menyengat olehku.

Aku lantas membuka mata dengan pelan. Samar kulihat wajah yang tak asing lagi bagiku. 

‘’Alhamdulillah! Kamu udah sadar, Monik,’’ lirih Ayu yang duduk di tepi ranjang.

‘’A—aku di mana?’’ tanyaku sembari memegangi kepala yang masih terasa pusing.

‘’Kamu di rumah aku.’’ Seketika aku kaget dan bergegas mencoba untuk duduk, walaupun dengan kepala yang masih terasa pusing.

‘’Jangan duduk dulu, Monik. Kamu harus istirahat!’’ Ayu kembali membantu untuk merebahkan tubuhku.

‘’Ta—tapi, aku nggak mau nanti gara-gara aku kamu kena marah..’’ lirihku dengan buliran air mata. 

‘’Ssstt! Jangan ngomong seperti itu. Semuanya biar aku yang ngatur ya. Kamu istirahat dulu!’’ Dia  menempelkan jari telunjuknya di bibir.

‘’Makasih banyak, Yu. Kamu masih mau membantu aku, padahal dosa aku begitu banyak.’’ Buliran air mata membasahi pipiku. 

‘’Kamu itu sahabat aku. Jangan ngomong kayak gitu. Semua orang juga punya dosa kok.’’ Ayu memegang jemariku. Membuat aku menghela napas.

‘’Bantu aku ya, Yu? Bimbing aku ke jalan yang benar. A—aku ingin sekali bertobat. Apa Allah mau mengampuni aku yang bergelimang  banyak dosa ini?’’

‘’Kita sama-sama belajar ya. Ngga baik ngomong kayak gitu. Allah itu Maha Pengampun, Monik. Asalkan kita benar-benar tobat dan nggak akan mengulanginya lagi.’’

‘’Kamu istirahatlah! Aku mau membantu Bunda menyiapkan makanan siang.’’ Dia bergegas beranjak. 

‘’Yu, tunggu!’ ’Seketika aku menarik tangannya, dia pun menoleh.

‘’Kenapa kamu bisa menemukan aku?’’ tanyaku memandanginya. Membuat dia tersenyum lebar menatapku.

’’Tadinya aku berniat ke rumah kamu. Setelah sampai di depan gerbang, aku melihat kamu dalam keadaan pingsan  dan aku yakin ada sesuatu yang terjadi sama kamu. Makanya aku membawa kamu ke sini.’’ Wanita berkerudung cokelat susu itu tak hentinya tersenyum lebar.

‘’Ta—tapi gimana dengan Bunda dan Ayah, beliau pasti…’’

‘’Ssstt! Kamu nggak usah khawatir. Yang penting sekarang fokus sama kesehatan kamu sama janin yang ada di perut kamu,’’ lirih Ayu yang hampir tak terdengar olehku. Mungkin dia takut kedua orang tuanya akan mendengar pembicaraan kami.

 ‘’Aku tinggal dulu ya. Kalo kamu mau air atau apapun itu, aku akan ke sini lagi.’’ Dia bergegas melangkah keluar dari kamarnya. 

Aku memegangi kepalaku yang masih terasa pusing, terbayang olehku semua kejadian tadi. Seketika tumbuh penyesalan, andaikan saja aku tak menerima cinta lelaki itu pasti tidak akan seperti ini. Aku tak kan hamil di luar nikah begini. Kenapa aku bisa sebuta ini?

Ingin segera aku mengakhiri hidupku. Perlahan aku berdiri dengan menumpu berat badanku ke dinding. Lalu mencari sesuatu.

Ya, itu dia. Dengan dada sesak aku meraih benda tajam itu, buliran air mataku terus berjatuhan. "Maafkan aku dan selamat tinggal!"

Cairan merah mulai merembes dari tanganku, tetapi sebuah teriakan membuatku segera menoleh.

'’Astaghfirullah ‘al adziim! Istighfar, Monik! Apa yang kamu lakukan? Ini nggak akan menyudahi masalah kamu!’’

Ayu menatapku tajam dan tampak berlari ke arahku!


Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status