'’Astaghfirullah ‘al adziim! Istighfar, Monik! Apa yang kamu lakukan? Ini nggak akan menyudahi masalah kamu!’’
Ayu mengambil paksa benda itu.
Seketika, tubuhku luruh ke lantai. ‘’Aku capeek, Yuu! Aku capek!’’ teriakku dengan buliran air mata.
‘’Bangunlah! Jangan sampe Bunda sama Ayah mendengar suara tangisan kamu. Kamu ngga mau kan semuanya terbongkar?’’ Ayu membantuku untuk berdiri.
‘’Sudah aku katakan, bunuh diri itu nggak akan menyelesaikan masalah! Di dunia memang iya urusan kamu selesai. Tapi, di akhirat? Nggak akan selesai, Monik.’’ ‘’Kamu akan meninggal dalam keadaan sesat. Kamu akan sengsara di sana! Apalagi kamu belum bertobat. Apa kamu mau, hah? Coba kamu renungi,’’ jelas Ayu dengan tatapan sendu. Aku termenung seketika dengan tatapan kosong. Apa yang dikatakan oleh Ayu ada benarnya juga. Kenapa pikiranku begitu singkat? Allah! Pantaskah aku menyebut nama-Mu? ‘’Sebentar.’’Dia meraih mukenah dan sajadah yang sedang digantung di hanger, lalu memberikan padaku. Aku menggeleng lemah. ‘’Ambillah! Kamu butuh ini! Supaya hati kamu tenang.’’ Aku masih belum meraih mukenah dan sajadah itu dari tangan Ayu. ‘’A—apa aku pantas memakai ini?’’ ucapku terbata sembari memandangi yang tengah dipegang oleh Ayu. Aku merasa makhluk paling kotor. Aku sudah bergelimang dalam dosa yang begitu banyak. ‘’Monik, sudah aku bilang Allah Maha Pengampun. Kita aja yang nggak tahu. Bukan masalah pantas atau nggak, yang jadi masalah itu maukah kita bertobat pada-Nya dengan tobat nasuha atau malah membiarkan dosa kita menumpuk begitu saja makin hari,’’ jelas Ayu dengan mata berbinar. Entah kenapa ucapan Ayu itu seolah aku sedang disirami air dingin. Terasa sejuk, menjadi pendingin di kepalaku. ‘’Ma—maksud dari tobat nasuha itu apa?’’ tanyaku polos, saking minimnya ilmu agamaku. ’’Tobat nasuha itu adalah tobat yang sungguh-sungguh karena Allah. Dan berjanji nggak akan mengulanginya lagi dosa yang sudah diperbuat,’’ jelas Ayu kembali dengan senyuman yang mengembang. Aku manggut-manggut. ‘’Ya udah. Kamu solat dulu gih. Biar hati kamu lebih tenang dan minta ampunlah pada Allah.’’ Dia menyodorkan kembali mukenah dan sajadah. Tanpa berpikir lagi aku langsung mengambilnya. Ayu pun tersenyum. Dengan pelan aku melangkah ke belakang untuk berwuduk. Beberapa menit kemudian, aku membentangkan sajadah lalu memasang mukenah. ‘’Aku memang beruntung punya sahabat. Di saat terpuruk begini, dia selalu ada dan selalu menasehati aku dalam kebaikan. Mungkin ini yang dinamakan sahabat dunia dan akhirat,’’ lirihku sembari memperbaiki tali mukenah dan memasangkannya. Dan aku pun mulai melaksanakan solat. Beberapa menit kemudian. Aku menengadah dan mengangkat kedua tanganku. ’’ Ya Allah, Ya Tuhanku. Ampunilah dosa-dosaku. Ampunilah semua kesalahan dan kekhilafanku, tolong bantu aku untuk memperbaiki diri, tolong bantu aku untuk mendekatkan diri kepada-Mu. Aku tahu, aku adalah makhluk yang paling kotor, yang punya banyak dosa. Tetapi aku mohon ampuni semua kesalahanku. Aamiin Ya Robbal ‘aalamiin.’’ Dengan buliran air mata berjatuhan, aku bermunajab pada Sang Pencipta. Aku kembali merapikan mukenah dan sajadah. Ayu pun datang menghampiriku. ‘’Bagaimana? Apa yang kamu rasakan selesai solat?’’ tanya Ayu menghenyak di tepi tempat tidur. Membuat aku tersenyum karena saat ini sungguh berbeda terasa pikiranku. ’’Kamu benar, Yu. Hatiku sekarang rasanya tenang banget. Nggak kayak tadi,’’ lirihku sembari memandangi Ayu. ‘’Mengingat Allah itu hati akan menjadi tentram, Monik. Semua beban kita terasa ringan,‘’ ucap Ayu pelan. Aku pun manggut-manggut. Ya, hatiku sungguh terasa tenang dan tenteram saat ini. Ayu membacakan surah Ar-Ra’adu beserta artinya, membuat pikiranku makin tenang. ‘’Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram.’’ (Q.S Ar-Ra’adu ayat 28)Dan malam itu, akhirnya aku bisa tertidur lelap untuk pertama kalinya.
***
‘’Monik! Ayo siap-siap. Kita cari kos untuk tempat tinggal sementara kamu.’’ Ayu membuyarkan lamunanku yang terduduk di depan taman.
Hari sudah pagi, tetapi kami bangun sangat awal.
Aku tahu Ayu pasti khawatir kalau semuanya nanti terbongkar. Apalagi kedua orang tua Ayu itu adalah orang yang paham agama. Tak terbayang olehku bagaimana nanti jika sampai tahu Bunda dan Ayahnya Ayu.
‘’A—aku udah siap kok.’’
’’Baju kamu nggak diganti dulu?’’ tanya Ayu memandangi baju yang kukenakan. Perlahan aku menggeleng. Ya, karena selama dua hari ini baju pengganti adalah baju Ayu yang aku pakai. Aku memang tak bawa sehelai baju pun kecuali hanya baju yang terpasang di tubuhku waktu aku diusir dan pingsan di depan gerbang.
‘’Baju ada di lemari. Kamu tinggal ambil aja tuh di sana!’’ tunjuk Ayu ke lemarinya yang ukuran besar itu. Aku mengerjap pelan.
‘’Ma’af, Yu. Aku sudah sering kali merepotkan kamu,’’ ucapku lirih dengan mata berkaca-kaca.
‘’Kamu jangan gitu deh. Kayak orang lain aja. Kan udah aku bilang,’’ sungut Ayu kemudian yang membuat aku tersenyum. Aku baru sadar saat ini. Bersahabat dengan Ayu membuat hatiku tenang dan damai, seolah tak punya beban pikiran. Ah, andai saja aku lebih mendengarkan nasihat Ayu.
‘’Btw, baju yang mau kamu pakai selama di kos nggak ada kan? Nggak mungkin kamu pulang ke rumah dalam kondisi kayak gini.’’ Ayu duduk di sampingku. Dalam hati aku membenarkan ucapan Ayu. Ya, tak mungkin aku pulang ke rumah hanya untuk mengambil baju-bajuku, yang ada suasana akan semakin runyam dan tak menununtut kemungkinan kedua orang tuaku akan memarahiku kembali, bahkan akan mengusirku. Apalagi kalau sampai tahu tetangga di sebelah rumah. Kedua orang tuaku akan dihina oleh mereka dan aku tak mau hal itu terjadi.
‘’Ayu benar juga,’’ batinku. Aku terdiam sejenak.
‘’Kamu tenang aja. Nanti aku kasih baju aku untuk kamu ya. Kebetulan baju aku tuh banyak banget. Tapi, masih baru kok. Dulu Bunda sering membelikan aku baju, padahal baju aku udah banyak di rumah. Nah, makanya ngga pernah aku pake. Udah aku siapkan untuk kamu kok.’’
Ya Allah. Hatimu sungguh baik sekali,Yu. Semoga Allah membalas kebaikanmu.
‘’Ta—tapi…’’
‘’Hush! Nggak apa-apa. Kamu nganggep aku sebagai sahabat atau nggak sih?’’ Dia meletakkan telunjuknya di bibirnya. Bibir Ayu tampak cemberut membuat aku makin terhibur dengan sikapnya.
‘’Lah, kok kamu ngomong gitu. Kamu itu sahabat aku, Yu,’’ sahutku pelan. Dan kini giliran dia tersenyum.
‘’Ya udah kalo gitu. Berarti kamu mau ya menerima baju yang aku kasih?’’ Aku menyahut dengan anggukan disertai senyuman lebar
‘’Yuk kita jalan!’’ ajaknya sembari meraih plastik yang berukuran besar. Sepertinya isi di dalam plastik itu pakaian untukku. Betapa baiknya sahabatku ini. Semoga saja aku bisa jadi wanita baik seperti dia, semoga saja aku bisa merubah diri lebih baik lagi.
Aku dan Ayu bergegas melangkah keluar dari kamar, seketika Bunda Aini menghampiri kami.
‘’Eh, Monik mau pulang? Kenapa nggak di sini dulu sama Ayu?’’ tanya wanita berkerudung lebar itu menghampiri kami.
‘’Dan itu apa?’’ tambahnya seketika beralih melirik apa yang sedang ditenteng oleh Ayu. Membuat aku dan Ayu saling tatapan. Saat ini lidahku terasa kelu. Entah kenapa jika sudah bicara dengan Bunda itu tak bisa aku untuk berbohong.
‘’Ini baju aku untuk teman, Bun. Yang nggak pernah aku pake. Lagian juga masih baru. Daripada disimpen aja di lemari kan mubazir.’’
‘’Monik itu mau kerja, Bun,’’ imbuh Ayu kemudian karena aku yang tak bisa menjawab ucapan Bunda Aini sedari tadi. Saat ini aku merasa bersalah karena Ayu berbohong pada Bundanya, itu semua karena aku. Ya Allah.
‘’Oh, Monik kerja?’’ tanya beliau sambil mengintimidasiku. Beliau tahu Papa dan Mamaku orang kantoran. Itu yang membuat Bunda Aini sedikit heran karena mendengar penuturan Ayu. Aduh, bagaimana kalau Bunda Aini bertanyata pada Mama dan Papaku?
Secara kan beliau memang dekat dari dulu.
"I--itu..."
Membuat lidahku kelu. Lalu aku beralih menatap Ayu. ‘’I—iya kerja, Bun. Monik pengen belajar mandiri aja,’’ kataku spontan. ‘’Kalau begitu aku mengantarkan Monik dulu ya, Bun. Bilang juga sama Ayah. Assalamua’laikum.’’ Ayu takdzim dengan Bunda Aini. Begitupun denganku. Beliau tampak kebingungan. ‘’Iya. Kalian hati-hati ya. Wa’alaikumussalam.’’Kami bergegas melangkah keluar. Tak lama, mobil Ayu membelah jalanan raya. Sedari tadi kami hanya hanyut dalam pikiran masing-masing. Terkadang aku juga malu berteman dengan perempuan sebaik dan sesolehah Ayu. Sedangkan aku perempuan banyak dosa dan punya masa lalu yang kelam. Apa aku pantas berteman dengan dia? Aku memijit kening yang terasa pusing. Banyak sekali beban di pikiranku ini, apalagi aku diusir dari rumah dalam keadaan berbadan dua dan cita-citaku yang selama ini akan aku raih, aku terpaksa menguburnya dalam-dalam. Aku tak mungkin melanjutkan pendidikanmu dalam keadaan hamil begini, apalagi hamil di luar nikah. Aku men
Meski berteriak demikian, di mobil, nyatanya buliran air mataku tak henti-hentinya mengalir.Teringat olehku Andre dengan seenaknya membawa wanita lain setelah mendapatkan semuanya dariku. membuat Ayu menatapku dengan tatapan sendu. ‘’Aku pernah bilang ke kamu dulu kan, Monik? Jangan sembarangan menerima cinta lelaki dan jangan pacaran dulu. Kamu masih ingat nasehatku?’’ ucap Ayu dengan lirih sembari masih fokus menyetir. Aku hanya mengangguk lemah. ’’Kenapa aku lupa semua itu, Yu? Kenapa?’’ teriakku. ‘’Kamu tahu? Lelaki yang baik itu nggak akan mengajak pacaran apalagi melakukan hal yang nggak senonoh itu.’’ Aku hanya terdiam, menyesali semua perbuatanku. Kalau saja aku mau mendengarkan apa nasihat sahabatku, mungkin tak akan seperti ini kejadiannya. Aku diusir dari rumah, Mama dan Papa membenciku. Hidupku sekarang banyak menanggung beban yang tak mampu untuk aku pikul sendirian. Kuseka buliran mataku dengan ujung kerudung. Beberapa menit kemudian, kami telah sampai di ko
‘’Setelah semuanya dia dapatkan dariku. Dia secepatnya berubah. Dasar lelaki! Mau enaknya saja. Dia berjanji akan bertanggung jawab. Tapi mana janjinya itu?’’ ketusku sembari mondar-mandir di kamar kos. Perutku makin hari semakin membesar, namun tak ada tanda-tanda dia akan bertanggung jawab. ‘’Aarghh!!’’ Aku mengacak rambut frustasi. Aku menghenyak di ranjang seketika meraih ponsel yang di pinjamkan oleh Ayu kemarin. Ya, Ayu meminjamkanku ponsel kalau seandainya aku ingin menghubunginya. Aku bergegas mencari nomor kontak lelaki itu. Lalu aku mencoba menghubungi nomor ponsel tersebut. Berdering? Tetapi tak diangkat. Aku kembali mencoba menghubungi lelaki itu. ‘’Ayo angkat dong, Ndre!’’ ‘’Ma’af ini siapa?’’ ‘’Aku! Oh, jadi kamu lupa sama suara ini? Setelah kamu mendapatkan semuanya dari aku!’’ Kali ini amarahku sudah berada di ubun-ubun, kalau saja lelaki itu saat ini berada di depanku, akan aku jambak-jambak rambutnya dan bahkan ingin sekali aku menonjok mukanya itu. ‘’Mana t
‘’Di sini nggak ada yang betah ngekos, Nak. Pemilik kosnya galak banget. Orang kalo ngekos di sini palingan cuma beberapa hari aja betahnya. Apa kamu nggak tau?’’ ‘’Oh ya, Bu? Tapi, aku betah di sini kok. Malahan Bu kos baik banget sama aku.’’ Aku tersenyum tipis, berusaha menutupi kelakukan ibu pemilik kos. Takutnya nanti malah terdengar olehnya, lalu aku diusir dari sini bagaimana? ‘’Hum, benaran?’’ tanya beliau kembali. Aku kembali mengangguk pelan. Sedangkan wanita itu berlalu meninggalkanku. Aku kembali melanjutkan pekerjaanku yang sempat terhenti. Beberapa saat kemudian aku selesai mengerjakan semua pekerjaan kos. Aku berbaring di kamar untuk melepaskan penat. Aku tatap langit-langit kamar. ‘’Gimana kalo aku kerja aja? Aku nggak mau ngerepotin Ayu terus. Ngga mungkin aku akan meminta uang untuk biaya sehari-hari ke Ayu. Dia udah banyak membantu aku.’’ ‘’Tapi apa orang mau menerima aku yang sedang hamil kayak gini?’’ Aku menggeleng. Tiada salahnya untuk aku coba, apalagi usi
‘’Bu, aku ini sedang hamil cucumu,’’ lirihku dengan nada suara bergetar. ‘’Kamu salah sambung! Anak saya itu masih sekolah!’’ ‘’Kamu pasti menipu saya kan?’’ ‘’Atau kamu mau uang? Kirim nomer rekening kamu. Biar saya transfer 3M.’’ Membuat aku mengelus dada. ‘’Aku nggak mungkin menipu Ibu. Dan aku ngga butuh uang Ibu. Yang aku butuhkan adalah tanggung jawab dari anak Ibu.’’ ‘’Anak aku ngga mungkin lahir tanpa seorang Ayah,’’ imbuhku yang membuat aku terisak. ‘’Nggak! Kamu pasti penipu! Akan saya laporkan ke polisi!’’ Dia mengancamku dan sepertinya masih tak percaya. ‘’Gimana kalo anak Ibu yang aku laporkan?’’ balasku kembali mengancamnya. Seketika sambungan telepon terputus. Mungkin karena signal yang kurang bersahabat. ‘’Arrgghhh! Bagaimana ini? Aku udah mengakui semuanya ke Mama Andre. Lah, dia masih nggak percaya.’’ Aku mengepalkan tangan dan mondar-mandir di kamar yang beberapa hari ini aku huni. ‘’Perutku semakin membesar seiring berjalannya waktu. Dan Andre
‘’Ka—karena aku sedang ha—hamil cucu Ibu.’’ Tenggorokan rasa tercekat. Aku mengusap perut yang mulai membesar. Membuat wanita separuh baya itu beralih memandangi perutku.‘’Hah? Kamu yang menelpon saya tadi? Beraninya kamu ke sini?’’‘’Aku berani ke sini, karena mau menemui Ibu. Anak kamu nggak mau tanggung jawab,’’ jelasku dengan suara bergetar memberanikan diri berbicara seadanya.‘’Nggak! Nggak mungkin. Andre anak saya nggak mungkin melakukan hal sekeji itu. Saya tahu bagaimana sikap anak saya!’’ sanggahnya tak percaya. ‘’Tapi itu kenyataan, Bu,’’ sahutku lirih dengan isakan tangis. ‘’Pergi kamu dari sini! Pergi!’’ usirnya dengan suara yang menggelegar. ‘’A—aku ngga akan pergi sebelum Ibu percaya sama aku!’’ ‘’Kamu itu harus dikasih pelajaran kayaknya!’’ Dia menyeret tanganku dengan kasar dan membawaku keluar dari rumahnya. Tubuhku luruh ke tanah. Perlahan aku berdiri kembali dan merangkul kakinya, untung saja satpam itu membiarkanku dan hanya menjadi penonton saja.‘’To—tolong
‘’A—apa?’’ Aku kaget dan menggeleng cepat. Tak mungkin aku berada di rumah Andre, aku ingat betul bagaimana Mamanya itu tak mempercayaiku dan menyeretku ke luar dari pekarangan rumahnya. Aku masih ingat ketika aku diguyur hujan lebat di pinggir jalan. Lalu kepalaku terasa pusing dan perutku pun terasa sakit, siapa yang membawaku ke sini? Apa anak buahnya Bu Karni?‘’Sudah! Kamu istirahat dulu. Ibu bikini teh hangat.’’ Senyumnya terbit, tak seperti tatkala aku mengakui semuanya ke dia sewaktu berada di depan rumahnya. Apakah ini permainannya? Kenapa dia begitu baik padaku? Kenapa dia bisa berubah secepat ini? Apa yang merasukinya? Duh! Kepalaku terasa pusing sekali, sedangkan wanita separuh baya itu bergegas berlalu meninggalkanku.’Sekarang biarkan aku pulih dulu. Setelah itu aku akan tanya ke Bu Karni kenapa dia bisa sebaik ini ke aku'Aku memijit kepala yang masih terasa nyut-nyutan. Aku mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan, ternyata aku sudah berada di sebuah kamar minimalis
‘’Terima kasih banyak, Dok.’’‘’Sama-sama, Bu. Kalau begitu mari jemput resep ke rumah saya!’’ Dia merapikan kembali tasnya dan bergegas berdiri.‘’Jangan banyak pikiran lagi ya, Mbak? Jaga kesehatannya, minum susu Ibu hamil, konsumsi makanan yang kaya serat seperti buah dan sayur. Minum banyak air serta banyak istirahat,’’ saran wanita yang memakai seragam putih itu. ‘’Baik, Dok. Terima kasih,’’ lirihku dan kembali membaringkan tubuh yang terasa masih lemas. Bu Karni bergegas mengikuti langkah Dokter itu. Seketika teringat olehku lelaki bajingan itu. Ke mana dia? Kenapa dari tadi aku tak melihat batang hidungnya? Apa dia sengaja menghilang? Untuk saat ini yang lebih penting adalah kesehatan aku dan janin yang ada di rahimku. Dari tadi aku tak melihat ponselku, di mana ia? Aku beralih menatap nakas, ternyata benda itu sudah terletak di sana. Aku yakin pasti Bu Karni yang meletakkan di sini.Dengan pelan aku duduk lalu meraih benda canggih itu. Aku khawatir ponselku tak bisa hidup k