Share

Penyesalanku

Meski berteriak demikian, di mobil, nyatanya buliran air mataku tak henti-hentinya mengalir.

Teringat olehku Andre dengan seenaknya membawa wanita lain setelah mendapatkan semuanya dariku. membuat Ayu menatapku dengan tatapan sendu.

‘’Aku pernah bilang ke kamu dulu kan, Monik? Jangan sembarangan menerima cinta lelaki dan jangan pacaran dulu. Kamu masih ingat nasehatku?’’ ucap  Ayu dengan lirih sembari masih fokus menyetir. Aku hanya mengangguk lemah.

’’Kenapa aku lupa semua itu, Yu? Kenapa?’’ teriakku. 

‘’Kamu tahu? Lelaki yang baik itu nggak akan mengajak pacaran apalagi melakukan hal yang nggak senonoh itu.’’  Aku hanya terdiam, menyesali semua perbuatanku. Kalau saja aku mau mendengarkan apa nasihat sahabatku, mungkin tak akan seperti ini kejadiannya. Aku diusir dari rumah, Mama dan Papa membenciku. Hidupku sekarang banyak menanggung beban yang tak mampu untuk  aku pikul sendirian. Kuseka buliran mataku dengan ujung kerudung.

Beberapa menit kemudian, kami telah sampai di kosan. Ayu menepikan mobilnya dan mematikan mesin mobil. Kami bergegas melangkah keluar dari mobil. 

‘’Kamu suka kost ini nggak? Mumpung nggak besar banget. Ntar kamu kesepian lagi,’’ tanyanya menunjuk kost yang sepertinya belum ada penghuninya.

‘’Aku suka banget, Yu. Nggak apa-apa,’’ aku mengangguk perlahan.

Ayu pun mengeluarkan ponselnya, dia menatap nomor yang tertera di dinding kost,  lalu disalinnya nomor itu. 

‘’Assalamua’laikum. Bu.’’

‘’Ini teman saya mau mengkost di kost Ibu,’’

‘’Baik, Bu. Kami tunggu.’’ Ayu pun memutuskan teleponnya. 

‘’Kita tunggu aja, Monik. Ibu itu mau ke sini.’’ Kami segera duduk di kursinya. Untuk melepaskan penat. Tak lama kemudian, datang wanita paruh baya, rambutnya pendek, dan berpakaian rok selutut. 

‘’Siapa yang mau ngekost di kost saya?’’ tanya wanita itu menghampiri kami.

‘’Ini, Bu. Monik, teman saya,’’ tunjuk Ayu mengarah padaku.

Dia menatapku dari atas hingga ke bawah seperti sedang menyeleksi karyawan saja.

’’Kamu hamil?’’ Kali ini nada suaranya naik satu tingkat. Pertanyaannya membuatku kaget, sebelumnya aku sudah punya firasat akan pertanyaan pemilik kos. Aku mengangguk cepat.

’’Su—suami aku sedang mencari nafkah, Bu. Jadi untuk sementara  aku tinggal di daerah ini.’’ Wanita separuh baya itu tak hentinya memandangiku.

’’Baiklah. Soalnya sejak ada berita viral wanita hamil di luar nikah menginap di kosan dan digrebek warga, membuat saya lebih teliti lagi menerima orang-orang yang mau ngekos di sini.’’

‘’Saya ngga mau terkena imbasnya dan kos ini bukan tempat menampung wanita hamil du luar nikah,’’ tegasnya yang membuat dadaku terasa sesak kemudian. Begitu juga dengan Ayu yang tampak menunduk.

‘’I—iya, Bu. Aku nggak bohong kok.’’ 

‘’Oke!’’

‘’Berapa sebulan ya, Bu?’’  Ayu mengalihkan pembicaraan.

‘’Sebulan 350.000,’’ sahutnya singkat. Dia sedari tadi tak henti-hentinya memperhatikanku. 

‘’Biasanya setiap kamar ada penghuninya. Sekarang mereka sedang berlibur di kampung mereka.’’ Aku merasa lega dengan ucapan wanita pemilik kos.

Tampak Ayu mengeluarkan beberapa uang kertas bewarna merah di dompetnya.

’’Ini, Bu. Saya bayar sebulan dulu. Kalau misalnya lebih waktunya sebulan teman saya nginap di sini, saya akan tambah lagi,’’ jelas Ayu menyodorkan, ibu itu langsung saja meraihnya dengan cepat.

‘’Oke. Ini kuncinya!’’

‘’Terima kasih, Bu,’’ lirihku yang langsung meraih anak kunci dari tangan pemilik kos. Dia hanya mengangguk dan berbalik tanpa permisi.

‘’Sebentar! Oh ya, saya belum membersihkannya jadi tolong kamu bersihkan sebersih mungkin!’’

Hah?

Belum sempat memproses, dia kembali menoleh dan menunjukku. 

‘’Satu lagi, setiap hari kos saya harus kamu bersihkan! Jangan sampai saya melihat kos kotor dan berantakan. Kamu paham?’’

Aku hanya mengangguk. 

Ya, Allah! Seram sekali ibu kost ini. Tak seenak tinggal di rumah sendiri. Aku menghela napasku perlahan.

‘’Pa—paham, Bu.’’ sahutku terbata. Sedangkan Ayu menggeleng saja. 

Sedangkan wanita itu melangkah kembali untuk pulang ke rumahnya yang kukira tak jauh dari sini. Aku dan Ayu saling tatapan.

‘’Begini rasanya punya Ibu kos toh, Yu?’’ tanyaku dengan lirih, sembari menarik napas.

‘’Iya. Makanya lebih enak tinggal di rumah sendiri,’’ jawab Ayu.  Aku membenarkan ucapan Ayu dalam hati. 

‘’Ya sudah. Aku ambil baju kamu dulu di mobil ya.’’ Dia melangkah ke tempat parkiran mobilnya. Dan menenteng plastik berukuran besar yang berisi pakaian. 

‘’Bukannya kamu mau pulang?’’ tanyaku heran.

‘’Aku mau membantu kamu membereskan kos dulu.’’ Dia bergegas membuntutiku.

**

Aku menyeka keringat yang bercucuran. Aku merasa begitu lelah setelah membersihkan kos, padahal bukan aku bukan sendirian membersihkannya. Melainkan dibantu oleh sahabatku.

Membuat aku teringat suasana rumah, aku belum pernah merasa selelah ini membersihkan rumah karena Mama juga tak lepas tangan membiarkan anaknya bekerja sendirian. Kini badanku rasanya mudah lelah, tak seperti dulu.

‘’Atau karena aku sedang hamil kali, ya? Jadi mudah lelah,’’ gumamku sambil menghenyak di kursi dan menikmati hembusan angina menerpa kerudungku.

Seketika membayang di pikiranku di saat Papa mengusirku dan menyeretku begitu saja keluar dari rumah. Dulu beliau begitu memanjakanku, bahkan tak pernah membentakku sekali pun. Kini? Kata-kata kasar, makian, dan bahkan beliau menamparku.

Aku mengerti bahwa Papa begitu marah dan kecewa atas apa yang sudah aku perbuat. Tanganku bergerak mengelus perut yang sudah mulai membesar. Bagaimana nasip anak ini? Kalau seandainya Andre tak mau bertanggung jawab, lalu bagaimana nasip anak ini yang lahir ke dunia tanpa seorang Bapak? 

‘’Maafkan Mama, Nak. Ngga seharusnya kamu seperti ini. Ini adalah kesalahan Mama sama Papa kamu. Jadinya kamu yang menanggung semua ini.’’ Suaraku bergetar menahan rasa sesak di dada, terlebih lagi jika ingat kemarahan dan kekecewaan Papa terhadapku.

‘’Aku sangat menyesal, Pa. Maafkan aku.’’ Tanpa sadar air mataku mengalir begitu saja. Aku sungguh menyesali apa yang aku perbuat.

Andaikan saja aku tak menerima cinta lelaki itu dan andaikan saja aku bisa lebih mengontrol perasaanku, mungkin kejadiannya tak kan seperti ini. Padahal Ayu juga melarangku untuk pacaran dengan lelaki itu, bahkan berkali-kali dia mengingatkan aku. Aku malah membencinya dan menganggap Ayu iri pada aku. Astagfirullah, Ya Allah! Apa aku masih pantas menyebut nama-Mu?

‘’Monik?’’ Aku bergegas menyeka buliran air mataku. Ternyata Ayu sudah berada di sampingku. Entah sejak kapan dia duduk di sini.

‘’Ka—kamu…’’

‘’Jangan berlarut-larut begitu, Monik. Aku paham dan mengerti apa yang kamu rasakan.’’

‘’Semuanya udah terjadi. Ngga akan bisa dikembalikan lagi. Perbanyak saja berdoa dan mendekatkan diri pada Allah, ya?’’

‘’Aku yakin cepat atau lambat Om insyaaAllah akan mau menerima kamu kembali di rumah. Saat ini beliau cuma kecewa berat atas apa yang terjadi sama kamu.’’ Membuat aku terisak dengan ucapan Ayu.

‘’Apalagi kamu adalah anak satu-satunya, Om. Jadi mana mungkin Om akan membenci kamu untuk selamanya.’’

Bersambung.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status