‘’Apa kamu yakin, Monik?’’ tanya Ayu kembali. ‘’Aku yakin banget, Yu. Apalagi perutku semakin membesar. Aku butuh biaya untuk persalinan. Kamu kan tahu, Mama dan Papa sampai sekarang belum bisa mema’afkanku. Andre pun belum tentu mau menikahiku,’’ jelasku panjang lebar. Aku tak punya pilihan lain selain menjual hadiah pemberian Andre. Perutku makin membesar dan sebentar lagi aku bakalan melahirkan, tentu butuh biaya yang sangat besar. Apalagi sekarang aku hanya memegang uang puluhan ribu saja, itu pun tak sampai untuk keperluan sehari-hari. Andaikan saja bu Karni memberiku sedikit uang untuk biaya sehari-hari. Tapi, diberi tempat tinggal saja untukku sudah merasa bersyukur sekali. Seandainya bu Karni tak membawaku ke sini, di mana aku akan tinggal? ‘’Ya udah deh, kalau kayak gitu katamu. Aku akan bantuin,’’‘’Terima kasih, Sahabatku,’’ aku tersenyum lega.‘’Sama-sama. Kamu jangan lupa sholat, jangan biarkan dirimu bergelimang dosa selamanya,’’ nasihat Ayu mampu membuatku merenung
‘’Kenapa Mama ngebelain nih perempuan nggak tahu diri? Hah? Kenapa, Ma?’’ bentak pak Ardi sembari memandangi istrinya yang tengah menghampiriku. Rahangnya tampak mengeras dan mengepalkan tangannya, yang membuat aku semakin dihantui rasa takut. Sebegitu bencinya lelaki itu kepadaku. Aku tahu, kalau aku salah dan hamil di luar nikah, tetapi bukankah ini semua salah putranya juga? Dia tak bisa menyalahkan sepihak saja. ‘’Sudahlah, Pa! Malu sama tetangga loh. Lagian kenapa nggak minta tolong sama Bibi aja sih, Pa?’’ ucapnya lirih. Nah benar apa yang dikatakan bu Karni. Asisten rumah tangganya ada. Lah, ini malah memaksa aku untuk memasak seleranya. Sungguh aneh, bukan? ‘’Biarin! Dia kan cuman menumpang di sini, jadi nggak segampang itu bisa tinggal bersama kita, Ma!’’ ketusnya sembari membuang muka. Seketika bu Karni menggeleng.‘’Masuk ke kamar, Monik!’’ titah wanita separuh baya itu. Perlahan aku melangkah, hampir dicegah oleh lelaki sangar itu. Untung saja ada bu Karni yang baik h
‘’Maafkan aku, Bu,’’ batinku.‘’Jangan dimasukin ke dalam hati semua kata-kata Pak Ardi ya?’’ pinta bu Karni.‘’Aku nggak tahu harus ngomong apa lagi, Bu. Ibu mau saja menolong aku yang banyak dosa ini.’’ Tangisanku pecah seketika.‘’Huushh! Kamu lihat Ibu! Nggak boleh ngomong kayak begitu, semua orang punya banyak dosa, dan kamu belum terlambat untuk bertaubat.’’ Bu Karni memandangiku, lalu memelukku erat.‘’Iya, Bu. Ibu benar. Makasih sekali lagi ya, Bu.’’ Perlahan aku melepaskan pelukan. Bu Karni hanya mengangguk dan tersenyum, lalu menyeka buliran air mataku dengan tangannya, ‘’Ya udah, tuh dimakan dulu makanannya. Pasti kamu sudah lapar kan?’’Aku mengangguk dan meraih makanan yang dihantarkan oleh bu Karni.‘’Kalau begitu, Ibu keluar dulu ya. Makan nasimu dan habiskan, ingat jangan banyak pikiran!’’ Nasihat bu Karni sembari beranjak dari duduknya. Aku hanya mengangguk perlahan, beliau pun melangkah keluar. ‘’Melihat nasi aja aku udah nggak selera. Padahal sambalnya enak, tapi
‘’Aku yakin semua rencanaku akan berjalan dengan lancar dan sesuai yang aku inginkan. Lihat aja nanti, Ndre! Kamu belum tahu bagaimana aku sebenarnya. Aku nggak akan tinggal diam atas semua perlakuan kamu terhadap sahabatku,’’ bisik hatiku sembari duduk santai ditemani secangkir teh hangat.Sudah beberapa hari ini aku merencanakan sesuatu, tentu dengan bantuan dari orang terdekatku. Aku yakin untuk kali ini rencanaku akan berhasil. Lalu Andre akan mau bertanggung jawab atas semua yang telah dilakukannya terhadap sahabatku. Aku tersenyum tipis lalu menyeruput secangkir teh yang masih tersisa. Lalu kuraih benda canggih yang terletak di meja. Aku langsung menekan kontak seseorang.Berdering.‘’Assalamua’laikum! Kamu jadi kan melanjutkan rencana kita?’’‘’Wa’alaikumussalam! Jadi dong. Kamu jangan khawatir. Kan aku udah janji bakal bantu kamu sampai masalah ini tuntas.’’ Suaranya di seberang sana yang membuat aku tersenyum.‘’Alhamdulillah kalo gitu. Aku harap semuanya berjalan dengan lan
Aku memutuskan sambungan sepihak, langsung aku menstater si roda empat hingga membelah jalanan raya.Aku akan usahakan semampuku untuk membantu Monik, sahabatku. Walaupun dia hamil di luar nikah, bukan berarti aku juga ikut membencinya dan membiarkan dia begitu saja. Apalagi saat ini dia tak punya sesiapa untuk merangkul dan menasehatinya. Aku begitu kenal seorang Monik yang selalu menjaga dirinya dulu ketika dia belum berpacaran dengan Andre. Tetapi setelah dia mengenal cinta dan berpacaran dengan lelaki itu membuat dia berubah. Karena cinta membuat dia buta dan menyerahkan segalanya.Aku teringat ketika aku melarang Monik berpacaran dengan Andre, hingga membuat dia menjauhiku, dia bilang kalau aku iri dengan hubungannya yang begitu romantis. Padahal tak ada di hatiku sedikit pun merasa iri. Aku hanya tak ingin sahabatku salah dalam pergaulannya dan menempuh jalan yang sangat dibenci oleh Allah. Dan kini? Apa yang terjadi? Semua kekhawatirkanku itu terjadi. Andaikan saja Monik mau
‘’Eh, perutku lapar banget ini. Mana Bibi belum bawa makanan lagi. Biasanya siang begini sudah bawa roti atau susu untukku. Ini ke mana sih si Bibi?’’ bisikku sembari mondar-mandir memegang perutku yang semakin hari membesar. Ya, perutku terasa sangat lapar, apalagi aku tengah hamil besar. Makin ke sini, aku mudah lapar. ‘’Atau Bibi lagi sibuk kali ya? Aku cari sendiri aja deh.’’ Aku bergegas melangkah ke ruang makan. ‘’Eh, Monik! Bibi baru saja mau membawakan makanan ke kamar. Ma’af telat, tadi dapat telepon dari kampung,’’ lirih Bibi sembari menenteng nampan yang berisi roti dan segelas susu. ‘’Iya, Bi. Aku lapar banget nih.’’ ‘’Nggak apa-apa. Aku ambil ya, Bi.’’ ‘’Ya udah, Monik. Bibi kembali beres-beres dulu ya. Nanti jika Monik butuh apa-apa tinggal panggil Bibi aja atau hubungi nomor Bibi.’’ Bibi terkekeh menatapku. ‘’Siap, Bi. Bibi bisa aja.’’ Aku tertawa kecil sembari memandangi Bibi yang menghilang dari pandanganku. Sementara aku masih menenteng makanan. Ahh! Dibaw
Duhh! Terkadang aku rindu dengan mama dan papa. Apa beliau tak merasakan hal yang sama? Entahlah! Mungkin karena kebenciannya terhadapku rindu itu hilang begitu saja. Kebencian beliau kepadaku mengalahkan rasa rindu. Tetapi, apakah beliau tak mengkhawatirkanku sedikit pun? Setidaknya bertanya kabarku. Ahh! Segitu bencikah mama dan papa kepadaku. Sudahlah! Lebih baik kuhubungi Ayu terlebih dahulu.Berdering.‘’Assalamua’laikum, Yu! Kamu sedang nggak sibuk kan?’’‘’Wa’alaikumussalam, Monik. Enggak juga kok. Ini sedang duduk santai aja.’’‘’Alhamdulillah kalo gitu. Yu, makasih banyak ya. Kamu sudah banyak banget membantuku.’’‘’Sama-sama. Ya Allah, biasa aja napa! Kamu kan sahabatku. Jadi, udah tanggung jawabku untuk membantumu. By the way, Andre sudah ke rumahnya kan?’’‘’Iya, Yu. Kamu sudah banyak membantuku.’’‘’Aku beruntung punya sahabat kayakmu, Yu. Andre Alhamdulillah sudah pulang. Itu berkat kamu dan Dion.’’‘’Monik, aku senang jika bisa membantumu. Syukurlah, jika Andre udah pu
‘’Pa, aku udah janji akan bertanggung jawab atas semua yang udah kulakukan terhadap Monik,’’ ucap Andre lirih yang tengah memandangi pak Ardi.‘’Apa? Kamu mikir dong, Ndre. Tolong dengarkan kata Papa. Papa nggak setuju kamu menikahi perempuan nggak beres itu!’’ bentaknya sembari menatap Andre dengan tatapan tajam membuat Andre menunduk. Perempuan tak beres? Dasar egois! Bukankah ini semua salah anaknya juga? Kenapa aku sendiri yang disalahkan? Begitu hinakah aku dimata papanya?‘’Itu semua gegara Andre juga, Pa,’’ jawab Andre pelan.‘’Sejak kapan kamu begini? Hah? Kamu akan ikutan dihina dan dicaci maki orang-orang, Ndre. Keluarga kita ini keluarga terpandang!’’ geramnya.Allah! Kenapa seolah matanya buta, tak melihat kejadian yang sebenarnya. Kenapa dia malah menyalahkan sepihak saja? Aku menghela napas berat.‘’Pa. sudahlah! Aku mau beristirahat dulu,’’ kata Andre pelan dan bergegas bangkit, namun papanya menghambat langkah Andre seketika.‘’Kamu nggak sopan. Orang tua bicara bukan
Kupandangi bayiku masih terlelap di pangkuan mama. Beberapa menit kemudian, kami telah sampai di depan rumah. Papa bergegas mematikan mesin mobil, lalu membukakan pintu untuk kami.Aku melangkah keluar, seketika tetangga menatapku dengan tatapan aneh dan tajam. Terlebih mama yang tengah menggendong bayiku, tatapan mereka begitu tajam menatap mama.‘’Eh, Bu Elsa bawa bayi. Cucunya ya?’’ tanya salah seorang tetangga dengan senyum mengejek. Kupandangi mama hanya menunduk.‘’Anakku aja udah daftar kuliah loh. Eh, Monik malah udah punya bayi.’’‘’Ayahnya siapa tuh? Jangan-jangan nggak tahu siapa Ayahnya lagi,’’ ketusnya dengan senyuman sinis.‘’Nah bener, nggak pulang-pulang selama beberapa bulan. Eh, tahu-tahunya udah punya baby aja. Makanya Bu Elsa sama Pak Indra anak tuh dididik dengan baik, jangan biarkan keluar malem-malem. Ini kerja aja terus, sampai lupa dengan anak satu-satunya.’’ ‘’Iya, kaya banget tapi anaknya hamil di luar nikah. Ihh, ngeri!’’ ucapnya bergedik ngeri.‘’Jangan
‘’Ja—jangan, Nak. Dia paham kok kenapa Mama dan Papa mengusirnya. Dan kemaren kami juga udah saling minta ma’af.’’ Mama mencoba mencegahku. Ucapan mama membuat aku lega.‘’Tapi kok sekarang Bu Karni nggak menemui aku lagi, Ma?’’‘’Kamu tenang aja, dia akan menemuimu kok. Mama ada janjian kemaren dengannya, jika kamu udah bisa pulang ke rumah dan udah beneran pulih, Mama akan telpon dia. Mama juga akan bicara soal pernikahan kamu dengan Andre’’ jelas mama panjang lebar. ‘’Bu—bukannya Papa—‘’‘’Iya, sekarang Papamu udah bisa menerima dan mema’afkan Andre. Ini semua demi kebaikanmu dan cucu Mama,’’ kata mama sembari menunjukkan seulas senyuman.‘’Iya, Ma. Syukurlah, makasih ya Ma.’’‘’Ta—tapi, apakah Andre mau menikahi aku dengan kondisi kayak gini. Ahh, bukannya ini karena perbuatannya juga,’’ batinku. Mama mengangguk sembari tersenyum,’’Yaudah, yuk!’’ Mama meraih koper dan membantuku untuk berjalan. Aku merasa berada di awang-awang rasanya. Tubuhku terasa sangat ringan. Mungkin kare
Tubuhku mulai terasa pulih kembali setelah seminggu lebih terbaring di brankar. Alhamdulillah aku sudah diberi izin pulang kembali oleh pihak rumah sakit.‘’Kamu memang beneran udah sehat kan, Monik?’’ tanya mama sekilas menatapku, beliau sedang membereskan semua baju-bajuku ke dalam koper. Aku mengangguk lalu tersenyum, ‘’Alhamdulillah udah kok, Ma. Tapi, aku boleh nggak ngekost aja sama bayiku,’’ sahutku pelan. Karena aku tak mau nanti kedua orang tuaku jadi bahan gunjingan lagi karena ulahku. Apalagi jika aku membawa bayiku kembali ke rumah.Mama seketika kaget dan ada rasa yang tak bisa kutafsirkan dari wajah mama, tetapi masih berusaha untuk tersenyum.’’Mama kenapa ya?’’ batinku yang terus menelusuri wajah mama.‘’Ka—kamu udah kembali sehat, Nak,’’ ucap beliau dengan lirih dan terus saja menatapku.‘’Ma—maksud, Mama?’’ tanyaku heran. Apa maksud mama ya? Mama seketika mendekat ke arahku.‘’Beberapa hari setelah kamu melahirkan, sikap kamu aneh dan kamu bilang kalo bayi itu bu
‘’Ma, Mama kenapa? Apa yang terjadi sama anak kita?’’ lelaki yang tiga puluh delapan tahun menemaniku itu menghampiri aku yang masih menangis dengan sesegukan sembari bersandar di dinding. Dia spontan memelukku.‘’Mo—Monik, Pa,’’ lirihku, nyaris tak terdengar olehnya. ‘’Kenapa dengan Monik, Ma?’’‘’Dia depresi kata Dokter. Sejak tadi dia menangis nggak jelas dan mengamuk, apalagi setelah mendengar nama lelaki brengsek itu.’’Membuat suamiku melepaskan pelukannya pelan, tampak dari wajahnya yang begitu berubah. Dia mengusap mukanya dengan kasar.‘’Astaghfirullah!’’‘’Lelaki itu berani ke sini menampakkan mukanya? Kenapa Mama nggak katakan sama Papa?’’ tangannya tampak mengepal dan rahangnya mengeras. Aku menyeka air mataku dengan kasar.‘’Bukan dia, Pa. Tapi Mamanya yang ke sini,’’ kataku pelan. Ya, dia tak tahu siapa sebenarnya mama Andre. Jika dia tahu bahwa mama Andre itu adalah Karni, pasti akan membuat suamiku makin menyimpan kebencian dan dendam pada wanita itu. Apalagi setelah
‘’Saya akan memberikan obat penenang sementara untuknya.’’ dia tampak bergegas bangkit dan melangkah ke lemari obat-obat itu. Tangannya meraih beberapa pil obat. Raut mukanya menggambarkan kepanikan dan melangkah ke luar dari ruangannya mungkin menuju ruang rawat anakku, aku pun mengikuti dari belakang.‘’Tenanglah, Mba. Istighfar.’’ ‘’Aku nggak melahirkan! Nggak!’’ dia terus saja berteriak sambil menangis. Air mataku terus saja berjatuhan dan hatiku begitu perih.‘’Bayinya nggak mau diem sejak tadi, Dok. Apa dia mau minta susu?’ Jadi cucuku tak bisa diam? Kenapa aku tak tahu dan tak mendengar tangisannya dari tadi, saking tak terarahnya pikiranku. Apa yang harus aku lakukan? Apalagi dengan keadaan mamanya yang seperti ini. Jangankan untuk menyusui, menggendong saja dia tak mau.‘’Dia haus mungkin, Sus. Buatkan saja susu SGM dulu ya, kita nggak bisa memaksakannya untuk mengasih ASI ke bayinya,’’ kata dokter itu yang tengah memasuki ruangan rawat Monik.Perih rasanya. Dan tubuhku ter
‘’Memangnya aku kenapa, Ma? Habis kecelakaan?’’ ‘’A—apa maksud, Monik? Apa dia berpura-pura?’’ batinku. Yang merasa ada keanehan pada anak semata wayangku itu.‘’Kamu habis melahirkan, Nak,’’ sahutku pelan. Aku berusaha menahan buliran air mata yang hendak berjatuhan.‘’A—apa? Ini nggak mungkin, Ma. Aku belum menikah, kenapa bisa melahirkan begini. Nggaakk!’’ ‘’Ya Allah, bukannya ini semua akibatmu sendiri, hah?’’ aku menunjuknya dengan telunjuk kiri dengan tangan gemetaran. Emosiku sungguh tak bisa ditahan lagi. Enak saja dia berkata seperti itu. Padahal ini adalah hasil perbuatannya. Kini dia seolah berpura-pura tak ingat semuanya. Karena ulahnya membuat aku malu dengan tetangga, yang bahkan setiap hari menggunjing aku dan suami. Sudah sembilan bulan lebih lamanya aku dan suamiku membiarkannya seorang diri di luar sana. Papanya mengusirnya ketika sudah tahu kalau dia tengah mengandung bayi yang bukan pada waktunya. Aku pun tak bisa melarang papanya agar tak mengusir dia dari dari
‘’Tolong, aku ingin meminta ma’af dan do’a dari mereka.’’ Nyaris tak terdengar olehnya.Seketika suster itu menghentikan langkahnya, lalu mendekat di sampingku.‘’Iya, Mba. Akan saya bantu nanti ya.’’‘’Ma—makasih, Sus.’’‘’Sama-sama, Mba. Jangan banyak bicara dulu, jangan banyak pikiran dan banyakin istighfar ya, Mba.’’‘’Saya keluar dulu.’’Beberapa orang wanita yang berpakaian seragam putih itu bergegas melangkah keluar. Makin ke sini kontraksi sering datang, dengan rasa sakit yang amat mendalam.Beberapa menit kemudian.‘’Moniik!’’ panggilnya dengan isakan tangis. Bergegas menghampiriku yang terbaring lemah. Lantas mengenggam tanganku dengan erat.‘’Ma—ma’afkan aku ya, Ma, Pa,’’ lirihku terbata.Mudahan dengan datangnya kedua orang tuaku, mereka bisa mema’afkanku dan mendo’akanku agar lancar dalam operasi melahirkan. Karena do’a kedua orang tua itu adalah mustajab. Seharusnya jauh sebelum melahirkan aku sudah meminta ma’af kepada kedua orang tuaku, karena aku sudah membuat mereka
Aku membuka mata dengan pelan, kepalaku terasa sangat pusing, dan merasakan sakit di sekujur tubuhku, terlebih di area kew*nitaanku. Apa aku sudah melahirkan? Kucoba memeriksa perutku perlahan.‘’Ya Allah ternyata aku belum melahirkan. Aku di mana?’’ Aku pandangi seluruh ruangan, tampak seorang wanita yang berpakaian seragam putih tengah mempersiapkan sesuatu, entah apa. Aku pun tak tahu. Oh iya, semua alat medis terpasang indah di tubuhku.Ada apa denganku? Kenapa sampai sekarang aku tak kunjung melahirkan? Rasanya tubuhku begitu lelah. Oh iya, kira-kira siapa yang membawaku ke rumah sakit? Aku teringat ketika aku merasakan pusing di tepi jalan itu dan aku tak ingat apa-apa lagi. Apa mungkin Ayu yang membawaku ke sini? Lalu siapa lagi kalau bukan Ayu.‘’Arrgghhhh!!’’ perutku bagian bawah terasa sangat sakit.‘’ Syukurlah Mba sudah sadar. Bertahanlah, akan saya panggilkan dokter.’’ Wanita yang berpakaian seragam putih itu menghampiriku dengan wajah cemas. Lalu berlari keluar dari ruan
‘’Ya Allah, kok bisa?’’‘’Ceritanya panjang, nanti akan kuceritakan. Sekarang jemput aku ya.’’‘’Aku akan jemput, tapi ini aku masih di rumah sakit menemani Nenek. Beliau dirawat.’’‘’Ya Allah, Nenek masuk rumah sakit? Kok kamu nggak cerita, Yu.’’‘’Iya, Monik. Gimana aku mau cerita, karena beliau baru saja masuk rumah sakit. Dan juga aku nggak mau menambah beban pikiran kamu.’’‘’Ya udah, kamu di mana sekarang. Biar aku jemput, tapi aku tunggu dulu Bunda biar Nenek ada yang jagain. Soalnya Bunda tadi sedang mengurus surat-surat keperluan Nenek,’’ imbuhnya di seberang sana.‘’Aku udah jauh dari kost itu, nanti kukirimkan alamatnya.’’‘’ Iya, Yu. Tapi cepetan ya, aku capek banget rasanya nih.’’‘’Iya, kamu cari tempat duduk dulu di sana. Biar bisa istirahat.’’‘’Jangan kemana-mana ya, tunggu aku. Oke.’’‘’Assalamua’laikum.’’Aku bergegas memasukkan kembali benda pipih milikku ke saku-saku. Seketika perutku terasa keroncongan. Ya, ternyata perutku belum diisi makanan apapun sejak tadi p