Hari itu juga kami membawa ayah mertua pulang ke rumahnya. Aku memang tidak semobil dengan mobil yang membawa jenazah, demi menghindari konflik dan tidak membuat malu keluarga di depan banyak orang.
Kukemudikan mobil lalu menjemput anak-anak kemudian mengajak mereka pulang ke rumah untuk berganti baju, lalu pergi melayat. Jangan tanya Bagaimana reaksi anakku ketika tahu bahwa kakek mereka meninggal dunia, mereka sangat sedih dan terpukul, tidak mampu menahan perasaan dan tangisannya.Saat aku tiba di rumah duka jenazah sedang dimandikan, para kerabat dan handai taulan berkumpul untuk berbela sungkawa dan duduk menghibur tuan rumah. Ibu mertua masih menangis sementara Mas Alvin dan Disha sibuk menyambut para tamu, raut mereka sedih, tapi mereka tetap berusaha tegar. Sesekali Mas alvin tersenyum tipis pada orang yang berusaha menguatkan perasaannya. Sikapnya seakan tidak punya dosa dan seolah kematian ayahnya bukan karena perbuatannya.Aku sendiri, memilih duduk sedikit jauh dari kerumunan orang agar ibu mertua tidak terus menatap sinis dan murka kepadaku lalu mempermalukan dirinya sendiri. Kupilih untuk tetap diam dan tenang, sedikit membantu anggota keluarga untuk membagikan air dan membantu kerepotan mereka.*Usai acara pemakaman, tidak kuputuskan untuk langsung pulang, karena tak enak dengan saudara mertua dari kedua belah pihak, ada orang tuaku juga yang datang melayat juga teman teman Mas Alvin. Mereka mengenalku dan kami akrab karena suamiku kerap mengajak teman temannya makan malam ke rumah kami.Pukul empat sore tamu mulai berkurang, hanya beberapa tetangga yang sibuk menyiapkan hidangan untuk tahlil nanti malam. Aku yang saat itu sedang sibuk menyapu bekas para tamu di ruang tengah langsung dipanggil ibu ke kamarnya. Dengan wajah dingin dan mata tajam, dia memanggilku."Iya, Bu.""Siapa lagi yang tahu kejadian ini selain kamu?!""Tidak ada!""Berikan ponselmu!""Untuk apa?""Aku ingin menghapus semua jejak perbuatan anakku agar itu tidak jadi masalah di kemudian hari," jawabnya datar."Aku sudah menghapusnya Bu." Sebenarnya aku sudah menyembunyikan file itu di sebuah folder yang bisa dihilangkan dari beranda, Jadi Ibu tidak akan pernah menemukannya. Memeriksa ponselku wanita itu lalu mengembalikannya sambil menghela nafas."Aku tidak mau kejadian ini terulang lagi, meski Aku sangat membencimu tapi kita harus bicara dari hati ke hati. Katakan saja apa yang kau harapkan setelah ini? Apakah kau akan menuntut cerai dan minta kompensasi?""Tidak aku masih ingin mempertahankan Rumah tanggaku, meski segala sesuatu tidak akan lagi sama. Ibu bisa bayangkan kan, ketika suamimu berhubungan dengan wanita lain akan seperti apa rasanya ketika dia melakukannya denganmu," jawabku."Jadi kau jijik dengan anakku?""Tidak, aku tidak bermaksud begitu, aku hanya, butuh waktu, Bu.""Ah, kau menyebalkan sekali," jawabnya."Maafkan aku.""Aku masih dendam padamu, aku murka karena kau mengirim pesan itu pada suamiku, aku benci padamu sebenci bencinya.""Maafkan aku Bu....""Jangan coba-coba berharap bahwa kau akan mendapatkan warisan dariku. Meski tadinya aset kami akan dibagi dua bersamamu dan Disha, tapi, kuputuskan untuk menahan itu sampai batas waktu yang tidak ditentukan.""Saya tidak berdaya dan tidak mampu memaksakan kehendak. Saya juga tidak begitu berambisi untuk mendapatkan harta, apa yang diberikan seseorang dengan ikhlas akan saya terima, tapi jika tidak, maka tidak usah." Mendengar wanita itu mendesis selalu tertawa."Mana ada keluarga dari kalangan menengah yang menolak harta dan juga warisan, kecuali itu orang bodoh.""Aku akan senang jika mendapatkan rezeki Tapi tentu saja rezeki itu diambil dengan cara yang halal.""Hah, ... Masih membicarakan halal setelah kau sendiri yang membunuh ayah mertuamu?""Aku tidak bermaksud untuk membunuhnya justru aku ingin memperlihatkan kelakuan suamiku agar ayah bisa mengambil tindakan yang tegas, aku benar-benar merasa bersalah.""Mulai sekarang aku akan sangat memusuhimu dan membencimu! Enyahlah kau dari hadapanku dan berpura-puralah baik sampai acara kematian suamiku selesai.""Baik ibu." Aku berlalu dari hadapannya tanpa ekspresi apa apa."Oh ya, Aku ingin sekali berkenalan dengan selingkuhan Alvin, Mungkin saja dia adalah kandidat menantu yang ideal."Oh, ucapannya benar benar membuatku kesal.Mungkin dia ingin membuatku kesal dan menguni ketahanan hatiku, dia mengatakan itu dengan wajah sinis sementara aku hanya tersenyum lebar. Dia tertegun melihat reaksiku yang santai."Boleh saja Bu, tapi sayang, saya tidak punya nomor telponnya. Mungkin ibu bisa dapatkan itu dari Mas Alvin.""Baiklah, aku akan memintanya, kau boleh pergi," jawabnya dingin."Baiklah," jawabku sambil membalikkan badan, mengubah ekspresi wajah dari senyum ke ekspresi marah, kesalnya seakan menumpuk di hatiku.*Kurebahkan diri di tempat tidur, kusentuh perlahan seprai yang halusnya sama seperti gaun tidur sutraku, bantal yang ada di sampingku masih kosong, karena suamiku belum pulang sampai saat ini. Perlahan kerinduan dan hasrat ingin dipeluk olehnya membuncah di hatiku, sayangnya, harapan itu tak akan terwujud secepatnya karena ya ... seperti itulah, hubungan kami sudah kaku.*Pukul 01.00 malam aku terbangun dan menyadari diriku berada dalam pelukan hangat seseorang. Teryata itu adalah Mas Alvin. Kuco
"Aku bersumpah!" ucapnya mencoba meyakinkan aku."Kalau begitu, segera pulang dan mari berdoa untuk ayah mertua. Aku yang bukan anaknya saja, sangat peduli dengan acara ini, lalu ada apa denganmu?" tanyaku dengan tawa sinis."Ba-baiklah, aku akan sampai dalam tiga puluh menit.""Tidak, itu terlalu lama.""Aku harus pulang dan ganti baju.""Aku bawa baju untukmu, jadi langsung aja kemari!" tegasku."Baiklah," jawabnya, yang pada akhirnya tidak punya pilihan.Kumatikan ponsel, kusimpan dalam tas lalu kutemui anak anak yang terlihat sedang bermain dengan sepupunya di lantai dua. Kuminta pada mereka untuk duduk tenang agar tidak menjadi perhatian para hadirin dan membuat malu itu mertua."Duduklah yang rapi, kalian boleh bermain iPad di kamar atau nonton tv, jangan berlarian ya," ucapku dengan bujukan lembut."Iya, Bunda.""Terima kasih anak pintar," jawabku denga senyum lebar. Aku turun ke lantai bawah untuk membantu keluarga menata hidangan di meja, menerima tamu yang mulai berdatangan
"Aku tak sangka kau akan seberani ini," ucapku pada wanita itu ketika dia sedang mengantri makanan di meja prasmanan, dia memang mengantri di saat saat terakhir hingga aku bisa menghampirinya. Wanita berbaju mint itu tersenyum, bibirnya yang diber gincu pink merekah dengan lengkungan lebar."Apakah kau merasa takut bahwa aku akan berkenalan dan semakin akrab dengan ibu mertuamu?""Tidak sama sekali, aku justru ingin mempertontonkan kebusukan kamu berdua di hadapan semua orang. Sayangnya, ini momen yang kurang tepat," jawabku sambil meneguk minuman di tangan. Aku ingin sekali memukulnya, tapi sikap itu akan mengacaukan acara kematian yang penuh belas sungkawa. Aku tidak suka jadi pusat perhatian di momen yang salah."Jika kau tidak punya kepentingan, tolong tinggalkan aku dan biarkan aku menikmati hidangan ini," ucapnya dengan sombong."Tentu saja, bukannya kau begitu rakus hingga tanpa rasa malu pun kau telah menjadi tamu yang tak diundang.""Siapa bilang tak diundang, aku diajak ke
"jangan memaksaku untuk melakukan hal yang tidak kuinginkan, aku tidak mau menceraikanmu!""Kalau begitu jangan paksa aku untuk menggenggam bara api dan bertahan dalam luka yang kau timbulkan setiap harinya, aku selalu makan hati dan lama-lama bisa gila karena perselingkuhanmu, jadi tolong jangan paksa aku untuk bertahan dalam rumah tangga ini!"Mas Indra terbelalak, ponsel di pangkuannya terjatuh ke lantai dan anehnya dia tak memperdulikannya. Dia hanya menatap padaku sambil menahan air mata yang kini menganak sungai di pelupuk netranya."Jangan coba-coba untuk menjual air mata dan memasang wajah sedih, aku tidak termakan oleh kesedihan yang kau jual-jual itu. Dengar Mas, ceraikan saja Aku dan semuanya selesai.""Kenapa kau begitu bersih keras tidakkah kau memikirkan masa depan anak-anak kita ketika kita berpisah?""Akan lebih baik bagi mereka hidup denganku dan lepas dari situasi tegang seperti ini. Biarpun kita tidak bersama, tapi jika situasinya kondusif maka aku lebih menyukai ha
"Alvin, Rifki! Apa yang kalian lakukan, hentikan, kalian membuat kami malu," ucap Ibu yang tergopoh-gopoh mendekat dan melerai mereka." ... kenapa ini bisa terjadi?" ibu masih bertanya, sementara kedua anak dan keponakannya masih saling memandang dengan sengit."Ini salah saya Tante, maafkan saya, saya akan pergi sekarang," ucap Mona sambil menangkupkan tangan dan membalikkan badan."Kamu ya, kenapa harus memukul sodara kamu? Memangnya dia salah apa?" tanya Tante Hani pada ponakannya, suamiku."Saya lagi ngobrol Tante, dan dia tiba tiba dia menunjukkan kecemburuan dan tidak suka. Kalau memang tidak setuju orang lain dekat dengan temannya, kenapa dia harus mengajaknya kemari?""Apa hubunganmu dengan wanita cantik itu, Alvin?" tanya Ibunya Rifki dengan tatapan selidik pada ponakannya. "Kenapa kamu sampai harus memukul Rifki? Apakah wanita itu adalah milikmu?""Tidak juga!""Iya," selaku, wanita itu adalah pacarnya Mas Alvin. Aku menjawab seperti itu dan melipat tanganku di dada samb
Setelah Om Rasyid membalikkan badan kini dia mengedarkan pandangannya pada kami semua. Pria garang berwajah angker itu langsung kembali melotot dan menuding kami semua."Apalagi yang kalian tunggu berdiri di situ? Kenapa tidak masuk dan bantu para asisten untuk membereskan kekacauan yang ada di dalam rumah. Kenapa kalian tidak turut serta menjamu tamu dan malah membuat keributan? dasar tidak berguna!"Aku yang tidak menjawab apa-apa lantas kembalikan badan dan masuk ke dalam sementara ibu mertua hanya diam saja sambil memberi isyarat kepada putranya untuk ikut masuk."Alvin, tunggu kamu, aku ingin bicara!" Ucap om Rasyid."Iya Om, ada apa?""Temui aku di ruang belakang, aku akan bicara padamu!""Iya, om."Seusai memastikan para tamu sudah pulang, sembari minta maaf pada mereka jika telah merasa tidak nyaman, aku segera mengantarkan mereka ke gerbang lalu masuk lagi dan mencari suamiku yang ternyata sedang bertemu di teras belakang dengan omnya."Hah, ini Indira, kebetulan aku sedan
Melihat betapa tegasnya Om Rasyid, aku seakan diberi angin segar dengan hadirnya salah seorang anggota keluarga yang mendukung diri ini. Om Rasyid tampaknya bersikap tegas demi martabat dan kehormatan keluarga."Ba-baik, Om, saya akan telpon.""Sekarang juga!" ujar Paman suamiku dengan mata sangar. Bagaimana dia tidak ditakuti kalau dia adalah seorang pensiunan polisi, tubuhnya tinggi tegap dengan warna kulit sawo matang, ada kumis di atas bibirnya yang sedikit tebal serta tatapan matanya yang nanar."Kenapa lama sekali diangkat?!""Saya tidak tahu Om?""Haruskah aku menelponnya dari nomorku?""Tidak usah oM."Karena tidak kunjung menjawab juga akhirnya suamiku mulai menyerah menghubungi kekasihnya."Di mana wanita itu bekerja?""Dia menjadi bartender di sebuah club' yang cukup terkenal," jawab Mas Alvin."Pantas saja kelakuannya jalang, jika jam kerja dan dunianya adalah dunia malam.""Tapi Tidak semua seperti itu om ....""Kebanyakan begitu!" bentak Om Rasyid dengan tegas, suamiku k
"Baiklah aku akan diam, aku akan diam sampai kau merasa puas dan bertaubat dengan sendirinya." Aku membuang muka sambil melipat tangan di dada. Sesampainya di rumah, mobil kami masuk laku dengan kasarnya Mas Alvin menghentikan mobilnya di garasi. Aku dan anak anak hampir terbentur namun untung saja bisa menahan diri. "Mas, apa yang kau lakukan?!""Tidak sengaja," jawabnya datar. Tanpa banyak bicara lagi, lelaki itu turun dari Pajero lalu menutup pintu mobilnya dengan keras. Aku dan anak anak sampai menutup mata, karena merasa ngeri dengan begitu kencangnya suara pintu.Kuikuti langkah suami yang masuk ke dalam rumah, ia lepaskan sepatu lalu langsung masuk ke kamar utama.Ketika aku masuk kamar juga, dia nampak sedang mengambil selimut dari atas tempat tidur dan sebuah bantal."Kau mau kemana?""Aku akan tidur di ruang TV."Ya ampun, apakah itu bentuk protesnya pada diriku? kenapa? mengapa sikapnya seperti anak kecil kehilangan mainan."Terserah kau saja," jawabku pelan."Kita akan t
Sebulan kemudian setelah pertemuan mengharu biru itu. Mas Alvin tiba tiba menghubungiku. Secara mengejutkan aku yang sedang sibuk di toko melayani pembeli tiba-tiba mendapatkan panggilan dari nomor ponselnya.Agak heran juga mengingat sudah lama dia tidak menghubungiku. Terakhir kali kami bertemu, di saat aku dan dia mengunjungi Mona dan Elena di lapak jagung. Setelah pertemuan yang penuh dengan perasaan sedih itu, Mas Alvin kemudian mengantarkan mantan istri dan anaknya pulang ke rumah, melihat kondisi kos-kosan yang dihuni oleh Mona rasanya miris memang, Mas Alvin nampak sedih, tapi dia tidak bisa berbuat banyak. Ia hanya memberi uang kepada ibu dari putrinya itu, kemudian kami kembali ke ibukota."Halo, selamat pagi.""Pagi, gimana kabarnya?""Baik," jawabku."Gimana anak anak dan keluargamu?""Kami baik," jawabku lagi."Apa kau sibuk hari ini?""Ya, seperti biasa.""Sebenarnya aku ingin mengajakmu untuk mengunjungi elena."Untuk apa dia selalu mengajakku, Apakah canggung rasanya j
"Kupikir kau senang aku bercerai dengan Mona," ucapnya yang sukses menahan langkahku saat hampir saja menarik gagang pintu."Musibah dan ketidaknyamanan yang terjadi di antara kalian memang cukup menghibur untuk dilihat, tapi melibatkan bocah kecil dan membuat dia berada dalam situasi yang malang bukanlah hal yang bagus. Tolonglah sebagai ayahnya bertanggung jawablah, kasihan anak itu. Dia sudah sakit dan menderita dengan berbagai kekurangan yang dia miliki, mempertahankan rumah tanggamu dan tidak boleh menyerah sedikitpun atas anakmu.""Sudah ya, mendengarmu mengatakan ini saja sudah membuatku sangat tersinggung dan sakit hati, sudah cukup menceramahiku.""Kalau tidak demi Elena tentulah Aku tidak mau susah payah datang ke sini," jawabku sambil menjauh."Tunggu, baik ... baik, aku akan ikut denganmu," ucapnya sambil membereskan beberapa tumpukan kertas yang tadinya berserakan di atas meja kerjanya."Ada apa?" tanyaku heran. Sepertinya dia mulai terpengaruh dengan tingkahku yang ing
Sewaktu mobil meluncur Pergi aku kembali memikirkan bagaimana keadaan balita yang tadi masih dalam pelukan ibunya itu. Bagaimanapun dia tidak bersalah sehingga harus menanggung keadaan sepahit itu. Aku heran kenapa Mas ALvin tidak berusaha menahan anaknya tetap berada di sisinya dibandingkan mempercayakan bocah itu kepada Mona.Dia tahu sendiri bahwa keadaan mental dan emosional Mona tidak stabil juga dia tidak punya penghasilan tetap, Jadi bagaimana mungkin Mona bisa menjamin kehidupan Elena dengan benar."Kenapa diam sayang," tanya Mas Eko sambil mengendarai mobil dia menggenggam tanganku yang saat itu sedang menerawang memikirkan bocah tadi."Aku hanya memikirkan nasib bocah tadi dia ter batuk-batuk dalam keadaan kedinginan Mas Mana warung itu hanya ditutupi dengan terpal jadi sebagian air hujan tempias ke arah tempat tidurnya dan itu pasti membuatnya lembab," gumamku."Kau bahkan memperhatikan detail sekecil itu?""Iya.""Aku tidak bisa memaksamu untuk tidak memperhatikan orang la
Ada pemandangan yang mengejutkan ketika aku dan Mas Eko juga anak-anak kami tengah berlibur keluar daerah.Kami tiba di sebuah kota wisata yang cukup sejuk dengan perbukitan dan kebun teh yang membentang. Kuminta suami untuk menghentikan mobilnya di lapas seorang penjual jagung bakar. Terbit seleraku ingin mencicipi setelah dua jam perjalanan di tengah hujan dan cuaca dingin.Kubuka jendela mobil dan meminta pada si penjual agar memberiku jagung bakar dua puluh ribu."Baik, Bu, sebentar ya," jawab wanita itu sambil mendudukkan anak yang tadinya dia pangku seraya mengipasi jagung bakar."Turun aja Bund, pilih yang besar besar," ujar Mas Eko."Iya deh, aku turun," balasku yang segera merapatkan jaket dan turun dari mobil. "Ini jagungnya masih segar ya Bu, baru dipetik ya?" tanyaku pada wanita yang terus sibuk mengipasi dan membolak balikkan jagung di atas bara api."Iya Bu."Secara kebetulan aku dan dia saling berpandangan, aku terkejut, dia juga, entah kenapa begitu. Aku sekarang fam
"Tidak usah, Mas, aku rasa istrinya Mas ALvin akan mengatasi semuanya dan aku percaya bahwa itu tidak akan terjadi untuk berulang-ulang kali.""Aku sadar betul bahwa mantan suamimu tidak rela begitu saja kau berbahagia denganku tapi aku tidak menyangka bahwa manuvernya akan seserius ini, kupikir setelah menyadari bahwa kau ada yang punya, maka dia akan berhenti tapi ternyata dia semakin gigih saja.""Bukan aku saja yang mengalami setiap pengalaman seperti itu Mas, banyak orang yang menjalani perceraian tapi pasangannya belum benar-benar move on jadi mereka terganggu.""Aku pun tahu ... tapi aku tidak ingin kau termasuk dalam golongan itu. Aku ingin kita hidup tentram dan bahagia tanpa ada gangguan dari siapapun, dan ya, mantan suamimu yang mau gemar mencari gara-gara itu, dia benar-benar menguji kesabaranku.""Aku sudah tahu sejauh apa kesabaranmu Mas. Karena itu juga aku memilihmu sebagai suami," jawabku sambil mencoba menetramkan perasaannya."Katakan pada Alvin, jika dia masih tid
Melihat bahwa anak tiriku dan tentu saja anggota keluargaku yang lain merasa tidak nyaman dengan kedatangan Mas ALvin aku pun berjanji kepada mereka akan mengatasi situasi itu.Selesai makan dan beristirahat aku kemudian mandi dan mengganti pakaian sambil mengeringkan rambutku di balkon Aku kemudian mengirimkan pesan kepada ayahnya Rina dan gema.(Kenapa kau mencariku ke rumah suamiku Apa ada yang kau perlukan dariku? Kupikir hubungan kita sudah berakhir, jadi aku tidak akan pernah mendapatkan gangguan darimu, tapi nyatanya aku tidak pernah lepas dengan masalah itu!)Tak berselang lama pesan itu segera terbalas dan bunyinya.(Sejujurnya aku hanya rindu ingin melihatmu dan menyapamu.)(Kau sudah gila?)(Aku ingin melihat anak anak juga, mengapa setelah pernikahanmu rasanya sulit sekali untuk menemui anak-anak.)(Setelah mendapatkan sekolah baru dan tempat bimbingan belajar terbaik tentu saja intensitas kesibukan anak-anak meningkat belum lagi jadwal mengaji dan olahraga mereka jadi, h
"Astaga Mbak sombong sekali ya baru mendapatkan pebisnis seperti dia saja, kamu sudah luar biasa angkuhnya," ucapnya sambil melipat tangan di dada, ia mendesis dan mendelik penuh kebencian dan rasa iri."Tentu saja saya sangat bangga, suami saya adalah pria yang baik, romantis, pebisnis yang mandiri dan bukanlah budak korporasi seperti suamimu."Merasa disindir suaminya, wanita itu naik pitam dan kesal sekali."Tapi, sebudak-budaknya dia pernah jadi suamimu dan kamu pun pernah makan dari uangnya," ucap Mona dengan sinis.Melihat siatuasi kurang kondusif suamiku akhirnya ikut bicara juga."Begini, bisa kita bicara nanti saja, tolong minggirlah dari panggung karena beberapa tamu yang lain juga ingin bersalaman dan mengucapkan selamat," ucap Mas Eko dengan senyum kesal."Tsah .... anda tak sopan juga ya, padahal kami kemari menghadiri undangan Anda dengan baik.""Saya tidak ingat pernah mengundang Anda tapi, terima kasih atas kedatangannya," jawab Mas Eko."Hmm, pantas saja kalian ber
Setelah kepergian Mas ALvin aku lantas menyusuri pintu lalu naik ke lantai 2 lewat tangga samping. Saat ku buka ternyata anak-anak masih belum tidur Mereka berdiri di dekat jendela dan ternyata menyaksikan apa yang terjadi di antara aku dan ayahnya."Jadi papa dan Bunda bertengkar lagi?""Uhm, ti-tidak juga.""Apa, Papa ingin kembali pada Bunda?""Iya.""Kenapa Bunda tidak terima kalau masih ada kemungkinan?""Nggak mungkin dong Rina Papa udah menikah dengan perempuan lain sementara Bunda sudah terikat sama Om Eko.""Kalau gitu mestinya Papa tahu....""Mestinya sih sadar," balasku."Daritadi pagi sikap papa aneh.""Ya, benar. Tapi kalian tidak perlu memikirkannya karena setelah ini tidak akan ada gangguan lagi dalam kehidupan kita.""Maaf, menurut Bunda Papa adalah gangguan?""Bukan begitu ... Bunda hanya menghindari masalah agar istrinya tidak salah paham dan mencari gara-gara Bunda capek bertengkar dengan seseorang jadi, begitulah....""Baiklah, Bunda. Kalau begitu bunda nikah aja s
Anak-anak makan siang di sebuah restoran makanan khas Sunda. Telah memesan lauk dan lalapan khas yang selalu mengundang selera, kami pun berbincang membicarakan keseharian dan kegiatan sekolah anak anak. Rina dan Gema antusias bercerita ketika Mas Eko menanyai sementara aku menyimak sambil bermain ponsel.(Mas, ada apa kamu ke sekolahan anak anak? Kenapa denganmu hari ini, kemana mobilmu?)"Aku sengaja meninggalkannya di rumah karena ingin berjalan dan menikmati waktu, aku rindu anakku, Aku ingin menjumpai mereka tapi kalah cepat denganmu. Kulit mereka antusias sekali naik ke atas mobil itu dan kau juga terlihat sangat bahagia dan serasi dengan calon suamimu jadi aku merasa tidak berhak untuk mengganggu keadaan kalian.)(Tapi sepertinya kau nampak Frustrasi dan kecewa?)(Kecewa, enggaklah, ngapain aku kecewa, aku yang milih ninggalin kamu, jadi ngapain aku kecewa?) Agak berat sebelah sebenarnya karena baru siang tadi Dia terlihat sangat sedih saat menumpahkan ayam goreng di hadapank