Tokyo, salah satu kota modern yang tidak pernah tidur karena keramaiannya meski di malam hari sekalipun. Di dalam Tokyo Dome … sebuah stadion bisbol yang berada di Bunkyo, menjadi pusat keramaian malam ini. Dari luar, terlihat lampu yang menyorot terang sangat mampu memanjakan indera penglihatan siapa pun yang menatapnya. Namun, jika masuk ke bangunan menyerupai telur raksasa itu maka akan terlihat kemeriahan yang sesungguhnya. Tribun penonton berkapasitas 55.000, kini tengah dipenuhi oleh orang-orang yang sedang memegang ponsel yang sengaja dibiarkan menyala, mereka mengangkat ponsel tinggi di udara seraya menggoyang-goyangkannya mengikuti irama musik yang sedang mengalun. Semua lampu dimatikan sehingga cahaya dari layar ponsel yang menyala ibarat lampu hias yang sangat indah dipandang mata.
Tepat di area tengah, terdapat sebuah panggung berukuran besar. Sebuah panggung di mana berbagai jenis lampu sorot tengah bersinar dengan terang. Berdiri di atas panggung megah itu empat orang pria yang sedang memainkan alat musik masing-masing. Empat pria yang tidak lain merupakan personil group band bergenre pop rock yang tengah naik daun di Jepang, Black Shaddow.
Perhatian semua penonton tertuju pada keempat pria itu. Pada Okamoto Shuji … Bassis yang terlihat menawan dan menggoda karena dengan sengaja tampil bertelanjang dada, suara teriakan dari para penonton seketika membahana setiap pria itu memamerkan kemampuannya bermain bass seraya melompat-lompat di atas panggung. Pria yang berdiri di samping kiri Shuji merupakan sang gitaris, Tanaka Kenji. Pria berkumis itu kerap kali melakukan atraksi dengan bermain akustik di pertengahan lagu, kemampuan yang memukau karena selalu berhasil membuat para penonton berteriak histeris menyaksikan performanya.
Beralih pada sosok pria yang duduk di belakang drum, tidak salah lagi merupakan Kobayashi Ito, sang drummer berambut gondrong sebahu dengan kemampuan bermain drum-nya yang tak perlu diragukan lagi. Akan tetapi dari semua personil, tentu saja pria itu yang paling populer. Satu-satunya sosok yang terlihat menguasai panggung karena dia kerap kali berlari-lari untuk menyapa para penonton. Pria berparas tampan dengan suara khas yang terdengar sedikit serak tapi seksi merupakan sang vokalis Black Shaddow, Nakagawa Eiji.
Sebuah lagu berjudul ‘We Are’ tengah mengalun di dalam stadion. Lagu yang cukup populer karena pernah dinyanyikan salah satu band legendaris di negara matahari terbit, kini sedang dibawakan oleh Eiji. Malam ini merupakan konser perdana Black Shaddow di panggung megah sekelas Tokyo Dome. Meskipun Black Shaddow tergolong group band yang masih baru karena berdiri sekitar dua tahun yang lalu. Namun, keberadaan mereka sudah diakui seantero masyarakat Jepang. Semua penonton yang hadir di Tokyo Dome malam ini tidak lain merupakan penggemar berat mereka.
Lagu bergenre rock itu kini tengah dilantunkan oleh Eiji, “When you're standing on the edge. So young and hopeless. Got demons in your head.”
Ingin mengajak para penonton bernyanyi bersamanya, Eiji dengan sengaja mengarahkan mic ke arah para penonton. Sehingga dengan serempak semua penonton menyanyikan lirik selanjutnya.
We are, we are
Semua penonton terhanyut dalam alunan lagu. Tubuh mereka bergerak, sesekali melompat-lompat dengan mulut yang mengikuti lirik yang sedang dinyanyikan oleh Eiji.
Kemeriahan yang sama dirasakan di tribun khusus penonton VIP. Dua gadis sedang ikut menikmati suara Eiji yang berhasil menghipnotis mereka. Mereka bernyanyi mengikuti lirik yang dinyanyikan Eiji, tetapi saat intro musik berlangsung salah satu gadis mengutarakan kekagumannya dengan antusias. “Kau lihat itu, Izumi? Penampilan mereka luar biasa.” Nishimura Yuko berujar dengan penuh semangat, terlihat kagum pada performa Black Shaddow yang sangat menakjubkan di atas panggung.
“Benar. Mereka sangat hebat,” sahut Endoo Izumi seraya mengutarakan persetujuannya dengan anggukan kepala. Kedua gadis yang seumuran karena tahun ini sama-sama menginjak usia 21 tahun itu saling berpegangan tangan sembari tersenyum lebar.
“Setelah konser ini selesai, kita akan menemuinya. Aku sudah tidak sabar ingin mengucapkan selamat pada mereka. Kau juga ikut bersamaku ya, Izumi?”
Gadis bernama Izumi terlihat tertegun, hanya diam membisu tanpa mengeluarkan suara sepatah kata pun. Sebuah reaksi yang mengundang kebingungan Yuko karena ucapannya tak ditanggapi sang pembantu yang sudah dia anggap sebagai teman dekatnya.
Yuko sedikit menyenggol lengan Izumi, “Hei, kenapa diam? Kau ikut denganku ya mengucapkan selamat pada Eiji nanti? Aku yakin Eiji sangat senang karena impiannya bisa mengadakan konser tunggal di Tokyo Dome akhirnya bisa terwujud. Kita harus merayakannya, bukan?”
Izumi tersenyum kecil, “Itu benar, Nona. Tapi aku pikir lebih baik kalian berdua saja yang merayakannya. Aku tidak perlu ikut.”
“Ck, kau ini bicara apa? Tentu saja kau juga harus ikut. Aku tidak menerima penolakan ya, kau harus ikut bersama kami setelah konser ini selesai.”
Izumi meringis, sama sekali tidak terkejut dengan sifat Yuko yang memang pemaksa, bukan pertama kalinya dia dipaksa gadis itu untuk mengikuti keinginannya. Hanya saja bukan tanpa alasan Izumi enggan untuk bergabung dengan pasangan kekasih itu. Ya, ada alasan yang membuat dia tidak ingin melihat kemesraan Yuko dan Eiji yang mau tak mau harus dia saksikan jika ikut bersama mereka. Sayangnya, Izumi tidak memiliki pilihan selain mengikuti keinginan sang majikan yang sudah begitu baik mengajaknya untuk menonton konser luar biasa ini.
Gadis yang terlihat berdiri gelisah sehingga salah satu kakinya tiada henti menghentak lantai itu merupakan Nishimura Yuko. Putri bungsu keluarga Nishimura yang merupakan pemilik Nishimura Industries. Sebuah perusahaan besar yang bergerak di bidang industri alat-alat elektronik, food dan furniture. Tahun ini, Yuko masih menuntut ilmu di salah satu universitas swasta yang cukup bergengsi, Nakagawa Daigaku (Universitas Nakagawa).“Duh, kenapa mereka lama sekali ya? Kita sudah menunggu hampir satu jam di sini.” Terhitung ini kesekian kalinya Yuko menggerutu karena sosok Eiji yang sedang dia tunggu tak kunjung keluar dari pintu yang dia yakini merupakan pintu keluar untuk personil Black Shaddow setelah selesai manggung.Izumi tersenyum maklum karena dia tahu persis Yuko memang tidak sabaran. “Mungkin sebentar lagi, Nona Yuko.”Yuko menghela napas panjang, “Sampai kapan aku harus menunggu di sini? Menyebalkan.”“Yuko!&
Di sore hari yang terlihat mendung, Yuko bergegas turun dari mobil yang dia kendarai begitu memarkirkannya cukup jauh dari tempat yang dia tuju. Bukan tanpa alasan dia memarkirkannya cukup jauh, melainkan karena tempat parkir kafe yang dia tuju sudah penuh oleh kendaraan pengunjung lain.Yuko berlari menghampiri bangunan terdiri dari dua lantai itu karena menyadari dirinya sudah terlambat. Teman-temannya semasa masih duduk di senior high school, pasti sudah menunggunya di dalam dengan tidak sabar. Dia memang sudah membuat janji dengan teman-teman dekatnya untuk bertemu di salah satu kafe yang berada di kawasan Meguro, Tokyo. Factory & Labo Kanno Coffee nama kafe tersebut. Sebuah kafe yang biasa digunakan para mahasiswa seperti Yuko untuk mengerjakan tugas atau mengobrol dengan nyaman karena nuansa di dalam kafe memang sangat mendukung.Begitu menginjak halaman depan kafe, Yuko sudah disuguhkan beberapa lantai yang didesain layaknya sebuah laboratorium. Bah
Seperti yang diperintahkan Yuko padanya sebelum pergi, Izumi sejak tadi hanya meringkuk di tempat tidur. Dengan sengaja menutupi sekujur tubuh dengan selimut tebal, hanya sedikit kepalanya yang dia sisakan agar saat pemeriksaan berlangsung terlihat dirinya seperti Yuko yang sedang tertidur.Izumi bisa bernapas lega sekarang karena pemeriksaan itu baru selesai satu jam yang lalu. Izumi yang sedang berpura-pura tidur, bisa mendengar dengan jelas suara pintu yang dibuka oleh seseorang. Siluet bayangan seseorang yang berdiri di depan pintu bisa dilihat Izumi meskipun dengan ekor mata, itu memang Ibu Asrama yang melakukan patroli seperti yang dikatakan Yuko. Tidak lama wanita paruh baya itu berdiri karena dia bergegas pergi setelah memastikan sang pemilik kamar sudah berbaring di ranjang tanpa mengetahui bahwa sebenarnya Izumi yang sedang berbaring alih-alih Yuko sebagai sang pemilik kamar.“Syukurlah semuanya berjalan lancar.”Izumi berniat memejamkan ma
Suasana kamar yang temaram menjadi lebih terang ketika pagi tiba. Suara dering yang berasal dari ponsel, membangunkan Eiji dari tidur panjangnya. Pria itu melenguh seraya mengeluarkan suara decakan karena kesal tidur lelapnya terganggu. Meskipun enggan, dia tetap membuka mata, refleks memijit pangkal hidung ketika rasa sakit menghantam kepalanya. “Shit, sepertinya aku mabuk semalam,” gumamnya pelan.Eiji mengubah posisi terlentang menjadi duduk di atas ranjang, ia menelisik sekitar untuk mencari sumber suara yang begitu mengganggu tersebut. Eiji menghela napas panjang begitu menyadari asal suara itu berasal dari celana jeans miliknya yang tergeletak di lantai. Bukan hanya celananya saja yang dia lihat berserakan tak beraturan di lantai, melainkan kemeja yang dia kenakan semalam pun ikut teronggok di sana. Eiji menatap dirinya sendiri, menyadari penampilannya polos tanpa sehelai benang pun yang menutupi, dia tahu apa yang sudah terjadi padanya semalam. Keg
Eiji menemukan Izumi sedang membereskan tempat tidur begitu dirinya keluar dari kamar mandi. Dia baru saja selesai membersihkan diri, Eiji berniat pergi sekarang juga karena dia tak tahan berlama-lama berada di dalam satu ruangan bersama Izumi. Ada rasa bersalah yang menghantam relung hatinya setiap kali menatap wajah Izumi karena dia menyadari sudah merenggut sesuatu yang berharga miliknya.Tanpa mengatakan apa pun, Eiji berjalan menuju nakas untuk mengambil ponselnya yang tergeletak di sana. Memeriksa sejenak ponsel itu untuk memastikan tak ada panggilan atau pesan penting yang masuk, dia lantas memasukannya ke dalam saku celana. Masih dengan rasa canggung yang melanda, juga rasa bersalah yang menggelayuti hati, Eiji menatap ke arah Izumi yang masih sibuk melipat selimut tebal milik Yuko.Eiji berniat untuk berpamitan karena dia ingin pergi sekarang juga. “Izumi ….”“Tuan Muda Eiji ….”Baik Eiji maupun Izumi sama se
Ruangan itu tampak temaram, cahaya hanya berasal dari layar televisi yang sengaja dibiarkan menyala. Suara lenguhan terdengar ketika Eiji baru saja terbangun dari tidur lelap. Pria itu meringis saat merasakan beban berat di salah satu bahunya, menoleh ke samping dia mengulas senyum melihat wajah lelap Yuko yang menjadi pelaku salah satu tangannya kini terasa pegal.Tak ada keinginan untuk membangunkan gadis itu, Eiji mengusap lembut kulit putih dan mulus wajah Yuko dengan punggung tangannya. Dia menelisik penampilan mereka yang sama-sama polos, hanya selimut tebal yang menutupi tubuh mereka. Yuko terlihat kelelahan karena itu dia tertidur begitu pulas bahkan tak terusik meskipun Eiji sejak tadi mengusap wajahnya penuh sayang bahkan sesekali mendaratkan ciuman di puncak kepalanya. Sebenarnya itu hal yang wajar mengingat betapa panasnya percintaan mereka semalam, entah berapa jam mereka bermain di atas ranjang hingga akhirnya selesai karena lelah yang dirasakan keduanya.
“Bu, ini belanjaannya,” ucap Izumi seraya meletakkan plastik belanjaannya di atas meja.“Semua yang Ibu tulis di kertas tadi sudah kau beli?” tanya Kazumi yang sedang sibuk memotong-motong daging untuk dimasak.“Sudah, Bu. Kebetulan semuanya ada di mini market.”Awalnya, Izumi akan pergi ke kamar mandi untuk menggunakan alat yang dia beli di mini market tadi. Namun, belum sempat kakinya tiba di lantai kamar mandi, suara ibunya kembali mengalun.“Tadi Nyonya memanggilmu. Dia menyuruhmu ke kamarnya sekarang, Izumi.”Izumi tertegun, gerakan kakinya yang hendak memasuki kamar mandi seketika dia urungkan. “Nyonya menyuruhku ke kamarnya? Untuk apa ya, Bu?”Kazumi mengangkat kedua bahu, “Ibu juga tidak tahu. Kau ke sana saja, mungkin ada hal penting yang ingin dibicarakan.”Izumi tak berani membantah karena itu dia bergegas meninggalkan dapur. Kamar sang nyonya besar yan
Sedan lexus berwarna hitam itu melesat cepat memecah jalanan Tokyo yang terlihat cukup sepi di hari minggu. Disertai alunan musik yang mengalun di dalam mobil, Yuko sesekali bersenandung mengikuti suara sang vokalis yang sedang bernyanyi. Sedangkan Eiji tampak fokus menatap ke depan karena pria itu tak suka konsentrasinya terganggu jika sedang menyetir.Mobil berhenti melaju karena terjebak lampu merah yang menyala. Sambil menggerak-gerakan kepala dengan santai, Yuko memalingkan tatapan ke arah samping, gadis itu mengulas senyum saat melihat kedai penjual makanan ringan khas Jepang berdiri tak jauh dari mobil mereka berhenti.“Sayang, aku turun sebentar ya?”Eiji memutar leher ke samping, kedua alisnya menyatu karena mendengar permintaan Yuko yang begitu tiba-tiba. “Memangnya kau mau ke mana?”Yuko menunjuk ke arah kedai di samping mobil, “Membeli takoyaki sebentar untuk Izumi. Itu makanan favoritnya. Dia pasti senang jika ak
Di sebuah ruangan, suasana tampak canggung dan memilukan. Izumi sejak tadi hanya menundukkan kepala sambil menatap gelisah pada kesepuluh jemarinya yang saling meremas di atas pangkuan. Dari wajahnya yang terlihat kusam, kulit wajah memerah karena sembap, kelopak mata yang bengkak, serta air yang terus menggenang di pelupuk mata, bisa diterka dengan jelas dia terlalu banyak menangis. Bibir bawahnya yang terus digigit hingga memerah dan nyaris mengeluarkan darah itu menjadi penegas bahwa beban berat sedang dia tanggung.Di ruangan itu, Izumi tidak sendirian. Ada pula sepasang pria dan wanita paruh baya yang tidak lain merupakan orang tuanya. Mereka duduk berjauhan. Izumi yang duduk merenung sendiri di kursi tak jauh dari televisi diletakkan. Ibunya justru tengah duduk di depan meja mungil yang biasa mereka jadikan tempat untuk menyimpan makanan dikala waktu makan bersama telah tiba. Sedangkan sang ayah, kini tengah duduk di depan, terlihat sedang melamun di kursi yang sengaja
Suara tamparan keras menjadi satu-satunya suara yang terdengar di dalam mobil begitu Yuko melayangkan satu tamparan keras di salah satu pipi Eiji. Kedua mata gadis itu berkaca-kaca karena kekecewaan yang sedang dia rasakan.“Apa kau bilang? Coba katakan sekali lagi!” bentak Yuko, emosinya tengah memuncak dan dia tak peduli meskipun memarahi Eiji. Dia hanya ingin mengutarakan kesedihan yang sedang dirasakannya.“Aku akan menikahi Izumi,” jawab Eiji, mengulang sekali lagi perkataannya beberapa menit yang lalu.“Menikahi Izumi? Lalu bagaimana denganku?”Kedua mata Yuko yang berkaca-kaca kini perlahan meneteskan air mata. “Hubungan kita, bagaimana kelanjutan hubungan kita? Bukankah kita sudah sepakat akan menikah setelah aku lulus kuliah?”Eiji hanya terdiam sambil menundukkan kepala seolah-olah dia tak sanggup menatap wajah Yuko yang menunjukkan luka teramat dalam.“Tinggal tiga bulan lagi,
Saat siang yang terik di musim panas tengah menyapa, yang dilakukan semua orang pasti lebih memilih berada di tempat yang dilengkapi pendingin ruangan. Seperti yang tengah dilakukan oleh para mahasiswa di Nakagawa University, di jam istirahat siang seperti ini, mereka memilih berada di kantin kampus dilengkapi alat pendingin yang berfungsi secara maksimal seraya menyantap hidangan yang mereka pesan.Suasana ramai di kantin, terdengar suara riuh dari orang-orang yang berbincang disertai suara denting dari piring dan sendok yang saling beradu, meskipun dominan mereka menyantap makanan dengan menggunakan sumpit.Salah satu orang yang ada di kantin itu adalah Yuko, duduk satu meja bersama teman-temannya, siang ini Yuko terlihat begitu murung. Padahal Yuko yang biasa merupakan sosok gadis yang periang, sangat berbeda jauh dengan dirinya siang ini yang hanya duduk melamun sambil mengaduk-aduk kuah ramen tanpa mencicipinya sedikitpun, terlihat tak berselera untuk makan.
Perkataan adik perempuannya bukan hanya isapan jempol karena Eiji memang menemukan sang ayah sedang berada di sebuah ruangan yang cukup luas dan kosong karena tak ada apa pun di dalamnya. Tentu saja karena ruangan itu diperuntukkan berlatih salah satu bela diri yang cukup terkenal di Jepang yaitu kendo. Bangunan satu lantai dengan hanya terdiri dari satu ruangan untuk berlatih bela diri yang identik dengan pedang terbuat dari bambu itu, bernama dojo.Suara ayunan pedang bambu atau shinai biasa orang Jepang menyebutnya, bisa didengar jelas oleh Eiji meskipun dia sedang berdiri di balik pintu. Sang ayah, Nakagawa Kazuto memang begitu hobi berlatih kendo dan biasanya dia akan marah jika kesenangannya terganggu. Namun, apa mau dikata, Eiji tidak memiliki waktu lagi. Dia harus segera menyelesaikan permasalahannya karena Yuko terus mendesak agar kandungan Izumi segera digugurkan sedangkan dia tak setega itu sehingga harus membunuh darah dagingnya sendiri.Kini, hanya keputus
Di pagi hari yang cerah, tampak sebuah mobil berwarna hitam berhenti tepat di halaman rumah mewah bergaya tradisional Jepang. Rumah itu tampak besar dan luas meskipun hanya terdiri dari satu lantai, sungguh bertolak belakang dengan apartemen-apartemen modern yang terdiri dari puluhan lantai.Halamannya pun begitu luas dan dipenuhi berbagai jenis bunga yang tengah bermekaran dengan indah. Sebuah kolam besar dengan air mancur di tengah-tengahnya menambah kesan mengagumkan para area di sekeliling rumah tersebut. Cukup menjadi bukti bahwa pemilik rumah itu bukan orang sembarangan, melainkan salah satu keluarga konglomerat yang terpandang dan masih menjunjung tinggi tradisi.Sosok Eiji keluar dari dalam mobil, melepas kaca mata hitam yang sejak tadi membungkus kedua matanya yang tajam, Eiji mengembuskan napas pelan begitu tatapannya tertuju pada rumah yang sudah lama tak dia datangi. Suara decakan meluncur dari bibirnya tatkala mengingat tujuannya datang ke rumah ini. Padah
Suasana di ruangan itu tampak hening, keempat pria yang sedang duduk di sofa terlihat menyibukkan diri dengan pemikiran masing-masing. Namun, yang terlihat begitu gelisah adalah Eiji karena memang pria itu yang sedang tertimpa masalah cukup berat. Dia sudah berbagi cerita dengan teman-temannya tapi hingga kini belum ada yang memberikan tanggapan berarti seolah ketiga temannya itu ikut terkejut mendengar masalahnya yang tak disangka-sangka akan menimpa seorang Nakagawa Eiji.“Ck, jadi aku harus bagaimana menurut kalian?” Eiji melontarkan tanya karena sungguh dia sedang kebingungan.“Aku ingat beberapa menit yang lalu kau mengejek dan menasihatiku, menyuruhku untuk berhenti main-main dengan wanita dan harus serius memilih salah satu.” Shuji mendecih. “Tapi lihat sekarang, justru kau yang mempermainkan wanita. Tak kusangka kau sebejat ini, Eiji. Kau tega sekali mengkhianati Yuko. Parahnya lagi kau berselingkuh dengan pembantunya sampai mengan
Sedan lexus berwarna hitam itu melesat cepat memecah jalanan Tokyo yang terlihat cukup sepi di hari minggu. Disertai alunan musik yang mengalun di dalam mobil, Yuko sesekali bersenandung mengikuti suara sang vokalis yang sedang bernyanyi. Sedangkan Eiji tampak fokus menatap ke depan karena pria itu tak suka konsentrasinya terganggu jika sedang menyetir.Mobil berhenti melaju karena terjebak lampu merah yang menyala. Sambil menggerak-gerakan kepala dengan santai, Yuko memalingkan tatapan ke arah samping, gadis itu mengulas senyum saat melihat kedai penjual makanan ringan khas Jepang berdiri tak jauh dari mobil mereka berhenti.“Sayang, aku turun sebentar ya?”Eiji memutar leher ke samping, kedua alisnya menyatu karena mendengar permintaan Yuko yang begitu tiba-tiba. “Memangnya kau mau ke mana?”Yuko menunjuk ke arah kedai di samping mobil, “Membeli takoyaki sebentar untuk Izumi. Itu makanan favoritnya. Dia pasti senang jika ak
“Bu, ini belanjaannya,” ucap Izumi seraya meletakkan plastik belanjaannya di atas meja.“Semua yang Ibu tulis di kertas tadi sudah kau beli?” tanya Kazumi yang sedang sibuk memotong-motong daging untuk dimasak.“Sudah, Bu. Kebetulan semuanya ada di mini market.”Awalnya, Izumi akan pergi ke kamar mandi untuk menggunakan alat yang dia beli di mini market tadi. Namun, belum sempat kakinya tiba di lantai kamar mandi, suara ibunya kembali mengalun.“Tadi Nyonya memanggilmu. Dia menyuruhmu ke kamarnya sekarang, Izumi.”Izumi tertegun, gerakan kakinya yang hendak memasuki kamar mandi seketika dia urungkan. “Nyonya menyuruhku ke kamarnya? Untuk apa ya, Bu?”Kazumi mengangkat kedua bahu, “Ibu juga tidak tahu. Kau ke sana saja, mungkin ada hal penting yang ingin dibicarakan.”Izumi tak berani membantah karena itu dia bergegas meninggalkan dapur. Kamar sang nyonya besar yan
Ruangan itu tampak temaram, cahaya hanya berasal dari layar televisi yang sengaja dibiarkan menyala. Suara lenguhan terdengar ketika Eiji baru saja terbangun dari tidur lelap. Pria itu meringis saat merasakan beban berat di salah satu bahunya, menoleh ke samping dia mengulas senyum melihat wajah lelap Yuko yang menjadi pelaku salah satu tangannya kini terasa pegal.Tak ada keinginan untuk membangunkan gadis itu, Eiji mengusap lembut kulit putih dan mulus wajah Yuko dengan punggung tangannya. Dia menelisik penampilan mereka yang sama-sama polos, hanya selimut tebal yang menutupi tubuh mereka. Yuko terlihat kelelahan karena itu dia tertidur begitu pulas bahkan tak terusik meskipun Eiji sejak tadi mengusap wajahnya penuh sayang bahkan sesekali mendaratkan ciuman di puncak kepalanya. Sebenarnya itu hal yang wajar mengingat betapa panasnya percintaan mereka semalam, entah berapa jam mereka bermain di atas ranjang hingga akhirnya selesai karena lelah yang dirasakan keduanya.