Gadis yang terlihat berdiri gelisah sehingga salah satu kakinya tiada henti menghentak lantai itu merupakan Nishimura Yuko. Putri bungsu keluarga Nishimura yang merupakan pemilik Nishimura Industries. Sebuah perusahaan besar yang bergerak di bidang industri alat-alat elektronik, food dan furniture. Tahun ini, Yuko masih menuntut ilmu di salah satu universitas swasta yang cukup bergengsi, Nakagawa Daigaku (Universitas Nakagawa).
“Duh, kenapa mereka lama sekali ya? Kita sudah menunggu hampir satu jam di sini.” Terhitung ini kesekian kalinya Yuko menggerutu karena sosok Eiji yang sedang dia tunggu tak kunjung keluar dari pintu yang dia yakini merupakan pintu keluar untuk personil Black Shaddow setelah selesai manggung.
Izumi tersenyum maklum karena dia tahu persis Yuko memang tidak sabaran. “Mungkin sebentar lagi, Nona Yuko.”
Yuko menghela napas panjang, “Sampai kapan aku harus menunggu di sini? Menyebalkan.”
“Yuko!”
Kepala Yuko yang sejak tadi tertunduk sembari menatap sepatunya, seketika mendongak begitu mendengar namanya dipanggil seseorang. Senyuman lebar terulas di bibir gadis itu begitu melihat Shuji sedang berjalan menghampirinya.
“Pasti kalian sedang menunggu Eiji ya?” Shuji bertanya dengan jari telunjuk yang terarah pada Yuko, lalu beralih pada Izumi.
“Ya. Di mana Eiji?”
“Masih di dalam. Aku lihat tadi dia belum selesai berganti pakaian.” Shuji tiba-tiba mengulas senyum dan menyentuh tangan Yuko tanpa permisi. Namun, Yuko tak terlihat keberatan karena dia sudah menganggap pria itu sebagai temannya. “Ngomong-ngomong bagaimana menurutmu dengan penampilan kami tadi di atas panggung?”
Yuko mengangkat kedua ibu jari, “Luar biasa. Penampilan kalian sukses besar. Kau lihat sendiri semua penonton sangat terhibur. Selamat.” Yuko bertepuk tangan, membuat Shuji terlihat malu karena pria itu kini terkekeh dengan rona malu yang bermunculan di kedua pipinya.
“Kami sangat gugup. Beruntung kami tidak melakukan kesalahan sedikitpun.”
“Aku mengerti, wajar jika kalian gugup. Aku saja tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya berdiri di atas panggung sebesar dan semegah itu. Kalian juga harus melihat penonton yang jumlahnya mengerikan untuk dibayangkan.”
Shuji terkekeh, sebelum pria itu terdiam karena menelisik wajah cantik Yuko yang selalu sukses membuat jantungnya berdetak cepat bak seorang pelari yang baru saja mengikuti lari marathon. Sayangnya, gadis itu sama sekali tidak mengetahui perasaannya ini. Shuji juga harus rela menerima kenyataan pahit bahwa gadis yang diam-diam dia sukai telah menjadi milik sahabatnya. Yuko adalah kekasih Eiji, sebuah fakta yang membuat Shuji terkadang sulit menerimanya.
“Nona Yuko, itu Tuan Muda Eiji keluar.”
Pemilik suara yang berhasil mengalihkan perhatian Yuko dan Shuji tentu saja adalah Izumi. Wajah Yuko dalam hitungan detik berubah sumringah, dia melepaskan tautan tangannya dengan Shuji lalu berlari menghampiri sang kekasih yang sedang berjalan seraya melambaikan tangan, menyapanya.
Mereka berdua berpelukan bahkan tak mempedulikan mereka sedang berada di tempat umum, pasangan sejoli yang sedang dimabuk asmara itu berciuman bibir dengan mesra.
“Hei, hei, kenapa kalian harus bermesraan di sini? Pergi ke hotel sana!”
Suara Shuji yang menginterupsi kegiatan mereka membuat suara dengusan meluncur mulus dari mulut Eiji. Dia mengangkat kepalan tangan ke depan, memberi isyarat agar Shuji menjaga mulutnya dan berhenti mengganggu kesenangannya dengan sang pacar.
“Ok, Ok. Gomen’nasai,” ucap Shuji sambil menangkupkan kedua tangan di depan dada sebagai bentuk permohonan maaf. “Eiji, di mana Ito dan Kenji?”
Dengan dagunya, Eiji menunjuk ke arah pintu di mana dirinya baru saja keluar.
“Mereka masih di dalam? Sedang apa?”
“Kau lihat saja sendiri.”
Shuji berdecak, walau sudah biasa mendapat respons cuek dan dingin dari Eiji, tetap saja dia kesal mendengarnya. “Aku ke sana dulu.” Shuji melangkah dari tempatnya berdiri karena berniat menemui kedua temannya yang belum keluar dari ruang ganti. Pria itu menepuk pelan bahu Yuko yang masih berada dalam pelukan Eiji, begitu mereka berpapasan, “Sampai jumpa lagi, Yuko.”
“Iya, Shuji. Sampai jumpa lagi.” Yuko melambaikan tangan, sebelum perhatiannya kembali tertuju pada sang pujaan hati. “Eiji, kita pergi ke Tokyo Dome City ya?”
“Kapan?”
“Sekarang.”
Kening Eiji mengernyit bingung, “Untuk apa?”
Kedua mata Yuko berotasi, “Untuk mencari makanan. Memangnya untuk apa lagi menurutmu?”
“Kau lapar?”
Tanpa ragu Yuko mengangguk, “Tentu saja. Aku belum makan apa-apa sebelum ke sini. Lagi pula, aku yakin Izumi juga pasti lapar.”
Tatapan Eiji berpaling dari wajah Yuko kini tertuju pada Izumi yang berdiri salah tingkah, tak jauh dari mereka. “Kau mengajak pembantumu itu menonton konserku lagi?”
Yuko melebarkan mata, bukan terkejut melainkan dia tak suka karena Eiji berkata demikian. “Sudah kukatakan Izumi itu bukan sekadar pembantu di rumahku, tapi dia sudah aku anggap seperti teman dekat.”
“Jujur, sampai sekarang aku salut padamu. Jika itu aku, tidak mungkin bisa akrab dengan pembantu di rumahku.”
Yuko tersenyum tipis, seolah dirinya sedang bernostalgia dengan masa lalu. “Aku dan Izumi itu lahir di tahun yang sama. Sejak kecil kami sudah dekat dan tumbuh bersama. Selain itu, ibunya juga selalu merawatku sejak kecil karena orang tua kandungku yang terlalu sibuk bekerja. Ibu Izumi sudah seperti ibu kedua bagiku. Sedangkan Izumi, dia seperti sahabat yang selalu ada untukku di saat aku membutuhkannya.”
Yuko terkekeh ketika Eiji tiba-tiba menyentil ujung hidungnya pelan, “Betapa baiknya pacarku ini. Jadi, kau ingin kita ke Tokyo Dome City?” Dengan antusias Yuko mengangguk. “OK. Ayo, kita ke sana.”
Melihat Yuko memekik histeris karena senang keinginannya dikabullkan, Eiji hanya bisa mengulum senyum. Dia begitu mencintai gadis yang sudah dia pacari selama tiga tahun itu. Rela melakukan apa pun hanya karena ingin melihat wajah cantik Yuko selalu dihiasi dengan senyuman.
***
Tempat yang mereka pilih untuk makan bersama adalah salah satu restoran yang menjual berbagai jenis mie di area Tokyo Dome City. Ketiga orang itu sudah menyebutkan makanan pesanan masing-masing. Yuko yang menyukai makanan pedas, memesan yakisoba dengan rasa ekstra pedas. Mie goreng khas Jepang yang saat dimasak dicampur dengan berbagai sayuran seperti; kol, wortel dan bawang ini merupakan makanan favoritnya. Sedangkan Eiji dan Izumi memesan makanan yang sama yaitu udon. Mie berukuran besar yang akan meleleh di mulut ini mereka pilih karena kuahnya yang lezat dan hangat bisa menghangatkan tubuh mereka yang terasa dingin malam itu.
“Eiji, tadi kenapa kau lama sekali keluar dari ruang ganti? Aku dan Izumi menunggumu lama sekali.” Hingga detik ini Yuko belum melupakan betapa kesal dirinya selama menunggu kemunculan Eiji.
Alih-alih merasa bersalah karena sudah membuat dua gadis cantik menunggunya lama, Eiji hanya mengulum senyum. “Ada yang kami bicarakan dulu dengan manager. Ya, namanya juga kami baru selesai konser. Jadi, ya …” Eiji mengangkat kedua bahu, merasa tak penting menjelaskannya secara detail pada Yuko dan Izumi yang pastinya tak akan mengerti dunia entertainment yang dia geluti.
“Benar karena ada yang dibicarakan dengan manager? Bukan karena kau meladeni dulu fans-fans wanitamu yang menerobos masuk, kan?”
Melihat Eiji meneguk ludah, Yuko seketika memicingkan mata, sudah dia duga pemikirannya memang tepat.
“Ah, itu hanya ada tiga orang yang meminta tandatangan. Aku tidak boleh sombong pada mereka karena kami bisa sukses seperti sekarang berkat dukungan mereka. Jadi, aku …”
“Aku tidak percaya kau hanya memberikan tandatangan. Aku yakin kau juga berfoto dengan mereka, kan?”
Eiji terlihat menggulirkan mata, menatap ke arah lain asal tidak menatap wajah Yuko yang terlihat kesal dan penuh curiga.
“Kau ini menyebalkan padahal tahu aku sedang menunggumu. Pantas saja lama sekali tadi.”
“Aku minta maaf.”
“Kau pikir cukup hanya dengan minta maaf?”
Sekali lagi Eiji terlihat meneguk saliva, kebingungan menghadapi sang pacar yang sedang merajuk. “Hm, aku janji akan menebus kesalahanku ini dengan apa pun. Kau sebutkan saja apa yang harus aku lakukan.”
Seringaian lebar tercetak jelas di wajah Yuko, Eiji bisa merasakan gadis itu sedang memikirkan sebuah rencana jahat padanya.
“OK. Aku maafkan jika kau bersedia mengabulkan semua keinginanku.”
“Selama keinginanmu tidak aneh-aneh, pasti akan aku kabulkan.”
“Lihat saja nanti, yang penting kau harus menepati janjimu ini. Itu pun jika kau ingin dimaafkan.”
Eiji mengembuskan napas pelan, tahu persis dirinya tak mungkin menang jika berdebat dengan Yuko. “Baiklah, apa pun untukmu,” katanya seraya merangkul Yuko ke dalam dekapan. Pasangan itu kembali berciuman, tak mempedulikan keberadaan Izumi yang sedang menundukan wajah karena tak ingin melihat kemesraan mereka berdua.
Yuko menjadi orang pertama yang melepaskan ciuman panjang mereka, dia mengusap ujung bibir Eiji yang basah karena ulahnya, sebelum dia bangkit berdiri dari posisi duduk. “Aku ke toilet sebentar ya.” Yuko lalu menoleh ke arah Izumi. “Izumi, mau ikut ke toilet?”
“Tidak, Nona Yuko. Aku tunggu saja di sini.”
Yuko melenggang pergi setelah itu, meninggalkan meja yang kini terasa canggung karena baik Izumi maupun Eiji sama sekali tak mengeluarkan suara. Tak nyaman dengan keheningan yang tiba-tiba melanda, Eiji berdeham untuk menarik atensi Izumi yang sedang menunduk menatap kesepuluh jemarinya yang sedang saling meremas di atas pangkuan.
“Izumi.” Hingga pada akhirnya Eiji memilih memanggil Izumi karena gadis itu sama sekali tak merespons dehamannya.
Izumi mendongak, menatap lurus wajah Eiji yang duduk berseberangan dengannya. “I-Iya. Kenapa, Tuan Muda?”
Eiji berdecak, “Sudah berapa kali aku bilang panggil saja namaku. E-I-J-I … panggil saja Eiji. Ok?”
Izumi meringis, merasa tak sopan memanggil kekasih majikannya langsung dengan nama. Jadi, gadis itu hanya terdiam, tak menanggapi sedikitpun.
“Tadi kau menyukai konsernya?” Eiji kembali bertanya, dia tahu Izumi begitu pendiam dan pemalu. Saat mereka bertemu karena Yuko yang mengajaknya, dia nyaris tak pernah mengobrol dengan gadis itu.
Izumi menganggukkan kepala dengan gerakan perlahan, “Iya. Tadi konsernya bagus sekali.”
“Jadi, kau suka?”
“Suka sekali,” sahut Izumi sambil mengulas senyum.
“Baguslah kalau kau suka. Semoga saja penonton lain juga menyukainya.”
“Aku yakin semua penonton puas dengan penampilan kalian karena konser tadi memang menakjubkan. Aku dan Nona Yuko saja sampai ….” Izumi tak melanjutkan ucapannya karena dia melihat Eiji sedang tersenyum lebar di depan sana.
“Wah, baru kali ini aku melihatmu banyak bicara. Kau tahu, Izumi, kau harus sering seperti ini karena kau terlihat lebih cantik saat ceria dan tersenyum seperti barusan.”
Izumi yakin wajahnya sedang merona hebat sekarang, karena itu dia bergegas menundukkan kepala. Kondisi Izumi yang sedang gugup bukan main itu tertolong oleh kedatangan pelayan yang mengantarkan pesanan mereka.
“Udon-nya mohon ditunggu satu lagi,” ucap sang pelayan karena baru dua menu yang diantarkan ke meja mereka.
“Baik,” sahut Eiji.
Pria itu meletakkan yakisoba milik Yuko tepat di depan kursi gadis itu. Ketika dia melihat mangkuk udon berada di tengah-tengah dirinya dan Izumi, Eiji bermaksud mendorongnya ke arah Izumi, tapi siapa sangka dirinya dan Izumi bersamaan menyentuh mangkuk itu sehingga tangan mereka saling bersentuhan.
Izumi segera menarik tangannya. “M-Maaf,” gumamnya pelan.
Eiji mengulum senyum, dia mendorong mangkuk berisi udon yang masih hangat itu mendekat ke arah Izumi, “Kau makan duluan.”
Dengan tegas Izumi menggeleng, “Tidak. Kau saja yang duluan.”
“Pernah mendengar istilah ladies first? Itu artinya wanita duluan. Ayo, dimakan. Kau harus banyak makan agar tubuhmu sehat dan tidak kurus seperti itu,” kata Eiji seraya mengulas senyum tipis.
Eiji sama sekali tidak tahu bahwa senyuman itu selalu sukses membuat Izumi yang diam-diam memendam rasa padanya, kini merasakan detak jantungnya seolah siap melompat keluar dari rongga dada.
Di sore hari yang terlihat mendung, Yuko bergegas turun dari mobil yang dia kendarai begitu memarkirkannya cukup jauh dari tempat yang dia tuju. Bukan tanpa alasan dia memarkirkannya cukup jauh, melainkan karena tempat parkir kafe yang dia tuju sudah penuh oleh kendaraan pengunjung lain.Yuko berlari menghampiri bangunan terdiri dari dua lantai itu karena menyadari dirinya sudah terlambat. Teman-temannya semasa masih duduk di senior high school, pasti sudah menunggunya di dalam dengan tidak sabar. Dia memang sudah membuat janji dengan teman-teman dekatnya untuk bertemu di salah satu kafe yang berada di kawasan Meguro, Tokyo. Factory & Labo Kanno Coffee nama kafe tersebut. Sebuah kafe yang biasa digunakan para mahasiswa seperti Yuko untuk mengerjakan tugas atau mengobrol dengan nyaman karena nuansa di dalam kafe memang sangat mendukung.Begitu menginjak halaman depan kafe, Yuko sudah disuguhkan beberapa lantai yang didesain layaknya sebuah laboratorium. Bah
Seperti yang diperintahkan Yuko padanya sebelum pergi, Izumi sejak tadi hanya meringkuk di tempat tidur. Dengan sengaja menutupi sekujur tubuh dengan selimut tebal, hanya sedikit kepalanya yang dia sisakan agar saat pemeriksaan berlangsung terlihat dirinya seperti Yuko yang sedang tertidur.Izumi bisa bernapas lega sekarang karena pemeriksaan itu baru selesai satu jam yang lalu. Izumi yang sedang berpura-pura tidur, bisa mendengar dengan jelas suara pintu yang dibuka oleh seseorang. Siluet bayangan seseorang yang berdiri di depan pintu bisa dilihat Izumi meskipun dengan ekor mata, itu memang Ibu Asrama yang melakukan patroli seperti yang dikatakan Yuko. Tidak lama wanita paruh baya itu berdiri karena dia bergegas pergi setelah memastikan sang pemilik kamar sudah berbaring di ranjang tanpa mengetahui bahwa sebenarnya Izumi yang sedang berbaring alih-alih Yuko sebagai sang pemilik kamar.“Syukurlah semuanya berjalan lancar.”Izumi berniat memejamkan ma
Suasana kamar yang temaram menjadi lebih terang ketika pagi tiba. Suara dering yang berasal dari ponsel, membangunkan Eiji dari tidur panjangnya. Pria itu melenguh seraya mengeluarkan suara decakan karena kesal tidur lelapnya terganggu. Meskipun enggan, dia tetap membuka mata, refleks memijit pangkal hidung ketika rasa sakit menghantam kepalanya. “Shit, sepertinya aku mabuk semalam,” gumamnya pelan.Eiji mengubah posisi terlentang menjadi duduk di atas ranjang, ia menelisik sekitar untuk mencari sumber suara yang begitu mengganggu tersebut. Eiji menghela napas panjang begitu menyadari asal suara itu berasal dari celana jeans miliknya yang tergeletak di lantai. Bukan hanya celananya saja yang dia lihat berserakan tak beraturan di lantai, melainkan kemeja yang dia kenakan semalam pun ikut teronggok di sana. Eiji menatap dirinya sendiri, menyadari penampilannya polos tanpa sehelai benang pun yang menutupi, dia tahu apa yang sudah terjadi padanya semalam. Keg
Eiji menemukan Izumi sedang membereskan tempat tidur begitu dirinya keluar dari kamar mandi. Dia baru saja selesai membersihkan diri, Eiji berniat pergi sekarang juga karena dia tak tahan berlama-lama berada di dalam satu ruangan bersama Izumi. Ada rasa bersalah yang menghantam relung hatinya setiap kali menatap wajah Izumi karena dia menyadari sudah merenggut sesuatu yang berharga miliknya.Tanpa mengatakan apa pun, Eiji berjalan menuju nakas untuk mengambil ponselnya yang tergeletak di sana. Memeriksa sejenak ponsel itu untuk memastikan tak ada panggilan atau pesan penting yang masuk, dia lantas memasukannya ke dalam saku celana. Masih dengan rasa canggung yang melanda, juga rasa bersalah yang menggelayuti hati, Eiji menatap ke arah Izumi yang masih sibuk melipat selimut tebal milik Yuko.Eiji berniat untuk berpamitan karena dia ingin pergi sekarang juga. “Izumi ….”“Tuan Muda Eiji ….”Baik Eiji maupun Izumi sama se
Ruangan itu tampak temaram, cahaya hanya berasal dari layar televisi yang sengaja dibiarkan menyala. Suara lenguhan terdengar ketika Eiji baru saja terbangun dari tidur lelap. Pria itu meringis saat merasakan beban berat di salah satu bahunya, menoleh ke samping dia mengulas senyum melihat wajah lelap Yuko yang menjadi pelaku salah satu tangannya kini terasa pegal.Tak ada keinginan untuk membangunkan gadis itu, Eiji mengusap lembut kulit putih dan mulus wajah Yuko dengan punggung tangannya. Dia menelisik penampilan mereka yang sama-sama polos, hanya selimut tebal yang menutupi tubuh mereka. Yuko terlihat kelelahan karena itu dia tertidur begitu pulas bahkan tak terusik meskipun Eiji sejak tadi mengusap wajahnya penuh sayang bahkan sesekali mendaratkan ciuman di puncak kepalanya. Sebenarnya itu hal yang wajar mengingat betapa panasnya percintaan mereka semalam, entah berapa jam mereka bermain di atas ranjang hingga akhirnya selesai karena lelah yang dirasakan keduanya.
“Bu, ini belanjaannya,” ucap Izumi seraya meletakkan plastik belanjaannya di atas meja.“Semua yang Ibu tulis di kertas tadi sudah kau beli?” tanya Kazumi yang sedang sibuk memotong-motong daging untuk dimasak.“Sudah, Bu. Kebetulan semuanya ada di mini market.”Awalnya, Izumi akan pergi ke kamar mandi untuk menggunakan alat yang dia beli di mini market tadi. Namun, belum sempat kakinya tiba di lantai kamar mandi, suara ibunya kembali mengalun.“Tadi Nyonya memanggilmu. Dia menyuruhmu ke kamarnya sekarang, Izumi.”Izumi tertegun, gerakan kakinya yang hendak memasuki kamar mandi seketika dia urungkan. “Nyonya menyuruhku ke kamarnya? Untuk apa ya, Bu?”Kazumi mengangkat kedua bahu, “Ibu juga tidak tahu. Kau ke sana saja, mungkin ada hal penting yang ingin dibicarakan.”Izumi tak berani membantah karena itu dia bergegas meninggalkan dapur. Kamar sang nyonya besar yan
Sedan lexus berwarna hitam itu melesat cepat memecah jalanan Tokyo yang terlihat cukup sepi di hari minggu. Disertai alunan musik yang mengalun di dalam mobil, Yuko sesekali bersenandung mengikuti suara sang vokalis yang sedang bernyanyi. Sedangkan Eiji tampak fokus menatap ke depan karena pria itu tak suka konsentrasinya terganggu jika sedang menyetir.Mobil berhenti melaju karena terjebak lampu merah yang menyala. Sambil menggerak-gerakan kepala dengan santai, Yuko memalingkan tatapan ke arah samping, gadis itu mengulas senyum saat melihat kedai penjual makanan ringan khas Jepang berdiri tak jauh dari mobil mereka berhenti.“Sayang, aku turun sebentar ya?”Eiji memutar leher ke samping, kedua alisnya menyatu karena mendengar permintaan Yuko yang begitu tiba-tiba. “Memangnya kau mau ke mana?”Yuko menunjuk ke arah kedai di samping mobil, “Membeli takoyaki sebentar untuk Izumi. Itu makanan favoritnya. Dia pasti senang jika ak
Suasana di ruangan itu tampak hening, keempat pria yang sedang duduk di sofa terlihat menyibukkan diri dengan pemikiran masing-masing. Namun, yang terlihat begitu gelisah adalah Eiji karena memang pria itu yang sedang tertimpa masalah cukup berat. Dia sudah berbagi cerita dengan teman-temannya tapi hingga kini belum ada yang memberikan tanggapan berarti seolah ketiga temannya itu ikut terkejut mendengar masalahnya yang tak disangka-sangka akan menimpa seorang Nakagawa Eiji.“Ck, jadi aku harus bagaimana menurut kalian?” Eiji melontarkan tanya karena sungguh dia sedang kebingungan.“Aku ingat beberapa menit yang lalu kau mengejek dan menasihatiku, menyuruhku untuk berhenti main-main dengan wanita dan harus serius memilih salah satu.” Shuji mendecih. “Tapi lihat sekarang, justru kau yang mempermainkan wanita. Tak kusangka kau sebejat ini, Eiji. Kau tega sekali mengkhianati Yuko. Parahnya lagi kau berselingkuh dengan pembantunya sampai mengan
Di sebuah ruangan, suasana tampak canggung dan memilukan. Izumi sejak tadi hanya menundukkan kepala sambil menatap gelisah pada kesepuluh jemarinya yang saling meremas di atas pangkuan. Dari wajahnya yang terlihat kusam, kulit wajah memerah karena sembap, kelopak mata yang bengkak, serta air yang terus menggenang di pelupuk mata, bisa diterka dengan jelas dia terlalu banyak menangis. Bibir bawahnya yang terus digigit hingga memerah dan nyaris mengeluarkan darah itu menjadi penegas bahwa beban berat sedang dia tanggung.Di ruangan itu, Izumi tidak sendirian. Ada pula sepasang pria dan wanita paruh baya yang tidak lain merupakan orang tuanya. Mereka duduk berjauhan. Izumi yang duduk merenung sendiri di kursi tak jauh dari televisi diletakkan. Ibunya justru tengah duduk di depan meja mungil yang biasa mereka jadikan tempat untuk menyimpan makanan dikala waktu makan bersama telah tiba. Sedangkan sang ayah, kini tengah duduk di depan, terlihat sedang melamun di kursi yang sengaja
Suara tamparan keras menjadi satu-satunya suara yang terdengar di dalam mobil begitu Yuko melayangkan satu tamparan keras di salah satu pipi Eiji. Kedua mata gadis itu berkaca-kaca karena kekecewaan yang sedang dia rasakan.“Apa kau bilang? Coba katakan sekali lagi!” bentak Yuko, emosinya tengah memuncak dan dia tak peduli meskipun memarahi Eiji. Dia hanya ingin mengutarakan kesedihan yang sedang dirasakannya.“Aku akan menikahi Izumi,” jawab Eiji, mengulang sekali lagi perkataannya beberapa menit yang lalu.“Menikahi Izumi? Lalu bagaimana denganku?”Kedua mata Yuko yang berkaca-kaca kini perlahan meneteskan air mata. “Hubungan kita, bagaimana kelanjutan hubungan kita? Bukankah kita sudah sepakat akan menikah setelah aku lulus kuliah?”Eiji hanya terdiam sambil menundukkan kepala seolah-olah dia tak sanggup menatap wajah Yuko yang menunjukkan luka teramat dalam.“Tinggal tiga bulan lagi,
Saat siang yang terik di musim panas tengah menyapa, yang dilakukan semua orang pasti lebih memilih berada di tempat yang dilengkapi pendingin ruangan. Seperti yang tengah dilakukan oleh para mahasiswa di Nakagawa University, di jam istirahat siang seperti ini, mereka memilih berada di kantin kampus dilengkapi alat pendingin yang berfungsi secara maksimal seraya menyantap hidangan yang mereka pesan.Suasana ramai di kantin, terdengar suara riuh dari orang-orang yang berbincang disertai suara denting dari piring dan sendok yang saling beradu, meskipun dominan mereka menyantap makanan dengan menggunakan sumpit.Salah satu orang yang ada di kantin itu adalah Yuko, duduk satu meja bersama teman-temannya, siang ini Yuko terlihat begitu murung. Padahal Yuko yang biasa merupakan sosok gadis yang periang, sangat berbeda jauh dengan dirinya siang ini yang hanya duduk melamun sambil mengaduk-aduk kuah ramen tanpa mencicipinya sedikitpun, terlihat tak berselera untuk makan.
Perkataan adik perempuannya bukan hanya isapan jempol karena Eiji memang menemukan sang ayah sedang berada di sebuah ruangan yang cukup luas dan kosong karena tak ada apa pun di dalamnya. Tentu saja karena ruangan itu diperuntukkan berlatih salah satu bela diri yang cukup terkenal di Jepang yaitu kendo. Bangunan satu lantai dengan hanya terdiri dari satu ruangan untuk berlatih bela diri yang identik dengan pedang terbuat dari bambu itu, bernama dojo.Suara ayunan pedang bambu atau shinai biasa orang Jepang menyebutnya, bisa didengar jelas oleh Eiji meskipun dia sedang berdiri di balik pintu. Sang ayah, Nakagawa Kazuto memang begitu hobi berlatih kendo dan biasanya dia akan marah jika kesenangannya terganggu. Namun, apa mau dikata, Eiji tidak memiliki waktu lagi. Dia harus segera menyelesaikan permasalahannya karena Yuko terus mendesak agar kandungan Izumi segera digugurkan sedangkan dia tak setega itu sehingga harus membunuh darah dagingnya sendiri.Kini, hanya keputus
Di pagi hari yang cerah, tampak sebuah mobil berwarna hitam berhenti tepat di halaman rumah mewah bergaya tradisional Jepang. Rumah itu tampak besar dan luas meskipun hanya terdiri dari satu lantai, sungguh bertolak belakang dengan apartemen-apartemen modern yang terdiri dari puluhan lantai.Halamannya pun begitu luas dan dipenuhi berbagai jenis bunga yang tengah bermekaran dengan indah. Sebuah kolam besar dengan air mancur di tengah-tengahnya menambah kesan mengagumkan para area di sekeliling rumah tersebut. Cukup menjadi bukti bahwa pemilik rumah itu bukan orang sembarangan, melainkan salah satu keluarga konglomerat yang terpandang dan masih menjunjung tinggi tradisi.Sosok Eiji keluar dari dalam mobil, melepas kaca mata hitam yang sejak tadi membungkus kedua matanya yang tajam, Eiji mengembuskan napas pelan begitu tatapannya tertuju pada rumah yang sudah lama tak dia datangi. Suara decakan meluncur dari bibirnya tatkala mengingat tujuannya datang ke rumah ini. Padah
Suasana di ruangan itu tampak hening, keempat pria yang sedang duduk di sofa terlihat menyibukkan diri dengan pemikiran masing-masing. Namun, yang terlihat begitu gelisah adalah Eiji karena memang pria itu yang sedang tertimpa masalah cukup berat. Dia sudah berbagi cerita dengan teman-temannya tapi hingga kini belum ada yang memberikan tanggapan berarti seolah ketiga temannya itu ikut terkejut mendengar masalahnya yang tak disangka-sangka akan menimpa seorang Nakagawa Eiji.“Ck, jadi aku harus bagaimana menurut kalian?” Eiji melontarkan tanya karena sungguh dia sedang kebingungan.“Aku ingat beberapa menit yang lalu kau mengejek dan menasihatiku, menyuruhku untuk berhenti main-main dengan wanita dan harus serius memilih salah satu.” Shuji mendecih. “Tapi lihat sekarang, justru kau yang mempermainkan wanita. Tak kusangka kau sebejat ini, Eiji. Kau tega sekali mengkhianati Yuko. Parahnya lagi kau berselingkuh dengan pembantunya sampai mengan
Sedan lexus berwarna hitam itu melesat cepat memecah jalanan Tokyo yang terlihat cukup sepi di hari minggu. Disertai alunan musik yang mengalun di dalam mobil, Yuko sesekali bersenandung mengikuti suara sang vokalis yang sedang bernyanyi. Sedangkan Eiji tampak fokus menatap ke depan karena pria itu tak suka konsentrasinya terganggu jika sedang menyetir.Mobil berhenti melaju karena terjebak lampu merah yang menyala. Sambil menggerak-gerakan kepala dengan santai, Yuko memalingkan tatapan ke arah samping, gadis itu mengulas senyum saat melihat kedai penjual makanan ringan khas Jepang berdiri tak jauh dari mobil mereka berhenti.“Sayang, aku turun sebentar ya?”Eiji memutar leher ke samping, kedua alisnya menyatu karena mendengar permintaan Yuko yang begitu tiba-tiba. “Memangnya kau mau ke mana?”Yuko menunjuk ke arah kedai di samping mobil, “Membeli takoyaki sebentar untuk Izumi. Itu makanan favoritnya. Dia pasti senang jika ak
“Bu, ini belanjaannya,” ucap Izumi seraya meletakkan plastik belanjaannya di atas meja.“Semua yang Ibu tulis di kertas tadi sudah kau beli?” tanya Kazumi yang sedang sibuk memotong-motong daging untuk dimasak.“Sudah, Bu. Kebetulan semuanya ada di mini market.”Awalnya, Izumi akan pergi ke kamar mandi untuk menggunakan alat yang dia beli di mini market tadi. Namun, belum sempat kakinya tiba di lantai kamar mandi, suara ibunya kembali mengalun.“Tadi Nyonya memanggilmu. Dia menyuruhmu ke kamarnya sekarang, Izumi.”Izumi tertegun, gerakan kakinya yang hendak memasuki kamar mandi seketika dia urungkan. “Nyonya menyuruhku ke kamarnya? Untuk apa ya, Bu?”Kazumi mengangkat kedua bahu, “Ibu juga tidak tahu. Kau ke sana saja, mungkin ada hal penting yang ingin dibicarakan.”Izumi tak berani membantah karena itu dia bergegas meninggalkan dapur. Kamar sang nyonya besar yan
Ruangan itu tampak temaram, cahaya hanya berasal dari layar televisi yang sengaja dibiarkan menyala. Suara lenguhan terdengar ketika Eiji baru saja terbangun dari tidur lelap. Pria itu meringis saat merasakan beban berat di salah satu bahunya, menoleh ke samping dia mengulas senyum melihat wajah lelap Yuko yang menjadi pelaku salah satu tangannya kini terasa pegal.Tak ada keinginan untuk membangunkan gadis itu, Eiji mengusap lembut kulit putih dan mulus wajah Yuko dengan punggung tangannya. Dia menelisik penampilan mereka yang sama-sama polos, hanya selimut tebal yang menutupi tubuh mereka. Yuko terlihat kelelahan karena itu dia tertidur begitu pulas bahkan tak terusik meskipun Eiji sejak tadi mengusap wajahnya penuh sayang bahkan sesekali mendaratkan ciuman di puncak kepalanya. Sebenarnya itu hal yang wajar mengingat betapa panasnya percintaan mereka semalam, entah berapa jam mereka bermain di atas ranjang hingga akhirnya selesai karena lelah yang dirasakan keduanya.