Seperti yang diperintahkan Yuko padanya sebelum pergi, Izumi sejak tadi hanya meringkuk di tempat tidur. Dengan sengaja menutupi sekujur tubuh dengan selimut tebal, hanya sedikit kepalanya yang dia sisakan agar saat pemeriksaan berlangsung terlihat dirinya seperti Yuko yang sedang tertidur.
Izumi bisa bernapas lega sekarang karena pemeriksaan itu baru selesai satu jam yang lalu. Izumi yang sedang berpura-pura tidur, bisa mendengar dengan jelas suara pintu yang dibuka oleh seseorang. Siluet bayangan seseorang yang berdiri di depan pintu bisa dilihat Izumi meskipun dengan ekor mata, itu memang Ibu Asrama yang melakukan patroli seperti yang dikatakan Yuko. Tidak lama wanita paruh baya itu berdiri karena dia bergegas pergi setelah memastikan sang pemilik kamar sudah berbaring di ranjang tanpa mengetahui bahwa sebenarnya Izumi yang sedang berbaring alih-alih Yuko sebagai sang pemilik kamar.
“Syukurlah semuanya berjalan lancar.”
Izumi berniat memejamkan mata, waktu menunjukan jam satu dini hari dan dia sudah mulai mengantuk. Dia harus tidur agar besok pagi bisa bangun tepat waktu dan kembali ke rumah majikannya karena tugasnya untuk menggantikan Yuko di sini sudah selesai. Seperti kebiasaan Izumi jika tidur, dia mematikan lampu sehingga kamar yang terang benderang itu dalam sekejap berubah menjadi remang-remang, hanya pantulan cahaya dari lampu di luar jendela yang menerangi kamar.
Namun, rupanya niat awal Izumi ingin cepat tidur tidak mudah untuk dilakukan. Tiba-tiba saja dia membayangkan Yuko dan Eiji mungkin sekarang sedang bersama. Yuko memang mengatakan akan berkumpul bersama teman-temannya tapi tidak menutup kemungkinan Eiji juga hadir di sana, itulah yang dipikirkan Izumi. Rasa kesal dan cemburu seketika menggelayuti hatinya walau dia sendiri sadar seharusnya tidak seperti itu karena dia tidak memiliki hak untuk merasa cemburu. Yuko dan Eiji merupakan sepasang kekasih jadi sudah sewajarnya mereka menghabiskan waktu bersama, bahkan sepanjang malam sekalipun. Jika Izumi berpikir sekali saja ingin berada di posisi Yuko agar bisa menghabiskan waktu bersama Eiji, apakah dia berdosa? Bukan keinginan Izumi jatuh cinta pada Eiji karena perasaan itu tumbuh dengan sendirinya di dalam hati.
Izumi menepis semua pemikirannya tentang Eiji yang tiba-tiba terlintas, kini dia kembali mencoba memejamkan mata dan kali ini berhasil karena dalam hitungan menit dia sudah jatuh tertidur. Namun, tiba-tiba terdengar suara pintu yang dibuka oleh seseorang dari luar. Izumi yang tertidur lelap sama sekali tidak menyadari ada seseorang yang berjalan menghampirinya dengan langkah sempoyongan. Bahkan orang itu nyaris terjatuh karena menabrak meja belajar akibat pencahayaan di dalam kamar yang gelap. Kendati demikian, tak menyurutkan niat orang itu untuk terus berjalan menghampiri tempat tidur.
Izumi refleks memekik ketika merasakan tangan seseorang menyentuh bahunya. Dia berniat berbalik badan, tetapi belum sempat melakukan itu dia kembali dikejutkan oleh sebuah kejadian tak terduga. Orang yang menyentuh bahunya kini merangkak naik dan mengunci tubuh Izumi dalam kungkungannya. Izumi mengerjapkan mata, awalnya ingin berteriak tapi dia tak mampu karena orang itu membekap mulutnya dengan telapak tangan.
“Sssttt, ini aku. Aku datang untuk memberikan hukuman padamu, Yuko.”
Izumi tak tahu bagaimana cara menjabarkan keterkejutan yang sedang dia rasakan begitu menyadari orang yang kini sedang menindihnya adalah Eiji. Dari suara dan pantulan cahaya yang mengenai wajahnya, tidak diragukan lagi dia memang Eiji. Pria itu … kenapa bisa berada di sini? Atau mungkinkah ini hanya mimpi karena Izumi yang masih belum sepenuhnya tersadar dari rasa kantuk, kesulitan membedakan antara kenyataan dan mimpi?
Begitu tangan Eiji yang membekap mulutnya terlepas, Izumi tak sanggup lagi menahan rasa penasaran yang mulai naik ke permukaan. “T-Tuan Muda Eiji, kenapa kau …”
Belum sempat Izumi menyelesaikan ucapan, mulutnya yang sudah terbuka tak bisa berkata-kata lagi karena Eiji kembali membungkamnya. Bukan dengan tangannya, melainkan dengan bibirnya.
Izumi menegang di tempat tapi tak melakukan perlawanan apa pun ketika menyadari Eiji sedang menciumnya. Sebuah ciuman yang sangat dalam dan menuntut. Eiji seolah-olah ingin mencecap kehangatan di dalam mulut Izumi tanpa memberi kesempatan gadis itu untuk melawan.
Kesadaran Izumi yang sempat melanglang buana karena terbuai permainan bibir Eiji yang memabukkan, baru kembali begitu mulai kesulitan bernapas seolah-olah pasokan oksigen di dalam paru-parunya tersedot habis. Dia mendorong dada Eiji dengan kedua tangan dan tanpa diduga perlawanannya itu berhasil karena Eiji terguling ke samping. Tubuh pria itu tampak lemas, Izumi kini menyadari Eiji sedang mabuk berat. Bahkan aroma alkohol yang menguar dari mulut pria itu masih bisa dia cium.
Izumi berniat bangun, tetapi gerakannya kalah cepat dengan Eiji yang kembali menerjangnya. Pria itu kembali mengungkung tubuhnya membuat Izumi tak mampu berkutik.
“Tuan Muda Eiji, jangan lakukan itu. Ini aku, Izumi.” Sebisa mungkin Izumi berusaha menyadarkan Eiji yang dibutakan kabut gairah sehingga tak mampu membedakan dirinya dan Yuko. Mungkin ini juga pengaruh dari minuman beralkohol yang berhasil membuat kesadaran Eiji lenyap sepenuhnya serta efek dari kamar yang gelap sehingga Eiji tak bisa melihat wajah Izumi dengan jelas.
“Yuko, aku menginginkanmu malam ini juga.”
Selepas mengutarakan keinginannya, Eiji tidak main-main dengan ucapannya. Dia menyerang Izumi, menjelajahi lekuk leher dan tulang selangka gadis itu dengan bibirnya sehingga sang gadis tak mampu melakukan apa pun selain menggelinjang tak nyaman di tempat tidur.
Semua sentuhan Eiji benar-benar menjadi candu untuk Izumi, menciptakan gelenyar aneh yang sekarang dirasakan tubuh Izumi. Kesadarannya sedikit demi sedikit terkikis habis, Izumi mulai terpancing dengan keahlian Eiji memanjakan tubuh wanita.
“Tuan Muda …”
Di tengah-tengah kesadarannya yang mulai meredup, Izumi bermaksud sekali lagi menyadarkan Eiji dari kegilaannya. Namun, percuma karena Eiji sama sekali tak menggubrisnya. Tanpa ampun pria itu mencium bibir Izumi dengan rakus, kembali menjelajahi kulit mulus gadis itu dengan bibir dan tangannya. Kesadaran Izumi hilang sepenuhnya dan digantikan oleh perasaan aneh seakan-akan ribuan kupu-kupu tengah beterbangan di dalam perutnya begitu merasakan Eiji dengan lancang menyentuh beberapa area sensitif. Kini Izumi tak mampu menahan ataupun menolak. Semua serangan dan sentuhan pria itu mulai dia terima. Dengan pasrah membiarkan Eiji melakukan apa pun yang dia inginkan pada tubuhnya.
Izumi sama sekali tidak sadar sejak kapan tubuh mereka sama-sama polos. Pakaian mereka berserakan di lantai dan Izumi tak lagi peduli. Permainan mereka semakin tak terkendali. Suara khas percintaan dua insan yang sedang memadu kasih menjadi satu-satunya suara yang terdengar di dalam kamar tersebut.
Izumi menekan kepalanya pada bantal saat serangan rasa sakit tiba-tiba dia rasakan. Ini pertama kali untuknya mengizinkan seorang pria menyentuhnya seintim dan sedalam itu.
Izumi tertegun ketika gerakan Eiji tiba-tiba terhenti, raut wajah pria itu menyiratkan kebingungan. “Yuko, malam ini kau terasa berbeda,” gumamnya pelan, tapi telinga Izumi masih bisa mendengarnya dengan jelas.
Izumi pikir dia harus menghentikan semua ini sebelum terlambat, nama Yuko yang baru saja digumamkan Eiji seketika membuat Izumi kembali teringat pada sang majikan. Pada Yuko yang akan dia khianati jika sampai kegiatan ini terus berlanjut.
“Tuan Muda, kita harus berhenti. Aku mohon hentikan sebelum …”
Sebenarnya bisa saja Izumi melarikan diri, mendorong Eiji yang sedang mabuk berat itu bukan perkara yang terlalu sulit untuknya yang dalam kondisi sepenuhnya sadar. Sayangnya, Izumi yang sudah terbuai permainan Eiji kembali tak berdaya ketika pria itu memulai kembali permainannya.
Izumi memekik kaget ketika penyatuan mereka telah sempurna. Rasa sakit tak tertahankan itu kembali menyerangnya, Izumi hanya mampu meredam tangisan yang tiba-tiba meluncur dari mulut dengan telapak tangannya sendiri. Membekap mulutnya yang merintih karena tak ingin merusak momen menyenangkan untuk Eiji. Pria itu tampak menikmati kegiatannya, memejamkan kedua mata dengan sekali mengeluarkan geraman tertahan.
Izumi tak tahu kenapa air matanya tiba-tiba mengalir dari pelupuk mata, ketika merasakan sentuhan tangan Eiji di wajahnya, tatapan Izumi kembali tertuju pada sosok pria yang baru saja merenggut mahkota berharga yang selama ini dia jaga sebaik mungkin.
“Aku mencintaimu, Yuko. Sangat mencintaimu.”
Tatapan yang diberikan Eiji saat ini begitu lembut dan menyiratkan cinta yang amat besar. Izumi terpesona melihatnya meskipun dia tahu tatapan itu bukan ditujukan untuknya melainkan untuk Yuko. Izumi tahu di dalam pandangan Eiji, bukan dirinya melainkan sosok Yuko yang sedang berada dalam kuasanya.
“Kenapa kau menangis?”
Izumi memejamkan mata dikala jemari Eiji yang menyentuh wajahnya yang basah membuat pria itu menyadari bahwa dia sedang menangis. Eiji menghapus jejak-jejak air mata yang mengalir di kedua pipinya. Sentuhan yang begitu lembut dan hangat, Izumi tak tahu sudah berapa kali dia berfantasi membayangkan keajaiban seperti ini akan terjadi. Membayangkan Eiji akan memperlakukannya selembut ini awalnya hanya sebuah impian yang tak mungkin menjadi nyata bagi Izumi, tapi lihat sekarang … seolah-olah keajaiban benar-benar ada, impian yang terasa mustahil itu kini benar-benar menjadi kenyataan.
“Apa aku menyakitimu, Hm? Haruskah aku berhenti?”
Izumi tahu Eiji tidak main-main, pria itu berniat memisahkan diri darinya tapi Izumi tak ingin kebahagiaan ini berakhir secepat itu. Dia melingkarkan kedua tangannya di leher Eiji, menahan pria itu agar tetap di tempat, tak pergi ke mana pun karena Izumi menginginkannya.
Kepala Izumi menggeleng dengan gerakan perlahan, “Jangan pergi. Lanjutkan. Aku milikmu seutuhnya malam ini.”
Eiji menyeringai, “Apa ini sebuah undangan? Baiklah, jangan salahkan aku karena tidak akan berhenti sebelum aku ingin menghentikannya.”
Izumi hanya bisa memejamkan mata ketika Eiji yang sempat terdiam, kini kembali menggerakan tubuh dengan kecepatan yang lebih mengerikan dibanding sebelumnya. Tanpa sadar Izumi mengulas senyum, tidak masalah … malam ini saja biarkan dia memiliki pria yang diam-diam selama ini dia cintai. Biarkan sekali ini saja dia menjadi sosok yang begitu egois sehingga begitu tega merebut kekasih majikannya sendiri.
“Nona Yuko, maafkan aku.”
Permintaan maaf yang tulus diucapkan Izumi hanya dalam hati karena setelah itu dia tak mempedulikan apa pun lagi meskipun perbuatannya ini sebuah dosa besar yang tidak seharusnya dia lakukan. Dia hanya ingin menikmati rasanya memiliki Eiji satu malam saja.
***
Dengan gerakan perlahan, Izumi membuka mata. Sebenarnya ada rasa khawatir dan takut yang terbesit di dalam hati gadis itu. Sempat berpikir semua yang terjadi hanya sebuah mimpi atau yang lebih menyedihkan hanya sebatas halusinasinya semata, Izumi mengembuskan napas lega begitu melihat sosok Eiji yang sedang terbaring di sampingnya yang dia lihat pertama kali begitu membuka mata.
“Ternyata ini bukan mimpi.” Izumi terkekeh pelan. Dia tidur menyamping menghadap Eiji hanya karena dia ingin menatap wajah pria itu yang terlihat berkali lipat lebih tampan ketika sedang tertidur.
Izumi merentangkan satu tangan ke depan, begitu berani karena jemarinya kini mendarat di kulit wajah Eiji yang putih dan begitu lembut dalam sentuhannya. Dia mengusap wajah itu seolah-olah tak memiliki rasa takut atau kekhawatiran kedua mata yang sejak tadi terpejam akan kembali terbuka karena merasa terganggu oleh sentuhannya. Izumi hanya ingin meyakinkan dirinya tidak sedang bermimpi. Membuktikan sosok Eiji di sampingnya memang nyata.
“Kau tahu, Tuan Muda,” gumam Izumi pelan masih dengan jemarinya yang menelusuri wajah tidur Eiji yang tak terusik dengan sentuhannya. “Aku sangat kesal setiap melihatmu bermesraan dengan Nona Yuko. Aku tahu ini salah. Kau miliknya. Aku tidak punya hak untuk marah apalagi cemburu. Tapi ….”
Izumi memejamkan mata, berbagai ingatan saat dia merasa sakit hati setiap melihat dengan mata kepalanya sendiri kemesraan Yuko dan Eiji, entah kenapa tiba-tiba terlintas.
“Aku selalu memiliki keinginan sekali saja posisiku dan Nona Yuko ditukar. Aku ingin sekali saja berada di posisi Nona Yuko agar aku bisa merasakan bagaimana diperlakukan dengan lembut dan penuh cinta olehmu.” Izumi mengulas senyum lebar. “Dan malam ini aku percaya keajaiban itu memang ada. Aku jadi semakin iri pada Nona Yuko. Dia setiap saat selalu bersamamu. Apalagi kau juga sangat mencintainya.”
Senyuman masih tersungging di bibir Izumi, tapi bukan senyum bahagia melainkan senyum miris dan getir karena dia kembali teringat pada Eiji yang terus menggumamkan nama Yuko ketika mereka bercinta beberapa jam yang lalu.
“Aku harus bagaimana, Tuan Muda? Sekarang aku harus bagaimana?”
Kedua mata Izumi mulai berkaca-kaca, dia sendiri tak tahu kenapa air matanya tiba-tiba memberontak meminta pembebasan. Satu hal yang pasti, ada rasa bersalah yang tiba-tiba menggelayuti hatinya.
“Nona Yuko begitu baik padaku. Dia menganggapku sahabat di saat aku ini hanyalah seorang pembantu di rumahnya. Hei, katakan aku harus bagaimana karena dengan lancang aku telah jatuh cinta pada kekasihnya?”
Izumi tak menahannya lagi, membiarkan air mata meluncur cepat agar dunia tahu dia sedang tersiksa sekarang. Tersiksa karena untuk kesekian kalinya menyadari telah jatuh cinta pada pria yang salah dan kini dengan bodohnya dia telah melakukan kesalahan besar karena sudah mengkhianati kebaikan dan kepercayaan Yuko.
“Nona Yuko, aku minta maaf.”
Izumi berbalik badan, mengubah posisi tidurnya menjadi miring membelakangi Eiji, gadis itu hanya menangis seorang diri, meratapi kisah asmaranya yang begitu menyedihkan karena dia tidak akan pernah bisa memiliki Eiji seutuhnya. Mungkin raga pria itu kini menjadi miliknya, tapi tidak dengan hatinya. Selamanya hati Eiji hanya milik Yuko.
Suasana kamar yang temaram menjadi lebih terang ketika pagi tiba. Suara dering yang berasal dari ponsel, membangunkan Eiji dari tidur panjangnya. Pria itu melenguh seraya mengeluarkan suara decakan karena kesal tidur lelapnya terganggu. Meskipun enggan, dia tetap membuka mata, refleks memijit pangkal hidung ketika rasa sakit menghantam kepalanya. “Shit, sepertinya aku mabuk semalam,” gumamnya pelan.Eiji mengubah posisi terlentang menjadi duduk di atas ranjang, ia menelisik sekitar untuk mencari sumber suara yang begitu mengganggu tersebut. Eiji menghela napas panjang begitu menyadari asal suara itu berasal dari celana jeans miliknya yang tergeletak di lantai. Bukan hanya celananya saja yang dia lihat berserakan tak beraturan di lantai, melainkan kemeja yang dia kenakan semalam pun ikut teronggok di sana. Eiji menatap dirinya sendiri, menyadari penampilannya polos tanpa sehelai benang pun yang menutupi, dia tahu apa yang sudah terjadi padanya semalam. Keg
Eiji menemukan Izumi sedang membereskan tempat tidur begitu dirinya keluar dari kamar mandi. Dia baru saja selesai membersihkan diri, Eiji berniat pergi sekarang juga karena dia tak tahan berlama-lama berada di dalam satu ruangan bersama Izumi. Ada rasa bersalah yang menghantam relung hatinya setiap kali menatap wajah Izumi karena dia menyadari sudah merenggut sesuatu yang berharga miliknya.Tanpa mengatakan apa pun, Eiji berjalan menuju nakas untuk mengambil ponselnya yang tergeletak di sana. Memeriksa sejenak ponsel itu untuk memastikan tak ada panggilan atau pesan penting yang masuk, dia lantas memasukannya ke dalam saku celana. Masih dengan rasa canggung yang melanda, juga rasa bersalah yang menggelayuti hati, Eiji menatap ke arah Izumi yang masih sibuk melipat selimut tebal milik Yuko.Eiji berniat untuk berpamitan karena dia ingin pergi sekarang juga. “Izumi ….”“Tuan Muda Eiji ….”Baik Eiji maupun Izumi sama se
Ruangan itu tampak temaram, cahaya hanya berasal dari layar televisi yang sengaja dibiarkan menyala. Suara lenguhan terdengar ketika Eiji baru saja terbangun dari tidur lelap. Pria itu meringis saat merasakan beban berat di salah satu bahunya, menoleh ke samping dia mengulas senyum melihat wajah lelap Yuko yang menjadi pelaku salah satu tangannya kini terasa pegal.Tak ada keinginan untuk membangunkan gadis itu, Eiji mengusap lembut kulit putih dan mulus wajah Yuko dengan punggung tangannya. Dia menelisik penampilan mereka yang sama-sama polos, hanya selimut tebal yang menutupi tubuh mereka. Yuko terlihat kelelahan karena itu dia tertidur begitu pulas bahkan tak terusik meskipun Eiji sejak tadi mengusap wajahnya penuh sayang bahkan sesekali mendaratkan ciuman di puncak kepalanya. Sebenarnya itu hal yang wajar mengingat betapa panasnya percintaan mereka semalam, entah berapa jam mereka bermain di atas ranjang hingga akhirnya selesai karena lelah yang dirasakan keduanya.
“Bu, ini belanjaannya,” ucap Izumi seraya meletakkan plastik belanjaannya di atas meja.“Semua yang Ibu tulis di kertas tadi sudah kau beli?” tanya Kazumi yang sedang sibuk memotong-motong daging untuk dimasak.“Sudah, Bu. Kebetulan semuanya ada di mini market.”Awalnya, Izumi akan pergi ke kamar mandi untuk menggunakan alat yang dia beli di mini market tadi. Namun, belum sempat kakinya tiba di lantai kamar mandi, suara ibunya kembali mengalun.“Tadi Nyonya memanggilmu. Dia menyuruhmu ke kamarnya sekarang, Izumi.”Izumi tertegun, gerakan kakinya yang hendak memasuki kamar mandi seketika dia urungkan. “Nyonya menyuruhku ke kamarnya? Untuk apa ya, Bu?”Kazumi mengangkat kedua bahu, “Ibu juga tidak tahu. Kau ke sana saja, mungkin ada hal penting yang ingin dibicarakan.”Izumi tak berani membantah karena itu dia bergegas meninggalkan dapur. Kamar sang nyonya besar yan
Sedan lexus berwarna hitam itu melesat cepat memecah jalanan Tokyo yang terlihat cukup sepi di hari minggu. Disertai alunan musik yang mengalun di dalam mobil, Yuko sesekali bersenandung mengikuti suara sang vokalis yang sedang bernyanyi. Sedangkan Eiji tampak fokus menatap ke depan karena pria itu tak suka konsentrasinya terganggu jika sedang menyetir.Mobil berhenti melaju karena terjebak lampu merah yang menyala. Sambil menggerak-gerakan kepala dengan santai, Yuko memalingkan tatapan ke arah samping, gadis itu mengulas senyum saat melihat kedai penjual makanan ringan khas Jepang berdiri tak jauh dari mobil mereka berhenti.“Sayang, aku turun sebentar ya?”Eiji memutar leher ke samping, kedua alisnya menyatu karena mendengar permintaan Yuko yang begitu tiba-tiba. “Memangnya kau mau ke mana?”Yuko menunjuk ke arah kedai di samping mobil, “Membeli takoyaki sebentar untuk Izumi. Itu makanan favoritnya. Dia pasti senang jika ak
Suasana di ruangan itu tampak hening, keempat pria yang sedang duduk di sofa terlihat menyibukkan diri dengan pemikiran masing-masing. Namun, yang terlihat begitu gelisah adalah Eiji karena memang pria itu yang sedang tertimpa masalah cukup berat. Dia sudah berbagi cerita dengan teman-temannya tapi hingga kini belum ada yang memberikan tanggapan berarti seolah ketiga temannya itu ikut terkejut mendengar masalahnya yang tak disangka-sangka akan menimpa seorang Nakagawa Eiji.“Ck, jadi aku harus bagaimana menurut kalian?” Eiji melontarkan tanya karena sungguh dia sedang kebingungan.“Aku ingat beberapa menit yang lalu kau mengejek dan menasihatiku, menyuruhku untuk berhenti main-main dengan wanita dan harus serius memilih salah satu.” Shuji mendecih. “Tapi lihat sekarang, justru kau yang mempermainkan wanita. Tak kusangka kau sebejat ini, Eiji. Kau tega sekali mengkhianati Yuko. Parahnya lagi kau berselingkuh dengan pembantunya sampai mengan
Di pagi hari yang cerah, tampak sebuah mobil berwarna hitam berhenti tepat di halaman rumah mewah bergaya tradisional Jepang. Rumah itu tampak besar dan luas meskipun hanya terdiri dari satu lantai, sungguh bertolak belakang dengan apartemen-apartemen modern yang terdiri dari puluhan lantai.Halamannya pun begitu luas dan dipenuhi berbagai jenis bunga yang tengah bermekaran dengan indah. Sebuah kolam besar dengan air mancur di tengah-tengahnya menambah kesan mengagumkan para area di sekeliling rumah tersebut. Cukup menjadi bukti bahwa pemilik rumah itu bukan orang sembarangan, melainkan salah satu keluarga konglomerat yang terpandang dan masih menjunjung tinggi tradisi.Sosok Eiji keluar dari dalam mobil, melepas kaca mata hitam yang sejak tadi membungkus kedua matanya yang tajam, Eiji mengembuskan napas pelan begitu tatapannya tertuju pada rumah yang sudah lama tak dia datangi. Suara decakan meluncur dari bibirnya tatkala mengingat tujuannya datang ke rumah ini. Padah
Perkataan adik perempuannya bukan hanya isapan jempol karena Eiji memang menemukan sang ayah sedang berada di sebuah ruangan yang cukup luas dan kosong karena tak ada apa pun di dalamnya. Tentu saja karena ruangan itu diperuntukkan berlatih salah satu bela diri yang cukup terkenal di Jepang yaitu kendo. Bangunan satu lantai dengan hanya terdiri dari satu ruangan untuk berlatih bela diri yang identik dengan pedang terbuat dari bambu itu, bernama dojo.Suara ayunan pedang bambu atau shinai biasa orang Jepang menyebutnya, bisa didengar jelas oleh Eiji meskipun dia sedang berdiri di balik pintu. Sang ayah, Nakagawa Kazuto memang begitu hobi berlatih kendo dan biasanya dia akan marah jika kesenangannya terganggu. Namun, apa mau dikata, Eiji tidak memiliki waktu lagi. Dia harus segera menyelesaikan permasalahannya karena Yuko terus mendesak agar kandungan Izumi segera digugurkan sedangkan dia tak setega itu sehingga harus membunuh darah dagingnya sendiri.Kini, hanya keputus
Di sebuah ruangan, suasana tampak canggung dan memilukan. Izumi sejak tadi hanya menundukkan kepala sambil menatap gelisah pada kesepuluh jemarinya yang saling meremas di atas pangkuan. Dari wajahnya yang terlihat kusam, kulit wajah memerah karena sembap, kelopak mata yang bengkak, serta air yang terus menggenang di pelupuk mata, bisa diterka dengan jelas dia terlalu banyak menangis. Bibir bawahnya yang terus digigit hingga memerah dan nyaris mengeluarkan darah itu menjadi penegas bahwa beban berat sedang dia tanggung.Di ruangan itu, Izumi tidak sendirian. Ada pula sepasang pria dan wanita paruh baya yang tidak lain merupakan orang tuanya. Mereka duduk berjauhan. Izumi yang duduk merenung sendiri di kursi tak jauh dari televisi diletakkan. Ibunya justru tengah duduk di depan meja mungil yang biasa mereka jadikan tempat untuk menyimpan makanan dikala waktu makan bersama telah tiba. Sedangkan sang ayah, kini tengah duduk di depan, terlihat sedang melamun di kursi yang sengaja
Suara tamparan keras menjadi satu-satunya suara yang terdengar di dalam mobil begitu Yuko melayangkan satu tamparan keras di salah satu pipi Eiji. Kedua mata gadis itu berkaca-kaca karena kekecewaan yang sedang dia rasakan.“Apa kau bilang? Coba katakan sekali lagi!” bentak Yuko, emosinya tengah memuncak dan dia tak peduli meskipun memarahi Eiji. Dia hanya ingin mengutarakan kesedihan yang sedang dirasakannya.“Aku akan menikahi Izumi,” jawab Eiji, mengulang sekali lagi perkataannya beberapa menit yang lalu.“Menikahi Izumi? Lalu bagaimana denganku?”Kedua mata Yuko yang berkaca-kaca kini perlahan meneteskan air mata. “Hubungan kita, bagaimana kelanjutan hubungan kita? Bukankah kita sudah sepakat akan menikah setelah aku lulus kuliah?”Eiji hanya terdiam sambil menundukkan kepala seolah-olah dia tak sanggup menatap wajah Yuko yang menunjukkan luka teramat dalam.“Tinggal tiga bulan lagi,
Saat siang yang terik di musim panas tengah menyapa, yang dilakukan semua orang pasti lebih memilih berada di tempat yang dilengkapi pendingin ruangan. Seperti yang tengah dilakukan oleh para mahasiswa di Nakagawa University, di jam istirahat siang seperti ini, mereka memilih berada di kantin kampus dilengkapi alat pendingin yang berfungsi secara maksimal seraya menyantap hidangan yang mereka pesan.Suasana ramai di kantin, terdengar suara riuh dari orang-orang yang berbincang disertai suara denting dari piring dan sendok yang saling beradu, meskipun dominan mereka menyantap makanan dengan menggunakan sumpit.Salah satu orang yang ada di kantin itu adalah Yuko, duduk satu meja bersama teman-temannya, siang ini Yuko terlihat begitu murung. Padahal Yuko yang biasa merupakan sosok gadis yang periang, sangat berbeda jauh dengan dirinya siang ini yang hanya duduk melamun sambil mengaduk-aduk kuah ramen tanpa mencicipinya sedikitpun, terlihat tak berselera untuk makan.
Perkataan adik perempuannya bukan hanya isapan jempol karena Eiji memang menemukan sang ayah sedang berada di sebuah ruangan yang cukup luas dan kosong karena tak ada apa pun di dalamnya. Tentu saja karena ruangan itu diperuntukkan berlatih salah satu bela diri yang cukup terkenal di Jepang yaitu kendo. Bangunan satu lantai dengan hanya terdiri dari satu ruangan untuk berlatih bela diri yang identik dengan pedang terbuat dari bambu itu, bernama dojo.Suara ayunan pedang bambu atau shinai biasa orang Jepang menyebutnya, bisa didengar jelas oleh Eiji meskipun dia sedang berdiri di balik pintu. Sang ayah, Nakagawa Kazuto memang begitu hobi berlatih kendo dan biasanya dia akan marah jika kesenangannya terganggu. Namun, apa mau dikata, Eiji tidak memiliki waktu lagi. Dia harus segera menyelesaikan permasalahannya karena Yuko terus mendesak agar kandungan Izumi segera digugurkan sedangkan dia tak setega itu sehingga harus membunuh darah dagingnya sendiri.Kini, hanya keputus
Di pagi hari yang cerah, tampak sebuah mobil berwarna hitam berhenti tepat di halaman rumah mewah bergaya tradisional Jepang. Rumah itu tampak besar dan luas meskipun hanya terdiri dari satu lantai, sungguh bertolak belakang dengan apartemen-apartemen modern yang terdiri dari puluhan lantai.Halamannya pun begitu luas dan dipenuhi berbagai jenis bunga yang tengah bermekaran dengan indah. Sebuah kolam besar dengan air mancur di tengah-tengahnya menambah kesan mengagumkan para area di sekeliling rumah tersebut. Cukup menjadi bukti bahwa pemilik rumah itu bukan orang sembarangan, melainkan salah satu keluarga konglomerat yang terpandang dan masih menjunjung tinggi tradisi.Sosok Eiji keluar dari dalam mobil, melepas kaca mata hitam yang sejak tadi membungkus kedua matanya yang tajam, Eiji mengembuskan napas pelan begitu tatapannya tertuju pada rumah yang sudah lama tak dia datangi. Suara decakan meluncur dari bibirnya tatkala mengingat tujuannya datang ke rumah ini. Padah
Suasana di ruangan itu tampak hening, keempat pria yang sedang duduk di sofa terlihat menyibukkan diri dengan pemikiran masing-masing. Namun, yang terlihat begitu gelisah adalah Eiji karena memang pria itu yang sedang tertimpa masalah cukup berat. Dia sudah berbagi cerita dengan teman-temannya tapi hingga kini belum ada yang memberikan tanggapan berarti seolah ketiga temannya itu ikut terkejut mendengar masalahnya yang tak disangka-sangka akan menimpa seorang Nakagawa Eiji.“Ck, jadi aku harus bagaimana menurut kalian?” Eiji melontarkan tanya karena sungguh dia sedang kebingungan.“Aku ingat beberapa menit yang lalu kau mengejek dan menasihatiku, menyuruhku untuk berhenti main-main dengan wanita dan harus serius memilih salah satu.” Shuji mendecih. “Tapi lihat sekarang, justru kau yang mempermainkan wanita. Tak kusangka kau sebejat ini, Eiji. Kau tega sekali mengkhianati Yuko. Parahnya lagi kau berselingkuh dengan pembantunya sampai mengan
Sedan lexus berwarna hitam itu melesat cepat memecah jalanan Tokyo yang terlihat cukup sepi di hari minggu. Disertai alunan musik yang mengalun di dalam mobil, Yuko sesekali bersenandung mengikuti suara sang vokalis yang sedang bernyanyi. Sedangkan Eiji tampak fokus menatap ke depan karena pria itu tak suka konsentrasinya terganggu jika sedang menyetir.Mobil berhenti melaju karena terjebak lampu merah yang menyala. Sambil menggerak-gerakan kepala dengan santai, Yuko memalingkan tatapan ke arah samping, gadis itu mengulas senyum saat melihat kedai penjual makanan ringan khas Jepang berdiri tak jauh dari mobil mereka berhenti.“Sayang, aku turun sebentar ya?”Eiji memutar leher ke samping, kedua alisnya menyatu karena mendengar permintaan Yuko yang begitu tiba-tiba. “Memangnya kau mau ke mana?”Yuko menunjuk ke arah kedai di samping mobil, “Membeli takoyaki sebentar untuk Izumi. Itu makanan favoritnya. Dia pasti senang jika ak
“Bu, ini belanjaannya,” ucap Izumi seraya meletakkan plastik belanjaannya di atas meja.“Semua yang Ibu tulis di kertas tadi sudah kau beli?” tanya Kazumi yang sedang sibuk memotong-motong daging untuk dimasak.“Sudah, Bu. Kebetulan semuanya ada di mini market.”Awalnya, Izumi akan pergi ke kamar mandi untuk menggunakan alat yang dia beli di mini market tadi. Namun, belum sempat kakinya tiba di lantai kamar mandi, suara ibunya kembali mengalun.“Tadi Nyonya memanggilmu. Dia menyuruhmu ke kamarnya sekarang, Izumi.”Izumi tertegun, gerakan kakinya yang hendak memasuki kamar mandi seketika dia urungkan. “Nyonya menyuruhku ke kamarnya? Untuk apa ya, Bu?”Kazumi mengangkat kedua bahu, “Ibu juga tidak tahu. Kau ke sana saja, mungkin ada hal penting yang ingin dibicarakan.”Izumi tak berani membantah karena itu dia bergegas meninggalkan dapur. Kamar sang nyonya besar yan
Ruangan itu tampak temaram, cahaya hanya berasal dari layar televisi yang sengaja dibiarkan menyala. Suara lenguhan terdengar ketika Eiji baru saja terbangun dari tidur lelap. Pria itu meringis saat merasakan beban berat di salah satu bahunya, menoleh ke samping dia mengulas senyum melihat wajah lelap Yuko yang menjadi pelaku salah satu tangannya kini terasa pegal.Tak ada keinginan untuk membangunkan gadis itu, Eiji mengusap lembut kulit putih dan mulus wajah Yuko dengan punggung tangannya. Dia menelisik penampilan mereka yang sama-sama polos, hanya selimut tebal yang menutupi tubuh mereka. Yuko terlihat kelelahan karena itu dia tertidur begitu pulas bahkan tak terusik meskipun Eiji sejak tadi mengusap wajahnya penuh sayang bahkan sesekali mendaratkan ciuman di puncak kepalanya. Sebenarnya itu hal yang wajar mengingat betapa panasnya percintaan mereka semalam, entah berapa jam mereka bermain di atas ranjang hingga akhirnya selesai karena lelah yang dirasakan keduanya.