Di sore hari yang terlihat mendung, Yuko bergegas turun dari mobil yang dia kendarai begitu memarkirkannya cukup jauh dari tempat yang dia tuju. Bukan tanpa alasan dia memarkirkannya cukup jauh, melainkan karena tempat parkir kafe yang dia tuju sudah penuh oleh kendaraan pengunjung lain.
Yuko berlari menghampiri bangunan terdiri dari dua lantai itu karena menyadari dirinya sudah terlambat. Teman-temannya semasa masih duduk di senior high school, pasti sudah menunggunya di dalam dengan tidak sabar. Dia memang sudah membuat janji dengan teman-teman dekatnya untuk bertemu di salah satu kafe yang berada di kawasan Meguro, Tokyo. Factory & Labo Kanno Coffee nama kafe tersebut. Sebuah kafe yang biasa digunakan para mahasiswa seperti Yuko untuk mengerjakan tugas atau mengobrol dengan nyaman karena nuansa di dalam kafe memang sangat mendukung.
Begitu menginjak halaman depan kafe, Yuko sudah disuguhkan beberapa lantai yang didesain layaknya sebuah laboratorium. Bahkan, ketika dia masuk ke dalam, pelayan yang menyapanya dengan ramah juga mengenakan seragam menyerupai jas lab. Sebenarnya, bangunan kafe itu memang didesain semirip mungkin dengan laboratorium sehingga semua staff termasuk barista dan pramusaji pun mengenakan seragam seperti jas lab.
Yuko membalas sekilas senyuman sang pelayan yang menyapanya ramah sebelum dia berjalan cepat menaiki tangga karena sudah tahu teman-temannya berada di sana. Benar saja, begitu kakinya menginjak lantai atas, dia dengan mudah menemukan teman-temannya sudah duduk di salah satu kursi yang berada di barisan belakang. Bahkan suara tawa kedua temannya, Ayumi dan Sayaka, sudah terdengar dari tempat Yuko kini berdiri.
“Maaf, aku terlambat.” Yuko segera mendudukan diri di salah satu kursi kosong begitu dirinya tiba.
“Kau ini lama sekali, jangan bilang kau pacaran dulu dengan Eiji sebelum ke sini?” tanya Sayaka seraya melempar tatapan penuh curiga pada Yuko.
Yuko memutar bola mata, malas. Walaupun dia tidak heran kedua temannya itu berpikir demikian tentangnya. “Siapa bilang? Aku baru pulang kuliah ini. Begitu kelas selesai, aku langsung berangkat ke sini. Kalian sendiri cepat sekali sampai di sini, tidak kuliah?”
“Tentu saja kuliah. Tapi namanya juga kampus kita tidak seelit Nakagawa Daigaku, jadi ya kita santai,” sahut Ayumi. Dia dan Sayaka tertawa bersama seolah-olah dengan sengaja menertawakan Yuko yang harus menerima nasib berada di universitas elit seperti Nakagawa Daigaku yang peraturannya pun sangat ketat.
“Jangan tertawa. Aku datang ke sini bukan untuk mendengar ejekan kalian.” Yuko memicingkan mata, terlihat jelas mulai kesal. “Jadi, kenapa kalian mengajakku bertemu? Kalian bilang ada hal penting yang harus kita bicarakan?”
“Kau tidak memesan minuman dulu?” Sayaka yang bertanya karena Yuko langsung membicarakan masalah inti padahal gadis itu belum memesan apa pun.
Tanpa keraguan Yuko menggeleng, “Tidak, tidak. Aku tidak bisa lama-lama di sini. Aku harus segera kembali ke asrama atau aku akan mendapatkan hukuman karena pulang terlambat.”
Sayaka dan Ayumi saling berpandangan, tak lama berselang kembali tawa mereka yang terdengar.
Habis sudah kesabaran Yuko, dia menggebrak meja cukup kencang. “Aku serius. Bisa tidak kalian jangan bercanda?”
“Gomen’nasai.” Sayaka dan Ayumi mengatakannya dengan serempak layaknya paduan suara meskipun di akhir ucapan, mereka kembali tertawa, terlihat jelas tidak tulus meminta maaf.
“Kalian ini menyebalkan. Jika kalian masih tidak mau mengatakan masalah penting yang ingin kalian bicarakan denganku? Ok, aku pergi saja.” Yuko tidak main-main dengan ucapannya karena setelah itu dia bergegas berdiri dari posisi duduk, membuat Sayaka dan Ayumi panik dan mereka berdua bergegas menahan Yuko agar tetap diam di tempat.
“Alasan kami berdua mengajakmu bertemu di sini karena ingin mengajakmu pergi nanti malam.” Akhirnya Ayumi yang mengalah dan menceritakan alasan sebenarnya mereka mengajak Yuko bertemu.
Kening Yuko mengernyit, terlihat kebingungan. “Nanti malam? Pergi ke mana?”
“Ke Bar Muse.” Sayaka menimpali.
Tentunya Yuko tahu persis tempat apa yang baru saja disebutkan oleh temannya. Bar Muse merupakan salah satu bar malam yang terkenal di daerah Roppongi. Sebuah bar yang biasanya digunakan sebagai tempat pesta. Di bar itu menyuguhkan hiburan musik yang luar biasa untuk menemani para pengunjung menari di lantai dansa, dengan berbagai jenis minuman yang ditawarkan seperti koktail premium.
Yuko melebarkan mata, “Hah? Ke Bar Muse? Untuk apa?”
Ayumi menyahut, “Untuk merayakan ulang tahun Haruko. Acaranya nanti malam. Kau harus datang ya. Tapi jangan ajak Eiji.”
“Kenapa aku tidak boleh mengajak Eiji?” tanya Yuko, terheran-heran.
“Karena ini acara khusus untuk para wanita. Pria sama sekali tidak diizinkan untuk ikut.” Sambil mengedipkan sebelah mata, Ayumi kembali menjelaskan.
Yuko terlihat mengembuskan napas pelan, dia kebingungan. Haruko merupakan sahabat dekatnya karena saat masih sekolah dulu mereka berempat merupakan sahabat karib. Namun, untuk pergi menghadiri pesta nanti malam, jelas dia tidak akan bisa.
“Sepertinya aku tidak bisa ikut.” Saat mengatakan ini ekspresi wajah Yuko kentara begitu merasa bersalah.
Sayaka dan Ayumi yang sejak tadi bersikap santai dan terkesan banyak bercanda, kini mulai serius menanggapi ucapan Yuko yang menolak ajakan mereka.
“Kenapa tidak bisa ikut?” tanya Sayaka. “Pasti kau takut Eiji tidak akan mengizinkan?”
Dengan tegas Yuko menggeleng karena bukan hanya itu alasannya menolak. “Kalian tahu aku tinggal di asrama kampus. Peraturannya ketat. Kami harus sudah ada di asrama sebelum jam sepuluh malam. Selain itu, setiap tengah malam ada yang bertugas patroli, memeriksa setiap kamar untuk memastikan semua mahasiswa ada di kamar masing-masing. Ini biasanya Ibu Asrama langsung yang memeriksa.”
Sayaka dan Ayumi melebarkan mata, terkejut karena mereka baru mengetahui seketat itu peraturan mahasiswa yang menuntut ilmu di Nakagawa Daigaku.
“Kampus elit Nakagawa Daigaku memang berbeda ya? Selain peraturannya ketat, setiap mahasiswa juga mendapat satu kamar di Asrama Kampus. Coba bandingkan dengan kampus lain yang satu kamar asrama bisa ditempati beberapa mahasiswa.” Sayaka menimpali.
“Oh, jelas. Mahasiswa di sana sebagian besar anak-anak konglomerat jadi wajar jika mereka diperlakukan istimewa. Aku pernah masuk ke dalam asrama saat main ke kamarmu itu, Yuko. Benar-benar menakjubkan, asrama saja terlihat seperti hotel.” Ayumi ikut-ikutan berkomentar.
“Seharusnya peraturan asrama yang ketat bukan masalah untukmu, Yuko.”
Yuko seketika menoleh pada Sayaka yang baru saja berujar demikian. “Maksudnya?”
“Kekasihmu merupakan putra pemilik Nakagawa Daigaku. Seharusnya kau bisa memanfaatkan hal itu untuk meminta pengecualian. Lagi pula, hanya malam ini kau keluar malam.”
“Oh, iya. Benar juga, manfaatkan statusmu sebagai kekasih Eiji. Dia putra pemilik universitas, aku yakin kau akan diizinkan jika meminta izin dengan menggunakan namanya.” Ayumi mendukung sepenuhnya saran dari Sayaka.
Yuko berdecak, “Itu tidak mungkin. Jika aku menggunakan nama Eiji untuk meminta izin, aku yakin Ibu Asmara akan bertanya dulu pada Eiji. Memangnya tidak masalah jika Eiji nanti ikut?”
“Yah, jangan. Aku sudah bilang ini acara khusus para wanita,” timpal Ayumi.
“Maka dari itu, aku tidak bisa menggunakan namanya ketika meminta izin.”
Sayaka dan Ayumi ikut tertegun, ikut bingung memikirkan cara agar Yuko bisa ikut serta.
“Kau bilang Eiji itu sering menyusup masuk ke dalam asrama ya? Memangnya dia memiliki akses untuk masuk diam-diam ke asrama?” Sayaka yang menanyakan ini karena dia ingat Yuko pernah bercerita Eiji sering menyusup masuk ke asrama untuk mendatangi kamar Yuko. Apa yang mereka lakukan di dalam kamar secara diam-diam, tentu kedua teman Yuko sudah bisa menebaknya dengan pasti meskipun Yuko tak menjelaskannya secara detail.
Yuko memberikan respons dengan anggukan, “Ya. Dia memiliki kartu untuk membuka pintu masuk asrama.”
Dengan antusias, Sayaka menjentikkan jari seolah-olah dia baru saja menemukan sebuah ide brilian. “Kau pinjam saja kartu itu pada Eiji supaya nanti malam bisa menyusup keluar secara diam-diam. Jadi …” Sayaka tak melanjutkan ucapannya karena kakinya di bawah meja tiba-tiba ditendang oleh Ayumi.
“Kau ini tidak mengerti ya? Jika Yuko meminjam kartu itu pada Eiji, artinya dia akan tahu rencana kita. Eiji itu posesif sekali, dia pasti tidak akan mengizinkan Yuko pergi ke bar. Jadi, jika ingin acara kita aman, dia tidak boleh diberitahu.”
Sayaka menepuk keningnya dramatis, baru menyadari ucapan Ayumi ada benarnya. “Terus kau punya saran yang lain?” tanyanya, berharap Ayumi memiliki cara lain agar Yuko bisa ikut serta dengan acara mereka nanti malam.
“Yuko, memangnya kau tidak punya teman yang bisa menggantikanmu? Maksudnya berpura-pura menjadi dirimu supaya nanti ketika Ibu Asrama memeriksa kamar, dia berpikir orang itu sebagai kau.”
Mendengar saran dari Ayumi, Yuko seketika tertegun. Sepertinya dia baru saja mendapatkan sebuah ide untuk menyelesaikan permasalahannya ini.
Ternyata benar saja, karena saat malam tiba … tepat jam delapan, Yuko kini tidak sendirian di kamar asramanya. Melainkan, ada Izumi juga di sana, pembantu yang sudah dia anggap sebagai sahabat.
“Jadi Izumi, kau cukup tidur di sana dan tutupi tubuhmu dengan selimut supaya saat ada yang memeriksa kamar, mereka pikir aku yang sedang tidur di ranjang,” ucap Yuko seraya menunjuk ke arah tempat tidurnya.
Sejak berpisah dengan teman-temannya di kafe tadi, Yuko tidak langsung kembali ke asrama, tapi dia pergi ke rumahnya untuk membawa Izumi.
“Nona yakin kita tidak akan ketahuan?” Izumi terlihat ragu, takut kebohongan mereka ini akan terbongkar.
“Yakin sekali. Kau tenang saja. Pura-pura saja sudah tidur. Mereka biasanya hanya memeriksa dengan membuka pintu, jika melihat ada yang tidur di ranjang pasti mereka langsung berpikir itu aku yang sudah tidur.” Yuko menangkupkan kedua tangan di depan dada, “Aku mohon Izumi, bantu aku ya?”
Karena tak enak hati jika menolak permintaan Yuko yang begitu baik padanya, gadis itu hanya bisa mengalah. Izumi pun mengangguk, menyanggupi permintaan Yuko untuk berpura-pura menjadi dirinya malam ini.
***
Di daerah Shibuya, di sebuah klub malam bernama Womb lebih tepatnya, Eiji dan semua personil Black Shaddow tengah berkumpul. Mereka berpesta untuk merayakan kesuksesan konser beberapa hari yang lalu.
Berbagai jenis wine mahal tersaji di atas meja, disertai beberapa camilan sebagai pelengkap.
“Aku dengar bulan depan kita akan mulai melakukan tour ke luar negeri.”
Eiji yang sedang memetik senar gitar sambil sesekali bersenandung, seketika menghentikan gerakan tangan dan menoleh pada Shuji yang baru saja berkata demikian. Begitu pun dengan Ito dan Kenji yang sedang menyibukan diri dengan minuman masing-masing, ikut menoleh ke arah Shuji yang sedang berdiri di dekat pintu kaca seraya menatap ke arah para gadis cantik yang sedang menari di dance floor.
“Kau tahu dari siapa?” tanya Eiji, yang baru mendengar kabar itu.
Shuji melangkah mendekati teman-temannya yang sedang duduk di sofa, lalu ikut bergabung di sana sebelum dia menjawab, “Dari manager. Aku tidak sengaja menguping saat dia bicara di telepon dengan sponsor yang akan mensponsori tour kita nanti.”
“Wow, ini menakjubkan. Pertama kita konser tunggal di Tokyo Dome. Bulan depan akan menjadi tour luar negeri kita yang pertama. Ini luar biasa. Black Shaddow akan semakin sukses di masa depan. Aku yakin.” Dengan riang, Ito berkomentar.
Kenji yang duduk santai dengan bersandar pada sandaran sofa, kini mengubah posisi duduknya menjadi tegak, dia lantas mengambil salah satu botol wine dengan merk vodka. Menuangkan cairan wine pada empat gelas berkaki, dia lalu mengambil salah satu gelas dan mengangkatnya. “Ayo, bersulang. Kita rayakan kesuksesan band kita.”
Eiji mendengkus, dia menyandarkan gitar pada meja, setelahnya ikut mengambil salah satu gelas yang sudah terisi cairan wine berwarna kekuningan tersebut. Mereka berempat saling bersulang. Tidak hanya meminum satu gelas karena kenyataannya mereka terus menenggak minuman memabukkan itu sampai menghabiskan beberapa botol. Eiji yang paling banyak minum karena pria itu sedang kesal nomor Yuko sejak tadi tidak bisa dihubungi.
“Hanya pesta minum tidak cukup untuk merayakan keberhasilan kita, karena itu …” Shuji menjeda ucapannya, pria itu bangkit berdiri lalu tiba-tiba berjalan menghampiri pintu, mengundang tatapan bingung dari ketiga temannya yang tak tahu-menahu apa yang akan dilakukannya. “… aku sudah menyiapkan mereka semua untuk menghibur kalian,” katanya seraya membuka pintu selebar mungkin. Beberapa detik kemudian, beberapa wanita cantik nan seksi bermunculan. Mereka sangat menawan serta menggoda dengan gaun seksi dan menerawang yang dikenakan.
Suara siulan Ito dan Kenji saling bersahut-sahutan begitu menyaksikan para wanita cantik yang sengaja dipesan Shuji, melenggang layaknya model papan atas, memasuki ruangan VIP yang mereka pesan. Berbeda dengan Eiji yang terlihat risih dan enggan, pria itu berjalan menjauh begitu ada wanita yang berniat duduk di sampingnya.
Eiji mabuk berat terbukti dari dirinya yang sempoyongan begitu berdiri. Dia memicingkan mata begitu melihat Ito dan Kenji sedang mencumbu mesra secara bergantian dua wanita yang duduk di kanan dan kiri mereka. Eiji semakin risih melihatnya terutama karena melihat wanita-wanita itu membuatnya teringat pada Yuko yang menolak diajak bergabung dalam pesta perayaan ini dan sekarang pacarnya itu tidak bisa dihubungi.
Masih dengan sempoyongan, Eiji melangkah menuju pintu.
“Hei, Eiji! Kau mau ke mana?” teriak Kenji, orang pertama yang menyadari Eiji berniat meninggalkan ruangan.
“Sudah biarkan saja. Dia pasti ingin mendatangi pacarnya. Memangnya apa lagi alasan dia memilih pergi daripada bersenang-senang dengan wanita-wanita yang sudah aku pesan untuk menghibur kita?”
Dengan jari telunjuknya, Eiji menunjuk-nunjuk Shuji yang tebakannya tepat sasaran, memang itulah yang akan dia lakukan, menemui Yuko untuk menghukumnya karena sudah membuatnya kesal seperti ini. “Aku pergi dulu.”
“Jangan menyetir sendiri. Kau pesan saja taksi. Bahaya jika kau menyetir dalam keadaan mabuk berat.” Ito yang khawatir melihat kondisi Eiji yang sedang mabuk berat, memberikan peringatan.
Eiji hanya membalasnya dengan mengangkat satu tangan. Pria itu pun benar-benar pergi meninggalkan ruangan.
Setibanya di pinggir jalan, Eiji menuruti saran Ito. Dia memesan taksi yang melintas di depannya, lantas menyebutkan alamat yang akan dia tuju. Eiji tertidur selama perjalanan karena pengaruh alkohol membuat kepalanya pusing bukan main.
“Pak! Pak!”
Pria itu baru terbangun di saat sang sopir taksi membangunkan dirinya. Eiji melenguh, kedua matanya menyipit terlihat masih kebingungan karena tidur nyenyaknya terganggu.
“Kita sudah sampai, Pak. Di asrama Nakagawa Daigaku.”
Eiji menoleh ke samping kanan begitu sang sopir memberikan informasi di mana mereka berada saat ini. Eiji menelisik sekitar sebelum seringaian tercetak jelas di bibirnya. Benar, bangunan berlantai lima yang ada di hadapannya memang asrama Nakagawa Daigaku. Sebentar lagi dia akan memberikan hukuman pada Yuko, tanpa dia sadari bahwa orang yang berada di dalam kamar Yuko saat ini adalah Izumi yang sedang menggantikan Yuko.
Seperti yang diperintahkan Yuko padanya sebelum pergi, Izumi sejak tadi hanya meringkuk di tempat tidur. Dengan sengaja menutupi sekujur tubuh dengan selimut tebal, hanya sedikit kepalanya yang dia sisakan agar saat pemeriksaan berlangsung terlihat dirinya seperti Yuko yang sedang tertidur.Izumi bisa bernapas lega sekarang karena pemeriksaan itu baru selesai satu jam yang lalu. Izumi yang sedang berpura-pura tidur, bisa mendengar dengan jelas suara pintu yang dibuka oleh seseorang. Siluet bayangan seseorang yang berdiri di depan pintu bisa dilihat Izumi meskipun dengan ekor mata, itu memang Ibu Asrama yang melakukan patroli seperti yang dikatakan Yuko. Tidak lama wanita paruh baya itu berdiri karena dia bergegas pergi setelah memastikan sang pemilik kamar sudah berbaring di ranjang tanpa mengetahui bahwa sebenarnya Izumi yang sedang berbaring alih-alih Yuko sebagai sang pemilik kamar.“Syukurlah semuanya berjalan lancar.”Izumi berniat memejamkan ma
Suasana kamar yang temaram menjadi lebih terang ketika pagi tiba. Suara dering yang berasal dari ponsel, membangunkan Eiji dari tidur panjangnya. Pria itu melenguh seraya mengeluarkan suara decakan karena kesal tidur lelapnya terganggu. Meskipun enggan, dia tetap membuka mata, refleks memijit pangkal hidung ketika rasa sakit menghantam kepalanya. “Shit, sepertinya aku mabuk semalam,” gumamnya pelan.Eiji mengubah posisi terlentang menjadi duduk di atas ranjang, ia menelisik sekitar untuk mencari sumber suara yang begitu mengganggu tersebut. Eiji menghela napas panjang begitu menyadari asal suara itu berasal dari celana jeans miliknya yang tergeletak di lantai. Bukan hanya celananya saja yang dia lihat berserakan tak beraturan di lantai, melainkan kemeja yang dia kenakan semalam pun ikut teronggok di sana. Eiji menatap dirinya sendiri, menyadari penampilannya polos tanpa sehelai benang pun yang menutupi, dia tahu apa yang sudah terjadi padanya semalam. Keg
Eiji menemukan Izumi sedang membereskan tempat tidur begitu dirinya keluar dari kamar mandi. Dia baru saja selesai membersihkan diri, Eiji berniat pergi sekarang juga karena dia tak tahan berlama-lama berada di dalam satu ruangan bersama Izumi. Ada rasa bersalah yang menghantam relung hatinya setiap kali menatap wajah Izumi karena dia menyadari sudah merenggut sesuatu yang berharga miliknya.Tanpa mengatakan apa pun, Eiji berjalan menuju nakas untuk mengambil ponselnya yang tergeletak di sana. Memeriksa sejenak ponsel itu untuk memastikan tak ada panggilan atau pesan penting yang masuk, dia lantas memasukannya ke dalam saku celana. Masih dengan rasa canggung yang melanda, juga rasa bersalah yang menggelayuti hati, Eiji menatap ke arah Izumi yang masih sibuk melipat selimut tebal milik Yuko.Eiji berniat untuk berpamitan karena dia ingin pergi sekarang juga. “Izumi ….”“Tuan Muda Eiji ….”Baik Eiji maupun Izumi sama se
Ruangan itu tampak temaram, cahaya hanya berasal dari layar televisi yang sengaja dibiarkan menyala. Suara lenguhan terdengar ketika Eiji baru saja terbangun dari tidur lelap. Pria itu meringis saat merasakan beban berat di salah satu bahunya, menoleh ke samping dia mengulas senyum melihat wajah lelap Yuko yang menjadi pelaku salah satu tangannya kini terasa pegal.Tak ada keinginan untuk membangunkan gadis itu, Eiji mengusap lembut kulit putih dan mulus wajah Yuko dengan punggung tangannya. Dia menelisik penampilan mereka yang sama-sama polos, hanya selimut tebal yang menutupi tubuh mereka. Yuko terlihat kelelahan karena itu dia tertidur begitu pulas bahkan tak terusik meskipun Eiji sejak tadi mengusap wajahnya penuh sayang bahkan sesekali mendaratkan ciuman di puncak kepalanya. Sebenarnya itu hal yang wajar mengingat betapa panasnya percintaan mereka semalam, entah berapa jam mereka bermain di atas ranjang hingga akhirnya selesai karena lelah yang dirasakan keduanya.
“Bu, ini belanjaannya,” ucap Izumi seraya meletakkan plastik belanjaannya di atas meja.“Semua yang Ibu tulis di kertas tadi sudah kau beli?” tanya Kazumi yang sedang sibuk memotong-motong daging untuk dimasak.“Sudah, Bu. Kebetulan semuanya ada di mini market.”Awalnya, Izumi akan pergi ke kamar mandi untuk menggunakan alat yang dia beli di mini market tadi. Namun, belum sempat kakinya tiba di lantai kamar mandi, suara ibunya kembali mengalun.“Tadi Nyonya memanggilmu. Dia menyuruhmu ke kamarnya sekarang, Izumi.”Izumi tertegun, gerakan kakinya yang hendak memasuki kamar mandi seketika dia urungkan. “Nyonya menyuruhku ke kamarnya? Untuk apa ya, Bu?”Kazumi mengangkat kedua bahu, “Ibu juga tidak tahu. Kau ke sana saja, mungkin ada hal penting yang ingin dibicarakan.”Izumi tak berani membantah karena itu dia bergegas meninggalkan dapur. Kamar sang nyonya besar yan
Sedan lexus berwarna hitam itu melesat cepat memecah jalanan Tokyo yang terlihat cukup sepi di hari minggu. Disertai alunan musik yang mengalun di dalam mobil, Yuko sesekali bersenandung mengikuti suara sang vokalis yang sedang bernyanyi. Sedangkan Eiji tampak fokus menatap ke depan karena pria itu tak suka konsentrasinya terganggu jika sedang menyetir.Mobil berhenti melaju karena terjebak lampu merah yang menyala. Sambil menggerak-gerakan kepala dengan santai, Yuko memalingkan tatapan ke arah samping, gadis itu mengulas senyum saat melihat kedai penjual makanan ringan khas Jepang berdiri tak jauh dari mobil mereka berhenti.“Sayang, aku turun sebentar ya?”Eiji memutar leher ke samping, kedua alisnya menyatu karena mendengar permintaan Yuko yang begitu tiba-tiba. “Memangnya kau mau ke mana?”Yuko menunjuk ke arah kedai di samping mobil, “Membeli takoyaki sebentar untuk Izumi. Itu makanan favoritnya. Dia pasti senang jika ak
Suasana di ruangan itu tampak hening, keempat pria yang sedang duduk di sofa terlihat menyibukkan diri dengan pemikiran masing-masing. Namun, yang terlihat begitu gelisah adalah Eiji karena memang pria itu yang sedang tertimpa masalah cukup berat. Dia sudah berbagi cerita dengan teman-temannya tapi hingga kini belum ada yang memberikan tanggapan berarti seolah ketiga temannya itu ikut terkejut mendengar masalahnya yang tak disangka-sangka akan menimpa seorang Nakagawa Eiji.“Ck, jadi aku harus bagaimana menurut kalian?” Eiji melontarkan tanya karena sungguh dia sedang kebingungan.“Aku ingat beberapa menit yang lalu kau mengejek dan menasihatiku, menyuruhku untuk berhenti main-main dengan wanita dan harus serius memilih salah satu.” Shuji mendecih. “Tapi lihat sekarang, justru kau yang mempermainkan wanita. Tak kusangka kau sebejat ini, Eiji. Kau tega sekali mengkhianati Yuko. Parahnya lagi kau berselingkuh dengan pembantunya sampai mengan
Di pagi hari yang cerah, tampak sebuah mobil berwarna hitam berhenti tepat di halaman rumah mewah bergaya tradisional Jepang. Rumah itu tampak besar dan luas meskipun hanya terdiri dari satu lantai, sungguh bertolak belakang dengan apartemen-apartemen modern yang terdiri dari puluhan lantai.Halamannya pun begitu luas dan dipenuhi berbagai jenis bunga yang tengah bermekaran dengan indah. Sebuah kolam besar dengan air mancur di tengah-tengahnya menambah kesan mengagumkan para area di sekeliling rumah tersebut. Cukup menjadi bukti bahwa pemilik rumah itu bukan orang sembarangan, melainkan salah satu keluarga konglomerat yang terpandang dan masih menjunjung tinggi tradisi.Sosok Eiji keluar dari dalam mobil, melepas kaca mata hitam yang sejak tadi membungkus kedua matanya yang tajam, Eiji mengembuskan napas pelan begitu tatapannya tertuju pada rumah yang sudah lama tak dia datangi. Suara decakan meluncur dari bibirnya tatkala mengingat tujuannya datang ke rumah ini. Padah
Di sebuah ruangan, suasana tampak canggung dan memilukan. Izumi sejak tadi hanya menundukkan kepala sambil menatap gelisah pada kesepuluh jemarinya yang saling meremas di atas pangkuan. Dari wajahnya yang terlihat kusam, kulit wajah memerah karena sembap, kelopak mata yang bengkak, serta air yang terus menggenang di pelupuk mata, bisa diterka dengan jelas dia terlalu banyak menangis. Bibir bawahnya yang terus digigit hingga memerah dan nyaris mengeluarkan darah itu menjadi penegas bahwa beban berat sedang dia tanggung.Di ruangan itu, Izumi tidak sendirian. Ada pula sepasang pria dan wanita paruh baya yang tidak lain merupakan orang tuanya. Mereka duduk berjauhan. Izumi yang duduk merenung sendiri di kursi tak jauh dari televisi diletakkan. Ibunya justru tengah duduk di depan meja mungil yang biasa mereka jadikan tempat untuk menyimpan makanan dikala waktu makan bersama telah tiba. Sedangkan sang ayah, kini tengah duduk di depan, terlihat sedang melamun di kursi yang sengaja
Suara tamparan keras menjadi satu-satunya suara yang terdengar di dalam mobil begitu Yuko melayangkan satu tamparan keras di salah satu pipi Eiji. Kedua mata gadis itu berkaca-kaca karena kekecewaan yang sedang dia rasakan.“Apa kau bilang? Coba katakan sekali lagi!” bentak Yuko, emosinya tengah memuncak dan dia tak peduli meskipun memarahi Eiji. Dia hanya ingin mengutarakan kesedihan yang sedang dirasakannya.“Aku akan menikahi Izumi,” jawab Eiji, mengulang sekali lagi perkataannya beberapa menit yang lalu.“Menikahi Izumi? Lalu bagaimana denganku?”Kedua mata Yuko yang berkaca-kaca kini perlahan meneteskan air mata. “Hubungan kita, bagaimana kelanjutan hubungan kita? Bukankah kita sudah sepakat akan menikah setelah aku lulus kuliah?”Eiji hanya terdiam sambil menundukkan kepala seolah-olah dia tak sanggup menatap wajah Yuko yang menunjukkan luka teramat dalam.“Tinggal tiga bulan lagi,
Saat siang yang terik di musim panas tengah menyapa, yang dilakukan semua orang pasti lebih memilih berada di tempat yang dilengkapi pendingin ruangan. Seperti yang tengah dilakukan oleh para mahasiswa di Nakagawa University, di jam istirahat siang seperti ini, mereka memilih berada di kantin kampus dilengkapi alat pendingin yang berfungsi secara maksimal seraya menyantap hidangan yang mereka pesan.Suasana ramai di kantin, terdengar suara riuh dari orang-orang yang berbincang disertai suara denting dari piring dan sendok yang saling beradu, meskipun dominan mereka menyantap makanan dengan menggunakan sumpit.Salah satu orang yang ada di kantin itu adalah Yuko, duduk satu meja bersama teman-temannya, siang ini Yuko terlihat begitu murung. Padahal Yuko yang biasa merupakan sosok gadis yang periang, sangat berbeda jauh dengan dirinya siang ini yang hanya duduk melamun sambil mengaduk-aduk kuah ramen tanpa mencicipinya sedikitpun, terlihat tak berselera untuk makan.
Perkataan adik perempuannya bukan hanya isapan jempol karena Eiji memang menemukan sang ayah sedang berada di sebuah ruangan yang cukup luas dan kosong karena tak ada apa pun di dalamnya. Tentu saja karena ruangan itu diperuntukkan berlatih salah satu bela diri yang cukup terkenal di Jepang yaitu kendo. Bangunan satu lantai dengan hanya terdiri dari satu ruangan untuk berlatih bela diri yang identik dengan pedang terbuat dari bambu itu, bernama dojo.Suara ayunan pedang bambu atau shinai biasa orang Jepang menyebutnya, bisa didengar jelas oleh Eiji meskipun dia sedang berdiri di balik pintu. Sang ayah, Nakagawa Kazuto memang begitu hobi berlatih kendo dan biasanya dia akan marah jika kesenangannya terganggu. Namun, apa mau dikata, Eiji tidak memiliki waktu lagi. Dia harus segera menyelesaikan permasalahannya karena Yuko terus mendesak agar kandungan Izumi segera digugurkan sedangkan dia tak setega itu sehingga harus membunuh darah dagingnya sendiri.Kini, hanya keputus
Di pagi hari yang cerah, tampak sebuah mobil berwarna hitam berhenti tepat di halaman rumah mewah bergaya tradisional Jepang. Rumah itu tampak besar dan luas meskipun hanya terdiri dari satu lantai, sungguh bertolak belakang dengan apartemen-apartemen modern yang terdiri dari puluhan lantai.Halamannya pun begitu luas dan dipenuhi berbagai jenis bunga yang tengah bermekaran dengan indah. Sebuah kolam besar dengan air mancur di tengah-tengahnya menambah kesan mengagumkan para area di sekeliling rumah tersebut. Cukup menjadi bukti bahwa pemilik rumah itu bukan orang sembarangan, melainkan salah satu keluarga konglomerat yang terpandang dan masih menjunjung tinggi tradisi.Sosok Eiji keluar dari dalam mobil, melepas kaca mata hitam yang sejak tadi membungkus kedua matanya yang tajam, Eiji mengembuskan napas pelan begitu tatapannya tertuju pada rumah yang sudah lama tak dia datangi. Suara decakan meluncur dari bibirnya tatkala mengingat tujuannya datang ke rumah ini. Padah
Suasana di ruangan itu tampak hening, keempat pria yang sedang duduk di sofa terlihat menyibukkan diri dengan pemikiran masing-masing. Namun, yang terlihat begitu gelisah adalah Eiji karena memang pria itu yang sedang tertimpa masalah cukup berat. Dia sudah berbagi cerita dengan teman-temannya tapi hingga kini belum ada yang memberikan tanggapan berarti seolah ketiga temannya itu ikut terkejut mendengar masalahnya yang tak disangka-sangka akan menimpa seorang Nakagawa Eiji.“Ck, jadi aku harus bagaimana menurut kalian?” Eiji melontarkan tanya karena sungguh dia sedang kebingungan.“Aku ingat beberapa menit yang lalu kau mengejek dan menasihatiku, menyuruhku untuk berhenti main-main dengan wanita dan harus serius memilih salah satu.” Shuji mendecih. “Tapi lihat sekarang, justru kau yang mempermainkan wanita. Tak kusangka kau sebejat ini, Eiji. Kau tega sekali mengkhianati Yuko. Parahnya lagi kau berselingkuh dengan pembantunya sampai mengan
Sedan lexus berwarna hitam itu melesat cepat memecah jalanan Tokyo yang terlihat cukup sepi di hari minggu. Disertai alunan musik yang mengalun di dalam mobil, Yuko sesekali bersenandung mengikuti suara sang vokalis yang sedang bernyanyi. Sedangkan Eiji tampak fokus menatap ke depan karena pria itu tak suka konsentrasinya terganggu jika sedang menyetir.Mobil berhenti melaju karena terjebak lampu merah yang menyala. Sambil menggerak-gerakan kepala dengan santai, Yuko memalingkan tatapan ke arah samping, gadis itu mengulas senyum saat melihat kedai penjual makanan ringan khas Jepang berdiri tak jauh dari mobil mereka berhenti.“Sayang, aku turun sebentar ya?”Eiji memutar leher ke samping, kedua alisnya menyatu karena mendengar permintaan Yuko yang begitu tiba-tiba. “Memangnya kau mau ke mana?”Yuko menunjuk ke arah kedai di samping mobil, “Membeli takoyaki sebentar untuk Izumi. Itu makanan favoritnya. Dia pasti senang jika ak
“Bu, ini belanjaannya,” ucap Izumi seraya meletakkan plastik belanjaannya di atas meja.“Semua yang Ibu tulis di kertas tadi sudah kau beli?” tanya Kazumi yang sedang sibuk memotong-motong daging untuk dimasak.“Sudah, Bu. Kebetulan semuanya ada di mini market.”Awalnya, Izumi akan pergi ke kamar mandi untuk menggunakan alat yang dia beli di mini market tadi. Namun, belum sempat kakinya tiba di lantai kamar mandi, suara ibunya kembali mengalun.“Tadi Nyonya memanggilmu. Dia menyuruhmu ke kamarnya sekarang, Izumi.”Izumi tertegun, gerakan kakinya yang hendak memasuki kamar mandi seketika dia urungkan. “Nyonya menyuruhku ke kamarnya? Untuk apa ya, Bu?”Kazumi mengangkat kedua bahu, “Ibu juga tidak tahu. Kau ke sana saja, mungkin ada hal penting yang ingin dibicarakan.”Izumi tak berani membantah karena itu dia bergegas meninggalkan dapur. Kamar sang nyonya besar yan
Ruangan itu tampak temaram, cahaya hanya berasal dari layar televisi yang sengaja dibiarkan menyala. Suara lenguhan terdengar ketika Eiji baru saja terbangun dari tidur lelap. Pria itu meringis saat merasakan beban berat di salah satu bahunya, menoleh ke samping dia mengulas senyum melihat wajah lelap Yuko yang menjadi pelaku salah satu tangannya kini terasa pegal.Tak ada keinginan untuk membangunkan gadis itu, Eiji mengusap lembut kulit putih dan mulus wajah Yuko dengan punggung tangannya. Dia menelisik penampilan mereka yang sama-sama polos, hanya selimut tebal yang menutupi tubuh mereka. Yuko terlihat kelelahan karena itu dia tertidur begitu pulas bahkan tak terusik meskipun Eiji sejak tadi mengusap wajahnya penuh sayang bahkan sesekali mendaratkan ciuman di puncak kepalanya. Sebenarnya itu hal yang wajar mengingat betapa panasnya percintaan mereka semalam, entah berapa jam mereka bermain di atas ranjang hingga akhirnya selesai karena lelah yang dirasakan keduanya.