“Bu, ini belanjaannya,” ucap Izumi seraya meletakkan plastik belanjaannya di atas meja.
“Semua yang Ibu tulis di kertas tadi sudah kau beli?” tanya Kazumi yang sedang sibuk memotong-motong daging untuk dimasak.
“Sudah, Bu. Kebetulan semuanya ada di mini market.”
Awalnya, Izumi akan pergi ke kamar mandi untuk menggunakan alat yang dia beli di mini market tadi. Namun, belum sempat kakinya tiba di lantai kamar mandi, suara ibunya kembali mengalun.
“Tadi Nyonya memanggilmu. Dia menyuruhmu ke kamarnya sekarang, Izumi.”
Izumi tertegun, gerakan kakinya yang hendak memasuki kamar mandi seketika dia urungkan. “Nyonya menyuruhku ke kamarnya? Untuk apa ya, Bu?”
Kazumi mengangkat kedua bahu, “Ibu juga tidak tahu. Kau ke sana saja, mungkin ada hal penting yang ingin dibicarakan.”
Izumi tak berani membantah karena itu dia bergegas meninggalkan dapur. Kamar sang nyonya besar yang menjadi tujuannya kini. Izumi harus sabar menunggu menggunakan testpack tadi karena menemui majikannya merupakan prioritas utama baginya.
Setibanya di depan sebuah daun pintu terbuat dari kayu dengan ukirannya yang rumit, Izumi bergegas mengetuk pintu. Dalam ketukan ketiga, suara seseorang yang mengizinkan Izumi untuk masuk ke dalam, terdengar mengalun. Izumi pun tanpa ragu membukanya, dia melihat Erika yang tidak lain merupakan ibu Yuko sedang duduk di atas ranjang sembari sibuk membongkar koper besarnya.
“Permisi, Nyonya. Ibu bilang anda memanggil saya?”
Erika mengulas senyum ramah seperti biasa, dia melambai-lambaikan tangan, memberi isyarat pada Izumi agar mendekat. Gadis itu tak berani membantah sehingga dia kini berjalan menghampiri sang majikan.
Izumi tersentak ketika Erika tiba-tiba menyentuh tangannya. “Izumi, duduk di sini,” kata Erika seraya menepuk-nepuk bagian kosong di sebelah kiri agar Izumi duduk di sana.
Jika boleh jujur, Izumi merasa enggan ikut duduk di samping sang majikan. Bukan tanpa alasan, dia hanya merasa pembantu sepertinya tidak pantas duduk berdampingan dengan sang majikan. Namun, karena lagi-lagi dia tak berani membantah, dia pun menurut. Kini Izumi sudah duduk di samping Erika.
“Coba lihat, aku banyak membeli oleh-oleh,” kata Erika penuh semangat sembari menunjuk ke arah koper berisi banyak belanjaannya.
Izumi mengulas senyum, “Iya. Banyak sekali oleh-olehnya, Nyonya.”
“Karena ini rencananya akan aku berikan pada banyak orang. Untuk teman-temanku. Untuk beberapa karyawan kepercayaanku di perusahaan juga sudah aku siapkan. Paling banyak aku membelikan oleh-oleh untuk Yuko. Kau tahu sendiri dia sangat cerewet. Terus saja menelepon karena meminta dibelikan oleh-oleh.”
Mendengar gerutuan Erika, Izumi hanya tersenyum. Sudah tak heran lagi dengan sikap Yuko yang sangat manja pada orang tuanya.
“Yuko belum datang ya, Izumi?”
Izumi menggelengkan kepala, “Belum, Nyonya. Mungkin masih di jalan.”
“Ck, anak itu sepertinya sedang berduaan dengan pacarnya. Biasanya begitu jika dia tidak pulang ke rumah di hari sabtu pasti karena dia menghabiskan waktu di apartemen Eiji.”
Mendengar nama itu disebut, Izumi seketika terdiam. Bayangan Yuko dan Eiji sedang bermesraan tiba-tiba terlintas di benaknya dan hal itu berhasil membuat hatinya meringis sakit seolah-olah ada benda tajam tak kasat mata yang kini menancap di sana.
Berbeda dengan Izumi yang tiba-tiba murung, dengan wajah sumringah, Erika terlihat memilah-milah beberapa pakaian. Dia memilih sebuah gaun berwarna peach muda, sepatu berhak tinggi serta tas dengan merk Christian Dior berwarna senada dengan gaun. Tanpa ragu dia mengulurkan benda-benda mahal karena berharga fantastis itu pada Izumi. “Ini untukmu. Bisa kau kenakan jika diajak Yuko menghadiri pesta atau saat kalian menonton konser Eiji dan band-nya.”
Izumi mengerjap-erjapkan mata, terkejut bukan main karena tak menyangka alasan dirinya dipanggil oleh sang majikan karena dia diberi beberapa barang branded yang dijadikan sebagai oleh-oleh.
“Kemarin waktu ke Korea, sekalian saja aku mampir ke pusat perbelanjaan. Di Jepang mana sempat aku belanja karena sibuk di kantor. Ini, ayo diterima.” Erika semakin mengulurkan benda pemberiannya pada Izumi.
“Tapi Nyonya, saya merasa tidak pantas menerima barang-barang mewah itu.”
Erika berdecak, “Kau ini bicara apa? Ini hanya barang-barang sederhana. Lihat, gaun ini aku khusus belikan untukmu karena pasti cocok jika kau yang memakainya.” Dengan wajah yang selalu mengulas senyum, Erika membentangkan gaun tanpa lengan dengan panjang bagian bawah hanya mencapai lutut itu di hadapan Izumi.
“Aku sengaja memilih gaun ini karena modelnya sederhana. Tidak ada hiasan mencolok, sangat cocok untukmu. Apalagi aku ingat kau menyukai warna peach muda, bukan?”
Izumi tak mampu berkata-kata, gadis itu begitu terharu dengan kebaikan sang majikan hingga tanpa sadar air matanya menetes.
“Hah? Izumi, kenapa kau menangis?”
Erika yang terkejut melihat respons Izumi, bergegas memeluk gadis itu. “Kenapa Izumi menangis? Apa ada kata-kataku yang menyinggung perasaanmu, Hm?”
Izumi menggeleng-gelengkan kepala, “Saya hanya terharu, Nyonya. Nyonya Erika dan Nona Yuko sangat baik padahal saya hanya pembantu di rumah ini.”
Erika berdecak, tangannya sibuk mengusap-usap punggung Izumi bermaksud menenangkan. “Jangan bicara begitu. Bagi kami, kau ini sudah menjadi anggota keluarga. Apalagi Yuko, dia sangat menyayangimu. Bagi dia, kau ini sudah seperti sahabat. Ah, mungkin sudah seperti saudara. Bagiku juga begitu, kau ini sudah seperti putriku sendiri. Jadi, jangan sungkan ya. Jika kau menolak pemberianku ini justru aku akan marah padamu.”
Izumi tak mengatakan apa pun, gadis itu hanya membiarkan air matanya terus mengalir dengan deras. Rasa bersalah semakin menghantam relung hatinya begitu dia mengingat perbuatannya satu bulan yang lalu bersama Eiji tentunya akan menyakiti keluarga yang sudah begitu baik padanya ini jika sampai mereka tahu. Terlebih jika sampai kekhawatirannya menjadi kenyataan. Tidak, Izumi berharap apa yang dia takutkan tidak pernah terjadi.
***
Wajah Izumi terlihat sembap, itu karena dia terus menangis selama berbincang dengan Erika. Karena sang majikan terus mendesak, walau enggan akhirnya Izumi tak memiliki pilihan selain menerima barang-barang mahal pemberian Erika.
Kini Izumi sudah pergi dari kamar Erika. Sesuai rencana awal, dia bergegas pergi ke kamar mandi. Sudah hampir sepuluh menit gadis itu hanya duduk melamun di atas closet. Berbagai pikiran buruk dan kekhawatiran sedang berkecamuk di dalam pikirannya. Jika boleh jujur, dia ingin pergi saja. Tak ingin melanjutkan niatnya untuk menggunakan alat yang baru saja dia beli di mini market hanya karena dia takut hasilnya akan mengecewakan.
Namun, untuk kesekian kalinya Izumi menyadari dia tidak boleh bersikap seperti ini. Dia harus tetap memastikan bagaimanapun caranya.
Setelah cukup lama menimbang-nimbang, akhirnya Izumi beranjak bangun. Dia mulai mempersiapkan diri untuk melakukan pemeriksaan demi memastikan fitasat buruknya bukanlah kenyataan.
Selama mencelupkan ujung testpack pada urine yang sudah dia persiapkan, Izumi tiada henti meneguk saliva. Tak perlu dipertanyakan lagi kondisi jantungnya, jantung malang itu sedang berdetak tak karuan seolah-olah kapan pun siap melompat keluar dari rongga dada. Tubuh Izumi gemetaran ketika dia berniat mengangkat testpack karena merasa pemeriksaannya sudah selesai. Tiba saatnya untuk melihat hasilnya.
“Izumi!!”
Izumi tersentak, nyaris menjatuhkan testpack yang beruntung belum dia pegang karena mendengar suara teriakan seseorang dari luar pintu kamar mandi. Suara itu begitu familiar di telinga Izumi, meskipun tak dia lihat sosoknya, gadis itu tahu persis pemilik suara itu merupakan Yuko. Sepertinya Yuko baru saja tiba di rumah.
“Izumi! Apa kau sedang di dalam?!”
“Iya, aku sedang di dalam!” Izumi balas berteriak untuk menanggapi pertanyaan Yuko yang kini mulai mengetuk pintu dengan tidak sabar.
“Oh, OK. Kalau sudah selesai, cepat keluar ya. Aku membelikan sesuatu untukmu. Aku yakin kau pasti suka. Aku tunggu di meja makan!”
Setelah itu, suara Yuko tak terdengar lagi. Izumi tahu gadis itu pasti sudah pergi menjauh. Kini atensi Izumi kembali tertuju pada testpack yang belum sempat dia periksa untuk mengetahui hasilnya.
Izumi meneguk ludah sekali lagi, masih dengan tangannya yang gemetaran entah karena apa, dia pun kini benar-benar mengambil testpack itu. Di dalam hati, Izumi terus berharap agar ketakutannya tak menjadi kenyataan.
Gadis itu memejamkan mata begitu testpack sepenuhnya dikeluarkan dari wadah kecil berisi urine. “Semuanya pasti baik-baik saja. Ya, semuanya pasti baik-baik saja.” Izumi tiada henti menggumamkan berbagai kalimat positif hanya agar rasa takutnya ini berkurang. Namun, nyatanya tak berhasil karena tetap saja dia sangat ketakutan sekarang.
Dengan gerakan perlahan, Izumi akhirnya memberanikan diri membuka kedua mata. Tatapannya tertuju sepenuhnya pada alat untuk mengecek kehamilan itu. Di detik berikutnya, hanya kedua mata Izumi yang melebar sempurna disertai air mata yang nyaris tumpah. Izumi membekap mulut begitu mendapati testpack menunjukkan dua garis biru yang tiba-tiba muncul. Seketika lutut Izumi terasa lemas bagaikan jelly. Gadis itu ambruk sehingga kini terduduk di lantai masih dengan satu tangan yang memegang testpack sedangkan tangannya yang lain membekap mulutnya sendiri untuk meredam isak tangisnya agar tak terdengar keluar.
Izumi menggeleng-gelengkan kepala karena tak percaya dengan apa yang dia lihat ini. Ketakutannya menjadi kenyataan. Dia positif sedang mengandung. Tak perlu ditanyakan siapa ayah dari janin yang sedang tumbuh di dalam rahimnya karena hanya dengan pria itu Izumi melakukan hubungan intim. Jadi, sekarang dia harus bagaimana? Haruskah dia memberitahu Eiji hal ini karena walau bagaimanapun pria itu yang harus mempertanggungjawabkan perbuatannya?
Izumi tiba-tiba merasakan desakan luar biasa dari perutnya seolah-olah isinya ingin dikeluarkan. Izumi bergegas membuka tutup closet dan detik itu juga memuntahkan semua isi di dalam perutnya.
Rasa mual itu sungguh tak tertahankan, Izumi tiada henti terus memuntahkan cairan. Suara yang berasal dari mulutnya pun tak dapat dia kendalikan sehingga tak heran jika orang di luar kamar mandi mampu mendengarnya. Terlebih mengingat letak kamar mandi tempat Izumi berada cukup dekat dengan ruang makan.
“Izumi! Kau kenapa? Apa kau sedang muntah di dalam?!”
Izumi melebarkan mata, tidak salah lagi itu suara Yuko yang baru saja berbicara. Dia membekap mulut agar tak lagi memuntahkan apa pun, tapi usahanya berakhir sia-sia karena rasa mual itu menyerangnya secara bertubi-tubi sehingga membuat Izumi tak berdaya dan hanya bisa kembali mengeluarkan suara yang membuat Yuko semakin yakin Izumi memang sedang tidak baik-baik saja di dalam kamar mandi.
“Izumi, buka pintunya! Kau kenapa? Apa kau sedang sakit?!”
Izumi tak tahu lagi harus bagaimana sekarang. Air mata terus menetes sehingga membanjiri wajahnya yang terlihat pucat. Mendengar Yuko terus menggedor pintu dengan tiada henti memanggil namanya, Izumi mulai kehilangan akal. Dia tak bisa berpikir dengan jernih untuk menyelesaikan permasalahan yang begitu berat ini.
“Izumi! Aku mohon buka pintunya! Aku khawatir padamu!”
“Nona Yuko, maafkan aku. Maafkan aku.”
Hanya gumaman pelan itu yang keluar dari mulut Izumi. Sayangnya, merasa bersalah atau menyesal pun sudah terlambat bagi gadis itu. Jadi, sekarang … apa yang harus Izumi lakukan untuk menyelesaikan masalahnya?
Sedan lexus berwarna hitam itu melesat cepat memecah jalanan Tokyo yang terlihat cukup sepi di hari minggu. Disertai alunan musik yang mengalun di dalam mobil, Yuko sesekali bersenandung mengikuti suara sang vokalis yang sedang bernyanyi. Sedangkan Eiji tampak fokus menatap ke depan karena pria itu tak suka konsentrasinya terganggu jika sedang menyetir.Mobil berhenti melaju karena terjebak lampu merah yang menyala. Sambil menggerak-gerakan kepala dengan santai, Yuko memalingkan tatapan ke arah samping, gadis itu mengulas senyum saat melihat kedai penjual makanan ringan khas Jepang berdiri tak jauh dari mobil mereka berhenti.“Sayang, aku turun sebentar ya?”Eiji memutar leher ke samping, kedua alisnya menyatu karena mendengar permintaan Yuko yang begitu tiba-tiba. “Memangnya kau mau ke mana?”Yuko menunjuk ke arah kedai di samping mobil, “Membeli takoyaki sebentar untuk Izumi. Itu makanan favoritnya. Dia pasti senang jika ak
Suasana di ruangan itu tampak hening, keempat pria yang sedang duduk di sofa terlihat menyibukkan diri dengan pemikiran masing-masing. Namun, yang terlihat begitu gelisah adalah Eiji karena memang pria itu yang sedang tertimpa masalah cukup berat. Dia sudah berbagi cerita dengan teman-temannya tapi hingga kini belum ada yang memberikan tanggapan berarti seolah ketiga temannya itu ikut terkejut mendengar masalahnya yang tak disangka-sangka akan menimpa seorang Nakagawa Eiji.“Ck, jadi aku harus bagaimana menurut kalian?” Eiji melontarkan tanya karena sungguh dia sedang kebingungan.“Aku ingat beberapa menit yang lalu kau mengejek dan menasihatiku, menyuruhku untuk berhenti main-main dengan wanita dan harus serius memilih salah satu.” Shuji mendecih. “Tapi lihat sekarang, justru kau yang mempermainkan wanita. Tak kusangka kau sebejat ini, Eiji. Kau tega sekali mengkhianati Yuko. Parahnya lagi kau berselingkuh dengan pembantunya sampai mengan
Di pagi hari yang cerah, tampak sebuah mobil berwarna hitam berhenti tepat di halaman rumah mewah bergaya tradisional Jepang. Rumah itu tampak besar dan luas meskipun hanya terdiri dari satu lantai, sungguh bertolak belakang dengan apartemen-apartemen modern yang terdiri dari puluhan lantai.Halamannya pun begitu luas dan dipenuhi berbagai jenis bunga yang tengah bermekaran dengan indah. Sebuah kolam besar dengan air mancur di tengah-tengahnya menambah kesan mengagumkan para area di sekeliling rumah tersebut. Cukup menjadi bukti bahwa pemilik rumah itu bukan orang sembarangan, melainkan salah satu keluarga konglomerat yang terpandang dan masih menjunjung tinggi tradisi.Sosok Eiji keluar dari dalam mobil, melepas kaca mata hitam yang sejak tadi membungkus kedua matanya yang tajam, Eiji mengembuskan napas pelan begitu tatapannya tertuju pada rumah yang sudah lama tak dia datangi. Suara decakan meluncur dari bibirnya tatkala mengingat tujuannya datang ke rumah ini. Padah
Perkataan adik perempuannya bukan hanya isapan jempol karena Eiji memang menemukan sang ayah sedang berada di sebuah ruangan yang cukup luas dan kosong karena tak ada apa pun di dalamnya. Tentu saja karena ruangan itu diperuntukkan berlatih salah satu bela diri yang cukup terkenal di Jepang yaitu kendo. Bangunan satu lantai dengan hanya terdiri dari satu ruangan untuk berlatih bela diri yang identik dengan pedang terbuat dari bambu itu, bernama dojo.Suara ayunan pedang bambu atau shinai biasa orang Jepang menyebutnya, bisa didengar jelas oleh Eiji meskipun dia sedang berdiri di balik pintu. Sang ayah, Nakagawa Kazuto memang begitu hobi berlatih kendo dan biasanya dia akan marah jika kesenangannya terganggu. Namun, apa mau dikata, Eiji tidak memiliki waktu lagi. Dia harus segera menyelesaikan permasalahannya karena Yuko terus mendesak agar kandungan Izumi segera digugurkan sedangkan dia tak setega itu sehingga harus membunuh darah dagingnya sendiri.Kini, hanya keputus
Saat siang yang terik di musim panas tengah menyapa, yang dilakukan semua orang pasti lebih memilih berada di tempat yang dilengkapi pendingin ruangan. Seperti yang tengah dilakukan oleh para mahasiswa di Nakagawa University, di jam istirahat siang seperti ini, mereka memilih berada di kantin kampus dilengkapi alat pendingin yang berfungsi secara maksimal seraya menyantap hidangan yang mereka pesan.Suasana ramai di kantin, terdengar suara riuh dari orang-orang yang berbincang disertai suara denting dari piring dan sendok yang saling beradu, meskipun dominan mereka menyantap makanan dengan menggunakan sumpit.Salah satu orang yang ada di kantin itu adalah Yuko, duduk satu meja bersama teman-temannya, siang ini Yuko terlihat begitu murung. Padahal Yuko yang biasa merupakan sosok gadis yang periang, sangat berbeda jauh dengan dirinya siang ini yang hanya duduk melamun sambil mengaduk-aduk kuah ramen tanpa mencicipinya sedikitpun, terlihat tak berselera untuk makan.
Suara tamparan keras menjadi satu-satunya suara yang terdengar di dalam mobil begitu Yuko melayangkan satu tamparan keras di salah satu pipi Eiji. Kedua mata gadis itu berkaca-kaca karena kekecewaan yang sedang dia rasakan.“Apa kau bilang? Coba katakan sekali lagi!” bentak Yuko, emosinya tengah memuncak dan dia tak peduli meskipun memarahi Eiji. Dia hanya ingin mengutarakan kesedihan yang sedang dirasakannya.“Aku akan menikahi Izumi,” jawab Eiji, mengulang sekali lagi perkataannya beberapa menit yang lalu.“Menikahi Izumi? Lalu bagaimana denganku?”Kedua mata Yuko yang berkaca-kaca kini perlahan meneteskan air mata. “Hubungan kita, bagaimana kelanjutan hubungan kita? Bukankah kita sudah sepakat akan menikah setelah aku lulus kuliah?”Eiji hanya terdiam sambil menundukkan kepala seolah-olah dia tak sanggup menatap wajah Yuko yang menunjukkan luka teramat dalam.“Tinggal tiga bulan lagi,
Di sebuah ruangan, suasana tampak canggung dan memilukan. Izumi sejak tadi hanya menundukkan kepala sambil menatap gelisah pada kesepuluh jemarinya yang saling meremas di atas pangkuan. Dari wajahnya yang terlihat kusam, kulit wajah memerah karena sembap, kelopak mata yang bengkak, serta air yang terus menggenang di pelupuk mata, bisa diterka dengan jelas dia terlalu banyak menangis. Bibir bawahnya yang terus digigit hingga memerah dan nyaris mengeluarkan darah itu menjadi penegas bahwa beban berat sedang dia tanggung.Di ruangan itu, Izumi tidak sendirian. Ada pula sepasang pria dan wanita paruh baya yang tidak lain merupakan orang tuanya. Mereka duduk berjauhan. Izumi yang duduk merenung sendiri di kursi tak jauh dari televisi diletakkan. Ibunya justru tengah duduk di depan meja mungil yang biasa mereka jadikan tempat untuk menyimpan makanan dikala waktu makan bersama telah tiba. Sedangkan sang ayah, kini tengah duduk di depan, terlihat sedang melamun di kursi yang sengaja
Tokyo, salah satu kota modern yang tidak pernah tidur karena keramaiannya meski di malam hari sekalipun. Di dalam Tokyo Dome … sebuah stadion bisbol yang berada di Bunkyo, menjadi pusat keramaian malam ini. Dari luar, terlihat lampu yang menyorot terang sangat mampu memanjakan indera penglihatan siapa pun yang menatapnya. Namun, jika masuk ke bangunan menyerupai telur raksasa itu maka akan terlihat kemeriahan yang sesungguhnya. Tribun penonton berkapasitas 55.000, kini tengah dipenuhi oleh orang-orang yang sedang memegang ponsel yang sengaja dibiarkan menyala, mereka mengangkat ponsel tinggi di udara seraya menggoyang-goyangkannya mengikuti irama musik yang sedang mengalun. Semua lampu dimatikan sehingga cahaya dari layar ponsel yang menyala ibarat lampu hias yang sangat indah dipandang mata.Tepat di area tengah, terdapat sebuah panggung berukuran besar. Sebuah panggung di mana berbagai jenis lampu sorot tengah bersinar dengan terang. Berdiri di atas panggung megah it
Di sebuah ruangan, suasana tampak canggung dan memilukan. Izumi sejak tadi hanya menundukkan kepala sambil menatap gelisah pada kesepuluh jemarinya yang saling meremas di atas pangkuan. Dari wajahnya yang terlihat kusam, kulit wajah memerah karena sembap, kelopak mata yang bengkak, serta air yang terus menggenang di pelupuk mata, bisa diterka dengan jelas dia terlalu banyak menangis. Bibir bawahnya yang terus digigit hingga memerah dan nyaris mengeluarkan darah itu menjadi penegas bahwa beban berat sedang dia tanggung.Di ruangan itu, Izumi tidak sendirian. Ada pula sepasang pria dan wanita paruh baya yang tidak lain merupakan orang tuanya. Mereka duduk berjauhan. Izumi yang duduk merenung sendiri di kursi tak jauh dari televisi diletakkan. Ibunya justru tengah duduk di depan meja mungil yang biasa mereka jadikan tempat untuk menyimpan makanan dikala waktu makan bersama telah tiba. Sedangkan sang ayah, kini tengah duduk di depan, terlihat sedang melamun di kursi yang sengaja
Suara tamparan keras menjadi satu-satunya suara yang terdengar di dalam mobil begitu Yuko melayangkan satu tamparan keras di salah satu pipi Eiji. Kedua mata gadis itu berkaca-kaca karena kekecewaan yang sedang dia rasakan.“Apa kau bilang? Coba katakan sekali lagi!” bentak Yuko, emosinya tengah memuncak dan dia tak peduli meskipun memarahi Eiji. Dia hanya ingin mengutarakan kesedihan yang sedang dirasakannya.“Aku akan menikahi Izumi,” jawab Eiji, mengulang sekali lagi perkataannya beberapa menit yang lalu.“Menikahi Izumi? Lalu bagaimana denganku?”Kedua mata Yuko yang berkaca-kaca kini perlahan meneteskan air mata. “Hubungan kita, bagaimana kelanjutan hubungan kita? Bukankah kita sudah sepakat akan menikah setelah aku lulus kuliah?”Eiji hanya terdiam sambil menundukkan kepala seolah-olah dia tak sanggup menatap wajah Yuko yang menunjukkan luka teramat dalam.“Tinggal tiga bulan lagi,
Saat siang yang terik di musim panas tengah menyapa, yang dilakukan semua orang pasti lebih memilih berada di tempat yang dilengkapi pendingin ruangan. Seperti yang tengah dilakukan oleh para mahasiswa di Nakagawa University, di jam istirahat siang seperti ini, mereka memilih berada di kantin kampus dilengkapi alat pendingin yang berfungsi secara maksimal seraya menyantap hidangan yang mereka pesan.Suasana ramai di kantin, terdengar suara riuh dari orang-orang yang berbincang disertai suara denting dari piring dan sendok yang saling beradu, meskipun dominan mereka menyantap makanan dengan menggunakan sumpit.Salah satu orang yang ada di kantin itu adalah Yuko, duduk satu meja bersama teman-temannya, siang ini Yuko terlihat begitu murung. Padahal Yuko yang biasa merupakan sosok gadis yang periang, sangat berbeda jauh dengan dirinya siang ini yang hanya duduk melamun sambil mengaduk-aduk kuah ramen tanpa mencicipinya sedikitpun, terlihat tak berselera untuk makan.
Perkataan adik perempuannya bukan hanya isapan jempol karena Eiji memang menemukan sang ayah sedang berada di sebuah ruangan yang cukup luas dan kosong karena tak ada apa pun di dalamnya. Tentu saja karena ruangan itu diperuntukkan berlatih salah satu bela diri yang cukup terkenal di Jepang yaitu kendo. Bangunan satu lantai dengan hanya terdiri dari satu ruangan untuk berlatih bela diri yang identik dengan pedang terbuat dari bambu itu, bernama dojo.Suara ayunan pedang bambu atau shinai biasa orang Jepang menyebutnya, bisa didengar jelas oleh Eiji meskipun dia sedang berdiri di balik pintu. Sang ayah, Nakagawa Kazuto memang begitu hobi berlatih kendo dan biasanya dia akan marah jika kesenangannya terganggu. Namun, apa mau dikata, Eiji tidak memiliki waktu lagi. Dia harus segera menyelesaikan permasalahannya karena Yuko terus mendesak agar kandungan Izumi segera digugurkan sedangkan dia tak setega itu sehingga harus membunuh darah dagingnya sendiri.Kini, hanya keputus
Di pagi hari yang cerah, tampak sebuah mobil berwarna hitam berhenti tepat di halaman rumah mewah bergaya tradisional Jepang. Rumah itu tampak besar dan luas meskipun hanya terdiri dari satu lantai, sungguh bertolak belakang dengan apartemen-apartemen modern yang terdiri dari puluhan lantai.Halamannya pun begitu luas dan dipenuhi berbagai jenis bunga yang tengah bermekaran dengan indah. Sebuah kolam besar dengan air mancur di tengah-tengahnya menambah kesan mengagumkan para area di sekeliling rumah tersebut. Cukup menjadi bukti bahwa pemilik rumah itu bukan orang sembarangan, melainkan salah satu keluarga konglomerat yang terpandang dan masih menjunjung tinggi tradisi.Sosok Eiji keluar dari dalam mobil, melepas kaca mata hitam yang sejak tadi membungkus kedua matanya yang tajam, Eiji mengembuskan napas pelan begitu tatapannya tertuju pada rumah yang sudah lama tak dia datangi. Suara decakan meluncur dari bibirnya tatkala mengingat tujuannya datang ke rumah ini. Padah
Suasana di ruangan itu tampak hening, keempat pria yang sedang duduk di sofa terlihat menyibukkan diri dengan pemikiran masing-masing. Namun, yang terlihat begitu gelisah adalah Eiji karena memang pria itu yang sedang tertimpa masalah cukup berat. Dia sudah berbagi cerita dengan teman-temannya tapi hingga kini belum ada yang memberikan tanggapan berarti seolah ketiga temannya itu ikut terkejut mendengar masalahnya yang tak disangka-sangka akan menimpa seorang Nakagawa Eiji.“Ck, jadi aku harus bagaimana menurut kalian?” Eiji melontarkan tanya karena sungguh dia sedang kebingungan.“Aku ingat beberapa menit yang lalu kau mengejek dan menasihatiku, menyuruhku untuk berhenti main-main dengan wanita dan harus serius memilih salah satu.” Shuji mendecih. “Tapi lihat sekarang, justru kau yang mempermainkan wanita. Tak kusangka kau sebejat ini, Eiji. Kau tega sekali mengkhianati Yuko. Parahnya lagi kau berselingkuh dengan pembantunya sampai mengan
Sedan lexus berwarna hitam itu melesat cepat memecah jalanan Tokyo yang terlihat cukup sepi di hari minggu. Disertai alunan musik yang mengalun di dalam mobil, Yuko sesekali bersenandung mengikuti suara sang vokalis yang sedang bernyanyi. Sedangkan Eiji tampak fokus menatap ke depan karena pria itu tak suka konsentrasinya terganggu jika sedang menyetir.Mobil berhenti melaju karena terjebak lampu merah yang menyala. Sambil menggerak-gerakan kepala dengan santai, Yuko memalingkan tatapan ke arah samping, gadis itu mengulas senyum saat melihat kedai penjual makanan ringan khas Jepang berdiri tak jauh dari mobil mereka berhenti.“Sayang, aku turun sebentar ya?”Eiji memutar leher ke samping, kedua alisnya menyatu karena mendengar permintaan Yuko yang begitu tiba-tiba. “Memangnya kau mau ke mana?”Yuko menunjuk ke arah kedai di samping mobil, “Membeli takoyaki sebentar untuk Izumi. Itu makanan favoritnya. Dia pasti senang jika ak
“Bu, ini belanjaannya,” ucap Izumi seraya meletakkan plastik belanjaannya di atas meja.“Semua yang Ibu tulis di kertas tadi sudah kau beli?” tanya Kazumi yang sedang sibuk memotong-motong daging untuk dimasak.“Sudah, Bu. Kebetulan semuanya ada di mini market.”Awalnya, Izumi akan pergi ke kamar mandi untuk menggunakan alat yang dia beli di mini market tadi. Namun, belum sempat kakinya tiba di lantai kamar mandi, suara ibunya kembali mengalun.“Tadi Nyonya memanggilmu. Dia menyuruhmu ke kamarnya sekarang, Izumi.”Izumi tertegun, gerakan kakinya yang hendak memasuki kamar mandi seketika dia urungkan. “Nyonya menyuruhku ke kamarnya? Untuk apa ya, Bu?”Kazumi mengangkat kedua bahu, “Ibu juga tidak tahu. Kau ke sana saja, mungkin ada hal penting yang ingin dibicarakan.”Izumi tak berani membantah karena itu dia bergegas meninggalkan dapur. Kamar sang nyonya besar yan
Ruangan itu tampak temaram, cahaya hanya berasal dari layar televisi yang sengaja dibiarkan menyala. Suara lenguhan terdengar ketika Eiji baru saja terbangun dari tidur lelap. Pria itu meringis saat merasakan beban berat di salah satu bahunya, menoleh ke samping dia mengulas senyum melihat wajah lelap Yuko yang menjadi pelaku salah satu tangannya kini terasa pegal.Tak ada keinginan untuk membangunkan gadis itu, Eiji mengusap lembut kulit putih dan mulus wajah Yuko dengan punggung tangannya. Dia menelisik penampilan mereka yang sama-sama polos, hanya selimut tebal yang menutupi tubuh mereka. Yuko terlihat kelelahan karena itu dia tertidur begitu pulas bahkan tak terusik meskipun Eiji sejak tadi mengusap wajahnya penuh sayang bahkan sesekali mendaratkan ciuman di puncak kepalanya. Sebenarnya itu hal yang wajar mengingat betapa panasnya percintaan mereka semalam, entah berapa jam mereka bermain di atas ranjang hingga akhirnya selesai karena lelah yang dirasakan keduanya.