OFFICE GIRL
Bagian Satu
Malam mulai merayap. Rona senja sudah beberapa menit lalu menghilang, berganti dengan gemerlap lampu yang memendar dari gedung-gedung menjulang yang menantang langit. Gedung-gedung itu begitu dingin. Keangkuhannya sangat terasa dari arsitektur bergaya postmodern-nya dan kebisingan suara yang menggema menyeruak malam. Namun kepongahan yang ditebarnya tidak lagi mampu mengusik perhatian Menul, office girl di sebuah perusahaan media ternama di ibukota.
Tidak seperti dua tahun silam, ketika untuk pertama kali Menul menginjakkan kakinya di Jakarta. Menul mengalami jetleg. Padahal tidak baru saja turun dari pesawat. Meski tidak semegah gedung-gedung di kota Manhattan tempat Spiderman bergelantungan menjaga kota dari aksi kriminal, namun kala itu setiap sudut kota mampu mengulik perhatian Menul. Bahkan hari pertamanya dan beberapa hari berikutnya Menul habiskan untuk mengagumi pesona yang ditawarkan Jakarta.
Tapi kini tidak lagi. Gedung-gedung dan suasana Jakarta tidak lagi membuat Menul terkesima. Dia sudah mulai terbiasa. Terlebih kini pekerjaannya makin banyak. Ditambah beberapa aktifitas lainnya. Seperti kali ini. Di antara geliat kehidupan malam, Menul masih bersemangat menghabiskan sisa harinya dengan aktifitas sampingannya. Seperti biasanya, Menul selalu pulang belakangan.
Bahkan tidak jarang dia pulang jam delapan malam. Padahal jam kerjanya hanya sampai jam lima sore. Tetapi itulah Menul. Gadis berbibir sumbing itu seperti tidak pernah lelah. Ada saja yang dia kerjakan setelah jam kerjanya selesai.
Beberapa minggu belakangan ini, setelah beres-beres kantor, Menul selalu menyempatkan diri untuk menulis. Menulis apa saja yang terlintas dalam pikirannya. Sejak menginjakkan kaki di tempat kerja barunya, Menul seperti menemukan sesuatu. Namun Menul tidak mengerti apa sesuatu itu. Yang jelas bukan karena bonafiditas tempat kerjanya. Atau aura selebritas yang terpancarkan dari produk perusahaan tempatnya bekerja. Karena Menul tidak pernah silau dengan kemashuran. Yang Menul tahu hanyalah merasa nyaman bekerja di tempat barunya.
Menul seperti menemukan detak kehidupan baru dalam dirinya. Entah kenapa, Menul selalu ingin menuangkan apa saja yang ada di pikirannya dalam bentuk tulisan. Tidak jarang Menul menulis sampai beberapa halaman dalam lembaran notes buram tidak bergaris yang sengaja dia beli untuk kebutuhan itu. Terlebih kalau sebelumnya dia sempat membaca tabloid atau majalah yang kebetulan tertinggal atau sengaja ditinggal oleh pemiliknya, maka Menul akan semakin banyak menuangkan idenya.
Menul mendapatkan keasyikan tersendiri saat menulis. Kelelahannya setelah seharian berkutat dengan seabrek pekerjaan kasar akan langsung sirna begitu dia mulai menulis. Seperti seorang ibu yang baru pulang dari bekerja dan mendapati kelucuan anak semata wayangnya. Menul tidak tahu kenapa dia jadi senang menulis. Mungkin karena setiap hari selalu bersinggungan dengan orang-orang yang bekerja dalam dunia kepenulisan, sehingga dia tergerak untuk melakukan hal yang sama.
Atau mungkin karena tempat kerjanya yang sekarang adalah sebuah perusahaan media sehingga Menul seperti terkena tuah-nya. Ibarat peribahasa, berteman dengan penjual minyak wangi, maka sedikit banyak akan merasakan semerbak wanginya.
“Tek… tek … tek.”
Menul dikejutkan oleh suara pintu kaca yang diketuk dengan menggunakan kunci sepeda motor. Perempuan yang tidak pernah melepas kepang dua di rambutnya itu mengangkat wajahnya, lalu bergegas mendatangi arah suara.
“Ada apa Mas?” tanya Menul dengan suara khas, bindeng.
Menul membuka pintu. Meski tidak dikunci, tetapi Menul merasa dia yang harus menyambangi Dodo, satpam kantor yang telah berjasa membawa Menul bekerja di perusahaan bonafid itu. Dodo adalah pahlawan bagi Menul. Berkat Dodo Menul bisa merasakan pekerjaan yang baginya sangat mentereng. Kebetulan keduanya bertetangga di kampung, sehingga Menul sangat dekat dengan satpam itu. Kepada Dodo-lah Menul dititipkan oleh orang tuanya. Keberadaan Dodo sebagai satpam membuat Menul merasa agak leluasa menjalani kebiasaan menulis setelah jam kerja selesai, karena mendapat jaminan dari Dodo.
“Kamu itu menulis apa to Nul, kok sepertinya serius banget.”
Bukannya menjawab pertanyaan Menul, Dodo malah mengomentari kesibukan Menul yang menurutnya aneh. Bagaimana tidak aneh kalau setiap habis menyelesaikan pekerjaannya, Menul selalu mojok di pantri untuk menulis. Padahal Menul bukanlah seorang penulis. Menul juga tidak pernah mempunyai cita-cita untuk jadi penulis. Menul hanyalah seorang office girl yang pekerjaannya tidak jauh dari sapu dan baki.
Pekerjaan yang bisa jadi dianggap sampah oleh sebagian besar orang. Namun begitu, bisa menjadi office girl adalah sebuah mukjizat bagi Menul. Sudah lama dia memimpikan bisa bekerja di kota dan meninggalkan kegiatan hariannya mencari rumput dan kayu bakar. Menul tidak mau menghabiskan semua umurnya di hutan. Tetapi kondisi dirinya yang tidak mempunyai ijazah dan keadaan dirinya yang berbibir sumbing menjadikan impian itu seperti menggantang asap saja. Sia-sia. Dan tetap saja berjelaga.
Pernah dua kali Menul sampai ke kota untuk melamar pekerjaan. Tetapi setelah menunggu hampir satu bulan, tidak ada satu pun orang yang mau mempekerjakannya. Padahal untuk bisa menerima diri dengan keadaannya dan mau berbaur dengan dunia luar itu saja sudah merupakan perjuangan yang tidak ringan bagi Menul.
Lebih dari sepuluh tahun lingkungan Menul hanya berkutat dari rumah, sawah, ladang, dan hutan. Semua karena keadaan bibirnya yang sumbing. Padahal lagi, Menul tidak pernah memilih jenis pekerjaan yang bakal dilakoninya. Menul hanya ingin bekerja. Apa saja yang sekiranya bisa dia lakukan. Bahkan meski harus memungut sampah di sepanjang jalan. Tapi Menul harus tahu diri karena tidak banyak orang, apalagi di kota besar, yang bisa melihat kebaikan dalam diri Menul.
“Hanya iseng saja Mas” jawab Menul singkat.
“Kamu masih lama di kantor atau sudah mau pulang?”
“Memangnya kenapa Mas?”
“Aku ada keperluan sebentar. Kalau kamu masih lama, aku akan ajak Mas Hardi keluar sekalian.”
“Mungkin satu jam lagi Mas.”
“Kalau begitu, kami tinggal dulu ya. Kalau nanti ada yang nyari, bilang kalau kami sedang cari makan,” ujar Dodo.
“Iya Mas. Nanti kalau saya mau pulang dan Mas belum balik, biar saya sms.”
Dodo menggeleng kecil sambil berlalu. Sampai saat ini dia masih tidak habis pikir, kenapa Menul mau-maunya pulang telat. Padahal karyawan yang lain saja selalu buru-buru ingin pulang. Bahkan kalau memungkinkan, tentu mereka akan mencuri waktu untuk bisa segera pulang. Dodo tidak yakin kalau Menul mendapat uang tambahan dari apa yang dia kerjakan itu. Tetapi Dodo tidak ambil pusing. Toh dengan begitu justru dia diuntungkan karena ada orang yang bisa dia suruh untuk membuatkan kopi atau membelikan cemilan.
Menul segera kembali pada aktifitasnya. Dia tidak harus memusingkan apa yang dipikirkan Dodo tentangnya. Menul hanya ingin menulis. Dan di tempat kerjanya-lah dia mendapatkan kesempatan itu. Kalau di tempat kos, dia tidak bakalan bisa menulis. Maklum, di kosnya akan selalu ramai kalau sudah pada kumpul. Yang pada nonton tivi-lah. Atau ngobrol ngalor ngidul tentang hal yang dilalui siang harinya. Atau berdendang ria dalam iringan gitar, sekedar meluruhkan penat di pikiran.
Meski hanya gadis kampung, tetapi Menul bukan tipikal gadis yang suka menghabiskan waktu dengan sesuatu yang tidak banyak manfaatnya. Bahkan bisa dibilang Menul tipikal perempuan moderat yang mempunyai arah yang jelas dalam menjalani kehidupannya. Waktu-waktu yang dia jalani selalu dalam jadwal yang ketat. Ada waktu di mana dia bisa santai. Ada waktu dia harus menambah wawasan dengan membaca buku atau curi-curi ilmu dari orang lain. Ada waktu di mana dia harus bekerja. Dan banyak lagi. Begitulah. Semua begitu teratur. Meskipun semua tersaji dalam ritme yang sangat sederhana, sebagaimana sederhananya hidup Menul.
“Hidup itu ibarat berpacu dengan waktu nDuk. Kalau kita tidak bisa mengalahkan waktu yang kita lalui, maka sejatinya kita tidak benar-benar hidup.”
Menul selalu terngiang ucapan mendiang bapaknya. Dia ingat betul kenapa bapaknya sampai mengucapkan kalimat itu. Iya, Menul ingat betul. Kala itu, Menul sempat dongkol kenapa bapaknya tidak mau berdiam diri. Selalu saja ada yang dia kerjakan. Padahal Menul ingin bapaknya mengurangi aktifitasnya. Dia tidak tega melihat bapaknya yang sudah mulai tua, tertatih dalam aktifitas duniawi. Menul tidak ingin bapaknya pergi ke hutan lagi seperti saat masih muda. Cukup beraktifitas di ladang dekat rumahnya, karena Menul mampu meng-handle semuanya.
“Kenapa Bapak masih saja ke hutan to?”
“Lha, memang kita kan tinggal di hutan nDuk?”
“Maksud Menul, kenapa Bapak masih saja mengurusi hutan. Bukankah sudah ada anak-anak muda yang bakal menggantikan Bapak?”
“Bapak hanya bisa melakukan itu untuk kehidupan ini nDuk. Bapak tidak bisa melakukan yang lain.”
“Tapi Bapak sudah mulai tua.”
“Tua itu hanya di fisik nDuk. Sedang semangat Bapak untuk berbuat baik tidak akan pernah tua.”
“Apa Bapak tidak khawatir kalau tiba-tiba jatuh sakit?”
“Sakit itu tidak harus menunggu melakukan apa-apa. Lho wong tidak melakukan apa-apa saja bisa sakit kok nDuk. Jadi Bapak lebih memilih untuk melakukan apa-apa kemudian sakit, daripada tidak melakukan apa-apa dan pada akhirnya juga sakit.”
“Apa Bapak tidak merasa eman dengan diri Bapak?”
“Hidup itu ibarat berpacu dengan waktu, nDuk. Kalau kita tidak bisa mengalahkan waktu yang kita lalui, maka sejatinya kita tidak benar-benar hidup.”
“Maksud Bapak?”
“Bapak merasa sedang berlomba dengan waktu nDuk. Bapak tidak mau kalah. Makanya, sebisa mungkin Bapak mengisi detik yang Bapak lalui dengan kegiatan yang baik dan bermanfaat. Baik bermanfaat untuk diri Bapak maupun bermanfaat untuk orang lain. Bapak tidak ingin tidak melakukan apa-apa, padahal sebenarnya Bapak bisa. Itu namanya Bapak telah membunuh jatah hidup Bapak. Bapak telah menyia-nyiakan waktu yang sangat berharga dalam hidup Bapak.”
Menul seperti tertampar oleh omongan bapaknya. Meski bukan sekali itu saja Menul mendapati kata-kata bijak dari bapaknya, tetapi kala itu Menul seperti mendapatkan pelajaran sangat berharga. Selama ini dia tidak pernah mengagendakan hidupnya. Semua hanya mengalir saja, seolah hidup yang sudah dan bakal dijalaninya hanya diserahkan pada sang waktu.
Sejak itu, Menul menjalani hidupnya dengan agenda yang jelas. Meski hanya pergi ke sawah, tetapi Menul harus menjadwalnya. Menul ingin hidupnya berjalan rapi sesuai dengan ritme yang inginkannya. Menul tidak ingin hidupnya hanya mengalir tanpa dia tahu seperti apa bentuknya.
OFFICE GIRL Bagian Dua Menul tersenyum saat mendapati deretan kalimatnya sudah berjajar rapi di notesnya. Senyum itu mengembang menyibak bibir sumbingnya, menyiratkan sebuah kesukuran. Menul memang pantas bersukur karena masih diberi karunia bisa menulis dan membaca. Meski dia hanya mengenyam bangku SD di dua tahun pertama, tetapi dia bersukur bapak simboknya tetap memperhatikan kemampuan baca tulisnya. Bahkan tidak jarang simboknya yang berjualan di pasar membawakan Menul berbagai buku bacaan, majalah, atau koran yang kesemuanya adalah bekas, untuk mengasah bacaan Menul. Sebuah kebetulan Menul sangat suka membaca sehingga hampir semua yang dibawakan simboknya selalu dilahap oleh Menul. Tidak mengherankan kalau wawasan Menul lebih luas dari anak-anak yang bersekolah. Seperti biasa, Menul akan membaca ulang apa yang telah ditulisnya. Meski tulisan itu tidak untuk dibaca orang lain, tetapi Menul m
NOTES MERAH JAMBU Bagian Satu Pagi masih menyemburatkan sisa fajar. Keremangan malam masih berbayang dengan pendaran berbagai lampu jalan. Subuh pun belum lama berselang. Tetapi langkah Menul sudah begitu mantapnya meninggalkan tempat kosnya. Menul harus berpacu dengan waktu agar bisa memastikan kalau notes merah jambunya masih di tempat semula. Atau paling tidak dia masih bisa menemukannya di ruangan Andre. Semalaman Menul memanjatkan doa agar Andre tidak membuka notes itu atau Andre tidak membuangnya begitu tahu isi di dalamnya. Kalau saja Menul tahu akan sangat menderita sepanjang malamnya, Menul lebih memilih untuk menunggu sampai Andre pulang dan mengambil kembali notes itu. Tetapi ketakutan Menul akan kemarahan Andre saat dia tahu Menul sering keluar masuk ke ruangannya di luar jam kerja telah membuat Menul mengabaikan kekhawatiran pada notes merah jamb
NOTES MERAH JAMBU Bagian Dua Andre langsung mengambil beberapa buku dari rak, begitu dia tiba di ruang kerjanya. Dia berpacu dengan waktu. Dia butuh ide untuk bisa memunculkan sesuatu di media yang ditangani perusahaan keluarganya. Dia sudah putuskan untuk muncul di majalah dengan sebuah konsep yang dia sendiri belum tahu seperti apa konsepnya. Bayangannya sudah jelas, tapi dia belum ada gambaran sama sekali. Andre hanya bisa menargetkan itu. Tidak peduli dengan Reno yang sudah lebih dulu berjaya di berbagai media. Bahkan dia sudah mempunyai acara televisi dengan acara yang mendapat rating cukup tinggi. Bagi Andre, sudah bisa muncul di majalah dua mingguan dengan konsep yang bisa diterima pembaca saja sudah sangat bersukur. Yang penting, target waktu dengan sebuah gebrakan di media yang bakal dipimpinnya bisa dia penuhi. Andre memilih buku motivasi untu
OMELETAndre bergegas ke ruang kerjanya. Keinginan untuk menanyakan siapa gerangan yang telah meninggalkan notes merah jambu di meja kerjanya itu, dia urungkan. Tiba-tiba terbersit di pikirannya kalau tidak mungkin pemilik notes itu adalah orang pantri. Bahkan ia mencibir dirinya sendiri, karena muncul pikiran yang tidak masuk akal baginya. Andre tersenyum kecut. Lebih tepatnya menertawakan kebodohannya sendiri.Benar. Tulisan di dalam notes merah jambu itu terlalu bagus untuk ditulis oleh orang yang tidak berprofesi sebagai penulis. Andre saja merasa tidak akan bisa menulis sebagus
Hilang SemangatMenul kehilangan semangat. Notes merah jambunya benar-benar tidak ada kabar. Seperti raib ditelan bumi. Hampir seluruh ruangan kantor tidak lepas dari selidik Menul, tetapi dia tidak mendapati notesnya. Harapannya mulai pupus. Apalagi hari sudah menjelang petang. Beberapa menit lagi jam kantor akan berakhir. Bukan tentang notesnya, tapi isi di dalamnya. Berhari-hari ia merangkai kata demi kata. Ide dan berbagai ungkapan perasaan ada di dalamnya. Dan itu yang sulit untuk dituangkan kembali, karena feel-nya tentu beda, jik a ditulis ulang.Menul mulai pasrah jika notes itu harus direlakan. Tidak mungkin ada yang merawatnya, Apalagi sampai menyimpannya. Kalau dibakar, barang kali. Atau dilempar di tempat sampah. Meski sangat berharga baginya, tetapi bagi orang lain, notes itu hanya seonggok buku kumal yang tiada arti. Beruntung dia tidak menuliskan nama di notes itu. Jadi meski ditemukan atau dibaca orang lain, dia t
Persaingan"Hallo calon CEO. Apa sudah dapat ide untuk presentasi?”Reno nyelonong ke ruang kerja Andre. Andre kaget, lalu buru-buru menutup laptopnya. Reno menggodanya dengan menyentuh laptop Andre. Tentu saja Reno tidak benar-benar ingin melihatnya karena Reno yakin Andre belum mendapatkan konsep untuk presentasi. Bahkan Reno yakin Andre sama sekali belum memulai membuat konsep. Andre menepis tangan Reno, kuat.Bagi Reno, Andre hanyalah kotak kosong yang dimunculkan agar pengangkatannya sebagai CEO kelak tidak berkesan hanya ditunjuk perusahaan, namun lewat persaingan.Saat medapati calon pesaingnya adalah Andre, Reno merasa di atas angin. Bukan hanya ia, namun teman-teman dekat Reno pun sudah ada
MENCARI PEMILIK NOTESHari sudah menjelang siang. Hampir jam sepuluh. Tetapi Andre masih berada di kamarnya. Sudah dua hari ini Andre sengaja tidak ke kantor karena disibukkan dengan desain konsep yang bakal dia presentasikan. Meski batas akhir presentasi masih seminggu lagi, tapi Andre memilih untuk melakukan presentasi secepatnya. Dia sudah tidak sabar ingin segera membuktikan pada orang-orang, terutama pada Reno kalau ia bukanlah kotak kosong. Ia juga mampu melakukan sesuatu.Konsep yang bakal diusung Andre sudah hampir jadi. Sampling satu halaman penuh dengan tajuk omelet sudah didesain sedemikian rupa. Tentu saja dilengkapi dengan satu topik yang disajikan dalam bahasa sederhana dengan nuansa shoft-b
PERTEMUAN PERTAMAMenul sedang santai di pantri. Meski waktunya istirahat siang, tapi Menul lebih senang mengisinya dengan membaca. Kali ini dia membaca koran terbitan hari sebelumnya. Bagi Menul, koran terbitan kemarin atau seminggu lalu sama saja. Dia belum membacanya. Berbeda dengan teman-temannya di pantri yang lebih suka menghabiskan waktu istirahatnya dengan tiduran atau kongkow-kongkow bersama teman-temannya sambil nyari makan siang, Menul lebih suka berdiam diri di pantri. Menul tidak harus keluar kantor atau ke kantin untuk membeli makan, karena dia sudah membawa bekal.Biasanya Menul akan membaca ulang hasil tulisan di notesnya, di sela-sela jam istirahat siangnya. Tapi kali ini dia sedang tidak ingin. Notes yang baru sehari dia beli belum banyak tulisan di dalamn
JEBAKANKebahagiaan masih menyelimuti Andre. Baru kali ini ia merasakan bahagia selama menjalin hubungan dengan Arra. Ia merasa sedang dibutuhkan oleh Arra. Perubahan sikap Arra yang tetiba sangat perhatian, adalah anugerah baginya. Meski ia merasa sedikit heran, namun ia tidak begitu memikirkannya. Baginya, apa yang diraaskannya sekarang, melengkapi kebahagiannya dalam kesuksesan karirnya.Kedatangan Arra ke Jakarta yang ternyata tidak hanya sehari dua hari, seperti memanjakannya. Terang saja Andre sangat senang, karena untuk bisa membujuk Arra agar pulang ke Indonesia saja tidaklah gampang. Sering kali Andre mengemis demi bisa bertemu dengan Arra, namun sering pula dia harus kecewa.Tidak jarang Andre harus menelan patah hati ketika ia menyatakan kerinduannya pada Arra, harus bertepuk sebelah tangan. Bahkan, tidak jarang Arra melontarkan ancaman akan menyudahi hubungan, jika Andre masih saja menghubunginya tanpa alasan.Terkada
KONSIPIRASIReno makin tidak tenang setelah mendapati kabar kalau Andre memukau dalam acara di depan dewan direksi dan petinggi perusahaan. Menurut kabar yang dia dengar, kecemerlangan Andre juga karena didukung oleh keberadaan asistennya. Reno pantas tidak tenang, karena meski kemampuan dia masih di atas Andre, tapi dia tidak yakin kalau Andre tidak bakal mendapat suara yang signifikan. Bahkan, Reno semakin tidak yakin kalau dia bakal bisa mengalahkan Andre dengan kemenangan telak.Tadinya, harapan Reno sangat besar. Terlebih ia tahu jika Andre hanya jadi boneka pada proses pemilihan CEO tersebut. Semua orang juga sudah tahu seperti apa Andre. Makanya, Reno terlalu merisaukannya. Namun setelah Andre mendapatkan rubrik di majalah, kemudian dipercaya oleh beberapa dewan direksi, Reno mulai berubah pikiran.Belakangan ini pamor Andre sedang naik. Bisa jadi di kalangan pegawai, keberadaan Andre b
JENGAHMenul tergagap saat mendapati Arra melenggang masuk ke ruangan Andre. Dia mengurungkan niatnya untuk memberikan hasil pekerjaannya pada Andre. Sebelum kejadian di mana Menul mendapati Arra telah bermain belakang dengan Reno saja, Menul sudah tidak respek dengan Arra, apalagi setelah kejadian itu. Menul jadi makin tidak respek.Entah kenapa Menul tidak rela Arra menyakiti Andre. Bagi Menul, Andre itu tipikal laki-laki tidak banyak tingkah. Ia tidak banyak tuntutan. Setiap pekerjaan yang diberikan Andre pada Menul, tidak banyak yang diprotes. Meski ada kesalahan di sana sini, Andre menyampaikan itu, dengan kata “bagaiman kalau”. Bukan sementang-mentang marah, karena ia merasa menjadi atasan.Makanya, Menul ikut merasa sakit hati saat mendapati atasannya itu telah dikhianati cintanya oleh orang yang sangat disayanginya. Kalau saja punya kuasa, tentu ia akan segera memberi tahu Andre, sebelum berakibat pada karir Andre.Tapi sayang, Menul b
SECERCAH HARAP“Gimana dengan Menul, Ra?”Delvi tergopoh menghampiri Arra, begitu dia melihat Arra muncul di kantor. Perasaannya sudah tidak karuan sejak Menul menjadi asisten Andre. Ia tentu tidak terima karena Menul, perempuan yang telah ia damprat habis-habisan harus naik kasta. Semenjak Menul jadi asisten Andre, kinerja Delvi sangat menurun. Ia jadi tidak bisa fokus. Pikirannya selalu tertuju pada perempuan itu.Membayangkan Menul menemani Andre menemui kolega, membuatnya uring-uringan. Namun ia tidak bisa berbuat apa-apa. Dulu, saat ia mendapat kabar jika Menul berada satu mobil dengan Andre saja darahnya sudah mendidih. Kini ia harus mendapati kenyataan yang membuatnya muak.Kalau saja tidak ada Arra, tentu ia sudah keluar dari kantor itu. Keberadaan Arra adalah harapan baginya. Ia ingin sekali bisa menyingkirkan Menul, perempuan tak tahu diuntung itu seperti mencabik-cabiknya.Delvi merasa harus kucing-kucinga
SEMANGATMenul diam terpaku dengan apa yang baru saja dilihatnya. Nafasnya berpacu, menandakan sesuatu sedang tidak baik-baik saja. Tentu saja ia tidak baik-baik saja, mendapati dua orang yang ia pernah sedikit kenal, berduaan. Bermain di belakang orang baik. Bahkan ia yakin keduanya memang sudah sering melakukannya.Kalau saja tidak ada hubungan dengan atasannya itu mungkin Menul tidak terlalu memusingkan. Namun dua orang itu ada kaitannya dengan Andre. Yang Menul tahu, Arra adalah orang yang tentu saja mendukung sepenuhnya pecalonan Andre sebagai CEO. Sedang Reno adalah orang yang menjadi rival Andre. Kebetulan keduanya tidak menyukai Menul, yang Menul sendiri tidak tahu alasannya.Berbagai pertanyaan datang silih berganti di pikiran Menul. Meski dia belum begitu pengalaman dengan urusan asmara, tapi Menul bisa melihat ketidakberesan yang diperlihatkan Arra dan Reno. Gandengan tangan itu. Pandangan mesra itu. Apalagi keduanya masuk dalam sa
SELINGKUHSudah hampir setengah jam Menul menunggu Pak Prasetyo di lobi hotel. Namun Menul tidak merasa terbebani, karena dia sudah mendapat kepastian kalau Pak Prasetyo masih ada acara. Lagian, Menul bukan tipikal gadis penggerutu, yang baru menunggu beberapa menit saja sudah uring-uringan. Menul sudah terbiasa menunggu. Apalagi setelah akrab dengan phonesell yang lebih canggih, maka menunggu menjadi keasikan tersendiri. Menul bisa mencoba banyak fitur yang belum sempat dia pelajari.Namun meski asik dengan phonesellnya, sesekali Menul menebar pandang. Bahkan ornamen hotel tidak lepas dari pandangannya karena Menul merasa harus merekam banyak hal yang dia jumpai. Menul ingat kata-kata seorang penulis fiksi ternama bahwa penggambaran sebuah tempat akan makin detail jika seseorang pernah berada di tempat yang sama. Deskripsinya akan lebih terasa sehingga penonton merasa terbawa dalam setingnya. Bakan seolah-olah
MISI ARRA“Beneran, itu asistenmu?”Arra langsung memberondong Andre dengan pertanyaan. Kalau saja dia tidak sedang ingin membangun Arra dirinya agar Andre makin sayang padanya, tentunya dia sudah mendamprat Menul saat dia menjumpainya di ruangan yang menurut Arra sangat tidak layak bagi Menul.Arra memandang tajam ke arah Andre. Sebenarnya ia bukan penasaran mengapa Andre memilih Menul, perempuan yang dari segi fisiknya jelas tidak masuk dalam kriteria sebagai asisten. Ia penasaran karena mendapat kabar dari Reno bahwa asisten Andre tidak bisa dipandang remeh.“Iya Beib. Kan aku sudah pernah bilang padamu kalau aku akan angkat seorang asisten?”“Tapi dengan tampang seperti itu?” ujar Arra bernada mencibir. Kalau saja ia tidak mendapat kabar jika asisten Andre itu telah berhasil membungkam dewan direksi. Bahkan telah mampu membuat Reno tidak berkutik, tentu ia tidak akan peduli. Bahkan A
KEPURA-PURAANPengalaman Menul makin berwarna. Mulai dari restoran mewah, perkantoran megah, hotel berbintang lima, dan banyak lagi. Meski tidak di setiap tempat Menul mendampingi Andre, tapi berada di antara orang-orang besar adalah anugerah tersendiri bagi Menul. Menjadi asisten dari orang yang sedang dipromosikan sebagai calon CEO, membuat dunia Menul menjadi begitu indah. Banyak sekali pengalaman berharga ia dapatkan.Menul tidak pernah membayangkan, jika dalam hidupnya ia akan mengalami hal yang bagi orang sepertinya seperti mustahil. Berada di tempat yang untuk orang sepertinya hanya sebuah mimpi. Bertemu dengan banyak orang dengan banyak karakter, membuatnya bisa mendapatkan banyak ide sehingga tulisan Menul pun bisa lebih berkembang. Cita rasanya juga makin bervariasi.Menul juga mulai mencoba menggeluti dunia fiksi. Imaginasi dan pengalaman hidupnya yang penuh warna, membuat Menul seperti menemukan media untuk menuangkannya. Lebih dari itu
KEKAGUMAN DIREKTURAndre segera mengajak Menul untuk makan siang di restoran langganannya, sebagai bentuk sukur sekaligus terima kasih pada Menul. Andre makin respek pada Menul. Sosok yang semula dia pilih menjadi asisten karena sebuah ketidaksengajaan, kini sosok itu telah menjawab kepercayaannya melebihi ekspektasinya. Andre merasa Menul adalah takdirnya untuk mencapai sesuatu yang semula tidak ia pandang penting dalam hidupnya. Tuhan telah menggerakkanya untuk menemukan notes itu, yang kemudian mengubah kehidupan Andre.Setelah apa yang terjadi baru saja, semangat Andre makin besar. Ia juga makin percaya diri, karena Menul telah mengajarkan padanya bahwa orang yang selama ini menduduki jabatan penting, bisa jadi bukan karena ia hebat, tetapi karena ia mendapatkan kesempatan. Siapa pun bisa menjadi hebat, ketika ia mendapatkan kesempatan dengan bakat dan minat yang ia miliki.Andre merasa sangat beruntung. Baru kali ini dia mendapati orang yang m