Hampir satu dekade Rena tinggal di istana ini. Menikmati hari demi hari menjadi seorang pengabdi untuk Alpha Jonathan dan juga Luna Irene. Mereka berdua adalah pasangan yang disayangi oleh rakyat pack, karena memiliki integritas dan jiwa kepemimpinan yang tinggi.
Tapi, di tengah kebahagiaan yang melanda, ada saja orang yang merasakan iri pada kesempurnaan keluarga istana. Rena pernah mendengar dari obrolan salah satu teman pelayan, bahwa Alpha Nickholas—anak dari Alpha Jonathan—sebenarnya mempunyai seorang kembaran, yaitu Nickley. Nickley tewas dibunuh oleh kekasih saudaranya sendiri, Cecilia Zera. Hati mana yang tak remuk saat saudara kandung dibunuh tragis oleh seseorang yang sangat dicintai.
Ya, itu adalah sepenggal kisah tragis yang ditutup rapat oleh para penghuni pack ini.
Sambil melamun, Rena menyeka piring yang sudah dicuci. Namun, karena tangannya licin, dia tidak menyadari bahwa dia telah menjatuhkannya dan membuat keributan di dapur istana.
“Sudah kukatakan, Rena, bekerjalah dengan hati-hati!” Seorang wanita gempal dengan pakaian yang sama seperti dirinya berteriak dengan kasar.
“Maafkan aku, Bibi. Aku akan membereskan kekacauan ini,” jawab Rena dan langsung memunguti pecahan kaca.
Namun, jawaban Rena tidak membuat amukan Bibi Morin mereda. Wanita tua itu bahkan menginjak tangan Rena dan pergi begitu saja. Bahkan para omega yang lain pun tak mau turut membantu.
Sedikit meringis, ia mencabut pecahan kaca yang tersangkut di tangannya dan membawanya ke wastafel guna membersihkan luka. Ia mencoba untuk menahan, tapi ternyata air mata yang tak diinginkan itu jatuh juga. Ia tak ingin dianggap lemah, apalagi di hadapan teman-teman yang selalu menggunjingnya. Dengan segera ia menghapus cairan bening sialan itu.
Meskipun ia seorang omega
tetapi tak ada salahnya melindungi diri sendiri apalagi hatinya. Ia sudah cukup puas dengan perbuatan sang kepala dapur beserta penghuni lainnya, lebih dari sembilan tahun lamanya ia menikmati itu semua.***
“Kau memang tak becus dalam bekerja, ya!” Tubuhnya didorong kuat menyebabkan keningnya terantuk pinggiran meja, kepalanya pusing seketika. Dengan cepat dirinya dipaksa bangun dan berhamburanlah rambut hitam yang tadi di gulung dengan rapi. Kepalanya sakit saat rambutnya ditarik kuat oleh Wendy, yang lain hanya bisa menonton tanpa niat memisahkan.
“Apa yang sudah terjadi?!” Bibi Morin yang tiba-tiba muncul menarik paksa tubuh Wendy agar menghentikan perseteruannya.
“Dia membersihkan lantai pun tak bisa, Bibi. Aku terpeleset karena lantainya terlalu basah.” Dengan nada berapi-api Wendy menjelaskan kronologi kejadian.
Perkataan itu membuat mata sipit Rena terbelalak, ia yakin sudah mengeringkannya tadi, tapi mengapa Wendy bisa terjatuh.
“Cukup! Kembali bekerja semuanya. Dan kau Rena tak ada lagi jatah untuk makan malam!” Hukuman telak, siapa yang mampu menolak? Lagi. Hukuman yang menurutnya sudah melekat.
Kemudian, Rena menatap langit hitam yang disinari rembulan. Belum sepenuhnya purnama memang, tapi cahayanya mampu untuk menggantikan matahari. Perlahan, ia memejamkan mata guna menikmati sengatan lemah. Kaum werewolf seperti mereka selalu merasakan sengatan listrik yang mengalir di tubuhnya saat terkena sinar itu.
“Apa kau tak punya pekerjaan, selain tidur di bangku taman ini, hm!" Cibiran itu memasuki gendang telinga Rena. Dengan cepat ia membuka mata dan tergugup saat mengetahui siapa yang sudah berdiri di depan matanya.
Bukan ia tak mempunyai pekerjaan, hanya saja sekarang waktunya bagi pelayan untuk makan malam dan ia sedang dalam menjalani hukuman, kan?
“Be—Beta Romeo.” Dia menundukkan kepalanya dan bergegas berdiri untuk masuk ke dalam mansion.
“Maafkan aku ... aku akan masuk ke dalam.” Dengan langkah terburu Rena meninggalkan Romeo.
“Bagaimana jika aku benar-benar menolakmu, Rena?”
Langkah itu terhenti dan bahunya sedikit bergetar. Rena memegang dadanya nyeri. Romeo sudah sering mengatakannya tapi kenapa efeknya selalu sama.
Dengan agak tertatih ia memberikan kekuatan pada diri sendiri, Rena benar-benar meninggalkan Romeo sendirian dengan tangan yang terkepal.
Rena memasuki kamar lusuhnya, kamar yang hanya berukuran dua kali tiga meter dengan kasur yang sudah sangat tipis. Bangunan untuk para pelayan terpisah dari istana. Rumah yang ia tempati sebenarnya mewah tapi bibi Morin memberikan kamar bekas gudang yang sangat pengap untuknya.
Ditatapnya langit-langit plafon berwarna putih. Beta Romeo selalu berkata seperti itu bahkan ia sudah terlalu merasakan nyeri yang melanda akibat perkataan pria itu. Ia tahu alasan mengapa pria itu benci terhadapnya, karena dulunya ia seorang rogue. Beta
Romeo adalah pria yang paling membenci kasta rogue. Bagaimana tidak, mereka hanya bisa merusak pack yang damai dan tenteram menjadi porak-poranda jika sedang berulah.Pria itu, salah satu kepercayaan Alpha untuk mengurusi kedamaian pack, sekaligus merangkap menjadi Beta dengan segala urusannya. Tidak main-main menyangkut tugas dan kepercayaan, Beta Romeo benar-benar melakukan semua tugas itu dengan sangat apik tanpa kesalahan sedikit pun. Hanya tinggal satu tugas yang selama ini tidak bisa ia kerjakan dengan baik, mensterilkan istana dengan rogue yang sudah bertahun-tahun tinggal di sini, Rena.
Matanya menutup menghilangkan semua bayangan serta perih yang semakin melanda perutnya.
***
“Rena Sayang, bisakah kau membuatkanku omelette setengah matang? Ah … ya, maksudku adalah lembut di bagian dalamnya.”
Rena yang merasakan rambutnya dielus hanya bisa menunduk. Ia rindu elusan ini. Bagaikan belaian kasih sayang ibu pada anaknya.
“Baik, Luna.” Rena dengan cepat memberikan apa yang
LunaIrene inginkan, ia tak mau melakukan kesalahan lagi mengingat ia adalah biang kerok dalam dapur. Meskipun LunaIrene tak akan pernah memberikan cercaan sadis yang keluar dari mulutnya, tetap saja Rena tak ingin mengecewakan.“Apa yang telah terjadi dan ada apa dengan keningmu?” Luna Irene menyingkap rambut yang menyembunyikan luka lebam itu. Rena sontak mundur menjauhi meja makan dan merapikan kembali rambutnya.
“Tidak apa-apa, Luna. Aku hanya kurang berhati-hati saat bekerja. Apakah ada yang ingin Anda inginkan lagi?” tanya Rena mengalihkan topik pembicaraan.
“Tidak, kau bisa pergi dan melanjutkan pekerjaanmu,” ucap
Luna Irene sambil menggeleng, ia akan memberikan waktu lagi bagi Rena karena masih tak mau bersikap terbuka terhadap dirinya.***
“Brengsek!”
Romeo tak habis pikir kenapa banyak sekali rogue yang berkeliaran di wilayahnya. Entah bagaimana mereka bisa lolos sedangkan penjagaan sudah sangat diketatkan."Danny, kerahkan pasukan dari wilayah utara dan giring mereka menjadi satu. Aku akan ke wilayah barat bersama dengan Jack dan Albert!”
"Baik, Beta." Sambil bersiap-siap. "Apa tidak sebaiknya kita beritahukan Alpha terlebih dahulu, Beta?” tanya Danny.
"Jangan! Biarkan kita urus sendiri. Jika ada hal yang mendesak dan tak dapat kita tangani kita langsung mindlink Alpha.”
Albert menghela napas gusar, sebenarnya masalah ini sudah masuk ke ranah menyulitkan. Tapi Beta tak mau mengadu pada Alpha. Tipikal Romeo.
“Jack, kau berpencarlah ke Barat bersama Albert dan teman yang lain. Aku akan menggiring mereka ke sana, aku yakin mereka tak akan pernah lolos.” Sedangkan yang lainnya mengikuti instruksi Romeo, karena warrior lainnya yakin akan kemampuan Beta-nya.
“Jadikan mereka mainan terlebih dulu sebelum membunuhnya,” tambah Romeo diiringi seringai tajam. Dibalik sikap ramah dan bersahabatnya, ia tak pernah main-main jika ada yang mengganggu tugasnya.
Jade sudah mengambil alih tubuh kekar Romeo, serigala cokelat itu membelah hutan. Wajahnya sudah benar-benar tak tahan ingin bermain dengan mangsanya. Tubuh besar itu semakin lama semakin cepat, meninggalkan daun kering yang beterbangan seusai diinjak.
Hidungnya terlalu sensitif untuk mencium aroma yang memuakkan. ”Aku berada di tiga kilometer arah kalian,” ucap Jade pada teman setimnya.
Jade semakin jelas melihat tiga ekor Rogue yang saat ini ia yakini sedang dalam kondisi waswas, karena menunggu kehadirannya. Kakinya berjalan perlahan dan mengintai mereka yang saat ini belum mengetahui dirinya telah bersembunyi di balik pohon.
Kalian salah jika berhadapan denganku. Dengan sekali gerakan, Romeo mencakar dua sekaligus mata musuhnya dan dalam sekejap mengalirkan darah segar. Jade menyeringai ngeri melihat koyakkan itu. Terlalu ringan untuk sang penyusup di dalam pack.
Serigala merah itu tak terima saat temannya menjadi bulan-bulanan sang Beta. Dengan cepat ia memberikan cakaran pada wajah Jade dan berakhir kosong. Jade menghindar lebih dulu tanpa ada perlawanan berarti.
Geraman ketiga serigala itu dibalas dengan tenang oleh Jade dan Romeo. Mereka terlalu percaya bisa melawannya yang seorang diri. Dengan sekali hentakan, goresan tangan Jade sudah berada di punggung serigala merah. Raungan khas kesakitan tak pelik membuatnya kasihan dan malah memacu adrenalin yang berada dalam dirinya.
Dengan santai Jade meninggalkan mereka dengan berlari pelan. Wajahnya menyeringai karena ini adalah saatnya.
Merasakan hawa panas yang berada di belakangnya, Jade berlari kencang membiarkan mereka mengejarnya. "Kalian bersiaplah."
"Kami juga sudah menunggu, Beta."
Jade menghindar saat ketiga serigala itu mencoba untuk menerjang punggungnya. "Konyol."
Mendengar perkataan Sang Beta, serigala merah itu semakin brutal mencoba untuk mencari celah melukai Jade. Goresan cakar serigala merah itu mengenai sedikit pergelangan kaki Jade tapi itu tak membuat gerakannya melambat.
Sebentar lagi.
Jade akhirnya menemukan rogue yang lain, entah berapa jumlahnya, ia tak sempat menghitung. Dirinya hanya terfokus pada ketiga serigala yang sekarang sudah masuk perangkapnya.
Setelah sampai, Jade berlari memutar mengambil posisi yang sudah ditentukan. Para rogue pun mengumpat tak percaya bahwa mereka sudah dipermainkan seperti ini. Mereka sebentar lagi menjadi santapan para prajurit yang sudah mengelilinginya, mencoba mencari cara bagaimana keluar dari jebakan.
Jade berjalan mendekati serigala merah yang diketahui sebagai pimpinan kelompok mereka. Jade mengaum di depan wajahnya guna menunjukkan eksistensi siapa yang berkuasa sekarang. Dengan keadaan tak siap Jade menggoreskan seluruh cakarnya di tubuh serigala merah, begitu juga prajurit yang lain. Pertarungan tak bisa dielakkan, meskipun Jade, dan lainnya tahu bahwa mereka akan menang. Tapi tetap saja rogue
tetaplah rogue, mereka adalah perusak.Detik terakhir itu juga Jade mengambil paksa jantung serigala merah dan membuangnya sembarang arah. Pekikan dan rintihan kesakitan tak dipedulikan mereka. Hanya satu yang Jade inginkan memangkas habis rogue yang berada di wilayahnya.
***
“Apa kau baik-baik saja, Rome?” Albert sedikit meringis saat melihat Romeo berjalan pincang.
“Naiklah ke punggungku,” tawar Albert saat ingin berubah diri. Romeo hanya tersenyum mendengar temannya sangat khawatir.
“Tenang saja, aku tak apa. Hanya goresan kecil.” Albert dan Jack pamit pergi saat Alpha Jonathan menghampirinya.
“Ada apa dengan kakimu, Rome?”
Romeo menundukkan kepala sambil memberikan hormat pada Alpha-nya. Ia sedikit meringis merasakan kakinya yang sedikit kram. “Tadi sempat ada gerombolan rogue yang mampir di wilayah kita, Alpha. Tapi mereka sudah kami bereskan.” Senyum semangat dan puas masih tergambar di wajah Romeo. Ya, ia sangat puas hari ini.
Alpha Jonathan menepuk hangat kepala Beta kecilnya yang sudah dianggap sebagai anak sendiri. Ia sangat bangga terhadap Romeo. Pria itu memang pantas bersanding dengan Nickholas. Perpaduan yang pas.
“Rena, kemari, Nak.” Jonathan yang melihat Rena tak jauh dari dirinya—sedang menyiram bunga—memanggil untuk mendekat. Tanpa berpikir dua kali Rena memutar kran dan menaruh selang air untuk menghampiri kedua pria beda generasi itu.
“Ada yang bisa saya bantu, Alpha?” ucap Rena tanpa melihat Romeo yang sudah memalingkan wajahnya.
“Aku minta tolong padamu, obati Romeo dia baru saja bertarung dengan rogue.”
Rena yang baru saja mendengar penjelasan Jonathan hatinya langsung berdenyut nyeri, pria itu selalu bertarung dan akan tetap selalu menang. Rena melihat kaki kanan Romeo yang terluka, memang tidak besar tapi cukup dalam bahkan darahnya pun sudah hampir mengering.
“Baik Alpha, saya akan membuat obatnya terlebih dulu.” Rena berkata.
Romeo mendesah lega saat Jonathan sudah meninggalkannya di bangku taman. Ia menutup matanya sebentar menikmati angin sore yang berembus.
Sudah dua hari Alpha Nickholas meninggalkan pack untuk urusan mendesak, mau tidak mau pack menjadi tanggung jawabnya meskipun Alpha Jonathan turut membantu. Tapi tetap saja, dia tidak bisa terpaku oleh Alpha Jonathan terlalu sering.
Matanya terbuka saat gadis itu menghampiri dengan membawa baskom dan kotak yang ada di tangan.
“Maaf.”
Romeo merasakan kakinya ditaruh ke bangku panjang dan Rena bersimpuh mensejajarkan tubuhnya agar bisa menggapai kaki Romeo. Romeo yang melihat itu hanya bisa terdiam terpaku. Kakinya sedang dibersihkan oleh seorang pelayan yang tanpa mau menatap matanya.
“Rena Schaaci.”
Rena yang mendengar namanya disebut lengkap menghentikan usapan pada kaki Romeo dan meremas kuat kain putih yang sudah berganti warna menjadi merah.
“Kau tahu, Rena? Kau di mataku bagaikan apa, hm?”
Rena yang mendengarkan itu mencoba mengabaikan ucapan Romeo dan lebih memilih untuk menaburkan bubuk hijau di atas luka Sang Beta. Dengan hati-hati Rena menaruh kapas agar bubuk itu tertutup dengan sempurna.
Tangannya dengan luwes menutup luka di kaki berotot Romeo dengan kasa putih.
“Sampah. Kau di mataku bagaikan sampah, Rena.”
Sudah cukup Rena menahan butiran air matanya, dadanya terlalu sakit saat mendengar ejekan bahkan hinaan yang Beta Romeo lontarkan untuknya. Dengan menghapus bulir air mata yang masih mengalir, ia tetap melanjutkan membalut luka itu dengan hati-hati tak ingin Romeo merasakan sakit. Jemarinya semakin bergetar saat memilin kasa yang hampir habis itu sebagai tindakan akhir.
Perlakuan Rena tak lepas dari mata tajam milik Romeo. Wajah itu semakin berkerut hingga alis tebalnya bersatu. Rena menangis dalam diam tanpa suara, hanya butiran air mata yang masih setia menunjukkan padanya yang sesekali dihapus oleh tangan kurus itu.
“Apa kau masih terlalu percaya diri untuk tinggal di sini, ha?!” Rena berdiri membawa peralatan tadi tanpa menatap Romeo.
“Aku pamit undur diri, Beta.”
Sekali lagi, Romeo ditinggalkan sendiri oleh punggung ringkih itu dengan wajah dan mata yang sembab.
***
Sudah tak tahu seperti apa yang Romeo lakukan, ia selalu melihat cercaan dan hinaan yang pelayan lain lontarkan pada Rena. Ia pun sama saja, mereka tak ada bedanya. Ia menghela napas gusar, memikirkan ini sudah bertahun-tahun tapi tak kunjung selesai juga. Rena selalu tak membalas perkataan apa yang sudah di dengarnya. Perempuan itu selalu diam tanpa respons. Seakan ia memang ditakdirkan untuk tuli.
Telapak tangannya terbuka dan menutup dengan durasi lambat. Merenggangkan ototnya yang terasa kaku. Tangan yang sudah membunuh entah berapa ratus rogue dalam sepuluh tahun terakhir. Apakah ia mampu juga membunuh Rena menggunakan tangannya, mengingat gadis itu dulunya seorang rogue?
Ia bisa melihat gadis tertutup itu yang selalu menyendiri tanpa adanya teman. Tidak akan bersuara jika tidak ditanya. Romeo juga sebenarnya tak akan menyangkal dengan pesona Rena yang cantik. Mata yang lain daripada yang lain, kulitnya putih, dan wajah yang selalu menunduk. Jangan lupakan tubuh yang kurus itu.
"Bagaimana cara melenyapkannya, Jade?"
Serigala yang ditanya pun hanya mendesah pasrah. Ya watak mereka sama. Ingin melenyapkan Rena sedari dulu. "Aku tak tahu, Rome." Hanya itu yang Jade katakan jika Romeo sudah lelah mencari cara bahkan tak berhasil. Karena memang tak pernah ia mulai.
Apakah Rena tak pernah menyerah dan pernah memikirkan hatinya yang selalu sakit setiap hari, karena orang-orang di istana ini. Seharusnya perempuan itu menyerah saja dan keluar dari pack ini dengan cara berbaur dengan manusia di luar sana. Itu akan membuat tugasnya selesai dan tidak ada ganjalan yang masih menyangkut di pikirannya.
Ia masih ingat sembilan tahun lalu tepatnya di sisi Barat wilayah penjagaan di mana gadis kecil ditemukan oleh wariornya.
“Beta ada seorang gadis kecil di Barat. Bisakah kau kemari.” Romeo yang saat itu sedang berlatih dengan warior yang lain segera bergegas menghampiri Jack.
“Tahan dia untuk tetap di sana, Jack.”
Gadis kecil siapa yang berani masuk ke wilayahnya seorang diri tanpa penjagaan dari orang tua. Jikalau memang ia rogue, dirinya tak segan-segan untuk menghabisi saat itu juga.
Romeo melihat gadis kecil sedang duduk di tanah bersama Jack dan Theo. Ia melihat Jack dan Theo memberikan makanan pada gadis itu sambil mengobrol. Ia semakin mengerutkan keningnya saat dadanya berdebar-debar dan keringat dingin membasahi keningnya.
Romeo berjalan menghampiri mereka dengan perlahan, matanya masih terfokus pada mata sipit aneh gadis itu. “Di mana kalian menemukan anak kecil ini?” Suara bariton nan dalam itu mengagetkan Rena. Tanpa menduga juga kalau makanan di tangannya terjatuh. Ia beringsut mundur mendekati sisi pohon meminta perlindungan. Raut muka yang ketakutan dan memerah membuat Romeo semakin jengkel pada gadis itu.
“Beta, kami menemukannya di sini.” Jack segera berdiri diikuti oleh Theo.
Romeo menatap tajam dan jeli pada gadis itu. Gaun kuning itu sobek dimana-mana dan banyak sekali kotoran di sana. Apakah benar gadis ini serigala liar, tapi jika bukan kenapa tidak ada ciri khas aroma pack yang menguar di tubuh gadis ini.
Romeo segera mengeluarkan belati di kantong celananya, membuat anak kecil itu semakin takut dan terisak lirih.
“Tidak—tidak … kumohon jangan bunuh aku ....”
Jika saja ia membunuh Rena sedari awal tanpa diketahui Beta Christopher, sudah dipastikan ia tak akan pernah melihat wajah putih pucat itu lagi.
Hatinya berdenyut nyeri mengingat itu semua.
Matanya melalang liar memperhatikan kamarnya. Ia bukan pria munafik dan juga pria yang baik-baik Di umurnya yang sudah kepala tiga, pasti mendambakan pasangan sempurna yang selalu siap memberikannya kepuasan. Apalagi dia belum pernah merasakan apa itu kenikmatan duniawi, berbeda dengan Alpha Nick yang sudah biasa merasakan itu semua dengan perempuan berbeda.
“Bu, mereka mengatakan jika mataku aneh.” Perempuan kecil berusia tiga belas tahun itu merajuk pada Ibunya. Dirinya tak terima karena selalu dicemooh oleh teman sepermainan yang berada di desanya. Sang Ibu hanya bisa tersenyum sambil tangannya memetik buah di kebun. ”Memang apa yang aneh. Bukankah mataku ini unik, ya.” Buah yang sudah dipetik Ibunya di keranjang, sesekali dimakan olehnya. “Matamu memang unik, Rena. Karena kau memiliki mata seperti nenekmu. Ibu orang Asia. Kau sudah tahu, kan?” Ibu Rena berjalan mencari anggur yang sudah masak, tangannya dengan telaten menggunting batang buah tersebut. Rena yang melihat Ibunya pun mengambil gunting yang berada di dalam keranjang dan mencoba membantu. “Ambil yang berwarna ungu. Tinggalkan yang hijau.” Instruksi yang langsung dipatuhi oleh Rena tanpa adanya bantahan. “Tapi mata kak Ben tidak sepertiku, Bu?” Ternyata masih berlanjut masalah ini. Yura yang melihat punggung anaknya hanya bisa mendesah. Gadis kecil dengan rambut hitam
Suasana istana tampak ramai. Banyak anggota keluarga dan kerabat yang hadir. Dengan menggunakan konsep serba hitam dan putih, membuat pesta ini terlihat mewah dan elegan. Ternyata tidak hanya Rena sendiri yang memakai gaun, pelayan lain pun memakainya. Mereka serasi dengan pakaian yang berwarna putih hanya saja motifnya yang berbeda. Mungkin Luna Irene ingin membuat malam ini sempurna. Tetapi Rena tahu bahwa gaun yang diberikan Irene sangat berbeda dengan yang lainnya, apakah ini khusus. Seketika kepercayaan dirinya luntur, ia tak pantas memakai pakaian mewah seperti ini. Seharusnya ia sama seperti teman yang lainnya. Tapi jika ia tak memakainya bisa saja Luna Irene benar-benar marah. “Rena ... Rena ... Rena.” Wendy dengan gaya angkuhnya berdiri di depan Rena dan memperhatikan gaun dari atas sampai bawah. Matanya terbelalak saat gaun Rena berbeda dari miliknya. Padahal sama-sama dari pemberian Luna Irene. “Dapat dari mana kau gaun mewah ini?" Tangannya menyentuh kain putih itu da
Rena menghela napasnya. Langit-langit kamar tidur yang berwarna putih menjadi pusat perhatiannya sejak tadi. Ia rindu akan ayah, ibu, juga kak Ben. Sejak kejadian yang membuat dirinya berpisah dengan kak Ben dan sampai saat ini ia tak pernah bertemu lagi. Bagaimana jika ia meminta izin pada Alpha Jonathan juga Luna Irene untuk keluar dari pack, alih-alih mencari Kakaknya. Pasti ia diperbolehkan. Tapi ... Mengingat jika ia tinggal di istana dari umur tiga belas tahun sampai sekarang dirinya pasti akan dicap sebagai orang yang tak tahu diri karena sudah diasuh dan dibesarkan oleh pack. Ia benar-benar bimbang. Tapi diantara itu semua, ada Beta Romeo yang sebenarnya tak bisa ia tinggalkan. Beta Romeo dengan segala keangkuhan yang pria itu miliki. Rena berpikir, Beta Romeo semakin lama akan berubah dan tak menganggap dirinya sebagai benalu di dalam istana, melainkan anggota pack juga ... mate. Pipinya menggembung, antara manis juga pahit jika berhadapan dengan pria itu. Biar saja Beta
Rena merasakan pipinya panas karena tamparan Bibi Morin yang kencang. Mungkin juga sudut bibirnya sedikit berdarah terbukti ia bisa merasakan asin. “Aku tak menyangka kau bisa brutal seperti ini, Rena!” teriak Morin menghunus telak telinga Rena. “Sarah bawa Wendy ke kamarnya!” perintah Morin saat melihat wajah pucat Wendy serta napas yang masih tersengal-sengal. “Apa kau ingin mencoba membunuh temanmu sendiri, ha?!” Dengan menggoyang-goyangkan bahu Rena, membuat perempuan itu pusing seketika. “Kumohon, Bibi. Perutku mual.” Ingin muntah rasanya saat tubuhnya dientakkan secara keras. Sudah sedari bangun tidur Rena memang tak enak badan dan merasa sedikit demam. “Apa aku kurang mengajarimu sedari kecil untuk menghormati semua orang? Apa kau perlu aku ajarkan sekali lagi, iya?!” teriak Morin. “Kumohon Bibi maafkan aku.” Matanya panas menahan sakit dikepalanya. Morin yang segera melepaskan Rena langsung mengusap-usap kedua tangannya di baju. “Kumaafkan kau untuk kali ini. Jangan samp
Hari Minggu, Awal musim Gugur.Menghilangkan kepenatan juga memberikan aura positif terhadap orang lain ternyata semudah itu. Rena seharusnya dari dulu tak menutup diri karena kehilangan keluarga. Seharusnya ia memang lebih bersyukur ada di pack ini. Diasuh dengan baik walau dalam istilah yang tidak sebenarnya. Jika diingat-ingat waktu terasa cepat untuknya berada di sini, umurnya sudah menginjak dua puluh tiga tahun sekarang.
Romeo jelas-jelas sudah sangat menahan emosi dengan kedekatan Rena juga adiknya, Jordan. Bisa-bisanya dengan tatapan polos ia menggoda Jordan hingga membuat pria itu seperti kucing menggemaskan. Ditambah melihat tingkah laku dua-duanya yang sangat memuakkan. Jordan tak main-main dengan perkataannya sedari awal, bahkan dengan ketidaksiapan Romeo akan aksi Jordan itu sendiri. Ia tak ingin adiknya masuk dalam kenaifan perempuan itu.Ia belum sepenuhnya percaya akan Rena meskipun sudah bertahun-tahun tinggal di Istana. Romeo sedari dulu sudah merasakan hal janggal, apa yang membuat Rena tersesat hingga memasuki wilayahnya. Perkataan Wendy kemarin kembali mengusik pikirannya. Benar deng
Tak pernah dibayangkan oleh Rena untuk berhadapan dengan makhluk pengisap darah. Ia juga tak pernah menampik untuk tidak takut berhadapan dengan kaum immortal yang usianya bisa lebih dari ratusan tahun itu. Karena menurut Rena, jika sang vampir sudah menargetkan mangsanya maka saat itu pula mereka tak akan terlepas kan.Rena yang melihat saat aksi Romeo mengempaskan tubuh pria vampir itu semakin membelalakkan matanya. Ia tak tahu jika Romeo benar-benar sekuat itu dan hanya mengeksekusi menggunakan satu tangan saja.
Rena menangis meratapi nasib yang sudah dua hari ini ia rasakan. Ia berpisah dengan kakak laki-laki yang ditugaskan oleh orang tua untuk menjaganya. Entah sudah berapa kilometer ia berjalan menyusuri hutan untuk mencari pertolongan. Perutnya sudah perih, hanya buah-buahan hutan yang mampu mengisi kekosongan. Ia semakin takut karena sudah beberapa kali dirinya melihat makhluk lain di hutan ini dan untungnya berhasil sembunyi. Ia tak mau menjadi santapan bagi mereka semua. Ia ingin hidup dan bertemu dengan kakaknya kelak. Bunyi geraman membuat sikap waspada Rena kembali teruji, ia semakin melarikan diri tanpa mau menoleh ke belakang. Tapi tiba-tiba kakinya ditarik kasar dari belaka
Dari berbagai hal yang membuat Rena bingung adalah dia mendapati banyaknya orang yang datang ke ruangannya. Orang yang sama sekali asing di matanya. Mungkin jika di hitung, jumlah orang di ruangan ini ada lebih dari dua puluh orang, itu termasuk dengan pria yang memiliki tinggi badan sama seperti suaminya. Pria besar yang hanya diam saja di pojok ruangan dan juga depan pintu.Ia menatap suaminya yang saat ini memasang wajah pias. Pria itu ada di sampingnya sambil memegang tangannya erat.“
Romeo tergagap dengan kalimat demi kalimat yang istrinya lontarkan. Seperti mendapatkan tikaman tajam yang tepat di ulu hatinya Ini sungguh menyesakkan. Apa yang ditakutinya akhirnya terjadi juga.Sedikit demi sedikit Rena akhirnya tahu identitas sebenarnya. Sedikit demi sedikit memori itu akhirnya datang lagi.“Dengarkan aku dulu,” ucap Romeo masih mencoba untuk bisa meminta pertolongan pengertian dari tatapan matanya. Namun, ia bisa melihat bagaimana pandangan sorot Rena yang berub
Sepertinya Romeo memang tidak bisa meninggalkan Rena sendiri atau membiarkan perempuan itu berpikiran yang macam-macam. Buktinya sudah beberapa kali Romeo mendapati Rena berbicara macam-macam yang menyangkut tentang masa lalunya. Hal yang membuat Romeo semakin waswas.Bukan karena apa. Tapi karena ia sendiri takut jika ingatan Rena kembali dan menjauhi dirinya. Ia takut jika istrinya itu kembali mengingat masa kelam yang sudah terkubur lama.“Apa yang sedang kau lakukan?” tanya Romeo
Hari berganti bulan. Bulan berganti tahun. Sekarang adalah dua tahun pernikahan Rena dan juga Romeo. Di tahun kedua ini mereka benar-benar diberikan keberkahan oleh Moongoddes. Begitu sabarnya Romeo menghadapi sikap kanak-kanak yang Rena berikan.Wanita itu, bertingkah seperti anak kecil yang sedang kehilangan susu. Lihat saja sekarang, wanita muda itu merajuk karena Romeo sama sekal tidak menanggapi perkataannya.Bukan karena Romeo sengaja, melainkan karena pria itu sendiri sedang sibuk dengan
[ Gunung Fuji - Jepang ]Ini sudah hari kedua mereka ada di sini, menikmati destinasi yang begitu mengagumkan. Negeri Matahari Terbit itu sungguh membuat para turis betah di sini.Lihatlah Rena! Dia sedang bermain dengan bunga-bunga yang berada di Danau Kawaguchi. Tanaman phlox berwarna merah muda membuat pinggiran sungai itu tampak sangat cantik.
Rena semakin heran saat tidak mendapati darah keperawanannya di kasur. Bukankah setiap perawan pasti ada darah, atau paling tidak bercak kecil di sana. Tapi, di kasur putih itu tak terdapat apa-apa.“Mau sampai kapan kau terus memandangi kasur ini, Rena?” Romeo datang dan sudah tercium sangat harum Pria itu telah mandi lebih dulu karena mencoba meredakan gejolak nafsu yang masih dominan.Pria itu memeluk Rena dari belakang dan mengel
Rena masih saja sesenggukan karena pria yang ada di atas ranjang ini tidak juga membuka mata sejak satu jam yang lalu. Pria bodoh yang telah hampir kehilangan nyawa karena bertengkar dengan Kak Ben.“Sudahlah, Rena, dia tidak akan pernah mati. Dia memiliki sembilan nyawa.” Ben bersender di dinding. Rambutnya masih basah karena aksi penyelamatan Romeo yang terdengar gila.Pria korban budak cinta itu mencoba untuk meyakinkan Ben dengan
Mata Rena berbinar saat mendapati seorang pria yang datang untuk menemuinya. Seorang paling tampan menurutnya yang pernah ia kenal. Dalam hidupnya, ia tak pernah melihat pria yang begitu dominan tapi bisa membuat hatinya berbunga-bunga.Ia sudah kenal pria itu hampir setengah tahun lamanya. Pria yang dikenal dengan nama Romeo Riley. Awalnya, yang ia tahu, pria itu sering datang ke rumah hanya ingin bertemu dengan Ben. Namun, lama-kelamaan justru ia yang menjadi lebih dekat.
Euforia di pack Lightcrown Claws Pack semakin meriah karena Beta yang paling mereka cintai akhirnya bisa membuka mata dan hadir ditengah-tengah mereka saat ini. Tak peduli jika Romeo yang sekarang memiliki fisik yang tak sempurna. Kakinya yang tak bisa menapak sepenuhnya, tak membuat para rakyat memandang remeh. Bagaimanapun jika diadu dengan orang normal pasti Romeo yang akan menang."Selamat atas keberhasilanmu, Nak." Jovial selaku ayah kandung dari Beta itu memberikannya beberapa kali ucapan. Padahal, sedari tadi ia telah mengucapkannya sampai membuat telinga Romeo berdenging. Begitu juga dengan ibunya,