Suasana istana tampak ramai. Banyak anggota keluarga dan kerabat yang hadir. Dengan menggunakan konsep serba hitam dan putih, membuat pesta ini terlihat mewah dan elegan.
Ternyata tidak hanya Rena sendiri yang memakai gaun, pelayan lain pun memakainya. Mereka serasi dengan pakaian yang berwarna putih hanya saja motifnya yang berbeda. Mungkin Luna Irene ingin membuat malam ini sempurna. Tetapi Rena tahu bahwa gaun yang diberikan Irene sangat berbeda dengan yang lainnya, apakah ini khusus.
Seketika kepercayaan dirinya luntur, ia tak pantas memakai pakaian mewah seperti ini. Seharusnya ia sama seperti teman yang lainnya. Tapi jika ia tak memakainya bisa saja Luna Irene benar-benar marah.
“Rena ... Rena ... Rena.” Wendy dengan gaya angkuhnya berdiri di depan Rena dan memperhatikan gaun dari atas sampai bawah. Matanya terbelalak saat gaun Rena berbeda dari miliknya. Padahal sama-sama dari pemberian Luna Irene.
“Dapat dari mana kau gaun mewah ini?" Tangannya menyentuh kain putih itu dan merasakan kehalusan di sana.
Rena sontak mundur tak membiarkan pakaiannya dikotori oleh tangan Wendy.
“Luna Irene.”
Jawaban singkat itu membuat tangan Wendy mengepal dan mukanya memerah. Ia pergi meninggalkan Rena tanpa mau terlibat lebih jauh. Suara hentakkan heels memenuhi telinga dan diabaikan. Biarlah Wendy berasumsi dengan pikirannya sendiri.
Rena melangkah memasuki ruang utama yang dijadikan acara malam ini. Ruang yang sudah disulap menjadi tempat terindah yang didominasi hitam dan putih. Kakinya yang memakai heels tidak terlalu tinggi mencari sang raja dan ratu dalam cara ini. Ingin mengucapkan selamat dan meminta maaf kepada Luna Irene soal kejadian siang tadi. Matanya mengedarkan ke penjuru ruangan, ruangan yang sudah dipenuhi oleh tamu dan kerabat.
“Rena, kau sangat cantik.” Suara berat menginterupsi, ia melihat Theo melihatnya dari atas hingga bawah. Pria dengan rambut panjang yang diikat itu tersenyum geli.
“Terima Kasih, Theo.” Rena sedikit menarik bibirnya, matanya masih mencari Luna Irene berada.
“Kau sedang mencari Luna Irene ?” tanya pria itu.
Hanya gumaman yang membalas perkataan Theo.
“Alpha dan Luna belum terlihat dari tadi. Mungkin masih bersiap-siap.” Rena menatap mata cokelat Theo dan menganggukkan kepalanya, kemudian pergi dari hadapan Theo tanpa berbicara lagi.
Theo geram melihat kelakuan pelayan itu, sungguh gadis yang tak mengerti etika. Ia sudah bersikap baik untuk menyapa tapi balasan gadis itu membuatnya menahan emosi.
***
Rena menatap pasangan paruh baya yang sedang tertawa itu memotong kue berwarna putih yang kira-kira mencapai tinggi satu meter lebih. Terlihat raut wajah Luna Irene sangat bahagia berdampingan dengan Alpha Jonathan. Setiap tahun mereka melakukan acara ini, tapi mungkin di tahun ini adalah tahun yang spesial. Di mana seluruh tamu menggunakan pakaian yang sama begitu juga dengan pelayan. Tak ada kasta yang terlihat saat ini, semua sama.
Rena mengulum bibirnya saat mencium wangi kayu manis yang mendekatinya. Jantungnya selalu berdebar jika pria itu menampakkan eksistensi saat berada tak jauh darinya. Matanya masih menatap lurus ke depan, membiarkan pikiran serta gejolak yang sudah bersemayam. Ia sudah biasa.
“Mereka selalu terlihat bahagia.” Suara berat itu memenuhi gendang telinga Rena setelah sekian menit sang pria berdiri di sampingnya.
Rena membenarkan toh seperti itu kenyataannya.
“Apa kau bahagia?” Rena sedikit mengerutkan dahinya mendengar pertanyaan Romeo.
“Selama sembilan tahun kau di sini aku tak pernah lagi merasakan kebahagiaan itu, Rena. Kau sudah mengubahku.”
Rena mengelus kedua lengannya yang tak tertutup baju, menghantarkan sedikit rasa hangat. Jika berhadapan dengan pria ini, ia selalu seperti tersiram air es sangat menyakitkan. Rena tak menjawab, ia semakin mendengarkan apa yang Romeo sampaikan.
“Tidak puaskah kau menyiksaku seperti ini?” Suara lirih Romeo membekukan tubuh Rena. Benarkah selama ini ia menyiksa Romeo? Bukankah sebaliknya.
“Pergilah Rena. Jangan kau tampakkan muka menyedihkanmu itu di depan mataku lagi.” Suara itu semakin memelas.
Rena masih menatap lurus ke depan, melihat Luna Irene menyuapi kue yang tadi dipotongnya pada anaknya, Alpha Nickholas.
“Aku selalu mengingat kata-katamu, Beta Romeo. Ada saatnya aku pergi dari hadapanmu sesuai permintaan. Saat di mana itu terjadi mungkin kau tak akan pernah lagi melihatku sudah berbeda.” Rena berjalan menghampiri Luna Irene menghapus setitik air mata yang sempat jatuh.
Dada Romeo berdenyut nyeri tangannya meremas tuksedo dengan keras. Apakah Rena akan menuruti permintaannya? Apakah ia siap jika gadis itu benar-benar pergi dari hadapannya sesuai permintaan?
Sejak tadi ia memperhatikan Rena yang berdiri sendiri tanpa ada yang mau menyapanya. Ia sedikit bangga, Rena terlihat sangat cantik malam ini dengan gaun yang cocok melekat di tubuhnya. Ia dengan terburu-buru menghampiri gadis itu ingin memberikan pujian. Tapi sayang, hati dan mulut tak bisa selaras. Ia kembali menyakitinya dengan kata-kata tajam. Kata-kata yang juga melukai hati terdalam.
Romeo mengambil gelas yang berisikan alkohol dan meminumnya dengan cepat. Ia harus bisa menjernihkan pikirannya kembali. Dengan terburu Pria itu meninggalkan pesta dan pergi ke hutan menenangkan diri.
***
Romeo menyendiri menikmati suasana yang sepi. Semilir angin malam membuat dedaunan di hutan rimbun itu sedikit mengalun. Ia pergi dari Istana untuk menenangkan diri dan tidak ingin terlibat jauh dengan hingar bingar pesta, tak terlalu memekakkan telinga memang tapi cukup membuat dada Romeo sesak.
Bukan karena pesta tapi gadis itu.
Jika dulu ia diyakini akan menjadi Beta terkuat setelah Beta Christopher dengan segala taktik dan perencanaan yang matang. Tapi semakin lama ia semakin tak mengenali dirinya sendiri.
Dua kancing kemeja sudah dilepaskan, kemeja putihnya pun sudah digulung hingga siku menampilkan otot liat yang terpampang. Sedikit hentakan ia memukul pohon tua itu hingga membuat ruas jarinya memerah. Pohon tua yang ia dan teman lainnya jadikan sebagai rumah pohon adalah salah satu tempat kesukaannya. Dari atas sana ia bisa melihat bahkan memantau keadaan sekitar. Pohon besar dengan daun rimbun seolah menyembunyikan persinggahan itu.
“Kak,” panggil seseorang dari bawah sambil membawa buah anggur dan melemparkannya pada Romeo.
Romeo yang terkejut tapi karena refleksnya bagus, tak membiarkan buah kesukaannya itu jatuh dan berakibat hancur ke tanah. Ia mendelik kesal dan mengumpat.
“Kau tak perlu mengikutiku sampai sejauh ini, Jordan.”
“Aku hanya khawatir padamu saja. Apa itu salah?” tanya laki-laki berumur dua puluh tujuh tahun. Dengan mudah dirinya ikut bergabung naik ke atas pohon.
Romeo mendengus sambil mengacak-acak rambut Jordan. “Jordan ....” Romeo menatap jauh ke depan membayangkan sesuatu.
“Apa kau pernah membayangkan bagaimana jika kau menjadi seorang rogue dan berbaur dengan manusia setiap saat?”
Pertanyaan yang membuat Jordan tersentak dan memandang kakaknya bingung. “Kau tak pernah berpikir untuk keluar dari pack 'kan, Kak?” tanya Jordan was-was melihat ekspresi Romeo yang tak terbaca.
Romeo hanya tertawa kecil ini hanya canda dan pertanyaan yang singgah di otaknya. Tak pernah sedikit pun ia berniat untuk meninggalkan pack dan semuanya. Mungkin jika dibandingkan, ia lebih memilih mati daripada meninggalkan pack. Pack yang sudah membesarkan namanya serta keluarganya.
“Lagi pula, untuk alasan apa aku meninggalkan pack dan menjadi rogue rendahan?” Romeo memakan anggur secara perlahan.
“Pikiranmu terlalu kolot, Kak. Tidak semua werewolf yang berbaur dengan manusia adalah rogue yang sebenarnya. Dan tak selalu rogue itu mengusik pack hingga membuat kekacauan. Banyak dari mereka yang memang sengaja meminta izin kepada para Alpha untuk pergi dan tinggal berdampingan dengan manusia," jelas Jordan.
“Semakin berkembangnya zaman kau tak selalu melulu menjadi seperti ini, Moongoddess menciptakan kita berdampingan dengan mereka supaya kita tak terlalu rakus begitu juga mereka,” tambahnya.
Romeo tertegun, senaif itu kah dirinya?
“Coba kau ingat, kapan terakhir kali kau meninggalkan Black Forest untuk kesenanganmu sendiri tanpa embel-embel tugas yang kau dapat? Kapan terakhir kali kau berbaur dengan manusia lagi dengan jangka waktu yang lama?” Jordan menatap kakaknya. “Sudah lama sekali bukan, terakhir saat kau masih bersekolah.”
Benar, apa yang dikatakan adiknya memang benar. Romeo sudah terlalu larut akan kesetiaan yang selama ini diayomi. Tugas yang selalu ada setiap detiknya selama sepuluh tahun terakhir membuat dirinya terlalu larut dan melupakan kesenangan dirinya sendiri.
“Aku tidak iri padamu saat kau dipilih Alpha Jonathan untuk menjadi kandidat terkuat calon Beta, tapi yang aku takutkan kau berubah menjadi kejam ya ... seperti sekarang ini. Kau dan Alpha Nickholas adalah perpaduan yang pas." Jordan mengejek sambil membaringkan tubuhnya.
Dia ingat, saat dirinya sudah lulus sekolah dan pada saat itu berumur delapan belas tahun, Romeo dan teman-teman yang lainnya dipilih secara acak oleh Alpha Jonathan untuk dijadikan kandidat terkuat mendampingi calon Alpha berikutnya—Nickholas
Pemilihan itu dikarenakan Beta Christopher tidak mempunyai anak laki-laki dan hanya mempunyai satu anak yaitu Nona Noella.
“Aku mempunyai beberapa kandidat terkuat yang akan mendampingi Alpha Nickholas di kemudian hari menjadi seorang Beta.” Jonathan berbicara di hadapan segerombolan anak remaja laki-laki yang sedang bermain pedang di halaman istana.
Semua orang di sana hanya saling menoleh dan mendengarkan kelanjutannya.
“Menariknya adalah bahwa Alpha Nickholas sendiri yang memilih kandidat.” Jonathan yang melihat Nickholas hanya bisa memasang wajah datar.
“Danny, Theo, dan Romeo. Persiapkan diri kalian mulai sekarang, karena kalian akan dibimbing selama dua tahun untuk memantaskan diri. Satu di antara kalian akan dipilih menjadi Beta dan mendampingi Nickholas. Setelah itu, Calon Alpha dan Calon Beta akan mendapatkan pelajaran khusus selama kurang lebih empat tahun untuk mendalami kepemimpinan dan kekuasaan. Kalian mengerti?” teriakkan Jonathan membuat ketiga remaja itu mengangguk.
“Baik, Alpha.”
Romeo menyandarkan punggungnya di dinding kayu. “Kau baru saja menasihatiku, Adik Kecil?”
“Tidak, untuk apa aku menasihatimu kau yang tahu tentang dirimu sendiri dan masa depanmu.” Jordan melipat kedua tangannya di bawah kepala menjadi bantalan.
“Kau tak kembali ke istana?” tanya Romeo saat adiknya sudah menutup mata.
“Tidak, pesta yang membosankan menurutku walaupun tahun ini ada yang berbeda dengan semua orang apalagi para pelayan yang terlihat cantik-cantik.”
Romeo mengangguk.
“Kau sudah menemukan pasanganmu, Dan?” Mata Jordan terbuka mendengar pertanyaan itu.
“Belum,” jawabnya ikut menerawang.
“Tapi mungkin aku harus berkeliling dunia untuk menemukan mate-ku. Sebenarnya sedari dulu ada anggota pack yang aku suka.” Jordan tertawa kecil.
Romeo mengerutkan kening, tangannya mengelus ruas jemari yang memerah.
“Rena, aku menyukainya.” Senyum hangat yang Jordan berikan pada Romeo membuat pria itu terdiam.
Rena?
Jordan menyukai Rena? Adikku menyukai gadis itu?
Jantung Romeo berdetak cepat, dengan cepat ia melompat dari rumah pohon itu meninggalkan Jordan sendirian. Jordan yang melihat gelagat aneh kakaknya hanya bisa menyeringai kejam.
Menyedihkan.
Rena menghela napasnya. Langit-langit kamar tidur yang berwarna putih menjadi pusat perhatiannya sejak tadi. Ia rindu akan ayah, ibu, juga kak Ben. Sejak kejadian yang membuat dirinya berpisah dengan kak Ben dan sampai saat ini ia tak pernah bertemu lagi. Bagaimana jika ia meminta izin pada Alpha Jonathan juga Luna Irene untuk keluar dari pack, alih-alih mencari Kakaknya. Pasti ia diperbolehkan. Tapi ... Mengingat jika ia tinggal di istana dari umur tiga belas tahun sampai sekarang dirinya pasti akan dicap sebagai orang yang tak tahu diri karena sudah diasuh dan dibesarkan oleh pack. Ia benar-benar bimbang. Tapi diantara itu semua, ada Beta Romeo yang sebenarnya tak bisa ia tinggalkan. Beta Romeo dengan segala keangkuhan yang pria itu miliki. Rena berpikir, Beta Romeo semakin lama akan berubah dan tak menganggap dirinya sebagai benalu di dalam istana, melainkan anggota pack juga ... mate. Pipinya menggembung, antara manis juga pahit jika berhadapan dengan pria itu. Biar saja Beta
Rena merasakan pipinya panas karena tamparan Bibi Morin yang kencang. Mungkin juga sudut bibirnya sedikit berdarah terbukti ia bisa merasakan asin. “Aku tak menyangka kau bisa brutal seperti ini, Rena!” teriak Morin menghunus telak telinga Rena. “Sarah bawa Wendy ke kamarnya!” perintah Morin saat melihat wajah pucat Wendy serta napas yang masih tersengal-sengal. “Apa kau ingin mencoba membunuh temanmu sendiri, ha?!” Dengan menggoyang-goyangkan bahu Rena, membuat perempuan itu pusing seketika. “Kumohon, Bibi. Perutku mual.” Ingin muntah rasanya saat tubuhnya dientakkan secara keras. Sudah sedari bangun tidur Rena memang tak enak badan dan merasa sedikit demam. “Apa aku kurang mengajarimu sedari kecil untuk menghormati semua orang? Apa kau perlu aku ajarkan sekali lagi, iya?!” teriak Morin. “Kumohon Bibi maafkan aku.” Matanya panas menahan sakit dikepalanya. Morin yang segera melepaskan Rena langsung mengusap-usap kedua tangannya di baju. “Kumaafkan kau untuk kali ini. Jangan samp
Hari Minggu, Awal musim Gugur.Menghilangkan kepenatan juga memberikan aura positif terhadap orang lain ternyata semudah itu. Rena seharusnya dari dulu tak menutup diri karena kehilangan keluarga. Seharusnya ia memang lebih bersyukur ada di pack ini. Diasuh dengan baik walau dalam istilah yang tidak sebenarnya. Jika diingat-ingat waktu terasa cepat untuknya berada di sini, umurnya sudah menginjak dua puluh tiga tahun sekarang.
Romeo jelas-jelas sudah sangat menahan emosi dengan kedekatan Rena juga adiknya, Jordan. Bisa-bisanya dengan tatapan polos ia menggoda Jordan hingga membuat pria itu seperti kucing menggemaskan. Ditambah melihat tingkah laku dua-duanya yang sangat memuakkan. Jordan tak main-main dengan perkataannya sedari awal, bahkan dengan ketidaksiapan Romeo akan aksi Jordan itu sendiri. Ia tak ingin adiknya masuk dalam kenaifan perempuan itu.Ia belum sepenuhnya percaya akan Rena meskipun sudah bertahun-tahun tinggal di Istana. Romeo sedari dulu sudah merasakan hal janggal, apa yang membuat Rena tersesat hingga memasuki wilayahnya. Perkataan Wendy kemarin kembali mengusik pikirannya. Benar deng
Tak pernah dibayangkan oleh Rena untuk berhadapan dengan makhluk pengisap darah. Ia juga tak pernah menampik untuk tidak takut berhadapan dengan kaum immortal yang usianya bisa lebih dari ratusan tahun itu. Karena menurut Rena, jika sang vampir sudah menargetkan mangsanya maka saat itu pula mereka tak akan terlepas kan.Rena yang melihat saat aksi Romeo mengempaskan tubuh pria vampir itu semakin membelalakkan matanya. Ia tak tahu jika Romeo benar-benar sekuat itu dan hanya mengeksekusi menggunakan satu tangan saja.
Rena menangis meratapi nasib yang sudah dua hari ini ia rasakan. Ia berpisah dengan kakak laki-laki yang ditugaskan oleh orang tua untuk menjaganya. Entah sudah berapa kilometer ia berjalan menyusuri hutan untuk mencari pertolongan. Perutnya sudah perih, hanya buah-buahan hutan yang mampu mengisi kekosongan. Ia semakin takut karena sudah beberapa kali dirinya melihat makhluk lain di hutan ini dan untungnya berhasil sembunyi. Ia tak mau menjadi santapan bagi mereka semua. Ia ingin hidup dan bertemu dengan kakaknya kelak. Bunyi geraman membuat sikap waspada Rena kembali teruji, ia semakin melarikan diri tanpa mau menoleh ke belakang. Tapi tiba-tiba kakinya ditarik kasar dari belaka
Senyaman-nyamannya istana orang lain, lebih nyaman istana sendiri. Itulah peribahasa yang sering Rena dengar. Ia ingat, baru saja memejamkan mata dan menikmati indahnya cahaya langit malam. Tapi beberapa detik kemudian air sudah membasahi seluruh tubuhnya. Apa yang salah? Ataukah hujan sedang mengguyur bumi?Matanya mengerjap memandangi silau yang menusuk, seketika untuk berdiri saja ia tak sanggup. Sudah berapa lama ia tertidur sambil duduk?“Aku men
Sudah dua hari Rena di rumah sakit, begitu pula Jordan yang mengurusnya bahkan pria itu tak segan-segan untuk bermalam di sana juga. Setelah insiden memalukan yang Rena sendiri tak tahu bagaimana ceritanya, ia hanya ingat saat tertidur di taman dan suara bibi Morin membangunkannya. Yang ia lihat bibi Morin membawa ember hitam dan menuangkan seluruh isi ke tubuhnya. Ia yang kedinginan setelah itu tertidur di kamar dengan damai tanpa mau mendengarkan berisik suara di luar.Rena sempat bertanya pada Jordan sebenarnya apa yang terjadi tapi jawaban pria itu tak terlalu memuaskan.
Dari berbagai hal yang membuat Rena bingung adalah dia mendapati banyaknya orang yang datang ke ruangannya. Orang yang sama sekali asing di matanya. Mungkin jika di hitung, jumlah orang di ruangan ini ada lebih dari dua puluh orang, itu termasuk dengan pria yang memiliki tinggi badan sama seperti suaminya. Pria besar yang hanya diam saja di pojok ruangan dan juga depan pintu.Ia menatap suaminya yang saat ini memasang wajah pias. Pria itu ada di sampingnya sambil memegang tangannya erat.“
Romeo tergagap dengan kalimat demi kalimat yang istrinya lontarkan. Seperti mendapatkan tikaman tajam yang tepat di ulu hatinya Ini sungguh menyesakkan. Apa yang ditakutinya akhirnya terjadi juga.Sedikit demi sedikit Rena akhirnya tahu identitas sebenarnya. Sedikit demi sedikit memori itu akhirnya datang lagi.“Dengarkan aku dulu,” ucap Romeo masih mencoba untuk bisa meminta pertolongan pengertian dari tatapan matanya. Namun, ia bisa melihat bagaimana pandangan sorot Rena yang berub
Sepertinya Romeo memang tidak bisa meninggalkan Rena sendiri atau membiarkan perempuan itu berpikiran yang macam-macam. Buktinya sudah beberapa kali Romeo mendapati Rena berbicara macam-macam yang menyangkut tentang masa lalunya. Hal yang membuat Romeo semakin waswas.Bukan karena apa. Tapi karena ia sendiri takut jika ingatan Rena kembali dan menjauhi dirinya. Ia takut jika istrinya itu kembali mengingat masa kelam yang sudah terkubur lama.“Apa yang sedang kau lakukan?” tanya Romeo
Hari berganti bulan. Bulan berganti tahun. Sekarang adalah dua tahun pernikahan Rena dan juga Romeo. Di tahun kedua ini mereka benar-benar diberikan keberkahan oleh Moongoddes. Begitu sabarnya Romeo menghadapi sikap kanak-kanak yang Rena berikan.Wanita itu, bertingkah seperti anak kecil yang sedang kehilangan susu. Lihat saja sekarang, wanita muda itu merajuk karena Romeo sama sekal tidak menanggapi perkataannya.Bukan karena Romeo sengaja, melainkan karena pria itu sendiri sedang sibuk dengan
[ Gunung Fuji - Jepang ]Ini sudah hari kedua mereka ada di sini, menikmati destinasi yang begitu mengagumkan. Negeri Matahari Terbit itu sungguh membuat para turis betah di sini.Lihatlah Rena! Dia sedang bermain dengan bunga-bunga yang berada di Danau Kawaguchi. Tanaman phlox berwarna merah muda membuat pinggiran sungai itu tampak sangat cantik.
Rena semakin heran saat tidak mendapati darah keperawanannya di kasur. Bukankah setiap perawan pasti ada darah, atau paling tidak bercak kecil di sana. Tapi, di kasur putih itu tak terdapat apa-apa.“Mau sampai kapan kau terus memandangi kasur ini, Rena?” Romeo datang dan sudah tercium sangat harum Pria itu telah mandi lebih dulu karena mencoba meredakan gejolak nafsu yang masih dominan.Pria itu memeluk Rena dari belakang dan mengel
Rena masih saja sesenggukan karena pria yang ada di atas ranjang ini tidak juga membuka mata sejak satu jam yang lalu. Pria bodoh yang telah hampir kehilangan nyawa karena bertengkar dengan Kak Ben.“Sudahlah, Rena, dia tidak akan pernah mati. Dia memiliki sembilan nyawa.” Ben bersender di dinding. Rambutnya masih basah karena aksi penyelamatan Romeo yang terdengar gila.Pria korban budak cinta itu mencoba untuk meyakinkan Ben dengan
Mata Rena berbinar saat mendapati seorang pria yang datang untuk menemuinya. Seorang paling tampan menurutnya yang pernah ia kenal. Dalam hidupnya, ia tak pernah melihat pria yang begitu dominan tapi bisa membuat hatinya berbunga-bunga.Ia sudah kenal pria itu hampir setengah tahun lamanya. Pria yang dikenal dengan nama Romeo Riley. Awalnya, yang ia tahu, pria itu sering datang ke rumah hanya ingin bertemu dengan Ben. Namun, lama-kelamaan justru ia yang menjadi lebih dekat.
Euforia di pack Lightcrown Claws Pack semakin meriah karena Beta yang paling mereka cintai akhirnya bisa membuka mata dan hadir ditengah-tengah mereka saat ini. Tak peduli jika Romeo yang sekarang memiliki fisik yang tak sempurna. Kakinya yang tak bisa menapak sepenuhnya, tak membuat para rakyat memandang remeh. Bagaimanapun jika diadu dengan orang normal pasti Romeo yang akan menang."Selamat atas keberhasilanmu, Nak." Jovial selaku ayah kandung dari Beta itu memberikannya beberapa kali ucapan. Padahal, sedari tadi ia telah mengucapkannya sampai membuat telinga Romeo berdenging. Begitu juga dengan ibunya,