Andi mengacak rambutnya kasar. Suara bel yang ditekan dengan brutal itu mengganggu tidurnya. Mau tidak mau dia keluar dari kamar dan membuka pintu rumahnya untuk memaki tamu yang datang di pagi buta.
Siapa yang tidak kesal. Ia baru saja pulang pukul 2 malam dan sekarang baru pukul 5 pagi, seseorang sudah bertamu ke rumahnya. Lagipula orang bodoh mana yang bertamu sepagi ini?
Sembari memakai kaus putihnya, Andi berjalan menuju pintu dengan langkah malas. Perlahan, tangannya membuka pintu yang terkunci. Hal pertama yang ia lihat adalah wajah seorang wanita dengan bocah kecil di sampingnya.
Ia mengernyit, merasa asing dengan wajah si wanita. Andi sangat yakin bahwa wanita di depannya sekarang bukanlah tetangga samping rumahnya. Ini adalah kali pertama melihat wanita itu. Serius.
Dan lagi, tatapan polos bocah kecil yang dituntun si wanita itulah yang membuatnya bingung. Ini bukan sebuah kejutan kan?
"Tuan Andi Hamsa, kan?" tanya wanita yang berdiri di depannya, Andi mengangguk. "Saya datang untuk membawa anak Anda pulang."
Tubuh Andi tiba-tiba membeku. Dia berusaha mencerna setiap kata yang wanita itu ucapkan padanya. Anak apa? Anaknya ia bilang?
Andi yakin ia tidak sedang bermimpi sekarang. Kalau iya, tolong siapa pun sadarkan Andi dari mimpi buruk ini.
Ia menatap anak perempuan berusia tiga tahun yang berdiri di samping wanita itu. Bocah kecil dengan rambut dikuncir dua tersebut menatapnya penuh binar.
Andi merasa tidak tidur dengan wanita. Mungkin dia memang pernah melakukannya sekali, tapi itu dulu. Ia sangat yakin sudah bermain aman. Ia juga tahu diri, seenak apa pun tetap saja jangan keluar di dalam jika tak mau berakibat fatal. Lantas, dia anak siapa? Mengapa wanita itu dengan entengnya bicara bahwa anak itu adalah putrinya?
"Bentar-bentar, apa buktinya kalau dia adalah anak gue?!" tanyanya menuntut klarifikasi.
"Saya bisa jelaskan di dalam."
Tanpa persetujuan dari sang empunya rumah, wanita itu menuntun gadis kecil tersebut menerobos masuk begitu saja. Melewati Andi yang masih mematung di ambang pintu dengan tatapan tak percaya.
"Ada apa ini? Anak apaan anjir," gerutunya dengan rasa bingung yang masih kentara sembari menyusul mereka ke ruang tengah.
Andi tidak habis pikir setelah melihat orang-orang tersebut, sudah seperti pemilik rumah ini saja. Si wanita sudah duduk lebih dulu di sofa, sementara gadis kecil yang tadi dituntunnya tengah menatap ikan di akuarium dengan menempelkan wajahnya ke sana. Belum kenal saja Andi sudah pusing melihatnya.
Pria itu kemudian mendudukkan diri di single sofa. Menatap si wanita, tanpa basa-basi dia menuntut klarifikasi akan semua ini.
"Jelasin sebelum gue usir dari rumah ini!" ujarnya kejam.
Wanita itu mengembuskan napas sejenak sebelum memulai ceritanya. "Sebelumnya kenalin dulu. Nama saya Nailah, saya adalah pengasuh di sebuah panti asuhan." Perkenalan singkat itu diakhiri dengan senyuman manis dari si wanita.
"Lalu kata lo, gue ayah dari anak ini?" Andi menatap Nailah tidak percaya. "Jangan mengarang cerita konyol. Gue bahkan belum pernah tidur sama wanita mana pun." Andi terpaksa berbohong.
Bukannya menjawab omelan Andi, wanita itu malah menyerahkan sebuah dokumen berikut surat ke hadapannya. Hal itu membuat kening Andi tiba-tiba berlipat.
"Ini apa?"
"Itu semua hasil tes DNA anak Tuan, sekaligus surat dari ibunya," jelas Nailah singkat sembari tersenyum hangat, wanita yang usianya terpaut tiga tahun lebih muda dari Andi itu berusaha terlihat tenang. "Anak ini sempat dititipkan di panti asuhan kami sejak berusia satu tahun. Namun, ibunya tidak juga kembali, dan tidak lama kemudian beliau mengirimkan dokumen sekaligus surat ini."
"Terus?"
"Kalau masih tidak percaya, Tuan bisa membaca sendiri dokumen itu."
Penasaran, Andi menuruti apa yang diucapkan wanita itu. Ia membaca nama di kolom bertuliskan 'ayah'. Dia tercegang. Nama lengkapnya tertulis di sana bersama nama seorang wanita yang Andi sendiri bahkan tak mengenalnya.
Jujur, Andi sama sekali tidak mengenal nama wanita yang tertera di sana. Mantan? Mana mungkin, hubungannya dengan Fiona saja baru berakhir seminggu yang lalu, dan selama itu pula mereka tidak pernah berbuat aneh-aneh karena sibuk dengan pekerjaan masing-masing.
Entahlah. Ia pusing dan semakin bingung. Bagus, pagi-pagi sudah disuguhi hal semacam ini. Daripada begini, lebih baik ia menandatangani setumpuk berkas di kantornya. Ini membingungkan.
"Bagaimana bisa gue jadi ayah anak ini, sedangkan nama ibunya pun gue gak kenal!" Kali ini Andi berteriak murka membuat bocah kecil yang sejak tadi beredar di sana segera berlari memeluk Nailah karena takut.
"Memangnya ke mana ibu anak ini, ha? Sembarangan saja kau bicara!" Andi bahkan tidak bisa membendung amarahnya.
Bisa-bisanya dia mendapat fitnah yang sungguh keji. Apa nanti kata orang tuanya jika mereka tahu Andi kedapatan mengasuh seorang anak tanpa istri?
"Kami tidak tahu, beliau hanya menyuruh kami untuk menyerahkan anak ini, karena itu Tuan yang--"
"Jangan bilang lo ke sini mau minta ganti rugi atas kehadiran anak ini!" tuduhnya penuh kecurigaan.
Nailah menghela napas lelah. Wanita itu seolah kehabisan kata karena sejak tadi Andi terus memotong kata-katanya. Pria itu tidak berhenti mengoceh antara shock dan tidak terima.
"Intinya, karena Yaya udah lumayan besar. Hak asuh sepenuhnya udah ditanggung Tuan sebagai ayah kandungnya."
Hak asuh apa? Ia ayah kandung anak ini? What the hell. Dirinya bahkan belum pernah menikah dan memiliki istri, masa sudah punya anak sebesar ini?
"Ja-jadi maksudnya, gue harus mengasuh anak ini?" Anggukan dari Nailah membuat Andi melotot tak percaya. Ia tak bisa membayangkan akan punya anak secara mendadak.
"Kenapa gak lo aja yang ngurus dia? Kan lo pengasuh di panti asuhan."
"Apakah kalimat saya kurang jelas? Sudah saya bilang, Nyonya meminta saya membawa anaknya pada Anda selaku ayahnya."
Apalagi ini maksudnya? Andi pusing, otaknya tidak mampu mencerna semuanya dengan baik. Semuanya begitu buru-buru, dia bahkan tidak bisa mengingat apa-apa.
"Maksudnya lo minta gue jadi ayahnya gitu? Please, kita aja baru kenal tadi dan belum ngapa-ngapain. Lo--"
"Yaya, ini papa. Mulai sekarang kita tinggal sama papa, ya."
Tanpa mempedulikan Andi, Nailah berbicara pada anak perempuan di sampingnya. Anak perempuan bernama Yaya itu menatap Andi takut-takut, kemudian beralih pada Nailah lagi.
"Papa?" tanyanya sedikit ragu.
Andi rasanya mau pingsan di tempat jika harus memikirkan hal gila seperti ini. Bagaimana bisa dia mendapat satu anak segembul Yaya? Kapan pula mereka melakukannya? Sekuat apa pun dia mengingat nama wanita dalam dokumen tadi, tetap saja Andi tidak kenal. Apa dia sedang bermimpi?
Apa ini karma karena ucapannya semalam yang terlalu menganggap enteng tugas seorang ibu? Kalau iya, Andi ingin menarik kembali ucapannya.
"Tapi, serius. Gue gak kenal sama wanita di dokumen yang lo kasih itu! Gimana bisa dia--" Lanjutan dari kalimat itu berhenti kala ia bertemu pandang dengan anak yang masih setia berdiri di depannya. Perasaan bersalah melingkupi dirinya.
Andi akui ia memang laki-laki brengsek yang mau enaknya aja. Tapi, kalau sudah melihat tatapan polos seperti itu bagaimana mungkin Andi tega membiarkan anak yang katanya putrinya itu terlantar begitu saja. Apalagi anak itu tampak menggemaskan untuk disimpan di rumah.
"Yaya anak yang baik kok." Nailah kemudian menyodorkan map merah tadi. "Tuan tanda tangan di sini sebagai penerima hak asuh!"
"Eh. Tunggu-tunggu, gak bisa! Dia bukan anak gue!" Andi membantah cepat. Ia mau saja menampung Yaya untuk sementara. Tapi, pengalihan hak asuh? Yang benar saja. Ia bahkan tidak tahu asal-muasal manusia kecil nan menggemaskan yang berisik itu.
"Dia jelas-jelas anak Tuan! Anda gak liat nama yang tercantum di sini semua? Lengkap sama pekerjaannya juga."
Andi tetap menolak penjelasan Nailah mentah-mentah. "Gue akui kalau gue pernah main, tapi selama gue main aman-aman aja kok. Bahkan sebelum main, gue pastiin orangnya udah minum obat kontrasepsi. Gue juga tau diri kali."
Oke, Andi merasa perempuan ini tengah mengobrak-abrik privasinya. Kalau pun harus mengurus Yaya, bagaimana caranya? Punya istri pun belum pernah.
"Gak bisa, Tuan Andi. Dia anak Anda. Tanggung jawab saya sele--"
"Tidak! Gue masih belum mengerti dengan semua ini!" Andi kembali berteriak murka, hal itu membuat Yaya tersentak kaget dan memeluk erat Nailah.
Melihat sorot takut yang terpancar dari wajah Yaya membuat Andi urung untuk kembali berteriak. Dia memang kesal dengan keputusan sepihak wanita itu. Namun, dia juga tak bisa berlaku kasar di depan anak-anak.
Maka kalau sudah begini, mau bagaimana lagi. Setidaknya dia harus bertahan sampai kebenaran dari anak ini terkuak.
"Papa, noton di luaal ... sini ndak asik. Yaya mo main!"Bosan mulai melanda bocah kecil bernama lengkap Dania Shofia yang biasa dipanggil Yaya. Setelah hampir seharian terkurung dalam kamar, gadis kecil itu merengek untuk ke luar dari kamar. Sayangnya, Andi tak menanggapi rengekannya."Papa ...." Tubuh Andi digucang pelan. Pipinya ditoel-toel berharap pria itu terjaga dan segera memenuhi ajakannya. "Ih, Papa nih. Bobok telus. Papa!"Semenjak Nailah memberitahu bahwa Andi adalah ayahnya, tidak butuh waktu lama bagi Yaya untuk dekat dengan Andi, walaupun sang empunya nama tidak mau mengakui. Andi masih berharap segala kejadian tadi pagi hanya mimpi belaka.Andi benar-benar tak ingat perempuan mana yang mengandung benihnya kala itu."Gue ngantuk!" Andi meringis. Sebenarnya, ia menyimpan amarah tak terhingga atas apa yang telah Yaya lakukan terhadapnya. Bocah itu terus merecoki waktu tidurnya, untung saja hari ini kantor sedang libur, akhirnya d
Menjadi orang tua ternyata tidak semudah yang Andi bayangkan, apalagi mengasuh anak super aktif, lengah sedikit saja tuh anak sudah nyungsep tak tahu tempat sampai jidatnya benjol.Kira-kira begitulah yang Andi rasakan. Rasanya semua beban berat ditimpakan ke pundaknya sekaligus. Mungkin ini adalah karma akibat keburukan yang sudah dia lakukan di masa lalu sampai-sampai Tuhan mengirimkannya seorang bocah gendut yang diakui oleh seorang wanita bahwa itu adalah anaknya sendiri."Jangan nangis, nanti suaranya abis, Yaya." Andi berusaha menenangkan Yaya, tapi bocah itu makin keras saja nangisnya membuat Andi kebingungan sendiri."Eh? Gimana kalo kita maen petak umpet aja? Papa yang ngitung, Yaya sembunyi." Andi membuat kesepakatan, apa pun dia lakukan demi membuat tangis bocah itu berhenti.Upaya Andi rupanya berhasil, tangis Yaya perlahan berhenti. Anak itu menatap Andi dengan mata bulatnya yang basah. Baju yang Andi kenakan ditarik sebagian, lalu Yaya membu
Pencarian Yaya masih berlangsung. Andi yakin anak itu masih berada di dalam rumah. Ia harus menemukan Yaya. Sampai sekarang ia tak melihat kelibat anak nakal itu. Bahkan suaranya saja tidak terdengar. Entah apa yang anak itu lakukan.Ketika Andi berusaha untuk kembali berdiri, suara cekikikan seseorang terdengar olehnya. Dahi pria itu berkerut. "Itu Yaya," gumamnya.Ia kembali melangkah guna mencari sumber suara cekikikan itu. Langkahnya berusaha dipercepat."Tuutt tuuttt ... hihihi."Samar-samar terdengar suara anak itu. Andi yakin itu suara Yaya. Karena jika bukan Yaya, siapa lagi bocah yang ada di rumahnya ini? Tapi, di mana dia?Setelah menyusuri arah terdengarnya suara itu, Andi melangkah menuju dapur. Ketika ia tiba di sana, bocah itu masih tak terlihat olehnya.Suara cekikikan itu terdengar dari ruangan sebelah, dekat mesin mesin cuci. Apa yang anak itu lakukan di sana. Karena cemas, Andi segera melebarkan pintu yang menghubungkan dap
Andi tidak habis pikir. Ada apa dengan hari ini? Mengapa dunia seolah enggan berpihak padanya? Mengapa ketidakberuntungan belum berpihak padanya?Sejak tadi pria itu hanya bisa diam memandang apa apa yang ada di hadapannya. Walaupun hanya pemandangan jalanan yang tersuguhkan, itu terasa lebih menarik ketimbang seseorang yang duduk di sebelahnya.Tepat hari ini, takdir sedang tidak bersahabat dengannya. Mungkin Tuhan sedang ingin menguji kadar move on Andi hari ini. Setelah pertemuan mereka di kantin perusahaan tadi siang, sekarang Andi harus pulang satu mobil bersama Fiona.Fiona terpaksa menerima tawaran Andi untuk pulang bersama dikarenakan hari sudah malam dan tidak ada taksi yang lewat. Sebenarnya Andi tidak keberatan kalau harus satu mobil bersama sang mantan. Hanya saja, mereka jadi canggung satu sama lain."Apakah kamu sudah lebih bahagia setelah tidak denganku?" pertanyaan itu sontak membuat
"Gimana nih, ngab?" Andi bertanya pada Hendra di sela kepanikannya.Hendra yang tengah ngemil wafer coklat hampir keselek. "Napa nanya gue, sih? Gue aja belom nikah.""Iya, gue tau. Lu cuma bisa bikinnya doang." Andi mendengkus, pria itu kembali fokus memakaikan baju Yaya.Pagi ini Andi harus pergi bekerja. Dia terpaksa meminta bantuan Hendra untuk menemaninya yang sedang sibuk dengan Yaya sebelum keduanya berangkat ke kantor.Banyak sekali yang harus Andi persiapkan. Mulai dari memandikan Yaya, membuat sarapan, membuat susu, dan seabrek tugas lainnya. Andi saja belum sempat makan dan mandi, pria itu sibuk menguncir rambut Yaya.Awalnya, Hendra kaget setelah Andi menceritakan tentang kondisinya, juga kehadiran bocah kecil tersebut.Andi sendiri tidak punya pilihan selain jujur pada Hendra tentang Yaya. Dia berharap sahabatnya mau menjaga rahasia, untuk sementara ini, Andi belum punya keberanian untuk berterus terang kepada orang tuanya