"Papa, noton di luaal ... sini ndak asik. Yaya mo main!"
Bosan mulai melanda bocah kecil bernama lengkap Dania Shofia yang biasa dipanggil Yaya. Setelah hampir seharian terkurung dalam kamar, gadis kecil itu merengek untuk ke luar dari kamar. Sayangnya, Andi tak menanggapi rengekannya.
"Papa ...." Tubuh Andi digucang pelan. Pipinya ditoel-toel berharap pria itu terjaga dan segera memenuhi ajakannya. "Ih, Papa nih. Bobok telus. Papa!"
Semenjak Nailah memberitahu bahwa Andi adalah ayahnya, tidak butuh waktu lama bagi Yaya untuk dekat dengan Andi, walaupun sang empunya nama tidak mau mengakui. Andi masih berharap segala kejadian tadi pagi hanya mimpi belaka.
Andi benar-benar tak ingat perempuan mana yang mengandung benihnya kala itu.
"Gue ngantuk!" Andi meringis. Sebenarnya, ia menyimpan amarah tak terhingga atas apa yang telah Yaya lakukan terhadapnya. Bocah itu terus merecoki waktu tidurnya, untung saja hari ini kantor sedang libur, akhirnya dia bisa istirahat. Masalahnya kali ini hanya ada pada Yaya.
Dia hanya ingin tidur tanpa gangguan setelah semalaman dibuat tepar akibat lembur. Tidak bisakah bocah ini mengerti dengan penderitaannya?
"Papa ndak dengal Yaya pagil." Tak ingin disalahkan, Yaya mencoba membuat pembelaan diri.
"Jangan ke mana-mana, di luar sana bahaya. Nanti kamu diculik orang jahat." Andi berusaha menakut-nakuti Yaya, matanya setengah terbuka karena tak kuat menahan pening di kepala.
"Mana? Ndak adaa, Papa nih! Yaya mau main di luaaal, papaa." Ternyata bocah itu masih keukeuh dengan permintaan sebelumnya. Ia sangat ingin keluar dari dalam kamar, tapi apa yang bisa Andi lakukan jika untuk bangkit dari atas kasur saja ia tak mampu.
"Iya, nanti kita keluar, tunggu Nailah datang."
Bibir Yaya mengerucut. Bocah itu merajuk. Ia turun dari aras ranjang, lalu melemparkan botol susunya yang sedari tadi berada di atas nakas. Hal tersebut membuat mata Andi terbuka sempurna.
"Papa!!" teriaknya marah.
Andi memutar kedua matanya, pusing. Entah sampai kapan dia bisa bertahan mengasuh bocah gendut ini tanpa bantuan Nailah. Mengurus seorang bayi dengan masalah bahasa yang berantakan, itu cukup membuatnya frustrasi sendiri.
***
Andi sedang berada di dapur menuang susu ke dalam mangkuk berisi cornflakes. Dia belum sarapan karena bangun kesiangan, di rumah tersebut tidak ada pembantu. Andi dan orang tuanya tinggal terpisah cukup jauh.
Andi memang mandiri sejak dulu, rumah tersebut dibeli dari hasil jerih payahnya. Rasanya sekarang kepayahan Andi pun makin bertambah akibat kehadiran makhluk kecil yang setia membuntutinya ke mana-mana.
Yaya yang badannya tidak sampai kitchen island berusaha berjinjit untuk melongok isi dalam mangkuk Andi. Matanya berbinar antusias. Tadi dia melihat Andi menuang susu, dalam pikirannya susu adalah makanan. Semua yang berhubungan dengan susu dapat dimakan.
"Papa bitin selal? Yaya juga mau!"
Bahasa alien itu lagi-lagi membuat kening Andi mengerut. Haruskah dia membeli alat penerjemah bahasa bayi agar bisa mengerti ucapan Yaya yang amburadul? Hanya kalimat bagian akhir saja yang Andi mengerti, selebihnya dia tidak paham apa yang anak itu ucapkan.
"Kamu udah minum susu sebotol penuh tadi. Jangan makan mulu. Ingat itu perut sudah megar. Berat kalo kamu minta gendong-gendong," cerocos Andi sambil melirik Yaya.
Yaya tidak peduli jika ada orang lain yang mempermasalahkan bentuk tubuhnya, yang ada di pikiran Yaya sekarang hanyalah makanan. Yaya memang sangat suka makan, hanya saat sakit dia pilih-pilih makanan.
Tak heran di usianya yang ketiga tahun sekarang ini, berat badannya naik drastis. Hampir 20 kg, Nailah saja menyerah jika bocah ini sudah minta digendong.
"Ngapain masih di sini? Pergi main aja di sana, tadi katanya mau ke luar." Andi mengusir Yaya yang berada di sebelahnya, bocah gendut itu lagi-lagi mencebikkan bibir.
Andi berjalan meninggalkannya menuju sofa depan TV dengan membawa semangkuk sereal. Dia biarkan Yaya bermain sepuasnya di sana, Andi tidak peduli. Setelah makan nanti dia akan mencari tahu siapa wanita yang sudah kelewatan menyebar fitnah keji itu padanya.
Tidak ada mainan yang bisa dimainkan. Yaya ingin makan. Matanya memindai isi dalam rumah. Kartun Little Pony bukan tontonan kesukaannya.
Mata Yaya tiba-tiba membesar. Dia menemukan apa yang paling ingin dia mainkan. Permasalahannya sekarang, mainan itu berada di atas lemari yang lebih tinggi dari tinggi badannya.
Benda tersebut adalah bola sepak milik Andi yang disimpan di atas lemari. Mau tidak mau Yaya harus melompat. Namun, sayang, lompatannya tidak sebanding dengan jarak bola tersebut.
"Papa!" Yaya berteriak heboh memanggil Andi agar berkenan membantunya mengambil bola tersebut. Namun, yang dipanggil justru masa bodo dengan keadaan Yaya.
Menyadari bahwa sekarang bukan saatnya untuk mengandalkan orang dewasa, Yaya memilih untuk membereskan semuanya sendiri.
Matanya tanpa sengaja menemukan kursi berukuran sedang di pojok kamar. Kakinya berlari menuju kursi. Awalnya dia berniat mengangkat kursi itu. Tapi kedua tangannya tidak bisa menjangkau kedua sisi kursi dengan seimbang hingga badannya limbung ke belakang. Dia terjatuh. Kursi tersebut menimpa tubuhnya.
Yaya mengerjap beberapa saat, rasa ngilu mulai menjalari tubuhnya. "Aahhh ... sakiitt. Huaaa!!"
Mendengar jerit tangis Yaya, makanan yang berada di mulut Andi langsung menyembur ke luar. Tangisnya sangat kencang membuat pria itu kelabakan dan langsung berlari menuju kamar tengah.
Seperti dugaannya, bocah perempuan itu sedang telentang dengan badan tertimpa kursi. Andi speechless, bagaimana bisa bocah itu tertimpa kursi sedemikian rupa?
Pusing. Andi memijat pelipisnya yang berdenyut hebat. Baru saja datang, tapi tingkah Yaya sungguh membuatnya gemas bercampur marah. Pria itu menarik napas dalam, lalu menghembuskannya pelan. Ia menyingkirkan kursi yang menimpa tubuh Yaya kemudian membantu bocah itu bangkit.
"Jangan nangis. Lagian kenapa kok bisa ketimpa kursi kayak gitu?" Andi mulai mengomel, Yaya dia tatap dengan tajam, bocah kecil itu masih saja menangis sampai ingusnya bercampur air mata, hal tersebut membuat Andi geli setengah mati.
"Huaaa, sakit, Papa!"
Tangis kesakitan Yaya membuat Andi meringis. Ia cukup kesal pada anak itu, tapi melihatnya menangis kesakitan, ia jadi tak tega menambah tangis Yaya dengan amarahnya.
"Lagian tadi ngapain aja? Kursi itu bukan mainan."
Yaya hanya menangis tanpa berniat menjawab pertanyaan Andi. Ketika berhasil bebas dari kursi tersebut, ayahnya dipeluk dan Andi langsung membeku seketika. Mau tak mau pria itu pasrah, punggung anak itu ditepuk pelan, guna membuat Yaya tenang.
Andi mendesah lelah. Susah payah dia menggendong bocah perempuan itu menuju ruang tengah, tubuhnya yang gemuk membuat Andi kesulitan untuk bangkit.
"Besok-besok jangan main-main kayak gitu lagi. Main aja boneka yang dibawa dari rumah. Kamu liat sekarang gimana? Apa lagi sekarang yang sakit?"
"Hik ... mau mamaaa ...." pinta Yaya di tengah tangisnya.
Menjadi orang tua ternyata tidak semudah yang Andi bayangkan, apalagi mengasuh anak super aktif, lengah sedikit saja tuh anak sudah nyungsep tak tahu tempat sampai jidatnya benjol.Kira-kira begitulah yang Andi rasakan. Rasanya semua beban berat ditimpakan ke pundaknya sekaligus. Mungkin ini adalah karma akibat keburukan yang sudah dia lakukan di masa lalu sampai-sampai Tuhan mengirimkannya seorang bocah gendut yang diakui oleh seorang wanita bahwa itu adalah anaknya sendiri."Jangan nangis, nanti suaranya abis, Yaya." Andi berusaha menenangkan Yaya, tapi bocah itu makin keras saja nangisnya membuat Andi kebingungan sendiri."Eh? Gimana kalo kita maen petak umpet aja? Papa yang ngitung, Yaya sembunyi." Andi membuat kesepakatan, apa pun dia lakukan demi membuat tangis bocah itu berhenti.Upaya Andi rupanya berhasil, tangis Yaya perlahan berhenti. Anak itu menatap Andi dengan mata bulatnya yang basah. Baju yang Andi kenakan ditarik sebagian, lalu Yaya membu
Pencarian Yaya masih berlangsung. Andi yakin anak itu masih berada di dalam rumah. Ia harus menemukan Yaya. Sampai sekarang ia tak melihat kelibat anak nakal itu. Bahkan suaranya saja tidak terdengar. Entah apa yang anak itu lakukan.Ketika Andi berusaha untuk kembali berdiri, suara cekikikan seseorang terdengar olehnya. Dahi pria itu berkerut. "Itu Yaya," gumamnya.Ia kembali melangkah guna mencari sumber suara cekikikan itu. Langkahnya berusaha dipercepat."Tuutt tuuttt ... hihihi."Samar-samar terdengar suara anak itu. Andi yakin itu suara Yaya. Karena jika bukan Yaya, siapa lagi bocah yang ada di rumahnya ini? Tapi, di mana dia?Setelah menyusuri arah terdengarnya suara itu, Andi melangkah menuju dapur. Ketika ia tiba di sana, bocah itu masih tak terlihat olehnya.Suara cekikikan itu terdengar dari ruangan sebelah, dekat mesin mesin cuci. Apa yang anak itu lakukan di sana. Karena cemas, Andi segera melebarkan pintu yang menghubungkan dap
Andi tidak habis pikir. Ada apa dengan hari ini? Mengapa dunia seolah enggan berpihak padanya? Mengapa ketidakberuntungan belum berpihak padanya?Sejak tadi pria itu hanya bisa diam memandang apa apa yang ada di hadapannya. Walaupun hanya pemandangan jalanan yang tersuguhkan, itu terasa lebih menarik ketimbang seseorang yang duduk di sebelahnya.Tepat hari ini, takdir sedang tidak bersahabat dengannya. Mungkin Tuhan sedang ingin menguji kadar move on Andi hari ini. Setelah pertemuan mereka di kantin perusahaan tadi siang, sekarang Andi harus pulang satu mobil bersama Fiona.Fiona terpaksa menerima tawaran Andi untuk pulang bersama dikarenakan hari sudah malam dan tidak ada taksi yang lewat. Sebenarnya Andi tidak keberatan kalau harus satu mobil bersama sang mantan. Hanya saja, mereka jadi canggung satu sama lain."Apakah kamu sudah lebih bahagia setelah tidak denganku?" pertanyaan itu sontak membuat
"Gimana nih, ngab?" Andi bertanya pada Hendra di sela kepanikannya.Hendra yang tengah ngemil wafer coklat hampir keselek. "Napa nanya gue, sih? Gue aja belom nikah.""Iya, gue tau. Lu cuma bisa bikinnya doang." Andi mendengkus, pria itu kembali fokus memakaikan baju Yaya.Pagi ini Andi harus pergi bekerja. Dia terpaksa meminta bantuan Hendra untuk menemaninya yang sedang sibuk dengan Yaya sebelum keduanya berangkat ke kantor.Banyak sekali yang harus Andi persiapkan. Mulai dari memandikan Yaya, membuat sarapan, membuat susu, dan seabrek tugas lainnya. Andi saja belum sempat makan dan mandi, pria itu sibuk menguncir rambut Yaya.Awalnya, Hendra kaget setelah Andi menceritakan tentang kondisinya, juga kehadiran bocah kecil tersebut.Andi sendiri tidak punya pilihan selain jujur pada Hendra tentang Yaya. Dia berharap sahabatnya mau menjaga rahasia, untuk sementara ini, Andi belum punya keberanian untuk berterus terang kepada orang tuanya
Andi mengacak rambutnya kasar. Suara bel yang ditekan dengan brutal itu mengganggu tidurnya. Mau tidak mau dia keluar dari kamar dan membuka pintu rumahnya untuk memaki tamu yang datang di pagi buta.Siapa yang tidak kesal. Ia baru saja pulang pukul 2 malam dan sekarang baru pukul 5 pagi, seseorang sudah bertamu ke rumahnya. Lagipula orang bodoh mana yang bertamu sepagi ini?Sembari memakai kaus putihnya, Andi berjalan menuju pintu dengan langkah malas. Perlahan, tangannya membuka pintu yang terkunci. Hal pertama yang ia lihat adalah wajah seorang wanita dengan bocah kecil di sampingnya.Ia mengernyit, merasa asing dengan wajah si wanita. Andi sangat yakin bahwa wanita di depannya sekarang bukanlah tetangga samping rumahnya. Ini adalah kali pertama melihat wanita itu. Serius.Dan lagi, tatapan polos bocah kecil yang dituntun si wanita itulah yang membuatnya bingung. Ini bukan sebuah kejutan kan?"Tuan Andi Hamsa, kan?" tanya wanita yang berdiri di