Pencarian Yaya masih berlangsung. Andi yakin anak itu masih berada di dalam rumah. Ia harus menemukan Yaya. Sampai sekarang ia tak melihat kelibat anak nakal itu. Bahkan suaranya saja tidak terdengar. Entah apa yang anak itu lakukan.
Ketika Andi berusaha untuk kembali berdiri, suara cekikikan seseorang terdengar olehnya. Dahi pria itu berkerut. "Itu Yaya," gumamnya.
Ia kembali melangkah guna mencari sumber suara cekikikan itu. Langkahnya berusaha dipercepat.
"Tuutt tuuttt ... hihihi."
Samar-samar terdengar suara anak itu. Andi yakin itu suara Yaya. Karena jika bukan Yaya, siapa lagi bocah yang ada di rumahnya ini? Tapi, di mana dia?
Setelah menyusuri arah terdengarnya suara itu, Andi melangkah menuju dapur. Ketika ia tiba di sana, bocah itu masih tak terlihat olehnya.
Suara cekikikan itu terdengar dari ruangan sebelah, dekat mesin mesin cuci. Apa yang anak itu lakukan di sana. Karena cemas, Andi segera melebarkan pintu yang menghubungkan dapur dan kamar sebelah. Ia melihat, anak itu sedang asik memainkan sesuatu di dalam bak besar berisi air dengan posisi menungging.
Andi baru ingat bahwa tadi ia sempat mengisi bak itu dengan air bersih. Rencananya ia mau merendam pakaian yang bernoda sebelum akhirnya nanti ia cuci menggunakan mesin. Tapi, karena kesibukannya mengurus Yaya dan rasa lelah akibat bekerja, ia menundanya terlebih dahulu.
"Yaya?" Andi kembali memanggil dan membuat anak itu tersentak kaget. Saking kagetnya, tubuh balita tiga tahun itu terhuyung dan hampir masuk ke dalam bak.
Andi sempat memekik. Jantungnya berdegup kencang. Untung saja anak itu berhasil menyeimbangkan tubuhnya kembali.
Rasa kesal itu semakin membuncah, Andi mengelap peluh yang mengucur di dahinya, lantas menghela napas.
"Yaya. Kenapa sembunyi di sini?" Tanpa basa-basi, Andi menyeret Yaya menjauhi bak tersebut, Andi sudah siap mengomeli anak itu.
Yaya menyengir lebar. "Yah. Tetemuu!"
Dalam situasi seperti ini Yaya sempat-sempatnya tertawa. Seandainya Yaya bukan anak umur tiga tahun, mungkin Andi sudah mengajaknya baku hantam. Gara-gara Yaya, dia harus menerima amarah dari pengasuh anak itu.
"Ngapain sembunyi di situ, ha?"
Andi melirik ke dalam bak. Air bersih yang ia siapkan untuk mencuci pakaian sudah kotor karena banyak kertas-kertas yang hancur di sana.
"Yaya udah ketemu?" Nailah melangkah buru-buru ketika mendengar suara omelan pria itu di dekat kamar utama.
Tanpa perlu Andi jawab, Nailah bisa melihat anak itu sudah basah kuyup akibat berendam dalam bak tanpa rasa bersalah karena sudah menyebabkan satu rumah geger akibat ulahnya.
Setidaknya Nailah bersyukur Yaya baik-baik saja, dia sempat berpikir kalau anak itu kabur ke luar tanpa Andi sadari. Namun, ternyata pemikirannya salah, dirinya saja yang tidak mencari secara teliti.
"Kenapa bisa sembunyi di situ, Yaya bikin onty khawatir." Nailah berjongkok dan memeluk anak itu.
Tawa bahagia Yaya sebenarnya cukup membuat Andi kesal, tapi itu masih lebih baik daripada membiarkan Yaya menangis seperti beberapa jam yang lalu, ia jadi tak tega kalau harus menambah tangis Yaya dengan amarahnya. Namanya bocah yang belum mengerti apa-apa, mana tau dia kalau sedang dinasehati apalagi dimarahi.
***
Tim desain grafis tak berhenti memijit pelipis dan dahi mereka karena harus mengulang kembali pekerjaan untuk proyek iklan makanan dan minuman dari perusahaan industri Nusafood Production.
Manager mereka baru saja didatangi oleh manager marketing dari Nusafood Production dan dia mengatakan untuk mengubah desain pemasaran yang sebelumnya telah hampir selesai. Padahal tenggat waktu yang diberikan hanya tersisa sepuluh hari. Bagaimana Andi dan anggota tim lainnya tidak pusing?
Ingin rasanya Andi meminta penjelasan dari pihak perusahaan Nusafood atas perubahan konsep yang begitu mendadak. Mereka telah menyelesaikan proyek tersebut selama hampir satu bulan. Saat semuanya hampir siap, pihak Nusafood Production malah meminta perubahan konsep lain.
"Ingin sekali gue jedotin kepala ini ke tembok," kata Hendra frustrasi.
Hendra menghentikan pekerjaannya sejenak. Pria berusia 29 tahun tersebut menggeser kursi kerjanya ke kubikel Andi, kemudian mendesah.
"Gue gak paham, kenapa perusahaan itu banyak maunya. Selama ini desain kita selalu memuaskan. Perusahaan itu cerewetnya minta ampun. Kalo gue jadi Pak Bos, udah gue tolak mentah-mentah tuh klien."
Andi berusaha menyelesaikan bagian akhir desainnya, sebelum menanggapi keluhan sang rekan kerja sekaligus sahabat yang sangat baik terhadapnya.
"Gue juga kesel, Dra. Gini amat hidup sebagai budak korporat."
Hendra kembali mendesah. "Sama. Proyek selalu padat, gue sampe gak bisa ke mana-mana. Apalagi liburan." Hendra kembali ke kubikelnya sendiri dengan mendorong kursi kerjanya. "Gue harap, proyek ini cepat kelar. Kalo bisa sih, gue pengen nikah aja sama cewek yang tajir biar penderitaan ini cepat berakhir."
Andi dan Hendra sebenarnya sudah prepare untuk liburan ke suatu tempat bersama para rekan yang lain demi melepas penat dari padatnya pekerjaan. Akan tetapi, semuanya harus kembali diundur, jatah cuti mereka tidak banyak dan masih ada target perusahaan yang mesti dicapai oleh kacung-kacung korporat seperti mereka ini.
Andi menganggukinya sambil tertawa. Obrolan tersebut tak berlangsung lama karena mereka kembali fokus menyelesaikan pekerjaan masing-masing agar hasil desain visualisasi untuk iklan produk Nusafood bisa terselesaikan dengan cepat.
***
Suara sensor barcode ID card berbunyi secara bergantian, seirama dengan penggerakan banyaknya manusia yang berbaris memanjang pada bar pengambilan sarapan pagi ini. Salah satu atribut wajib pegawai Prams ialah membawa ID card sebagai senjata mereka menerima jatah sarapan pagi dan makan siang.
Pagi ini aula tampak ramai tidak seperti biasanya. Di hari biasa, para petugas makanan selalu mengeluh karena stok makanan di sana tidak habis. Itu karena para pekerja lebih memilih untuk membawa bekal makanan sendiri dari rumah. Lebih higienis dan bergizi menurut mereka.
Tapi, hal itu tidak berlaku untuk Andi Hampir setiap hari dia dan rekannya mengunjungi aula untuk menikmati menu-menu sehat yang disediakan. Mulai dari bubur kacang hijau, pisang coklat, ayam bakar, atau roti gandum. Hanya sekali saja Andi pernah absen makan di aula, itu pun karena kesiangan, sebab pukul 06:30 aula sudah tutup.
"Di, menu makan siang kita hari ini pisang coklat sama roti gandum. Beruntung banget tanggal tua gue." Hendra nyeletuk seraya mengangkat nampan dengan semangat. Andi yang melihatnya hanya bisa geleng kepala.
"Suka pisang coklat ya, lu? Ambil punya gue aja ini," tawar Andi pada Hendra saat keduanya sudah menerima sarapannya, lalu berjalan menuju kursi paling ujung.
Andi tipikal pria yang gak suka pilih-pilih makanan, hanya dua jenis makanan yang tak bisa masuk ke perutnya. Segala olahan pisang dan durian, dua buah itu menurutnya mempunyai aroma yang buruk macam kotoran burung. Hendra selalu menjadi wadah segala makanan yang dibenci Andi. Alhasil, jatah sarapan pria itu bertambah.
"Tapi pisang ini ada coklatnya, Di," kata Hendra setelah Andi memindahkan dua buah pisang coklat pada nampan miliknya. Pisang coklat yang ada di nampan pria itu bertambah jadi empat buah.
"Gue males sama yang manis-manis, Dra."
Hendra memutar bola mata dengan malas. Ketika sedang asyik menikmati sarapan. Hendra melihat seorang gadis membawa nampan berisi menu yang sama dengannya, gadis itu tampak celingukan mencari tempat duduk. Hendra langsung berseru dan memanggil namanya.
Gadis itu membalas lambaian Hendra dengan senyum simpul juga anggukan kecil. Kemudian dia berjalan menuju kursi yang Hendra tunjukkan padanya.
"Tumben sarapan di aula, Na," kata Hendra, gadis bernama Fiona itu tersenyum dan meletakkan nampan di meja.
Itu Fiona, salah satu mantan Andi. Hubungan mereka sudah selesai satu minggu yang lalu. Wajar kalau keduanya tampak canggung satu sama lain.
Lucu banget, sebab ternyata, berjam-jam kesibukan tetap nggak mampu mematikan perasaan Andi, dia masih sekangen itu sama Fiona.
Andi tidak habis pikir. Ada apa dengan hari ini? Mengapa dunia seolah enggan berpihak padanya? Mengapa ketidakberuntungan belum berpihak padanya?Sejak tadi pria itu hanya bisa diam memandang apa apa yang ada di hadapannya. Walaupun hanya pemandangan jalanan yang tersuguhkan, itu terasa lebih menarik ketimbang seseorang yang duduk di sebelahnya.Tepat hari ini, takdir sedang tidak bersahabat dengannya. Mungkin Tuhan sedang ingin menguji kadar move on Andi hari ini. Setelah pertemuan mereka di kantin perusahaan tadi siang, sekarang Andi harus pulang satu mobil bersama Fiona.Fiona terpaksa menerima tawaran Andi untuk pulang bersama dikarenakan hari sudah malam dan tidak ada taksi yang lewat. Sebenarnya Andi tidak keberatan kalau harus satu mobil bersama sang mantan. Hanya saja, mereka jadi canggung satu sama lain."Apakah kamu sudah lebih bahagia setelah tidak denganku?" pertanyaan itu sontak membuat
"Gimana nih, ngab?" Andi bertanya pada Hendra di sela kepanikannya.Hendra yang tengah ngemil wafer coklat hampir keselek. "Napa nanya gue, sih? Gue aja belom nikah.""Iya, gue tau. Lu cuma bisa bikinnya doang." Andi mendengkus, pria itu kembali fokus memakaikan baju Yaya.Pagi ini Andi harus pergi bekerja. Dia terpaksa meminta bantuan Hendra untuk menemaninya yang sedang sibuk dengan Yaya sebelum keduanya berangkat ke kantor.Banyak sekali yang harus Andi persiapkan. Mulai dari memandikan Yaya, membuat sarapan, membuat susu, dan seabrek tugas lainnya. Andi saja belum sempat makan dan mandi, pria itu sibuk menguncir rambut Yaya.Awalnya, Hendra kaget setelah Andi menceritakan tentang kondisinya, juga kehadiran bocah kecil tersebut.Andi sendiri tidak punya pilihan selain jujur pada Hendra tentang Yaya. Dia berharap sahabatnya mau menjaga rahasia, untuk sementara ini, Andi belum punya keberanian untuk berterus terang kepada orang tuanya
Andi mengacak rambutnya kasar. Suara bel yang ditekan dengan brutal itu mengganggu tidurnya. Mau tidak mau dia keluar dari kamar dan membuka pintu rumahnya untuk memaki tamu yang datang di pagi buta.Siapa yang tidak kesal. Ia baru saja pulang pukul 2 malam dan sekarang baru pukul 5 pagi, seseorang sudah bertamu ke rumahnya. Lagipula orang bodoh mana yang bertamu sepagi ini?Sembari memakai kaus putihnya, Andi berjalan menuju pintu dengan langkah malas. Perlahan, tangannya membuka pintu yang terkunci. Hal pertama yang ia lihat adalah wajah seorang wanita dengan bocah kecil di sampingnya.Ia mengernyit, merasa asing dengan wajah si wanita. Andi sangat yakin bahwa wanita di depannya sekarang bukanlah tetangga samping rumahnya. Ini adalah kali pertama melihat wanita itu. Serius.Dan lagi, tatapan polos bocah kecil yang dituntun si wanita itulah yang membuatnya bingung. Ini bukan sebuah kejutan kan?"Tuan Andi Hamsa, kan?" tanya wanita yang berdiri di
"Papa, noton di luaal ... sini ndak asik. Yaya mo main!"Bosan mulai melanda bocah kecil bernama lengkap Dania Shofia yang biasa dipanggil Yaya. Setelah hampir seharian terkurung dalam kamar, gadis kecil itu merengek untuk ke luar dari kamar. Sayangnya, Andi tak menanggapi rengekannya."Papa ...." Tubuh Andi digucang pelan. Pipinya ditoel-toel berharap pria itu terjaga dan segera memenuhi ajakannya. "Ih, Papa nih. Bobok telus. Papa!"Semenjak Nailah memberitahu bahwa Andi adalah ayahnya, tidak butuh waktu lama bagi Yaya untuk dekat dengan Andi, walaupun sang empunya nama tidak mau mengakui. Andi masih berharap segala kejadian tadi pagi hanya mimpi belaka.Andi benar-benar tak ingat perempuan mana yang mengandung benihnya kala itu."Gue ngantuk!" Andi meringis. Sebenarnya, ia menyimpan amarah tak terhingga atas apa yang telah Yaya lakukan terhadapnya. Bocah itu terus merecoki waktu tidurnya, untung saja hari ini kantor sedang libur, akhirnya d
Menjadi orang tua ternyata tidak semudah yang Andi bayangkan, apalagi mengasuh anak super aktif, lengah sedikit saja tuh anak sudah nyungsep tak tahu tempat sampai jidatnya benjol.Kira-kira begitulah yang Andi rasakan. Rasanya semua beban berat ditimpakan ke pundaknya sekaligus. Mungkin ini adalah karma akibat keburukan yang sudah dia lakukan di masa lalu sampai-sampai Tuhan mengirimkannya seorang bocah gendut yang diakui oleh seorang wanita bahwa itu adalah anaknya sendiri."Jangan nangis, nanti suaranya abis, Yaya." Andi berusaha menenangkan Yaya, tapi bocah itu makin keras saja nangisnya membuat Andi kebingungan sendiri."Eh? Gimana kalo kita maen petak umpet aja? Papa yang ngitung, Yaya sembunyi." Andi membuat kesepakatan, apa pun dia lakukan demi membuat tangis bocah itu berhenti.Upaya Andi rupanya berhasil, tangis Yaya perlahan berhenti. Anak itu menatap Andi dengan mata bulatnya yang basah. Baju yang Andi kenakan ditarik sebagian, lalu Yaya membu