Benar dugaan Mia, di hari pertama dirinya ditugaskan di kantor barunya ia sudah terlambat. Kurang lebih selama 20 menit, Mia mendapatkan ceramah pagi dari bos barunya.
Ini semua salah cowok itu, batin Mia di sela-sela mendapat ceramah pagi.
Sesudah dirinya mendapat ceramah pagi, Mia kembali ke meja kerjanya dengan menggerutu karena dirinya menyesali keputusannya untuk berusaha ramah dengan tetangga barunya.
Sesampai di meja kerjanya, Mia disapa oleh rekan kerjanya yang sedang duduk di samping meja kerja Mia.
"Kamu anak baru itu yaa," nada suaranya terdengar sangat ramah sehingga perasaan kesal Mia langsung hilang.
Mia tersenyum dengan tidak kalah ramah. "Iya," Mia menjawabnya tanpa merasa canggung sama sekali. "Nama anda siapa?" Karena Mia tidak mau dianggap sok dekat, ia pun memilih menggunakan bahasa formal terlebih dulu.
"Namaku Lina, kamu?" Rekan kerja Mia balik bertanya.
Mia masih belum menghilangkan senyumannya. "Nama saya Mia." Jawabnya.
"Nggak usah pake bahasa formal, santai aja." Ujar Lina dengan tersenyum tulus.
Karena mendapat perintah seperti itu, Mia pun segera memakai bahasa informal. "Baiklah," Mia terlihat sumringah.
Lina hanya tertawa kecil, lalu ia melanjutkan kegiatannya yang tadi sempat terhenti. Namun tidak lama kemudian Lina kembali memundurkan kursinya dan menatap ke arah Mia, lalu ia berkata, "Omongan pak Adli jangan terlalu dimasukin hati," Lina berhenti sebentar, lalu ia melanjutkan dengan suara yang lebih pelan. "Dia emang setiap hari isinya marah-marah terus, jadi kitanya yang harus sabar." Katanya.
Mia tersenyum malu karena Lina tahu kalau Mia habis dimarahi oleh pak Adli. "Oke akan aku ingat." Ucap Mia sambil meringis malu.
Lina kembali memajukan kursinya dan melanjutkan pekerjaannya kembali. Setelah melihat Lina tidak kembali mengajaknya ngobrol, Mia segera duduk dan melakukan tugasnya yang tadi sudah diberikan oleh pak Adli. Mia bekerja di salah satu perusahaan yang menggeluti dunia fashion.
***
Mungkin karena ini adalah hari pertama Mia bekerja di tempat yang baru, Mia merasa sangat lelah. Mia berjalan dari depan gang menuju rumahnya dengan menyeret kakinya. Jalanan sudah mulai sepi, hanya ada beberapa orang yang melewati jalanan ini. Awalnya Mia merasa takut dan was-was, namun mungkin karena perasaan lelahnya mampu menutupi perasaan takutnya, perasaan takut dan was-was Mia hilang seketika saat mulai mendekati rumahnya.
Ketika rumah Mia sudah mulai terlihat, Mia juga melihat cowok yang tadi pagi sudah membuat Mia kesal.
Mia membungkukkan badannya sedikit dan tersenyum ke arah cowok itu karena dirinya tidak mau dianggap sebagai tetangga yang tidak sopan. Saat Mia sudah mendongakkan kepalanya kembali dan menatap cowok itu, Mia merasa ada yang aneh dengan cowok di depannya itu. Tanpa Mia sadari pun, ia menatap cowok itu dengan lekat, tanpa merasa malu. Cowok itu juga menatap Mia dengan bingung.
"Apa kamu yang tadi ditemui Radit?" Cowok itu memecah lamunan Mia setelah mengingat tentang cewek yang tadi pagi mendapat tatapan mata yang sangat intens dari Radit.
Mia tersadar dari lamunannya. Mia menatap cowok itu dengan tatapan bingung. Ia benar-benar tidak tahu maksud ucapan cowok itu.
"Tadi pagi laki-laki yang kamu temui bukan aku, dia kembaranku, Radit." Kalimat yang tidak terlalu panjang itu mampu menjawab pertanyaan dan rasa penasaran Mia yang sudah bersarang di pikirannya.
Mia pun membuka mulutnya lebar namun tidak mengeluarkan suara apapun. Setelah itu ia berkata, "Aku tidak tahu kalau kalian kembar," ucap Mia. "Maaf." Mia meminta maaf, merajuk pada sikapnya tadi, yaitu menatapi cowok itu cukup lama.
Cowok itu tertawa kecil. "Tidak masalah," ujarnya singkat. "Kalau boleh tahu, namamu siapa?" Lanjut cowok tersebut. Namun karena Mia tidak langsung menjawab, cowok itu kembali berkata, "Bukan begitu maksudku, aku hanya ingin tahu namamu karena kamu baru pindah kesini." Jelas cowok itu.
Mia jadi merasa tidak enak karena sudah beranggapan jelek pada tetangga barunya. "Nama saya Mia." Mia masih menjaga sopan santunnya dengan menggunakan bahasa formal.
Cowok itu tersenyum. "Nama saya Rangga." Karena mendengar Mia menggunakan bahasa formal, Rangga pun mengikutinya.
Mia mengangguk-anggukan kepalanya sambil tersenyum ramah.
"Laki-laki yang tadi pagi bertemu denganmu adalah kembaranku, namanya Radit." Karena suasana di antara mereka berubah menjadi canggung dan aneh, Rangga kembali menjelaskan hubungannya dengan Radit.
"Ah iya." Jawab Mia singkat.
Suasana kembali menjadi canggung. Rangga terlihat seperti paham kalau Mia merasa tidak nyaman.
"Masuklah." Ucap Rangga kemudian.
"Kalau begitu saya masuk duluan." Mia pamit pada Rangga.
Setelah berpamitan dengan Rangga, dan Rangga sudah menganggukkan kepalanya, dengan langkah yang lebih cepat dari biasanya, Mia berjalan menuju rumahnya dan segera masuk.
Ketika Mia sudah berada di rumahnya dan masuk ke kamarnya, Mia langsung membanting tubuhnya ke kasur. Seketika itu juga rasa nyaman yang sudah tidak ia rasakan seharian ini, kembali ia rasakan. Rasa lelah yang ia rasakan dari tadi juga perlahan menghilang. Beberapa menit kemudian, tanpa Mia sadari, ia ketiduran dengan posisi yang masih sama dan baju yang masih sama.
Sekitar 5 jam kemudian, saat jam dinding menunjukkan pukul 12 malam, Mia tersadar dari dunia mimpinya. Ketika ia terbangun dari tidurnya, Mia kaget karena dirinya tidak pernah bisa segampang ini tidur di tempat yang belum pernah ia singgahi, tapi kenapa disini ia bisa langsung tertidur seperti itu, bahkan disaat dirinya belum berganti baju.
Setelah Mia sudah benar-benar sadar, ia segera berjalan menuju lemari yang berada tidak jauh dari kasurnya untuk berganti baju.
Sesudah Mia selesai berganti baju, Mia keluar dari kamarnya dan menuju ke dapur untuk mencari makanan atau minuman yang sekiranya bisa ia temukan disana. Mia membuka pintu kulkas dan rak yang berada di bawah kompor. Dengan cepat Mia langsung bisa melihat beberapa bungkus mie yang kemarin sudah ia beli, dan di dalam kulkas ada beberapa minuman kaleng dan sekotak brownies yang kemarin dibawakan oleh mama Mia.
Karena Mia merasa lapar, jadi ia langsung mengambil sekotak brownies itu dan salah satu minuman kaleng yang ada di kulkas. Mia sudah tidak peduli lagi apakah nantinya berat badannya akan bertambah drastis atau tidak, yang ia pikirkan saat ini hanyalah menghilangkan kelaparan yang sedang menghantuinya.
Setelah piring berisi 2 potong brownies sudah mulai kosong dan minuman kalengnya juga sudah tinggal sedikit, Mia berseru lega karena rasa laparnya sudah hilang. Mia pun beranjak dari kursinya dan mengambil piringnya untuk diletakkan ke tempat cuci piring, namun Mia tidak berniat untuk langsung mencucinya.
Mia kembali berjalan menuju kamarnya sambil membawa minuman kalengnya. Mia membuka pintu kamar dengan hati-hati karena teringat saat dirinya masih tinggal bersama kedua orang tuanya dan ketiga kakak laki-lakinya. Setelah menutup pintu kamarnya, Mia tidak langsung menuju kasurnya, tapi ia berjalan menuju tasnya yang ia gantungkan di pintu lemari tadi untuk mengambil dan memeriksa ponselnya. Mia menatapi layar ponselnya dan ia bisa langsung melihat ada pesan dari mamanya.
Apa kamu betah di rumah dan tempat kerjamu yang baru, Nak? Begitu bunyi SMS dari mamanya. Setelah membaca SMS tersebut, entah kenapa Mia merasa ingin menangis, mungkin karena dirinya merindukan sosok mamanya yang sebelumnya selalu ada di samping Mia setiap hari. Meskipun Mia baru berpisah rumah dari mamanya selama 2 hari namun itu sangat terasa bagi Mia, karena biasanya mereka berdua tidak terpisahkan.
Alhamdulillah betah Ma, bahkan aku tadi bisa langsung tertidur sepulang kerja, makanya aku telat membalas SMS mama. Mama tahu sendiri kan aku nggak gampang tidur di tempat yang baru? Mia membalasnya seperti itu.
Mungkin karena hari sudah terlalu malam, mama Mia tidak langsung membalas SMS Mia. Mia pun berjalan menuju kasurnya setelah meletakkan ponselnya ke tempatnya semula. Mia merebahkan dirinya ke kasur, lalu ia memejamkan matanya. Tidak lama kemudian Mia sudah berada di alam mimpinya lagi.
***
Waktu berjalan dengan cepat, sudah sekitar 2 minggu Mia pindah ke lingkungan rumah barunya. Dan selama 2 minggu itu, Mia sudah bertemu dan menyapa tetangga-tetangga barunya, ada yang membalas sapaan Mia dengan ramah, namun ada juga yang membalas sapaan Mia dengan senyuman yang tidak ikhlas, tapi Mia tidak terlalu memikirkan akan hal itu, karena baginya yang terpenting dirinya sudah berusaha untuk bersikap sopan dan ramah.
Dari semua tetangga barunya, yang sering bertemu atau berpapasan dengan Mia adalah Radit atau kalau tidak Rangga. Bahkan Mia jarang bertemu dengan kedua orang tua atau penghuni lain dari rumah itu selain mereka berdua.
Setelah beberapa hari Mia mengenal Radit dan Rangga, walaupun tidak terlalu intens, Mia sudah bisa membedakan mereka berdua. Perbedaan dari sisi fisik, Rangga memiliki satu tahi lalat di sekitar mata kanannya, sedangkan Radit tidak, dan juga Radit lebih tinggi daripada Rangga, itu juga baru Mia sadari saat mereka Rangga dan Radit berdiri bersampingan. Dari sisi sifat dan perilaku, Radit lebih cerewet dan kebanyakan tingkah, Rangga lebih terlihat cool dan cuek, meskipun terkadang kalau sudah membahas tentang kembarannya, Rangga bisa menjadi cerewet.
Ketika Mia sedang bersantai di kamarnya karena hari ini adalah hari libur, tiba-tiba pintu rumah Mia ada yang mengetuk. Karena Mia sedang tidak menunggu kedatangan siapapun, Mia pun bertanya-tanya siapakah yang mengetuk rumahnya.
Mia berjalan menuju pintu rumahnya untuk segera membukanya. Kemudian tanpa bertanya, Mia langsung membuka pintu ketika dirinya sudah berdiri di depannya. Saat pintu sudah benar-benar terbuka, sosok mama dan ayahnya langsung terlihat. Kemudian di saat Mia akan bertanya dan berkata pada kedua orang tuanya, dari belakang kedua orang tua Mia muncul sosok laki-laki tinggi, yaitu kakak kedua Mia. Kak Rido.
"Kenapa kalian kesini?" Sebelum pikiran Mia bekerja dengan baik, Mia sudah mengeluarkan pertanyaan itu.
Tanpa menjawab pertanyaan dari anaknya, mama Mia langsung masuk ke dalam rumah Mia, kemudian ayah dan kakak laki-laki Mia pun mengikuti langkah kaki mamanya.
"Emang kenapa? Ada yang kamu sembunyiin?" Tanya mama Mia dengan nada yang menggebu-gebu dan kedua matanya menatap ke sepenjuru ruangan rumah Mia dengan penuh selidik.
"Bukan begitu," ucap Mia. "Kalo mama bilang mau kesini kan aku bisa siap-siap dulu." Lanjut Mia dengan suara yang terdengar sedang ngambek.
Mama Mia menatap ke arah Mia, lalu beliau berkata, "Emang siap-siap ngapain?"
Mia memiringkan kepalanya sedikit karena dirinya sendiri juga bingung dengan apa yang dimaksud dengan perkataannya sendiri. "Kan aku bisa mandi dulu," Mia mencari alasan.
Mama Mia langsung tertawa. "Emang biasanya kamu kalau di rumah, pagi-pagi udah mandi?" Goda mama Mia. "Kamu tuh mandinya cuma kalau ada perlu." Ucapnya kemudian.
Mia mengerucutkan bibirnya.
Ayah dan kak Rido yang dari tadi hanya diam, akhirnya mengeluarkan suara. "Kalian itu yaa, kalau ketemu berantem mulu tapi kalau jauhan sama-sama nyariin." Ujar ayah Mia. "Tapi sama-sama gengsi kalo mau bilang kangen." Sahut kak Rido sambil tertawa gemas.
Secara bersamaan, mama Mia dan Mia berkata, "Emang siapa yang kangen," bahkan ekspresi wajah mereka berdua pun sama persis.
"Meskipun kalian nggak ngomong pun semua juga tahu kalau kalian saling kangen." Ayah Mia masih menggoda mereka berdua.
Mama Mia langsung mengalihkan topik pembicaraan. "Disini nggak ada makanan apapun?" Tanyanya sambil berjalan menuju dapur untuk melihat isi kulkas.
Dengan cepat Mia langsung berlari mendahului mamanya karena ia belum mencuci piring selama 2 hari karena kecapekan. Tepat sebelum mamanya masuk ke dapur, Mia sudah merentangkan kedua tangannya di depan badan mamanya. "Nggak ada." Kata Mia singkat sambil menggelengkan kepalanya cepat.
Mama Mia langsung membelalakkan matanya. "Jadi kamu belum sarapan sampai sekarang?" Nada suara mama Mia terdengar benar-benar khawatir.
Ayah dan kak Rido hanya bisa tertawa melihat mama Mia khawatir setelah pura-pura tidak peduli dengan Mia.
Mia hanya bisa menggelengkan kepalanya pelan dan memasang wajah memelas. "Nggak lapar kok," Mia membela diri.
"Meskipun begitu harusnya kamu sarapan. Kalau tahu kamu kayak gini, mama nggak bakal ngizinin kamu tinggal sendirian disini." Mama Mia mengomeli anaknya namun itu untuk kebaikan Mia sendiri.
Mia mengerucutkan bibirnya sambil menatap lantai yang berada di bawahnya.
"Ya udah kalau gitu kita makan di luar dulu aja," ayah Mia menengahi. "Kamu jangan marahin dia kayak gitu." Ayah Mia dari dulu memang selalu membela Mia disaat Mia terlibat masalah ataupun yang lain sebagainya, mungkin karena Mia adalah anak perempuan satu-satunya.
Mama Mia menatapi suaminya dengan tatapan kesal, lalu beliau melengos.
"Aku mandi dulu," ucap Mia dengan suara yang pelan.
Langkah kaki mama Mia yang sudah sampai tepat di depan pintu depan rumah, berhenti. "Cepetan."
Dengan sedikit berlari, Mia menuju ke kamarnya untuk bersiap-siap. Dari kamarnya, Mia bisa mendengar suara pintu rumahnya terbuka dan diiringi suara langkah kaki yang menjauh. Mungkin mamanya ingin menunggu di mobil, begitu pikir Mia.
Hanya butuh waktu 20 menit untuk Mia bersiap-siap dari semua hal. Karena tadi saat menuju kamar mandi Mia tidak melihat ke sekeliling rumahnya, jadi dirinya tidak mengetahui kalau kakaknya menunggu di dalam rumah. Mia baru tahu akan hal itu saat Mia sudah selesai mandi.
Kak Rido terlihat sedang menatap layar ponselnya dengan serius sampai tidak menyadari kalau Mia sudah berada di sampingnya. Lalu tidak lama kemudian ia baru tersadar dan langsung berdiri. "Udah?" Suara yang sudah sangat Mia rindukan, akhirnya bisa Mia dengarkan kembali. Dari semua kakaknya, Mia memang paling nyaman dan dekat dengan kakak keduanya ini. Kalau kakak pertamanya terlalu serius, sedangkan kakak ketiganya entah kenapa Mia merasa tidak nyaman kalau ditinggalkan hanya berdua dengan kakak ketiganya itu, padahal umur Mia dengan kakak ketiganya hanya berselang 1.5 tahun.
Mia menjawabnya dengan anggukan. Setelah itu mereka berdua berjalan keluar rumah secara bersamaan.
"Mama kayak gitu karena khawatir sama kamu, waktu di rumah yang dibahas sama Mama selalu tentang kamu, sampai kita yang dengerin bosan." Cerita kak Rido dengan menatap langsung ke kedua mata Mia yang sedang menatap ke arahnya juga. "Jadi nggak boleh ngambek ya," lanjutnya.
Mendengar nasihat dan cerita dari kakaknya, Mia hanya bisa tersenyum penuh arti. "Aku juga tahu Kak," ujar Mia. "Emang aku anak kecil, nggak tahu kayak gituan." kali ini Mia mengerucutkan bibirnya.
Kak Rido pun mengacak-acak rambut Mia. "Kakak lupa kalau kamu udah besar," canda kak Rido. Setelah itu kak Rido merengkuh bahu Mia dan mengiringnya menuju luar rumah untuk menuju mobil kedua orang tuanya yang sudah menunggu disana sedari tadi. Dari dulu memang kak Rido terlihat sangat dewasa, hal itu membuat Mia bahagia, karena dirinya jadi merasa memiliki seseorang yang bisa diandalkan.
Ketika Mia masih mengunci pintu rumahnya, kak Rido menunggunya sambil menatap ke arah ponselnya dengan tatapan serius kembali. Bahkan disaat Mia sudah membalikkan badannya dan menatap ke arah kakaknya itu, kak Rido masih tidak menyadarinya. Mia jadi sangat ingin menanyakan pada kakaknya apakah ia lagi ada masalah, tapi Mia mengurungkan niatnya, karena dirinya tidak mau dianggap ikut campur urusan kakaknya.
"Ayo Kak," akhirnya Mia hanya bisa berkata seperti itu.
Mendengar suara adiknya, kak Rido tersadar. "Oh iya," jawabnya singkat.
Baru saja kedua kaki mereka berdua melangkah, sosok Radit yang sedang berada di depan rumahnya, menyapa Mia. "Hai," sapanya dengan cengiran khasnya.
Karena Mia sedang bersama kakaknya dan kakaknya sedang menatap Mia dengan tatapan penasaran, Mia jadi salah tingkah. "Hai," balik sapa Mia dengan tersenyum canggung.
Radit menghampiri Mia dan kak Rido. Lalu setelah Radit sudah berada tepat di depan Mia, Radit mendekatkan dirinya ke arah Mia dan berbisik, "Pacarmu?" Tanya Radit blak-blakan sampai Mia tersedak ludahnya sendiri. Mia dengan segera membelalakkan kedua matanya ke arah Radit. Mia juga merasa kakaknya mendengar pertanyaan Radit barusan, karena kakaknya saat ini sedang tertawa geli. Walaupun tawanya tidak mengeluarkan suara dan hanya sekilas, Mia bisa merasakannya.
"Kenalin dia kakak kedua aku, kak Rido." Mia langsung memperkenalkan kakaknya ke Radit. "Kak, kenalin dia tetangga baruku, namanya Radit." Mia juga memperkenalkan Radit ke kakaknya.
Mendengar ucapan Mia, Radit jadi salah tingkah karena sudah berpikiran yang aneh-aneh, kedua pipi Radit memerah. "Oh maaf," ucapnya. Kemudian ia mengulurkan telapak tangan kanannya ke arah kak Rido.
Kak Rido membalas uluran tangan Radit dan tersenyum geli. "Bukan masalah, kita udah sering dikira seperti itu." Ujar kak Rido, dan hal itu membuat Radit semakin salah tingkah. "Mungkin kita emang kelihatan serasi ya," canda kak Rido sambil menoleh ke arah Mia.
Mia sedikit kaget mendengar candaan kak Rido, jadi ia hanya tertawa kecil yang terdengar canggung.
Berbeda dengan Mia, Radit merespon candaan kak Rido dengan tertawa terbahak-bahak. "Wah, kakakmu benar-benar pintar bercanda yaa," ujar Radit, namun Radit berkata seperti itu dengan menatap Mia, tidak langsung ke arah kak Rido.
Tepat sebelum Mia ingin menjawab ucapan Radit, kak Rido menyelanya. "Kalau begitu gaya candaan kita sama," ucap kak Rido. "Kita bisa jadi teman nih." Lanjutnya.
Mia dengan segera menoleh ke arah kakaknya, saking cepatnya ia menoleh, leher Mia jadi sedikit sakit. Alasan Mia kaget adalah karena Mia tidak pernah melihat kakaknya secepat ini mengajak berteman dengan seseorang, apalagi kak Rido baru pertama kali ini bertemu dengan Radit.
"Kak, Mama udah ngelihatin kayak gitu," Mia yang habis menoleh ke arah mamanya, melihat mamanya terlihat tidak bisa menahan rasa kesalnya karena sudah menunggu lama. Mia pun segera memberi tahu kakaknya supaya tidak mengobrol dengan Radit terus.
"Kalau begitu kami pamit duluan yaa," kak Rido berpamitan pada Radit dengan ramah.
Radit menganggukkan kepala. Setelah itu Mia dan kak Rido pun berjalan menjauhi Radit dan menuju mobil kedua orangtuanya.
Sesuai dugaan Mia, sesampai di dalam mobil, mamanya langsung menceramahi Mia dan kak Rido. Tanpa menyembunyikannya, Mia langsung menyalahkan kak Rido, namun kak Rido menerimanya, ia tidak balik menyalahkan Mia, kak Rido mengakui kalau itu kesalahannya.
Di lain tempat, Radit masih setia di posisinya. Tidak lama kemudian, sosok Rangga keluar dari rumahnya. Tatapan mata Radit masih belum bisa beralih dari arah mobil yang dinaiki Mia, Rangga hanya bisa menatap kembarannya itu dengan bingung. Namun setelah dirinya bisa melihat siapa yang ada di dalam mobil itu, Rangga pun jadi memaklumi Radit.
"Gue udah dapetin hati kakak keduanya," meskipun Radit mengucapkannya dengan pelan, Rangga masih bisa mendengarnya.
"Jadi elo beneran suka sama cewek itu?" Tanya Rangga serius.
Radit langsung menoleh ke Rangga. "Belum bisa dipastikan," jawabnya menggantung. "Tapi nggak ada salahnya buat mencoba kan." Radit melanjutkan ucapannya sambil tersenyum jahil.
Di dalam mobil, dengan berbisik ke arah Mia, kak Rido berkata, "Sepertinya cowok itu tertarik sama kamu,"
Mia yang sebelumnya hanya fokus melihat ke arah luar jendela yang berada di sampingnya, langsung menoleh ke arah kak Rido dan membelalakkan kedua matanya. "Kata siapa?" Mia menyesali pertanyaan yang sudah ia keluarkan dari mulutnya itu.
"Kakak bisa melihatnya." Kak Rido kembali melihat ke arah depan, namun ia mengatakannya dengan masih berbisik.
"Jangan sok tahu Kak, Radit kayak gitu bukan sama aku aja, dia sama tetangga yang lainnya juga selalu sok akrab kayak gitu." Suara Mia terdengar sedikit ketus sampai kak Rido menjadi tidak enak, namun kak Rido masih belum bisa berhenti menggoda adiknya itu.
"Kenapa kamu jadi ketus gitu," kak Rido kembali mendekatkan wajahnya ke arah telinga kiri Mia dan berkata seperti itu.
Seketika itu juga tanpa Mia sadari, kedua pipinya memerah. Kak Rido yang melihat adanya perubahan di kedua pipi Mia hanya bisa tertawa gemas dan menunjuk-nunjuk kedua pipi Mia. Baru setelah itu, Mia menyadari kalau kedua pipinya sudah memerah dan memanas, namun Mia merasa seperti itu bukan karena ia tertarik dengan Radit, ia tidak tahu kenapa dirinya menjadi seperti ini padahal ia tidak merasa tertarik sama sekali dengan Radit, malah ia masih merasa kesal kalau mengingat hari pertama pertemuan dirinya dengan Radit.
***
Hari ini Mia berangkat kerja lebih pagi dari biasanya karena sudah tidak ada lagi yang harus ia lakukan di rumah, jadi pikir Mia tidak ada salahnya dirinya berangkat kerja lebih pagi.Mia keluar dari rumahnya dengan mood yang baik, senyum merekah terpasang di wajahnya. Setelah mengunci pintu rumahnya dengan benar, Mia membalikkan badannya dan segera berjalan menuju luar gang untuk menunggu kedatangan angkot yang menuju tempat kerjanya.Selama berjalan menuju luar gang, senyuman Mia masih belum menghilang, sampai Mia takut orang akan mengira dirinya adalah orang gila. Alasan di balik mood baik Mia hari ini adalah, ide Mia kemarin diterima dengan baik oleh atasannya dan karyawan lainnya, bahkan Mia mendapat pujian dari atasannya yang terkenal sangat jarang memberikan pujian, maka dari itu perasaan bahagia dan puas itu masih bersarang di dirinya.Karena Mia sedang larut dalam dunianya sendiri, Mia tidak menyadari ada sebuah
Keesokan harinya, karena hari ini adalah hari minggu yang berartikan sebagai hari libur bagi Mia, Mia pun berniat bangun siang, namun ternyata ada yang merusak niatnya, ia adalah Radit. Ketika Mia masih berada di alam mimpinya, Mia mendengar suara ketukan pintu yang tak kunjung reda. Awalnya Mia mengira suara ketukan pintu itu hanyalah mimpinya, namun karena ketukan pintu itu tidak kunjung reda, Mia pun segera membangunkan diri, dan ternyata ketukan pintu memang terjadi di dunia nyata. Dengan perasaan kesal, Mia berjalan menuju pintu depan untuk membukanya. Mia bertanya-tanya siapakah yang membuatnya kesal sepagi ini. Saat sudah berada tepat di depan pintu, Mia segera membukanya, dan setelah itu sosok Radit dan Rangga langsung terpampang jelas di depannya. Melihat sosok Radit dan Rangga berada di depannya dengan tampilan yang sudah rapi sedangkan dirinya tampilannya sangat berantakan dan sangat tidak pantas untuk dilihat, Mia langsung menutup kembali pintu rumahnya.
Setelah kejadian Mia mengatakan kalau dirinya tidak suka selalu dikira pacar Radit, Radit sudah tidak pernah mengantar ataupun menjemput Mia lagi. Mia sendiri sepertinya malah menikmatinya, karena dirinya sudah terbiasa dengan situasi yang seperti itu, malah kalau Radit tiba-tiba baik padanya, dirinya malah menjadi was-was.Beberapa hari itu juga, Mia sudah sangat jarang bertemu dengan Radit, ia hanya bertemu dengan Rangga, dan ketika Mia menanyakan keberadaan Radit pada Rangga, Rangga hanya menjawab Radit sedang sibuk."Kenapa? Kamu kangen?" Tanya Rangga saat Mia menanyakan sosok Radit.Dengan cepat Mia menyangkalnya. "Nggak lah, cuma tumben aja nggak pernah kelihatan,"Rangga tertawa kecil. "Emang kenapa sih kok kayaknya kamu kesel amat sama Radit?""Ya kan dia sendiri yang mulai," jawab Mia enteng."Tapi dia sebenarnya peduli banget sama kamu lho," ujar Rangga karena dirinya sudah tidak
Hari Minggu kemarin, Mia tidak melihat sosok Rangga dan Radit sama sekali, padahal dirinya bolak balik keluar rumah untuk membeli sesuatu. Dibilang merasa kehilangan kehadiran mereka berdua, itu memang benar, tapi anehnya Mia lebih merasa kehilangan kehadiran Radit daripada Rangga, namun Mia menganggap perasaannya seperti itu karena ia masih merasa sakit hati atas kejadian kemarin, makanya dirinya lebih kehilangan sosok Radit.Hari ini Mia bangun kesiangan, sebenarnya tidak siang banget, tapi karena ini hari Senin, jadi Mia merasa ia bangun kesiangan. Mia mempersiapkan diri dengan kecepatan tinggi, karena ia tidak mau telat lagi. Begitu juga saat Mia memasang sepatu, ia lupa menutup pintu rumahnya terlebih dulu."Nggak usah buru-buru, aku antar kamu." Tiba-tiba terdengar suara Radit tidak jauh dari posisi Mia sekarang."Jangan ngagetin." Kata Mia dengan nada kesal, karena dirinya benar-benar terkejut saat mendengar suara
Hari yang sudah ditunggu-tunggu oleh Mia akhirnya datang, dan Mia tidak bisa menyembunyikan perasaan bahagianya, bahkan sejak bangun tidur. Saking semangat dan bahagianya, kejadian langka di hari Minggu terjadi, yaitu Mia bangun pagi dan mandi pagi.Setelah mandi, Mia berganti baju rumah, karena Mia tidak akan mengajak keluar Rangga dan Radit sepagi ini, apalagi sepertinya mereka berdua baru saja sampai. Mia berjalan menuju jendela yang berada di samping pintu. Ia mengintip dari balik tirai, dan ia bisa melihat rumah Rangga dan Radit masih terlihat sepi. Cukup lama Mia mengintip dan melihat situasi disana. Lalu tidak lama kemudian, sosok Radit keluar dengan baju dan celana yang berantakan. Senyum Mia langsung mengembang, ia berlari keluar.Radit mendengar suara gaduh dari kejauhan, lalu tidak lama sosok Mia muncul dari balik pintu rumahnya dengan senyuman yang sudah sangat ia rindukan, seketika itu juga senyuman juga muncul di wajah Radit.
Beberapa jam kemudian, Radit baru teringat permintaan tolong Mia, ia berjanji akan menanyakan pada Rangga, apakah dirinya sibuk. Dengan langkah malas, Radit berjalan menuju kamar Rangga. Sebelum ia masuk ke kamar Rangga, Radit lebih dulu mengetuk pintu kamarnya.Setelah Radit mengetuknya 3 kali, dan mendapat jawaban dari Rangga untuk masuk, Radit akhirnya membuka pintu itu dan segera masuk.Rangga yang sedang duduk di kasurnya sambil memegang ponselnya, langsung menoleh ke arah Radit."Ngapain?" Rangga terlihat masih kesal dengan Radit.Radit terlihat salah tingkah. "Mia ngajak jalan, tadi pagi dia tanya, elo sibuk nggak hari ini?" Radit menyampaikan pesan Mia.Rangga ingin ketawa melihat wajah salah tingkah kembarannya, namun ia memilih menahannya. "Gue ada janji sama Andini." Jawab jujur Rangga.Mendengar nama Andini disebut oleh Rangga, di saat mereka berd
Sudah beberapa hari berlalu setelah kejadian menegangkan antara Mia dan Rangga. Selama beberapa hari itu, Mia menjalani kehidupannya dengan murung, sampai beberapa orang di kantornya menanyakan alasan Mia seperti itu, tapi tentu saja Mia tidak menjawabnya dengan jujur.Beberapa kali Mia juga sempat bertemu dengan Rangga ataupun dengan Radit, tapi sebisa mungkin Mia menghindari mereka berdua. Ketika Mia menghindari Rangga dan Radit, mereka berdua juga tidak memaksa Mia untuk berhenti menghindarinya, mereka terlihat seperti mengerti maksud Mia sebenarnya.Hari ini Mia sama sekali belum keluar dari rumahnya, karena hari ini adalah hari libur nasional. Sejak semalam, Mia sudah merencanakan untuk tidak keluar dari rumah sama sekali, apalagi semua bahan makanan sudah tersedia di dalam kulkasnya. Namun istilah manusia bisa berencana, tapi Tuhan yang memutuskan dirasakan oleh Mia.Ketika Mia sedang bermalas-malasan di kasurnya dengan memain
Mia sudah membeli sabun mandi yang ia butuhkan, sekarang waktunya Mia untuk kembali ke rumahnya. Dalam perjalanannya menuju rumah, Mia merasa was-was, ia takut akan bertemu dengan Rangga ataupun Radit di jalan atau di depan rumah. Mia berusaha untuk menghilangkan perasaan was-was itu.Tinggal beberapa langkah lagi, Mia sampai di depan rumahnya, tapi langkah kaki itu langsung terhenti saat Mia melihat sosok Radit keluar dari rumahnya dan langsung menatapnya dengan tajam, namun tatapan mata itu bukan menunjukkan kemarahan, lebih kepada tatapan mata dari seseorang yang sedang merindukan sosok yang berada di depannya. Langkah kaki Mia yang sempat terhenti, kembali berjalan mendekati Radit karena Radit sudah berada tepat di depan rumah Mia."Kenapa kamu menghindariku?" Tanya Radit langsung ketika Mia sudah berada di depannya. "Apa kamu masih marah denganku?" Tanya Radit lagi.Mia yang awalnya hanya menundukkan kepalanya dan t
Liburan Mia sudah berjalan selama 2 hari, dan selama 2 hari itu Mia sering dikejutkan dengan kejutan yang katanya sudah disiapkan Radit jauh-jauh hari. Mia tidak pernah menyangka Radit sosok yang seromantis ini, dirinya selalu mengira Radit adalah sosok yang jahil dan tidak tahu bagaimana caranya untuk menjadi romantis."Aku tidak pernah melihat Radit se-berusaha keras ini sebelumnya, sepertinya Radit benar-benar mencintaimu." Kalimat itu datang dari mulut Rangga ketika Mia dan Rangga duduk bersama di depan rumah, Andini dan Radit sedang mengambil makanan yang berada di dalam rumah.Mia menoleh sekilas ke arah Rangga, setelah itu ia kembali memfokuskan pandangannya ke arah piring dan sendok yang sudah ia tata rapi di atas meja. Senyuman Mia masih tidak bisa pergi dari wajahnya, justru senyuman itu semakin melebar setelah mendengar perkataan Rangga."Aku bersyukur kamu bisa menerima perasaan Radit, setidaknya dia tidak me
Perjalanan yang tidak disangka-sangka Mia itu membutuhkan waktu cukup lama, karena dilakukan ketika libur panjang, yaitu Jumat, Sabtu, dan Minggu, mereka bertiga ternyata memutuskan berlibur ke Bandung, bahkan tanpa meminta persetujuan dari Mia. Pantas saja Mia disuruh untuk membawa beberapa baju dan keperluan sehari-hari dirinya, namun awalnya Mia mengira mereka tidak berpergian sejauh ini. Karena mobil sudah terlanjur hampir sampai, Mia tidak bisa meminta pulang ataupun menolak begitu saja rencana yang telah dibuat.Ketika matahari sudah mulai naik dan sekarang sudah berada tepat di atas mereka berempat, mobil berhenti tepat di depan rumah atau mungkin vila, yang pemandangan di depannya terlihat sangat indah. Taman yang berada tepat di depan rumah itu dipenuhi dengan beragam tanaman, sangat pas dengan style rumah yang diinginkan Mia. Tanpa sadar Mia pun tersenyum senang ketika turun dari mobil dan melihat ke arah rumah itu."Kamu senang?"
Karena itulah kenapa sepagi ini Radit sudah stand by di depan rumah Mia bersama Andini dan Rangga. Tadi pagi Rangga meminjam mobil papanya, dan karena Ranggalah yang meminjam, papanya pun dengan cepat mengijinkannya. Awalnya Rangga yang duduk di bangku kemudi, namun setelah mereka berdua sampai di depan rumah Andini, Radit menyuruh Rangga untuk pindah ke bangku belakang supaya dirinya saja yang mengemudikan mobil, Radit tidak mau menjadi obat nyamuk di bangku belakang kalau Rangga dan Andinilah yang duduk di bangku depan. Karena Radit juga mengatakan alasannya pada Rangga, Rangga pun langsung menyetujui ucapan Radit, ia pindah ke belakang dengan tertawa.Sudah lumayan lama Radit, Rangga dan Andini menunggu Mia keluar dari rumahnya. Saat sampai di depan rumah Mia, Radit sengaja tidak turun dari mobil, ia hanya mengirim SMS ke Mia dan memberitahunya kalau mereka bertiga sudah sampai di depan rumahnya. Hanya butuh waktu sekitar 10 detik untuk Radit menerima balasan
"Udah sampai rumah?" Beberapa menit setelah Radit masuk ke kamarnya, dering telepon terdengar dari ponselnya. Radit mengambil ponselnya yang tadi ia geletakkan di meja yang berada di dekat lemari bajunya. Ketika Radit menatap ke arah layar ponselnya, dirinya langsung diperlihatkan foto Mia yang terlihat sangat cantik, itu pertanda dirinya sedang mendapat telepon dari Mia.Sebelum mendengar jawaban dari Mia, Radit sempat mendengar suara batuk yang samar. Udah, baru setelah itu Radit mendengar jawaban Mia."Kamu sakit?" Radit terdengar sangat khawatir.'Aku sedikit nggak enak badan, dari kemarin flu belum sembuh juga,' keluh Mia."Udah minum obat?" Radit masih terdengar khawatir, bahkan ia sempat berpikir untuk langsung pergi ke rumah Mia dan memastikannya sendiri kalau kekasihnya itu sudah makan dan minum obat.'Udah tadi waktu istirahat di kantor,' Mia memang tadi saat di kantor
Radit sudah siap siaga tepat di depan rumah Mia bahkan sebelum matahari benar-benar terbit. Radit tidak sendirian, ia juga bersama Rangga dan Andini. Radit duduk di bangku kemudi sedangkan Rangga dan Andini duduk bersebelahan di bangku belakang, sesekali mereka saling mengeluarkan candaan tanpa menghiraukan kehadiran Radit yang hanya bisa tersenyum kecut ketika menyaksikannya.***Beberapa hari yang lalu, Rangga, Radit dan Andini bertemu di rumah Radit dan Rangga. Di hari itu mereka bertiga mengobrol tentang banyak hal, hingga akhirnya Andini mengusulkan ide untuk double date."Kenapa nggak mau? Tanya Mia aja dulu, pasti dia mau." Kata Andini ketika mendengar Radit menolak ajakannya.Radit masih terlihat ragu, ia juga sangat tahu Mia pasti akan menerima ajakan Andini itu karena Mia sudah merasa baik-baik saja terhadap Rangga, tapi lain lagi dengan Radit, entah kenapa perasaan cemburunya tidak bisa hi
Hubungan antara Mia dan Radit sudah berjalan selama 4 bulan, dan selama 4 bulan itu, banyak hal yang terjadi di antara mereka berdua. Kebahagiaan, pertengkaran, kerinduan, dan lain sebagainya sudah mereka lalui bersama. Meskipun pertengkaran sering terjadi dalam hubungan mereka berdua, namun pertengkaran itu juga yang membuat hubungan mereka semakin kuat.Selama 4 bulan itu juga, hubungan Mia dengan Rangga juga membaik, Mia sudah bisa menghadapi Rangga tanpa merasa canggung. Beberapa hari yang lalu, Mia diajak Radit ke rumahnya, dan disana Mia bertemu dengan kedua orang tua Radit. Mia bertemu kedua orang tua Radit cukup singkat karena beliau harus berangkat ke suatu tempat saat itu juga, namun Mia justru bersyukur karenanya, Mia merasa dirinya masih belum siap untuk bertemu intens dengan kedua orang tua Radit.Ketika hari dimana Mia bertemu kedua orang tua Radit, Mia bertemu dengan Rangga juga, bahkan karena Radit harus ke kamar mandi, Mia d
Langit malam sudah berubah semakin pekat, hawa dingin juga semakin menyambar tubuh Mia yang tidak memakai jaket dan hanya memakai cardigan yang tipis. Motor melambat meskipun Mia merasa yakin kalau mereka belum sampai di rumah Mia. Motor berhenti tepat di depan sebuah halte, pikiran Mia langsung terarah ke perkataan Radit tadi yang berkata kalau dirinya tidak berniat mengantar pulang Mia, perasaan cemas langsung muncul di dalam pikiran Mia.Setelah menghentikan motornya, Radit turun dari motornya tanpa mengatakan apapun dan tanpa memedulikan perasaan cemas Mia. Radit melepas jaketnya dan mengulurkannya ke arah Mia yang masih menatapi Radit dengan tatapan harap-harap cemas. Karena tangannya yang sudah mulai capek menunggu Mia menerima jaketnya, Radit pun memilih langsung memakaikan jaket itu ke tubuh Mia. Setelah itu Mia baru terlihat tersadar dari lamunannya, senyuman malu Mia kembali muncul di wajahnya."Kenapa?" Tanya Radit dengan masih me
Senyum di wajah Radit semakin merekah dengan lebar, bahkan kali ini diiringi dengan pipinya yang memerah dan memanas. Radit yang menyadari perubahan kedua pipinya langsung memegangi kedua pipinya dengan malu.Baru kali ini Mia melihat Radit bertingkah seperti ini, namun entah kenapa Mia malah merasa gemas, karena sisi Radit yang seperti ini sangat tidak cocok dengan sisi Radit yang biasanya."Kamu jujur kan?" Radit masih merasa tidak percaya perasaannya akan terbalas secepat ini."Kamu nggak percaya?" Mia mulai kesal pada Radit karena ia masih merasa tidak percaya padanya."Bukan begitu," katanya dengan berusaha menghilangkan senyumnya yang terus berkembang di wajahnya. "Kukira semalam kamu cuma iseng." Radit menundukkan kepalanya."Aku kan nggak kayak kamu," canda Mia."Benar juga." Radit menerima candaan Mia dengan baik.Setelah itu mer
Radit yang sudah tidak sabar untuk lebih masuk, langsung merangkul bahu Mia dan mengajaknya mengikutinya. Kali ini Mia mengikuti Radit tanpa mengatakan apapun ataupun melakukan apapun, ia tidak merasa aneh ataupun salah tingkah dengan perlakuan Radit barusan, mungkin karena dirinya masih mengagumi kafe ini.Radit menuju ke arah tempat duduk yang berada di perbatasan tempat indoor dan outdoor. Radit mempersilahkan Mia duduk ke kursi yang sudah ia persiapkan, Mia pun duduk dengan tatapan matanya yang masih mengelilingi kafe."Apa kamu sekagum itu?" Tanya Radit sambil duduk di kursinya. Ia tidak menyangka Mia akan sekagum itu, ia hanya mengira Mia sekedar suka."Kafe seperti ini selalu ada di pikiranku, sangat persis seperti ini." Kata Mia dan sekarang tatapan matanya sedang menatap Radit dengan berbinar-binar.Radit langsung merasa usahanya berhasil, tapi dirinya juga merasa kagum dengan dirinya sendir