Setelah acara ijab kabul selesai, suasana haru memenuhi ruangan. Rania dan Yoga melangkah perlahan mendekati orang tua mereka untuk sungkem. Rania menundukkan kepala, air mata tertahan di pelupuk mata, mencium tangan kedua orang tuanya dengan penuh takzim. Sementara Yoga, meskipun melakukan hal yang sama, ekspresinya tetap datar. Ia tampak menjalani prosesi ini dengan enggan, tanpa ada perasaan yang terpancar di wajahnya.
Rania sudah memasrahkan semuanya. Meskipun pernikahan ini tidak dilandasi cinta, ia bertekad untuk menjalani tanggung jawab barunya sebagai seorang istri. Dalam hatinya, ia berharap bisa menemukan kekuatan dan kebijaksanaan untuk menghadapi masa depan yang penuh ketidakpastian ini. Saat tiba gilirannya untuk sungkem, Rania berlutut di depan Mamanya dengan air mata yang tak lagi bisa ditahan. Ia menggenggam erat tangan sang mama, merasakan kehangatan yang selama ini selalu menemaninya. Suara Rania bergetar, mencerminkan pergulatan batinnya. "Ma, maafkan Rania atas semua kesalahan yang pernah Rania lakukan. Terima kasih sudah selalu ada untuk Rania, dari kecil hingga saat ini. Rania mungkin belum bisa menjadi anak yang sempurna, tapi Rania akan berusaha menjadi istri yang baik, seperti Mama dulu." Mamanya membelai lembut kepala Rania, air mata juga mengalir dari matanya. "Nak, mama selalu percaya padamu. Mama tahu ini tak mudah, tapi setiap langkah yang kamu ambil, mama akan selalu mendukungmu. Jalani semua dengan ikhlas, dan ingat bahwa cinta bisa tumbuh seiring waktu. Mama bangga padamu." Sementara itu, di sudut ruangan, Yoga berdiri kaku di depan kakeknya yang bijaksana. Kakek yang tampak tegas tapi penuh kasih menyadari keraguan di mata cucunya. Ia menepuk pundak Yoga, lalu memberikan wejangan yang dalam suaranya menggema penuh makna. "Yoga, menikah bukan sekadar memenuhi kewajiban atau tradisi. Pernikahan adalah amanah, tanggung jawab besar yang harus kamu jaga. Istrimu, Rania, sekarang adalah tanggung jawabmu. Mungkin sekarang kamu belum merasakan cinta itu, tapi pernikahan bukan hanya soal cinta. Ini tentang kesetiaan, kepercayaan, dan komitmen untuk saling mendukung. Cintailah dia dengan tindakanmu, perlakukan dia dengan baik. Jika kamu ikhlas, kebahagiaan akan datang, meski perlahan." Yoga menunduk, menyerap setiap kata yang keluar dari mulut kakeknya. Meskipun masih ada keraguan di dalam hatinya, wejangan kakeknya itu membuatnya merenung lebih dalam tentang arti dari komitmen yang baru saja ia ikrarkan. Yoga hanya bisa mengangguk lirih di depan kakeknya, meskipun hatinya bergejolak menolak keras pernikahan ini. Setiap kata yang diucapkan sang kakek terasa seperti beban tambahan di hatinya yang sudah penuh dengan konflik. Rania, wanita yang kini menjadi istrinya, bukanlah sosok yang ia cintai. Pernikahan ini bukanlah keinginannya, melainkan hasil dari tuntutan keluarga yang terus mendesaknya. Dalam hatinya, Yoga bertekad untuk tetap menjalin hubungan dengan kekasihnya saat ini, meskipun statusnya sekarang sudah tidak lagi sendiri. Ia merasa cinta sejatinya hanya kepada wanita itu, bukan kepada Rania. Baginya, pernikahan ini hanyalah sebuah formalitas yang harus dijalani tanpa benar-benar melibatkan hatinya. Setiap kali ia melirik ke arah Rania, yang masih terlihat pasrah dan penuh harap, hatinya semakin kacau. Yoga tahu, apa yang ia rencanakan salah, tapi ia merasa tak sanggup melepas cinta yang selama ini ia perjuangkan dengan kekasihnya. Bahkan dalam situasi penuh tradisi dan harapan dari keluarganya, Yoga tak bisa menghindari hasrat untuk tetap bersama orang yang ia cintai, meski kini terjebak dalam pernikahan yang tidak ia inginkan. Setelah prosesi sungkeman yang penuh haru dan ritual, Rania dan Yoga digiring menuju pelaminan. Rangkaian bunga mewah dan dekorasi megah menyelimuti seluruh ruangan, menandai betapa besarnya pernikahan ini. Pernikahan yang tak hanya mengikat dua insan, tapi juga memperlihatkan kekuasaan dan kekayaan keluarga Yoga, yang dikenal sebagai salah satu keluarga terpandang dan kaya raya di kota itu. Kehadiran tamu-tamu penting dari kalangan pengusaha, pejabat, dan tokoh masyarakat menambah kemegahan acara. Semuanya serba gemerlap dan tertata sempurna, mencerminkan status Yoga sebagai pewaris tunggal dari kekayaan keluarga yang begitu besar. Di kursi kehormatan, sang kakek, yang kini menjadi kepala keluarga setelah kedua orang tua Yoga meninggal dunia, memandang cucunya dengan tatapan tajam dan penuh harap. Dialah yang mengambil alih semua wewenang, termasuk memastikan pernikahan ini berjalan sesuai kehendaknya. Bagi sang kakek, pernikahan ini bukan hanya soal cinta atau perasaan, melainkan tanggung jawab untuk menjaga martabat dan nama besar keluarga mereka. Di atas pelaminan, Yoga dan Rania duduk bersisian, akan tetapi aura dingin di antara mereka tak dapat disembunyikan. Rania mencoba tersenyum tipis, meski hatinya masih penuh ketidakpastian, sementara Yoga hanya menatap kosong ke arah para tamu, pikirannya melayang jauh dari semua kemewahan yang mengelilinginya. Bagi Yoga, meskipun acara ini begitu mewah dan dipenuhi sorak sorai kebahagiaan, hatinya tetap terasa kosong. Kekasih yang ia cintai masih memenuhi pikirannya, dan pernikahan ini terasa seperti penjara yang membatasi dirinya dari kebahagiaan sejatinya. Namun, di hadapan keluarganya dan tamu-tamu yang datang, Yoga hanya bisa menahan semua perasaan itu, menyembunyikannya di balik senyum yang ia paksakan. Setelah lama dalam kebisuan, akhirnya Yoga membuka suaranya, "Dengar Rania, pernikahan ini hanyalah status semata, aku tau kau juga tidak menginginkan pernikahan ini, bukan!" ucap Yoga tiba-tiba membuyarkan lamunan Rania. "Jadi bekerja samalah dan buat keluarga kita percaya kalau kita saling mencintai!" bisik Yoga lagi. Rania tersentak mendengar ucapan Yoga. Pikirannya yang semula melayang jauh kini dipaksa kembali pada kenyataan pahit yang dihadapinya. Ia menatap Yoga dengan mata yang masih dipenuhi kebingungan dan rasa sakit. "Jadi, bagimu pernikahan ini hanya permainan?" Rania berbisik lirih, mencoba menahan perasaannya. Yoga menghela napas panjang, lalu menunduk. "Bukan permainan, Rania. Ini adalah kenyataan yang kita hadapi sekarang. Aku tahu kau juga tidak menginginkan semua ini. Kita harus menjalani ini dengan cara yang paling baik, untuk keluarga kita. Setidaknya, sampai semuanya selesai." Rania menatapnya lama, hatinya terasa berat. "Dan apa yang akan terjadi setelah itu, Yoga?"Kata-kata Yoga sungguh sulit di cerna, Rania tidak memungkiri bahwa sosok Yoga adalah laki-laki yang tampan dan berkharisma, dia juga dilahirkan dari keluarga berada sehingga membuatnya semakin dielu-elukan perempuan gila harta diluar sana. Keduanya akhirnya mengikuti serentetan acara hingga selesai, sebelum pulang Kakek Yoga menyerahkan sebuah kunci rumah baru sebagai kado ulang tahun mereka berduaKakek, Rania, dan Yoga masih berada di tempat resepsi, para tamu sudah banyak yang pamitan pulang dan menyisakan keluarga inti saja saat pemberian hadiah pernikahan. Suasana malam itu terasa begitu hangat. Angin lembut berhembus dari jendela yang terbuka, membawa aroma harum bunga yang bertebaran di tempat resepsi. Rania dan Yoga duduk berdampingan di sofa, masih mengenakan baju pengantin seusai resepsi. Kakek berdiri dengan tongkatnya, senyumnya lembut tapi penuh arti. Mata tuanya menatap mereka dengan kasih sayang, seolah ingin memastikan bahwa pesan yang akan disampaikan bisa dipahami
Rania memang menikmati fasilitas rumah barunya, tapi tetap merasakan kekosongan tanpa perhatian dari suaminya, walaupun sudah menikah, Yoga tidak membatasi aktivitasnya, ia masih diijinkan bekerja di luar rumah, seperti biasanya,Yoga selalu berangkat lebih dulu setiap pagi, meninggalkan Rania dalam kesendiriannya.Pagi itu, Rania sedang bersiap-siap di depan cermin kamarnya ketika Yoga melewatinya dengan cepat, mengenakan setelan kerja yang rapi.Yoga, dengan nada terburu-buru, berkata, "Aku duluan ya. Ada meeting penting pagi ini."Rania yang masih duduk di meja rias, mencoba tersenyum tipis. "Iya, hati-hati di jalan," balasnya lembut, berharap setidaknya Yoga menoleh atau menunda sebentar kepergiannya.Namun, Yoga hanya meraih tas kerjanya dan berkata singkat, "Iya, kamu juga jangan telat."Pintu rumah pun tertutup dengan suara yang terdengar pelan tapi jelas di telinga Rania. Ia menarik napas panjang, menatap bayangannya di cermin, dan bergumam lirih, "Seandainya kamu lebih memper
Rania dibaringkan perlahan di ranjang oleh laki-laki itu, sosok yang hampir menabraknya beberapa saat yang lalu. Wajahnya tampak pucat, membuat laki-laki tersebut semakin cemas. Ia merasa bertanggung jawab atas keadaan Rania. Tanpa membuang waktu, laki-laki itu segera mengambil ponselnya dan menghubungi seseorang."Bisa cepat datang ke sini? Ada yang perlu kamu cek ... dia tampaknya butuh bantuan medis. Aku hampir menabraknya tadi, dan sekarang dia terlihat lemah," suaranya terdengar tegang saat berbicara.Laki-laki itu menunggu di sisi ranjang Rania, berharap sahabat yang dihubunginya segera datang untuk memastikan keadaan Rania. Waktu terasa berjalan lambat, dan ia terus memantau keadaan Rania yang semakin membuatnya khawatir.Beberapa menit kemudian, dokter yang dihubungi akhirnya tiba. Dengan langkah cepat dan tenang, beliau menghampiri Rania yang masih terbaring lemah di ranjang. Laki-laki itu berdiri di sudut ruangan, gelisah menunggu perkembangan.Dokter segera memeriksa kondis
Setelah dipaksa, Rania akhirnya menyerah dan mulai menyendok bubur ayamnya. Di sela-sela suapannya, Rendy menatapnya penuh perhatian lalu bertanya, "Gimana kabarmu selama ini, Ran? Apa aja yang kamu lakuin belakangan?"Rania menahan napas sejenak, mencoba menata kata-katanya. "Ya... begitulah. Sibuk kerja, pulang-pergi kantor. Nggak banyak yang berubah, Ren. Kegiatan sehari-hari masih sama."Rendy mengangguk pelan, seolah memahami. "Kerja di tempat yang sama ya? Apa masih sesibuk dulu?" tanyanya lagi, berusaha mencairkan suasana.Rania hanya tersenyum tipis, mengaduk buburnya tanpa berkata apa-apa. Pertanyaan sederhana itu terasa berat untuk dijawabnya, seolah memantik banyak kenangan yang selama ini ia coba hindari.Rendy menatap Rania sejenak sebelum melanjutkan pertanyaannya dengan nada hati-hati. "Ran, tadi malam kamu kayak ... nggak seperti biasanya. Ada apa? Kamu kelihatan nggak terkontrol. Ada masalah di keluarga?"Rania mendadak berhenti mengaduk buburnya, tangannya gemetar se
Siang harinya, Rendy mengantarkan Rania pulang, di dalam mobil, suasana sedikit canggung di antara Rania dan Rendy. Setelah beberapa saat hening, Rendy mencoba membuka percakapan."Kamu yakin nggak apa-apa aku nganter kamu, Ran? Takutnya malah bikin masalah nanti."Rania menoleh, tersenyum tipis. "Nggak apa-apa, Ren. Toh, Yoga juga nggak pernah terlalu peduli soal siapa yang nganter aku."Rendy menatap Rania sekilas, "Aku cuma nggak mau bikin situasi jadi ribet. Kamu udah bersuami, aku ngerti posisinya."Rania tertawa kecil, tapi ada nada getir di suaranya. "Yoga terlalu sibuk untuk tahu apa yang terjadi, Ren. Aku bahkan nggak yakin dia bakal sadar kalau aku pulang sama kamu."Rendy menatap sendu dan berucap berhati-hati, "Tapi kamu baik-baik aja, kan? Maksudku, di rumah ..."Rania menunduk, tangannya meremas tas di pangkuannya. "Baik? Aku nggak tahu, Ren. Semua ini terasa kosong."Rendy menggenggam setir lebih erat, ragu-ragu sebelum berbicara lagi. "Kamu masih punya aku kalau butuh
Pagi itu terasa berbeda bagi Rania. Yoga, yang biasanya sudah lebih dulu meninggalkan rumah, hari ini sarapan bersamanya di meja makan. Suasana hening, keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing. Rania merasa canggung, namun tetap fokus menikmati sarapannya. Yoga tampak tenang, tanpa kata, hanya sesekali memeriksa ponselnya.Tiba-tiba, suasana tenang itu pecah oleh suara video call dari Kakek Yoga. Yoga menatap layar sejenak sebelum mengangkat panggilan itu. Wajah Kakek muncul di layar, tersenyum lebar. "Selamat pagi, Yoga, Rania!" sapanya hangat, "Bagaimana kabar kalian? Rumah barunya nyaman, kan?"Rania berusaha tersenyum, meski hatinya merasa sedikit kaku, sementara Yoga menjawab dengan nada datar, "Baik, Kek. Rumahnya nyaman, terima kasih."Pagi itu, Kakek muncul di layar ponsel Yoga dengan senyuman hangat, wajahnya terlihat bersemangat meski sudah lanjut usia. Rania yang sedang menyuap sarapannya, melirik sekilas ke layar ponsel Yoga, merasa sedikit canggung."Selamat pagi, Yog
Di Pagi itu terasa berbeda bagi Rania. Yoga, Pagi itu terasa berbeda bagi Rania. Yoga, yang biasanya sudah lebih dulu meninggalkan rumah, hari ini sarapan bersamanya di meja makan. Suasana hening, keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing. Rania merasa canggung, namun tetap fokus menikmati sarapannya. Yoga tampak tenang, tanpa kata, hanya sesekali memeriksa ponselnya.Tiba-tiba, suasana tenang itu pecah oleh suara video call dari Kakek Yoga. Yoga menatap layar sejenak sebelum mengangkat panggilan itu. Wajah Kakek muncul di layar, tersenyum lebar. "Selamat pagi, Yoga, Rania!" sapanya hangat, "Bagaimana kabar kalian? Rumah barunya nyaman, kan?"Rania berusaha tersenyum, meski hatinya merasa sedikit kaku, sementara Yoga menjawab dengan nada datar, "Baik, Kek. Rumahnya nyaman, terima kasih."Pagi itu, Kakek muncul di layar ponsel Yoga dengan senyuman hangat, wajahnya terlihat bersemangat meski sudah lanjut usia. Rania yang sedang menyuap sarapannya, melirik sekilas ke layar ponsel Yoga
Di tengah pesta kapal yang meriah, Rania berusaha tetap tersenyum meski hatinya dipenuhi kemelut yang tak tertahankan. Matanya sesekali melirik ke arah Yoga yang tampak asyik berbicara dengan seorang wanita cantik di sudut ruangan, senyumnya begitu lebar, sesuatu yang jarang ia lihat ketika bersama dirinya. Perasaan sakit mulai menyeruak, dan Rania hanya bisa menahan air matanya agar tidak jatuh di depan semua orang.Namun, di tengah kesedihannya, tiba-tiba seseorang tak sengaja menumpahkan minuman ke gaunnya. Gelas anggur merah tumpah membasahi kain lembut yang ia kenakan dengan susah payah. "Astaga! Maafkan saya, saya benar-benar tidak sengaja!" suara seorang pria terdengar jelas, diikuti oleh gerakan cepatnya mengambil serbet untuk membersihkan noda di gaun Rania.Rania menatap pria itu, hendak mengatakan sesuatu, tapi suaranya tertahan. Ia mengenal suara itu. Tubuhnya menegang seketika. Saat pria itu menoleh dan wajah mereka bertemu, Rania langsung terdiam, terkejut."Rendy?" ucap