Kata-kata Yoga sungguh sulit di cerna, Rania tidak memungkiri bahwa sosok Yoga adalah laki-laki yang tampan dan berkharisma, dia juga dilahirkan dari keluarga berada sehingga membuatnya semakin dielu-elukan perempuan gila harta diluar sana.
Keduanya akhirnya mengikuti serentetan acara hingga selesai, sebelum pulang Kakek Yoga menyerahkan sebuah kunci rumah baru sebagai kado ulang tahun mereka berdua Kakek, Rania, dan Yoga masih berada di tempat resepsi, para tamu sudah banyak yang pamitan pulang dan menyisakan keluarga inti saja saat pemberian hadiah pernikahan. Suasana malam itu terasa begitu hangat. Angin lembut berhembus dari jendela yang terbuka, membawa aroma harum bunga yang bertebaran di tempat resepsi. Rania dan Yoga duduk berdampingan di sofa, masih mengenakan baju pengantin seusai resepsi. Kakek berdiri dengan tongkatnya, senyumnya lembut tapi penuh arti. Mata tuanya menatap mereka dengan kasih sayang, seolah ingin memastikan bahwa pesan yang akan disampaikan bisa dipahami sepenuhnya. Kakek kemudian mengeluarkan sebuah kotak kecil berwarna cokelat dari sakunya. Suara kecil "klik" terdengar saat Kakek membuka kotak tersebut, menampilkan sebuah kunci rumah berkilau di dalamnya. "Rania, Yoga... ada yang ingin Kakek berikan kepada kalian berdua." Rania menoleh ke arah Yoga, matanya sedikit bingung tapi penuh rasa penasaran. Yoga menggenggam tangan Rania, memberi isyarat tenang dengan senyuman tipisnya. Kakek menyerahkan kotak kecil itu kepada mereka, tangannya sedikit gemetar, tapipenuh keikhlasan. "Kakek... ini untuk kami?" Kakek mengangguk perlahan. "Iya, untuk kalian. Ini kunci rumah baru. Rumah ini bukan hanya hadiah, tapi juga simbol... simbol harapan Kakek untuk kalian berdua. Kalian baru saja memulai perjalanan sebagai suami istri. Di rumah itu, Kakek berharap kalian bisa saling melengkapi, saling menjaga, dan selalu ada untuk satu sama lain. Hidup tidak selalu mudah, tapi ingatlah, di setiap sudut rumah itu... ada doa dan harapan dari Kakek." Rania menatap kunci tersebut, matanya mulai berkaca-kaca. Ia menyadari betapa besar arti pemberian ini, bukan hanya sebagai properti fisik, tetapi lebih dari itu, sebuah harapan dan doa yang tulus dari sang kakek. "Kakek, kami tidak tahu harus berkata apa... ini lebih dari yang pernah kami bayangkan. Terima kasih banyak." Yoga, yang biasanya tenang, juga tak bisa menyembunyikan rasa terima kasihnya. Ia menunduk hormat, suaranya terdengar rendah dan tegas. "Kakek, kami akan menjaga rumah itu... dan kami akan menjaga satu sama lain, seperti harapan Kakek. Terima kasih untuk segalanya." sahut Yoga. Kakek tersenyum, wajahnya penuh kebanggaan dan kebahagiaan. "Kakek tahu kalian bisa. Kalian adalah pasangan yang baik, dan Kakek yakin kalian akan membuat rumah itu penuh dengan cinta dan kebahagiaan." Mereka bertiga saling tersenyum. Di tengah suasana hangat itu, Rania dan Yoga tahu bahwa mereka tidak hanya membawa pulang kunci rumah, tetapi juga amanah yang besar dari kakek mereka yang sangat mereka cintai. Kakek menatap keduanya dengan lembut, lalu berkata, "Yoga, Rania, pernikahan adalah perjalanan panjang yang penuh dengan kebahagiaan dan juga tantangan. Kalian harus saling menjaga dan saling melengkapi satu sama lain." Yoga mengangguk dengan penuh hormat, sementara Rania tersenyum malu-malu di samping suaminya. Kakek melanjutkan, "Rumah baru kalian sudah siap. ART sudah ada, dan semua kebutuhan telah disiapkan. Kakek ingin kalian langsung pergi ke sana setelah resepsi ini. Mulailah kehidupan baru kalian dengan tenang dan penuh syukur." Yoga dan Rania menatap Kakek dengan penuh rasa terima kasih. Rania menjawab dengan suara lembut, "Terima kasih, Kek, atas semuanya." Kakek tersenyum hangat, "Jaga baik-baik rumah kalian, dan ingat, saling memahami itu kunci. Jangan pernah lupakan itu." Dengan pesan penuh makna, Kakek memberikan pelukan kepada mereka berdua sebelum akhirnya melepaskan mereka untuk memulai babak baru dalam kehidupan mereka. Setelah meninggalkan beberapa pesan, Kakek langsung pamit pergi lebih dulu disusul oleh asistennya. Sementara itu Yoga juga memanggil asistennya untuk menyiapkan mobil. "Mas, aku pamit sama Mama dulu, ya!" ucap Rania dan Yoga pun mengikutinya. Rania berdiri di depan Mamanya, menatap wajah Mamanya dengan perasaan campur aduk. Perlahan, ia mendekat dan memeluk erat Mamanya. Air mata yang sejak tadi ia tahan akhirnya mengalir, meski ia berusaha tetap tegar. "Mama ... Rania harus pergi," ucapnya dengan suara yang sedikit bergetar. Mamanya membalas pelukan itu dengan lembut, berbisik, "Kamu anak yang kuat, Nak. Mama yakin kamu bisa melalui semuanya. Mama selalu di sini untukmu." Rania menarik napas dalam-dalam, mencoba menahan tangis lebih keras lagi. "Aku akan baik-baik saja, Ma. Terima kasih untuk semuanya." Dengan berat hati, Rania melepaskan pelukan itu, menatap Mamanya sekali lagi sebelum berbalik menuju Yoga, yang menunggunya. Mereka pamit, dan langkah demi langkah, Rania berjalan meninggalkan rumah yang selama ini ia tinggali, mengikuti suaminya menuju kehidupan baru. Mamanya hanya bisa tersenyum tipis, meski hatinya terasa perih melihat putrinya yang kini telah menjadi istri orang lain. Rania melangkah dengan hati yang masih berat, mengikuti suaminya menuju kehidupan barunya. Ia tak menyadari bahwa di balik kebahagiaan hari itu, ada tantangan yang menunggu di depan. Senyum manis yang ia kenakan saat ini akan segera diuji oleh berbagai prahara dalam rumah tangganya, sesuatu yang belum ia bayangkan saat ini. Namun, seperti hari ini, Rania akan berusaha tegar menghadapi semuanya. "Semoga aku bisa menjalani ini semua dengan ikhlas,"Rania memang menikmati fasilitas rumah barunya, tapi tetap merasakan kekosongan tanpa perhatian dari suaminya, walaupun sudah menikah, Yoga tidak membatasi aktivitasnya, ia masih diijinkan bekerja di luar rumah, seperti biasanya,Yoga selalu berangkat lebih dulu setiap pagi, meninggalkan Rania dalam kesendiriannya.Pagi itu, Rania sedang bersiap-siap di depan cermin kamarnya ketika Yoga melewatinya dengan cepat, mengenakan setelan kerja yang rapi.Yoga, dengan nada terburu-buru, berkata, "Aku duluan ya. Ada meeting penting pagi ini."Rania yang masih duduk di meja rias, mencoba tersenyum tipis. "Iya, hati-hati di jalan," balasnya lembut, berharap setidaknya Yoga menoleh atau menunda sebentar kepergiannya.Namun, Yoga hanya meraih tas kerjanya dan berkata singkat, "Iya, kamu juga jangan telat."Pintu rumah pun tertutup dengan suara yang terdengar pelan tapi jelas di telinga Rania. Ia menarik napas panjang, menatap bayangannya di cermin, dan bergumam lirih, "Seandainya kamu lebih memper
Rania dibaringkan perlahan di ranjang oleh laki-laki itu, sosok yang hampir menabraknya beberapa saat yang lalu. Wajahnya tampak pucat, membuat laki-laki tersebut semakin cemas. Ia merasa bertanggung jawab atas keadaan Rania. Tanpa membuang waktu, laki-laki itu segera mengambil ponselnya dan menghubungi seseorang."Bisa cepat datang ke sini? Ada yang perlu kamu cek ... dia tampaknya butuh bantuan medis. Aku hampir menabraknya tadi, dan sekarang dia terlihat lemah," suaranya terdengar tegang saat berbicara.Laki-laki itu menunggu di sisi ranjang Rania, berharap sahabat yang dihubunginya segera datang untuk memastikan keadaan Rania. Waktu terasa berjalan lambat, dan ia terus memantau keadaan Rania yang semakin membuatnya khawatir.Beberapa menit kemudian, dokter yang dihubungi akhirnya tiba. Dengan langkah cepat dan tenang, beliau menghampiri Rania yang masih terbaring lemah di ranjang. Laki-laki itu berdiri di sudut ruangan, gelisah menunggu perkembangan.Dokter segera memeriksa kondis
Setelah dipaksa, Rania akhirnya menyerah dan mulai menyendok bubur ayamnya. Di sela-sela suapannya, Rendy menatapnya penuh perhatian lalu bertanya, "Gimana kabarmu selama ini, Ran? Apa aja yang kamu lakuin belakangan?"Rania menahan napas sejenak, mencoba menata kata-katanya. "Ya... begitulah. Sibuk kerja, pulang-pergi kantor. Nggak banyak yang berubah, Ren. Kegiatan sehari-hari masih sama."Rendy mengangguk pelan, seolah memahami. "Kerja di tempat yang sama ya? Apa masih sesibuk dulu?" tanyanya lagi, berusaha mencairkan suasana.Rania hanya tersenyum tipis, mengaduk buburnya tanpa berkata apa-apa. Pertanyaan sederhana itu terasa berat untuk dijawabnya, seolah memantik banyak kenangan yang selama ini ia coba hindari.Rendy menatap Rania sejenak sebelum melanjutkan pertanyaannya dengan nada hati-hati. "Ran, tadi malam kamu kayak ... nggak seperti biasanya. Ada apa? Kamu kelihatan nggak terkontrol. Ada masalah di keluarga?"Rania mendadak berhenti mengaduk buburnya, tangannya gemetar se
Siang harinya, Rendy mengantarkan Rania pulang, di dalam mobil, suasana sedikit canggung di antara Rania dan Rendy. Setelah beberapa saat hening, Rendy mencoba membuka percakapan."Kamu yakin nggak apa-apa aku nganter kamu, Ran? Takutnya malah bikin masalah nanti."Rania menoleh, tersenyum tipis. "Nggak apa-apa, Ren. Toh, Yoga juga nggak pernah terlalu peduli soal siapa yang nganter aku."Rendy menatap Rania sekilas, "Aku cuma nggak mau bikin situasi jadi ribet. Kamu udah bersuami, aku ngerti posisinya."Rania tertawa kecil, tapi ada nada getir di suaranya. "Yoga terlalu sibuk untuk tahu apa yang terjadi, Ren. Aku bahkan nggak yakin dia bakal sadar kalau aku pulang sama kamu."Rendy menatap sendu dan berucap berhati-hati, "Tapi kamu baik-baik aja, kan? Maksudku, di rumah ..."Rania menunduk, tangannya meremas tas di pangkuannya. "Baik? Aku nggak tahu, Ren. Semua ini terasa kosong."Rendy menggenggam setir lebih erat, ragu-ragu sebelum berbicara lagi. "Kamu masih punya aku kalau butuh
Pagi itu terasa berbeda bagi Rania. Yoga, yang biasanya sudah lebih dulu meninggalkan rumah, hari ini sarapan bersamanya di meja makan. Suasana hening, keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing. Rania merasa canggung, namun tetap fokus menikmati sarapannya. Yoga tampak tenang, tanpa kata, hanya sesekali memeriksa ponselnya.Tiba-tiba, suasana tenang itu pecah oleh suara video call dari Kakek Yoga. Yoga menatap layar sejenak sebelum mengangkat panggilan itu. Wajah Kakek muncul di layar, tersenyum lebar. "Selamat pagi, Yoga, Rania!" sapanya hangat, "Bagaimana kabar kalian? Rumah barunya nyaman, kan?"Rania berusaha tersenyum, meski hatinya merasa sedikit kaku, sementara Yoga menjawab dengan nada datar, "Baik, Kek. Rumahnya nyaman, terima kasih."Pagi itu, Kakek muncul di layar ponsel Yoga dengan senyuman hangat, wajahnya terlihat bersemangat meski sudah lanjut usia. Rania yang sedang menyuap sarapannya, melirik sekilas ke layar ponsel Yoga, merasa sedikit canggung."Selamat pagi, Yog
Di Pagi itu terasa berbeda bagi Rania. Yoga, Pagi itu terasa berbeda bagi Rania. Yoga, yang biasanya sudah lebih dulu meninggalkan rumah, hari ini sarapan bersamanya di meja makan. Suasana hening, keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing. Rania merasa canggung, namun tetap fokus menikmati sarapannya. Yoga tampak tenang, tanpa kata, hanya sesekali memeriksa ponselnya.Tiba-tiba, suasana tenang itu pecah oleh suara video call dari Kakek Yoga. Yoga menatap layar sejenak sebelum mengangkat panggilan itu. Wajah Kakek muncul di layar, tersenyum lebar. "Selamat pagi, Yoga, Rania!" sapanya hangat, "Bagaimana kabar kalian? Rumah barunya nyaman, kan?"Rania berusaha tersenyum, meski hatinya merasa sedikit kaku, sementara Yoga menjawab dengan nada datar, "Baik, Kek. Rumahnya nyaman, terima kasih."Pagi itu, Kakek muncul di layar ponsel Yoga dengan senyuman hangat, wajahnya terlihat bersemangat meski sudah lanjut usia. Rania yang sedang menyuap sarapannya, melirik sekilas ke layar ponsel Yoga
Di tengah pesta kapal yang meriah, Rania berusaha tetap tersenyum meski hatinya dipenuhi kemelut yang tak tertahankan. Matanya sesekali melirik ke arah Yoga yang tampak asyik berbicara dengan seorang wanita cantik di sudut ruangan, senyumnya begitu lebar, sesuatu yang jarang ia lihat ketika bersama dirinya. Perasaan sakit mulai menyeruak, dan Rania hanya bisa menahan air matanya agar tidak jatuh di depan semua orang.Namun, di tengah kesedihannya, tiba-tiba seseorang tak sengaja menumpahkan minuman ke gaunnya. Gelas anggur merah tumpah membasahi kain lembut yang ia kenakan dengan susah payah. "Astaga! Maafkan saya, saya benar-benar tidak sengaja!" suara seorang pria terdengar jelas, diikuti oleh gerakan cepatnya mengambil serbet untuk membersihkan noda di gaun Rania.Rania menatap pria itu, hendak mengatakan sesuatu, tapi suaranya tertahan. Ia mengenal suara itu. Tubuhnya menegang seketika. Saat pria itu menoleh dan wajah mereka bertemu, Rania langsung terdiam, terkejut."Rendy?" ucap
Siang harinya, Rendy mengantarkan Rania pulang, di dalam mobil, suasana sedikit canggung di antara Rania dan Rendy. Setelah beberapa saat hening, Rendy mencoba membuka percakapan."Kamu yakin nggak apa-apa aku nganter kamu, Ran? Takutnya malah bikin masalah nanti."Rania menoleh, tersenyum tipis. "Nggak apa-apa, Ren. Toh, Yoga juga nggak pernah terlalu peduli soal siapa yang nganter aku."Rendy menatap Rania sekilas, "Aku cuma nggak mau bikin situasi jadi ribet. Kamu udah bersuami, aku ngerti posisinya."Rania tertawa kecil, tapi ada nada getir di suaranya. "Yoga terlalu sibuk untuk tahu apa yang terjadi, Ren. Aku bahkan nggak yakin dia bakal sadar kalau aku pulang sama kamu."Rendy menatap sendu dan berucap berhati-hati, "Tapi kamu baik-baik aja, kan? Maksudku, di rumah ..."Rania menunduk, tangannya meremas tas di pangkuannya. "Baik? Aku nggak tahu, Ren. Semua ini terasa kosong."Rendy menggenggam setir lebih erat, ragu-ragu sebelum berbicara lagi. "Kamu masih punya aku kalau butuh