Rania memang menikmati fasilitas rumah barunya, tapi tetap merasakan kekosongan tanpa perhatian dari suaminya, walaupun sudah menikah, Yoga tidak membatasi aktivitasnya, ia masih diijinkan bekerja di luar rumah, seperti biasanya,Yoga selalu berangkat lebih dulu setiap pagi, meninggalkan Rania dalam kesendiriannya.
Pagi itu, Rania sedang bersiap-siap di depan cermin kamarnya ketika Yoga melewatinya dengan cepat, mengenakan setelan kerja yang rapi. Yoga, dengan nada terburu-buru, berkata, "Aku duluan ya. Ada meeting penting pagi ini." Rania yang masih duduk di meja rias, mencoba tersenyum tipis. "Iya, hati-hati di jalan," balasnya lembut, berharap setidaknya Yoga menoleh atau menunda sebentar kepergiannya. Namun, Yoga hanya meraih tas kerjanya dan berkata singkat, "Iya, kamu juga jangan telat." Pintu rumah pun tertutup dengan suara yang terdengar pelan tapi jelas di telinga Rania. Ia menarik napas panjang, menatap bayangannya di cermin, dan bergumam lirih, "Seandainya kamu lebih memperhatikanku, Mas Yoga ..." Beberapa hari setelah pernikahan mereka lalui, Rania mulai merasakan kejanggalan yang semakin nyata. Yoga tampak dingin dan menjaga jarak, seolah Rania hanyalah orang asing di rumah itu. Meskipun ia dilayani dengan baik, perhatian suaminya tak pernah sepenuhnya ada. Rania sering makan sendirian, sementara Yoga selalu pulang terlambat dengan alasan pekerjaan. Suatu sore, ketika Rania sedang berjalan-jalan di mal untuk menghilangkan kesepian, matanya menangkap pemandangan yang membuat jantungnya berhenti sejenak. Di sudut kafe yang cukup ramai, ia melihat Yoga bersama seorang wanita cantik, tampak tertawa akrab. Hatinya terasa teriris. Rania mencoba meyakinkan dirinya bahwa itu hanya rekan kerja, tapi pemandangan serupa terulang beberapa kali. Kali ini di tempat lain, Yoga bahkan terlihat lebih intim dengan wanita itu dengan memegang tangannya di sebuah restoran. Malam itu, Rania menunggu Yoga pulang dengan perasaan hancur. Ketika suaminya akhirnya pulang, Rania mencoba menahan tangis saat bertanya dengan suara bergetar, "Kamu masih mencintainya, Mas?" Yoga yang sedang melepas dasi hanya menatap Rania sebentar, lalu menjawab datar, "Ini tidak seperti yang kamu pikirkan, Rania." Tapi jawaban itu hanya menambah luka di hati Rania. "Lalu apa? Kita baru menikah, tapi kamu bahkan tidak pernah menganggapku sebagai istrimu ..." Suaranya serak menahan sakit yang selama ini dipendam. Namun Yoga hanya diam, tak memberi jawaban yang Rania harapkan. Seperti itu terus hingga suatu malam, setelah melihat gelagat Yoga yang mencurigakan, Rania memutuskan untuk mencari tahu sendiri kebenarannya. Dengan perasaan yang bercampur aduk antara marah, sedih, dan takut, ia mengikuti mobil Yoga dari kejauhan. Perjalanan mereka berakhir di sebuah apartemen mewah di pusat kota, salah satu apartemen ternama yang sering menjadi tempat tinggal para selebriti dan orang terkenal. Tanpa ragu, Rania memarkir mobilnya di sudut yang tidak terlihat dan terus membuntuti Yoga yang dengan santai berjalan masuk ke dalam gedung. Tangannya gemetar saat menunggu di lobi, menyaksikan suaminya memasuki lift dengan tujuan yang jelas. Dengan keberanian yang tersisa, Rania menekan tombol lift yang sama dan mengikutinya dari jauh. Saat pintu lift terbuka di lantai yang dituju, Rania terus membayangi langkah Yoga, sampai akhirnya suaminya berhenti di depan sebuah pintu apartemen. Di detik itu juga, pintu terbuka dan seorang wanita cantik keluar menyambut Yoga dengan senyum hangat. Rania mengenali wanita itu, ia adalah seorang model terkenal yang sering muncul di iklan-iklan dan majalah. Rania menahan napas saat melihat suaminya memeluk erat wanita itu, lalu masuk ke dalam apartemen tanpa sedikit pun keraguan. Dunia Rania terasa runtuh seketika. Hatinya terasa seperti ditusuk ribuan pisau, tak ada yang bisa menyiapkan dirinya untuk melihat kenyataan pahit ini. Matanya berkaca-kaca, tapi air matanya tertahan, tak percaya bahwa inilah kenyataan hidup yang harus dihadapinya. Setelah beberapa menit terdiam di koridor, Rania membalikkan badan dan berjalan pergi dengan langkah berat, hatinya hancur berkeping-keping. Rania berjalan tanpa arah di tengah kegelapan malam, ditemani hujan badai yang turun dengan deras. Hujan membasahi seluruh tubuhnya, tapi ia tak peduli. Perasaannya hancur, hatinya teriris, dan pikirannya kacau. Air mata bercampur dengan air hujan yang turun dari langit, tapi itu tidak mengurangi rasa sakit yang menyesakkan dadanya. Dengan langkah terseok-seok, ia berteriak histeris di jalanan sepi, meluapkan segala keluhan, kemarahan, dan kesedihannya. "Kenapa harus aku! Apa salahku!" suaranya tenggelam dalam deru angin dan hujan. Dalam keputusasaan itu, Rania tak lagi peduli pada sekitarnya. Tubuhnya semakin lemah, terhuyung-huyung di tengah jalan. Tanpa ia sadari, sebuah mobil hitam melaju kencang di jalan yang sama. "Astaga!" teriak sang pengemudi saat melihat sosok Rania yang tiba-tiba muncul di depannya. Pengemudi itu menginjak rem dengan keras, membuat mobil berdecit berhenti hanya beberapa sentimeter dari tubuh Rania. Namun, sebelum pengemudi itu bisa keluar dan menolongnya, Rania sudah terjatuh ke aspal yang basah. Tubuhnya lemas dan tak berdaya, akhirnya pingsan di bawah hujan deras. Sang pengemudi dengan panik keluar dari mobil dan segera berlari ke arah Rania, menepiskan air hujan yang membasahi wajahnya. "Hei, apa kau baik-baik saja?!" serunya dengan cemas, mengguncang lembut bahu Rania, tapi tak ada respons. "Rania!" pekik pengemudi itu saat mengenali sosok yang hampir ditabraknya. Dengan sigap, pengemudi itu segera mengangkat tubuh Rania ke dalam mobilnya, berusaha melindungi wanita yang tak sadarkan diri itu dari badai hujan yang tak kunjung reda. Pengemudi yang hampir menabrak Rania itu merasa cemas melihat keadaannya yang semakin lemah, ditambah hujan yang terus turun deras membuat Rania basah kuyup. Ia memutuskan untuk membawa Rania ke apartemennya, karena malam semakin larut dan tidak ada tempat terdekat untuk berlindung. Di perjalanan, ia terus memperhatikan Rania, memastikan kondisinya tidak memburuk. Sesampainya di apartemen, pria itu segera menelpon seorang dokter untuk memeriksa keadaan Rania, berharap agar semuanya akan baik-baik saja. Di dalam mobil yang melaju di bawah hujan deras, pria itu berkali-kali melirik Rania yang terkulai lemah di sampingnya. Perasaan bersalah menghantam dadanya lebih keras daripada suara hujan yang memukul kaca. Ia tidak pernah membayangkan pertemuan ini terjadi dalam situasi yang kacau seperti ini, Rania, wanita yang pernah menghuni sudut hatinya, sekarang terbaring tak berdaya di sampingnya, dan dialah penyebabnya. "Pasti kamu membenciku sekarang, ya?" gumamnya pelan, lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada Rania yang tertidur lemah. Wajahnya tampak jauh lebih pucat dari yang diingatnya. Mungkin karena terpaan hujan atau mungkin juga karena keletihan hidup yang tak ia ketahui lagi. Dulu, Rania adalah segala-galanya. Cahaya yang pernah menerangi hari-harinya, sebelum segalanya runtuh karena kesalahannya sendiri. Ketika ia memutuskan untuk pergi, meninggalkan Rania tanpa penjelasan, ia berjanji pada dirinya sendiri bahwa itu demi kebaikan mereka berdua. Tapi melihatnya sekarang, basah kuyup, terluka, dan rentan, ia tidak yakin lagi dengan pilihan yang dulu ia anggap benar. "Kamu baik-baik saja, Ra?" katanya dengan suara bergetar, meski tahu Rania tidak akan menjawab. Sesampainya di apartemen, ia mengangkat tubuh Rania dengan hati-hati, merasakan beratnya bukan hanya di pundaknya tetapi juga di hatinya. Dulu, ia berjanji akan melindungi wanita ini, tapi kenyataannya malah ia yang paling sering menyakiti. "Maaf," bisiknya pelan saat ia membawa Rania masuk ke dalam apartemennya. Air matanya hampir ikut turun bersama hujan. Bagaimana jika ia tidak pernah meninggalkannya? Bagaimana jika ia tidak membuat keputusan bodoh itu di masa lalu? Kini, kesempatan untuk memperbaiki segalanya seakan datang lagi, tapi apakah Rania mau memberinya kesempatan kedua?Rania dibaringkan perlahan di ranjang oleh laki-laki itu, sosok yang hampir menabraknya beberapa saat yang lalu. Wajahnya tampak pucat, membuat laki-laki tersebut semakin cemas. Ia merasa bertanggung jawab atas keadaan Rania. Tanpa membuang waktu, laki-laki itu segera mengambil ponselnya dan menghubungi seseorang."Bisa cepat datang ke sini? Ada yang perlu kamu cek ... dia tampaknya butuh bantuan medis. Aku hampir menabraknya tadi, dan sekarang dia terlihat lemah," suaranya terdengar tegang saat berbicara.Laki-laki itu menunggu di sisi ranjang Rania, berharap sahabat yang dihubunginya segera datang untuk memastikan keadaan Rania. Waktu terasa berjalan lambat, dan ia terus memantau keadaan Rania yang semakin membuatnya khawatir.Beberapa menit kemudian, dokter yang dihubungi akhirnya tiba. Dengan langkah cepat dan tenang, beliau menghampiri Rania yang masih terbaring lemah di ranjang. Laki-laki itu berdiri di sudut ruangan, gelisah menunggu perkembangan.Dokter segera memeriksa kondis
Setelah dipaksa, Rania akhirnya menyerah dan mulai menyendok bubur ayamnya. Di sela-sela suapannya, Rendy menatapnya penuh perhatian lalu bertanya, "Gimana kabarmu selama ini, Ran? Apa aja yang kamu lakuin belakangan?"Rania menahan napas sejenak, mencoba menata kata-katanya. "Ya... begitulah. Sibuk kerja, pulang-pergi kantor. Nggak banyak yang berubah, Ren. Kegiatan sehari-hari masih sama."Rendy mengangguk pelan, seolah memahami. "Kerja di tempat yang sama ya? Apa masih sesibuk dulu?" tanyanya lagi, berusaha mencairkan suasana.Rania hanya tersenyum tipis, mengaduk buburnya tanpa berkata apa-apa. Pertanyaan sederhana itu terasa berat untuk dijawabnya, seolah memantik banyak kenangan yang selama ini ia coba hindari.Rendy menatap Rania sejenak sebelum melanjutkan pertanyaannya dengan nada hati-hati. "Ran, tadi malam kamu kayak ... nggak seperti biasanya. Ada apa? Kamu kelihatan nggak terkontrol. Ada masalah di keluarga?"Rania mendadak berhenti mengaduk buburnya, tangannya gemetar se
Siang harinya, Rendy mengantarkan Rania pulang, di dalam mobil, suasana sedikit canggung di antara Rania dan Rendy. Setelah beberapa saat hening, Rendy mencoba membuka percakapan."Kamu yakin nggak apa-apa aku nganter kamu, Ran? Takutnya malah bikin masalah nanti."Rania menoleh, tersenyum tipis. "Nggak apa-apa, Ren. Toh, Yoga juga nggak pernah terlalu peduli soal siapa yang nganter aku."Rendy menatap Rania sekilas, "Aku cuma nggak mau bikin situasi jadi ribet. Kamu udah bersuami, aku ngerti posisinya."Rania tertawa kecil, tapi ada nada getir di suaranya. "Yoga terlalu sibuk untuk tahu apa yang terjadi, Ren. Aku bahkan nggak yakin dia bakal sadar kalau aku pulang sama kamu."Rendy menatap sendu dan berucap berhati-hati, "Tapi kamu baik-baik aja, kan? Maksudku, di rumah ..."Rania menunduk, tangannya meremas tas di pangkuannya. "Baik? Aku nggak tahu, Ren. Semua ini terasa kosong."Rendy menggenggam setir lebih erat, ragu-ragu sebelum berbicara lagi. "Kamu masih punya aku kalau butuh
Pagi itu terasa berbeda bagi Rania. Yoga, yang biasanya sudah lebih dulu meninggalkan rumah, hari ini sarapan bersamanya di meja makan. Suasana hening, keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing. Rania merasa canggung, namun tetap fokus menikmati sarapannya. Yoga tampak tenang, tanpa kata, hanya sesekali memeriksa ponselnya.Tiba-tiba, suasana tenang itu pecah oleh suara video call dari Kakek Yoga. Yoga menatap layar sejenak sebelum mengangkat panggilan itu. Wajah Kakek muncul di layar, tersenyum lebar. "Selamat pagi, Yoga, Rania!" sapanya hangat, "Bagaimana kabar kalian? Rumah barunya nyaman, kan?"Rania berusaha tersenyum, meski hatinya merasa sedikit kaku, sementara Yoga menjawab dengan nada datar, "Baik, Kek. Rumahnya nyaman, terima kasih."Pagi itu, Kakek muncul di layar ponsel Yoga dengan senyuman hangat, wajahnya terlihat bersemangat meski sudah lanjut usia. Rania yang sedang menyuap sarapannya, melirik sekilas ke layar ponsel Yoga, merasa sedikit canggung."Selamat pagi, Yog
Di Pagi itu terasa berbeda bagi Rania. Yoga, Pagi itu terasa berbeda bagi Rania. Yoga, yang biasanya sudah lebih dulu meninggalkan rumah, hari ini sarapan bersamanya di meja makan. Suasana hening, keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing. Rania merasa canggung, namun tetap fokus menikmati sarapannya. Yoga tampak tenang, tanpa kata, hanya sesekali memeriksa ponselnya.Tiba-tiba, suasana tenang itu pecah oleh suara video call dari Kakek Yoga. Yoga menatap layar sejenak sebelum mengangkat panggilan itu. Wajah Kakek muncul di layar, tersenyum lebar. "Selamat pagi, Yoga, Rania!" sapanya hangat, "Bagaimana kabar kalian? Rumah barunya nyaman, kan?"Rania berusaha tersenyum, meski hatinya merasa sedikit kaku, sementara Yoga menjawab dengan nada datar, "Baik, Kek. Rumahnya nyaman, terima kasih."Pagi itu, Kakek muncul di layar ponsel Yoga dengan senyuman hangat, wajahnya terlihat bersemangat meski sudah lanjut usia. Rania yang sedang menyuap sarapannya, melirik sekilas ke layar ponsel Yoga
Di tengah pesta kapal yang meriah, Rania berusaha tetap tersenyum meski hatinya dipenuhi kemelut yang tak tertahankan. Matanya sesekali melirik ke arah Yoga yang tampak asyik berbicara dengan seorang wanita cantik di sudut ruangan, senyumnya begitu lebar, sesuatu yang jarang ia lihat ketika bersama dirinya. Perasaan sakit mulai menyeruak, dan Rania hanya bisa menahan air matanya agar tidak jatuh di depan semua orang.Namun, di tengah kesedihannya, tiba-tiba seseorang tak sengaja menumpahkan minuman ke gaunnya. Gelas anggur merah tumpah membasahi kain lembut yang ia kenakan dengan susah payah. "Astaga! Maafkan saya, saya benar-benar tidak sengaja!" suara seorang pria terdengar jelas, diikuti oleh gerakan cepatnya mengambil serbet untuk membersihkan noda di gaun Rania.Rania menatap pria itu, hendak mengatakan sesuatu, tapi suaranya tertahan. Ia mengenal suara itu. Tubuhnya menegang seketika. Saat pria itu menoleh dan wajah mereka bertemu, Rania langsung terdiam, terkejut."Rendy?" ucap
Siang harinya, Rendy mengantarkan Rania pulang, di dalam mobil, suasana sedikit canggung di antara Rania dan Rendy. Setelah beberapa saat hening, Rendy mencoba membuka percakapan."Kamu yakin nggak apa-apa aku nganter kamu, Ran? Takutnya malah bikin masalah nanti."Rania menoleh, tersenyum tipis. "Nggak apa-apa, Ren. Toh, Yoga juga nggak pernah terlalu peduli soal siapa yang nganter aku."Rendy menatap Rania sekilas, "Aku cuma nggak mau bikin situasi jadi ribet. Kamu udah bersuami, aku ngerti posisinya."Rania tertawa kecil, tapi ada nada getir di suaranya. "Yoga terlalu sibuk untuk tahu apa yang terjadi, Ren. Aku bahkan nggak yakin dia bakal sadar kalau aku pulang sama kamu."Rendy menatap sendu dan berucap berhati-hati, "Tapi kamu baik-baik aja, kan? Maksudku, di rumah ..."Rania menunduk, tangannya meremas tas di pangkuannya. "Baik? Aku nggak tahu, Ren. Semua ini terasa kosong."Rendy menggenggam setir lebih erat, ragu-ragu sebelum berbicara lagi. "Kamu masih punya aku kalau butuh
Setelah momen dansa selesai, para tamu mulai menuju meja hidangan yang telah tertata rapi. Namun, Yoga tidak bisa menahan amarahnya lagi. Di sudut ruangan, wajahnya memerah, tangan menggenggam erat, dan matanya tak pernah lepas memandangi Rania yang tampak tersenyum canggung saat berdansa dengan pria lain tadi. Rasa cemburu dan geram berkecamuk dalam dirinya.Dengan langkah cepat dan tegas, Yoga mendekati Rania yang tengah berbicara dengan seorang tamu. Tanpa banyak bicara, ia menggenggam lengan Rania dengan kuat, menariknya menjauh dari kerumunan. Rania terkejut dan berusaha melepaskan diri, tapi kekuatan genggaman Yoga membuatnya tak bisa berbuat apa-apa.Setelah berada di tempat yang lebih sepi, Yoga menatap Rania dengan penuh emosi. "Berani-beraninya kamu berdansa dengan pria lain di depanku," ucapnya dengan nada dingin dan tajam. "Kamu pikir ini pantas?" Rania, yang awalnya ketakutan, mencoba menjelaskan. "Itu hanya dansa, tidak ada yang lebih dari itu, Mas Yoga. Kamu tahu aku t