Yoga menatap Rania, amarah yang tadi berkobar mulai mereda, digantikan oleh rasa bersalah yang perlahan merayap ke dalam hatinya. Ia mulai menyadari bahwa selama ini ia terlalu sibuk dengan dirinya sendiri, terlalu sibuk membenarkan tindakannya, tanpa menyadari betapa besar pengorbanan yang Rania lakukan untuk menjaga pernikahan mereka tetap utuh."Aku ..." Yoga memulai, tapi suaranya tertahan. Ia menghela napas panjang, menundukkan kepalanya. "Aku tidak pernah bermaksud menyakiti kamu, Rania. Aku hanya ... tidak tahu bagaimana cara menyeimbangkan semuanya. Pekerjaan, tanggung jawab, pernikahan ... semuanya terasa berat."Rania menyeka air mata yang mulai mengalir di pipinya. "Aku mengerti, Mas. Tapi bukankah kita harus menghadapinya bersama? Bukannya malah membuat jarak di antara kita?"Yoga terdiam lama, berusaha mencerna kata-kata itu. Dalam hatinya, ia tahu Rania benar. Ia terlalu banyak menuntut tanpa memberi, terlalu sibuk dengan dunianya sendiri, sehingga melupakan apa yang seh
Pagi itu, Rania merasa ada yang tidak biasa. Jam sudah menunjukkan pukul 7 pagi, tetapi Yoga masih saja terbaring di tempat tidur dengan mata terpejam. Padahal, biasanya suaminya sudah bangun, rapi, dan siap berangkat ke kantor. Karena khawatir, Rania mendekat dan menyentuh dahi Yoga. Ternyata tubuhnya terasa hangat, tanda-tanda demam."Mas, kamu sakit?" Rania bertanya dengan nada cemas, sementara Yoga hanya mengerang pelan dan memalingkan wajahnya. Rania pun segera mengambil termometer dan setelah memeriksa suhu tubuhnya, ia mendapati bahwa Yoga memang mengalami demam. Tanpa berpikir panjang, Rania segera menyiapkan kompres dingin dan obat penurun panas, berharap suaminya segera membaik. "Mas, kamu istirahat saja di rumah hari ini, ya. Aku urus semuanya," ujar Rania sambil meletakkan kompres di kening Yoga, berusaha memberikan perhatian terbaik untuk suaminya yang jarang sakit itu.Yoga hanya membuka mata setengah, merasa terlalu lemah untuk menolak perhatian dari Rania. "Nggak usah
Pagi itu, Rania sudah memutuskan untuk mengambil cuti penuh demi menjaga Yoga. Dia menghabiskan waktu menyiapkan makan siang ringan dan memeriksa suhu tubuh suaminya secara berkala. Meskipun Yoga masih terlihat lemah, keadaannya sudah sedikit membaik setelah pagi yang sulit. Rania berharap suaminya segera pulih sepenuhnya.Namun, ketika siang hari menjelang dan Rania sedang membereskan dapur, tiba-tiba terdengar ketukan keras di pintu. Rania menghentikan pekerjaannya dan berjalan menuju pintu depan. Ketika ia membuka pintu, wajahnya langsung berubah kaget melihat sosok wanita yang berdiri di hadapannya, Elena.Dengan tatapan tajam, Elena langsung bertanya, "Yoga ada di rumah?"Rania merasa kaget dan pura-pura tidak mengenal wanita di hadapannya. "Maaf, Mbak, ada keperluan apa ya?"Tanpa menunggu jawaban, Elena melangkah masuk begitu saja, seolah tidak peduli pada keberadaan Rania. "Aku harus bertemu Yoga. Di mana dia?" Elena berkata dengan nada tegas, membuat Rania semakin cemas. Tida
Beberapa hari telah berlalu sejak Yoga sembuh dari sakit, tapi suasana di rumah terasa berbeda. Meski Yoga sudah kembali beraktivitas seperti biasa, ada jarak yang semakin nyata antara dirinya dan Rania. Keduanya jarang berbicara, dan jika pun ada percakapan, hanya sekadar basa-basi tentang hal-hal sepele.Rania berusaha menahan diri dan tetap menjalankan perannya sebagai istri dengan baik. Namun, di dalam hatinya, rasa sakit dan keraguan masih membayangi. Pertemuan dengan Elena telah meninggalkan luka yang belum sembuh, dan setiap kali Rania melihat Yoga, ia teringat bahwa ada bagian dari suaminya yang masih terikat dengan wanita lain.Suatu malam, ketika mereka sedang makan malam bersama, Rania memutuskan untuk membuka pembicaraan. Ia sudah terlalu lama memendam perasaannya. "Mas Yoga," panggilnya dengan lembut, suaranya penuh ketenangan yang dipaksakan. "Kita perlu bicara."Yoga menghentikan sendoknya di tengah-tengah suapan, menatap Rania sejenak sebelum akhirnya mengangguk pelan.
Malam itu terasa begitu panjang dan penuh keheningan yang menyakitkan. Setelah percakapan penuh emosi di kamar mereka, Rania dan Yoga terpaksa mengambil keputusan yang tak terhindarkan untuk tidur terpisah malam itu. Meski mereka berada di bawah atap yang sama, tapi jarak emosional yang semakin besar di antara mereka membuat segalanya tampak jauh.Rania, dengan hati yang masih terluka, mengambil selimut dan bantal dari tempat tidur mereka, lalu dengan langkah pelan menuju ruang tamu. Ia merasa dadanya sesak, penuh oleh berbagai emosi yang saling bertabrakan, kesedihan, marah, dan rasa tak berdaya. Saat ia merebahkan diri di sofa, air mata yang sejak tadi tertahan akhirnya tumpah. Ia terisak dalam diam, tidak ingin Yoga mendengar tangisannya. Meski sudah memutuskan untuk memberikan jarak, hatinya masih sakit oleh kenyataan bahwa pria yang kini menjadi suaminya belum sepenuhnya miliknya.Sementara itu, di kamar, Yoga duduk di tepi ranjang, menatap ke arah pintu yang baru saja ditinggalk
Rania tiba di rumah orang tuanya dengan perasaan campur aduk. Setelah meninggalkan Yoga dan rumah mereka, ia merasakan campuran antara kelegaan dan kesedihan yang mendalam. Keputusan untuk pulang ke rumah orang tuanya bukanlah hal yang mudah, tetapi ia tahu bahwa ia membutuhkan waktu dan jarak untuk berpikir jernih. Hubungan mereka sudah berada di titik kritis, dan Rania tidak bisa lagi menunggu dalam ketidakpastian.Saat tiba di depan pintu rumah, Rania menarik napas dalam-dalam sebelum mengetuk. Pintu dibuka oleh ibunya, yang tampak terkejut melihat putrinya muncul tanpa pemberitahuan sebelumnya. Namun, satu pandangan pada wajah Rania sudah cukup untuk memberi tahu ibunya bahwa ada sesuatu yang tidak beres."Rania, ada apa sayang?" tanya ibunya dengan suara penuh kekhawatiran.Rania mencoba tersenyum, tetapi air mata yang sejak tadi ia tahan akhirnya jatuh juga. Ia langsung masuk ke pelukan ibunya, menangis dalam diam. Ia merasa rapuh, bingung, dan penuh dengan pertanyaan tentang ma
Sore itu, Yoga mengemudi dengan perasaan berdebar. Setelah mengirim pesan kepada Rania beberapa hari yang lalu, ia tidak mendapatkan jawaban yang jelas, dan ketidakpastian membuatnya semakin gelisah. Dia memutuskan untuk menjemput Rania di rumah orang tuanya, berharap bisa berbicara langsung dan menunjukkan bahwa ia benar-benar ingin memperbaiki semuanya.Namun, saat Yoga melintasi jalan menuju rumah orang tua Rania, pandangannya tidak sengaja tertuju pada sebuah mobil di sebelahnya. Mobil itu terlihat begitu familiar, mobil orang tua Rania. Hatinya berdebar kencang saat ia menyadari bahwa Rania duduk di kursi penumpang, berbicara dengan seseorang di dalam mobil.Di lampu merah, mobil mereka kebetulan berhenti sejajar. Yoga memperlambat laju mobilnya dan melihat ke arah mobil tersebut. Jantungnya serasa berhenti sejenak ketika ia melihat Rania, tampak tenang, duduk di samping seorang pria. Pria itu sepertinya mengemudikan mobil dengan nyaman sambil sesekali berbicara dengan Rania.Yog
Esok harinya, Rania memutuskan untuk berbicara dengan ibunya. Mereka duduk bersama di meja makan, dengan Rania perlahan menceritakan perasaannya. Ibunya mendengarkan dengan tenang, memberikan nasihat tanpa menghakimi. "Nak, kepercayaan itu memang sulit dibangun kembali setelah dirusak," ucap ibunya lembut. "Tapi kamu harus bertanya pada dirimu sendiri, apakah kamu masih ingin memberikan kesempatan pada pernikahan ini? Atau apakah kamu merasa lebih baik jika kalian berpisah dan masing-masing memulai lembaran baru?"Rania terdiam, merenungkan kata-kata ibunya. Di satu sisi, ia merasa sudah terlalu lelah untuk terus berjuang sendirian. Namun di sisi lain, ia masih ingin percaya bahwa pernikahan mereka bisa diperbaiki. "Aku tidak tahu, Bu," jawab Rania akhirnya. "Aku ingin memberinya kesempatan, tapi aku takut. Aku takut kalau semua ini hanya sementara, dan nanti aku akan terluka lagi."Ibunya tersenyum lembut dan meraih tangan Rania. "Itu wajar, Nak. Tidak ada yang salah dengan meragu
Sudah lewat tengah malam ketika Raka duduk di balkon kamarnya. Angin malam dingin menerpa wajahnya, tapi pikirannya terlalu penuh untuk merasakan udara yang menusuk tulang. Ponselnya bergetar pelan di genggaman tangannya, pesan dari Elina."[Kita harus bicara. Aku tahu ada sesuatu yang kamu sembunyikan dariku.]"Raka memejamkan mata. Ia tahu momen ini akan tiba. Hubungannya dengan Elina selama ini berjalan di antara rahasia besar yang membentang seperti jurang di antara mereka.---Keesokan Harinya, di Sebuah Taman Kota, Raka menunggu di bangku kayu di tengah taman yang sepi. Daun-daun berguguran, menandakan musim berganti. Elina datang dengan langkah cepat dan wajah penuh tanda tanya."Raka... apa sebenarnya yang kamu sembunyikan? Aku merasa ada sesuatu yang belum kamu katakan."Raka menatap mata Elina dengan dalam, mencoba mencari kekuatan di sana."Elina, mungkin setelah ini kamu akan membenciku, atau mungkin malah pergi meninggalkanku. Tapi aku harus jujur."Elina menggigit bibirn
Raka terdiam sejenak, mencoba mencerna ucapan Elina. Nama ayahnya, Yoga, disebut dengan begitu santai dalam cerita Elina. Apakah ini hanya kebetulan, atau ada sesuatu yang lebih besar di baliknya?"Pak Yoga? Maksudmu... ayahmu mengenal Papa-ku?" tanya Raka dengan hati-hati.Elina mengangguk pelan sambil mengaduk kopinya. "Iya. Aku tidak tahu detailnya, tapi dulu waktu aku kecil, aku pernah dengar percakapan antara Papa dan Mama tentang bisnis mereka dengan seseorang bernama Yoga. Tapi setelah itu, nama itu jarang disebut lagi."Raka mencoba tetap tenang meskipun pikirannya berkecamuk. "Apakah ada masalah di antara mereka?"Elina menggeleng. "Aku nggak yakin. Papa jarang cerita hal-hal seperti itu. Tapi... sepertinya hubungan mereka tidak berjalan baik di akhir-akhir."Percakapan mereka berlanjut dengan topik yang lebih ringan, tetapi Raka tidak bisa mengabaikan fakta bahwa ayah Elina ternyata memiliki hubungan dengan ayahnya. Sebuah pertanyaan besar menggantung di benaknya. Apakah ada
Waktu berlalu begitu cepat, hujan rintik-rintik menyambut sore itu. Rania sibuk di dapur, memastikan makanan kesukaan Raka tersedia, sementara Yoga duduk di ruang tamu bersama Adam dan Arka, yang kini sudah remaja."Kak Raka pasti kaget lihat rumah kita nggak banyak berubah," Arka berkomentar sambil melirik Adam.Adam mengangguk. "Tapi mungkin dia lebih kangen sama kamar lamanya."Terdengar deru mobil di halaman. Semua serentak berdiri, bersiap menyambut sosok yang selama ini hanya bisa mereka lihat melalui panggilan video.Pintu depan terbuka, dan Raka masuk dengan senyuman lebar, mengenakan kemeja hitam rapi. "Aku pulang."Rania langsung memeluknya erat. "Akhirnya, Nak. Kamu nggak tahu betapa Mama kangen sama kamu."Yoga menepuk bahu Raka dengan bangga. "Selamat datang kembali, Nak. Kami semua bangga sama kamu."Adam dan Arka langsung merangkul kakaknya bergantian. "Kak Raka, gimana rasanya tinggal di luar negeri? Kamu bawa oleh-oleh, kan?" goda Adam, membuat suasana menjadi lebih r
Hari-hari berlalu, dan suasana di rumah Yoga perlahan berubah. Rania yang semula canggung dengan kehadiran Raka kini mulai terbiasa. Bocah itu, meski pendiam, memiliki pesona yang tak bisa diabaikan. Kelembutannya mulai mengisi celah-celah dalam hati Rania yang sempat tertutup oleh rasa bimbang.Pagi itu, Rania sedang menyiapkan sarapan di dapur ketika Raka datang menghampiri."Mama, aku bantu ambil piring, ya," ucap Raka sambil tersenyum.Rania tertegun sejenak. Kata "Mama" terdengar begitu alami keluar dari mulut bocah itu. Ia berusaha menahan air mata yang tiba-tiba muncul, lalu mengangguk sambil tersenyum."Terima kasih, sayang. Kamu bisa letakkan piringnya di meja, ya," balas Rania dengan suara lembut.Di ruang makan, Adam dan Arka sudah duduk menunggu. Ketika melihat Raka membawa piring-piring, Arka berseru, "Wah, Kak Raka sudah jadi bagian tim, nih!"Raka tertawa kecil. "Iya dong. Tim kita harus kompak."Yoga yang baru turun dari tangga menyaksikan pemandangan itu dengan hati y
Malam terasa dingin ketika Yoga tiba di rumah. Keheningan menyelimuti ruang tamu, hanya suara jam dinding yang terdengar seperti detak jantungnya yang tak beraturan. Rania belum kembali, dan ia tahu alasan kepergiannya adalah dirinya sendiri.Di kamar, anak-anak sudah tertidur. Namun, di meja makan, Raka masih duduk dengan wajah bingung, menatap segelas susu yang sudah dingin."Om Yoga, kenapa Tante Rania pergi?" suara Raka memecah keheningan.Yoga terdiam sesaat, mencoba meredakan kekacauan di pikirannya. Ia berjalan mendekati Raka, duduk di samping keponakannya, atau mungkin, anak kandungnya."Raka, dengar ya," suara Yoga pelan, tetapi mengandung kepedihan yang sulit disembunyikan. "Kadang orang dewasa harus menghadapi sesuatu yang sulit dimengerti. Tapi kamu nggak perlu khawatir. Tante Rania pasti kembali."Raka memiringkan kepalanya, mencoba memahami. "Om, tadi aku dengar Tante Rania bilang ‘kamu harus jujur sama anak-anak’. Maksudnya apa?"Yoga menelan ludah. Ia tahu, cepat atau
Yoga menarik napas panjang sebelum mendekati Adam dan Arka yang berdiri di ambang pintu. Rania masih terduduk di lantai, memeluk map cokelat erat-erat. Ia menatap Yoga dengan mata yang mengisyaratkan dukungan, meskipun hatinya masih bergejolak."Adam, Arka, duduk sini dulu sama Papa," kata Yoga dengan suara selembut mungkin, sambil mengulurkan tangannya.Kedua anak kembar itu berjalan mendekat dengan raut bingung, lalu duduk di sofa kecil di ruang tamu. Mata mereka masih melirik Rania, seakan mencari jawaban dari wajah ibunya.Yoga berjongkok di depan mereka, sehingga pandangannya sejajar dengan anak-anaknya. "Kalian tahu, Papa dulu punya adik laki-laki yang namanya Om Fandy, kan?"Adam mengangguk cepat. "Om Fandy yang suka cerita lucu pas kita kecil, kan, Pa? Tapi dia udah lama nggak kelihatan."Arka menambahkan dengan suara kecil, "Kakek bilang Om Fandy tinggal di surga sekarang."Yoga tersenyum tipis mendengar ingatan polos mereka. "Betul sekali. Om Fandy sudah di surga. Dan sebelu
Pagi itu terasa lebih berat dari biasanya. Yoga duduk di meja makan, memandangi secangkir kopi yang sudah dingin. Di sampingnya, Rania sibuk menyiapkan sarapan untuk anak-anak. Namun, suasana di antara mereka terasa dingin, bahkan canggung."Mas Yoga, kamu baik-baik saja?" tanya Rania sambil menyiapkan bekal untuk Adam dan Arka.Yoga tersentak dari lamunannya. "Iya, aku baik. Hanya... sedikit kepikiran pekerjaan," jawabnya dengan senyum tipis yang dipaksakan.Rania mengerutkan dahi. "Kamu sering terlihat melamun belakangan ini. Kalau ada sesuatu, lebih baik kamu cerita."Namun, Yoga tidak menjawab. Ia hanya menunduk, mencari keberanian untuk menghadapi kenyataan.Setelah Rania berangkat mengantar anak-anak ke sekolah, Yoga menerima telepon dari Armand."Yo, aku tahu kamu pasti masih bingung, tapi kita harus bicara lagi," kata Armand di ujung telepon."Aku nggak tahu harus mulai dari mana, Mand. Rania bahkan sudah curiga," jawab Yoga dengan suara lelah."Kamu nggak bisa terus menyembun
Rania duduk termenung di ruang kerjanya, membiarkan suara ketukan jam yang berulang menjadi satu-satunya suara di ruangan itu. Perkataan Yoga tadi malam terus menghantui pikirannya, menimbulkan perasaan bersalah yang sulit diabaikan.Sementara itu, Yoga mencoba melanjutkan hari-harinya seperti biasa, tapi ia tak bisa menghilangkan kegelisahan yang kini membebani hatinya. Adam dan Arka, meskipun belum benar-benar memahami permasalahan di antara orang tua mereka, mulai menyadari perubahan kecil dalam rutinitas sehari-hari yang sering kali mereka abaikan. Mereka bahkan sempat bertanya pada Rania, "Mama, kenapa Papa sedih?"Pertanyaan sederhana itu membuat hati Rania makin teriris. Anak-anak mereka mulai merasakan dampaknya, dan itu adalah hal terakhir yang ia inginkan. Keputusan untuk mengejar impiannya terasa begitu egois, tetapi di saat yang sama, ia tak bisa sepenuhnya mengabaikan perasaan yang perlahan-lahan menggerogoti jiwanya.Rania memutuskan untuk mencari jalan keluar. Ia tahu b
Ruangan rumah sakit begitu sunyi. Hanya terdengar bunyi detak mesin monitor yang semakin lambat, seakan mengikuti napas berat Siska. Yoga duduk di kursi di samping tempat tidur, memandangi wajah lemah wanita itu."Yoga..." suara Siska terdengar serak, nyaris tak terdengar.Yoga menggenggam tangan Siska yang dingin. "Aku di sini, Siska. Jangan bicara terlalu banyak, kamu butuh istirahat."Siska tersenyum tipis meskipun matanya mulai berkaca-kaca. "Waktu untukku sudah tidak banyak. Ada yang harus aku sampaikan sebelum terlambat."Yoga terdiam, merasakan berat dari kalimat Siska. Ia tahu saat ini penting, tapi mendengarnya tetap membuat dadanya terasa sesak."Kamu tahu, sejak Fandy pergi… aku hanya punya satu tujuan dalam hidupku, yaitu memastikan Raka mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Tapi aku tidak bisa melakukannya sendiri," suara Siska semakin lemah, tapi penuh tekad.Yoga mengangguk pelan. "Aku sudah janji, Siska. Raka adalah bagian dari keluarga kami sekarang. Aku akan menjaga