Rania dibaringkan perlahan di ranjang oleh laki-laki itu, sosok yang hampir menabraknya beberapa saat yang lalu. Wajahnya tampak pucat, membuat laki-laki tersebut semakin cemas. Ia merasa bertanggung jawab atas keadaan Rania. Tanpa membuang waktu, laki-laki itu segera mengambil ponselnya dan menghubungi seseorang.
"Bisa cepat datang ke sini? Ada yang perlu kamu cek ... dia tampaknya butuh bantuan medis. Aku hampir menabraknya tadi, dan sekarang dia terlihat lemah," suaranya terdengar tegang saat berbicara. Laki-laki itu menunggu di sisi ranjang Rania, berharap sahabat yang dihubunginya segera datang untuk memastikan keadaan Rania. Waktu terasa berjalan lambat, dan ia terus memantau keadaan Rania yang semakin membuatnya khawatir. Beberapa menit kemudian, dokter yang dihubungi akhirnya tiba. Dengan langkah cepat dan tenang, beliau menghampiri Rania yang masih terbaring lemah di ranjang. Laki-laki itu berdiri di sudut ruangan, gelisah menunggu perkembangan. Dokter segera memeriksa kondisi Rania dengan seksama. Denyut nadinya dicek, suhu tubuh diukur, dan ia bertanya beberapa hal kepada Rania yang dijawab dengan suara pelan. Setelah pemeriksaan selesai, dokter menghela napas pelan dan menoleh ke laki-laki itu. “Keadaannya stabil, hanya sedikit kelelahan dan mungkin mengalami syok. Pastikan dia istirahat cukup, dan jika ada gejala lain, segera bawa ke rumah sakit,” jelas dokter dengan tenang. Laki-laki itu mengangguk, merasa lega mendengar penjelasan tersebut. "Terima kasih, Dok," ucapnya dengan penuh rasa syukur. Ia pun memastikan sekali lagi bahwa Rania baik-baik saja sebelum membiarkan dirinya tenang. Laki-laki itu, yang masih tampak cemas, mendekat ke dokter setelah pemeriksaan selesai. "Dok, bagaimana kondisinya? Apakah ada yang lebih serius? Apa yang bisa kulakukan agar dia cepat pulih?" tanyanya dengan nada khawatir. Dokter menatap laki-laki itu sejenak, kemudian menjelaskan lebih detail, "ia hanya mengalami kelelahan dan sedikit syok. Tidak ada cedera fisik yang serius, tapi mentalnya mungkin masih terguncang. Dia butuh istirahat total untuk sementara waktu. Saya akan beri resep vitamin dan suplemen untuk membantunya pulih lebih cepat." Dokter kemudian menuliskan resep di kertas, lalu menyerahkannya kepada laki-laki itu. "Pastikan dia minum obat ini secara teratur, dan berikan dia lingkungan yang tenang dan nyaman. Jika ada tanda-tanda demam atau keluhan yang lebih serius, segera bawa dia ke rumah sakit." Pesannya lagi. Laki-laki itu mengangguk, menerima resep dari dokter. "Terima kasih, Dok. Saya akan memastikan dia mendapatkan yang terbaik." Dokter pun tersenyum kecil dan pamit setelah memastikan semua aman, meninggalkan laki-laki itu dengan rasa tanggung jawab besar untuk menjaga Rania hingga benar-benar pulih. Malam itu, Rania masih terbaring di apartemen tersebut, tak sadarkan diri. Tanpa ia ketahui, suaminya, Yoga, sedang menghabiskan malam bersama perempuan lain. Keceriaan yang Yoga rasakan di luar sangat kontras dengan keadaan Rania yang tidak mengetahui apa pun. Pagi menjelang, Yoga kembali dengan perasaan puas, seakan tak ada beban dan tidak menyadari dampak dari pengkhianatannya terhadap Rania, yang masih berjuang dengan pikirannya sendiri di apartemen. Pagi harinya, cahaya matahari tipis menembus tirai kamar apartemen, menciptakan bayangan lembut di lantai. Rania duduk di tempat tidur, matanya perlahan menyesuaikan diri dengan ruangan yang asing. Kepalanya masih berdenyut, dan ia mencoba mengingat bagaimana bisa berada di tempat ini. Ia meraba pelipisnya, merasakan nyeri yang tak tertahankan, dan tiba-tiba, suara asing dari luar ruangan terdengar. "Bagaimana keadaanmu?" tanya suara itu. Rania terlonjak kaget, matanya segera tertuju ke pintu yang perlahan terbuka. Seorang pria berdiri di sana, wajahnya serius tapi tidak tampak mengancam. Dia melangkah mendekat, suaranya lembut dan tegas. "Kamu? Rendy?" tanya Rania dengan nada panik, tubuhnya menegang, mencoba bergerak tapi terasa lemah. Pria itu menghentikan langkahnya, tetap menjaga jarak. "Kamu pingsan tadi malam, jadi aku membawamu ke sini. Jangan khawatir, kamu aman," jawabnya, mencoba menenangkan. "Ke sini? Ke mana? Apa yang terjadi?" Suara Rania sedikit gemetar, matanya menatap tajam, mencoba memahami situasi. "Kamu berada di apartemenku," jawab Rendy, pria yang hampir menabraknya sambil menunjuk sekeliling. "Aku menemukanmu di jalan, dan kamu tidak sadarkan diri. Sepertinya kamu terjatuh atau kelelahaan. Aku tidak bisa meninggalkanmu begitu saja, jadi kupikir membawamu ke tempat yang aman adalah pilihan terbaik." Rania merasa dadanya semakin sesak mendengar penjelasannya. Ia memandang pria itu dengan bingung. "Kenapa tidak membawaku ke rumah sakit?" "Aku berniat, tapi keadaan kamu yang basah kuyup dan waktu yang terlalu larut, membuatku memutuskan untuk merawatmu di sini dulu. Kalau kamu masih merasa tidak baik, kita bisa pergi ke rumah sakit sekarang," kata pria itu dengan tenang. Rania diam, masih memproses apa yang terjadi. Kepalanya terasa berat dan pikirannya kusut, tapi ia bisa merasakan bahwa pria ini tidak berniat buruk. Meskipun begitu, hatinya tetap waspada. "Apa... apa yang sebenarnya terjadi tadi malam?" tanya Rania perlahan, suaranya mulai stabil meski tubuhnya masih terasa lemah. Pria itu menghela napas panjang sebelum menjawab. "Aku tidak tahu pasti. Aku hanya menemukanmu terbaring di pinggir jalan, terluka. Mungkin kamu mengalami kecelakaan kecil. Tapi, sekarang yang penting adalah kamu harus memulihkan diri dulu." Rania mengangguk pelan, meski pikirannya masih diliputi pertanyaan. Ia merasa ada sesuatu yang salah, tapi tak bisa mengingatnya dengan jelas. Yang ia tahu hanyalah bahwa tubuhnya terasa berat, dan ada sesuatu yang mengganjal di hatinya, seolah ada rahasia besar yang tersembunyi. "Ren, bagaimana kamu bisa berada disini! Bukankah kamu pergi jauh!" tanya Rania masih menyimpan amarah. Rendi yang ternyata orang di masa lalu Rania, dengan sabar mendekat sambil membawa bubur ayam untuk sarapan. "Aku bawain bubur ayam kesukaan kamu, biar cepat sembuh ya. Aku tahu kamu pasti udah bosan di sini." jawab Rendi tanpa mau menjawab pertanyaan Rania. Rendi meletakkan bungkusan di meja samping ranjang Rania, senyum tipis menghiasi wajahnya. "Makasih, Ren, tapi kamu nggak perlu repot-repot gini, jawab aja pertanyaanku tadi!" Rania berusaha tersenyum, meskipun tubuhnya masih terasa lemas. Dia menatap bubur ayam itu, merasa terharu dengan perhatian Rendi. Namun, ada satu pertanyaan yang selama ini mengganggu pikirannya. "Bukan repot, Ran. Aku cuma pengen kamu cepat pulih dan bisa pulang, aku khawatir orang rumah mencarimu" jawab Rendi bijak sekali. Rendi duduk di kursi dekat tempat tidur, matanya penuh harapan. " Tidak akan ada yang mengkhawatirkan Aku di rumah itu! Aku bakal segera pulih, kok. Cuma butuh waktu sedikit lagi." jawab Rania menerawang. Rania tersenyum getir, namun dalam hatinya ada rasa berat karena ia tahu pemulihan ini bukan hanya soal fisik, tapi juga soal hati. "Apa yang terjadi padamu!"Setelah dipaksa, Rania akhirnya menyerah dan mulai menyendok bubur ayamnya. Di sela-sela suapannya, Rendy menatapnya penuh perhatian lalu bertanya, "Gimana kabarmu selama ini, Ran? Apa aja yang kamu lakuin belakangan?"Rania menahan napas sejenak, mencoba menata kata-katanya. "Ya... begitulah. Sibuk kerja, pulang-pergi kantor. Nggak banyak yang berubah, Ren. Kegiatan sehari-hari masih sama."Rendy mengangguk pelan, seolah memahami. "Kerja di tempat yang sama ya? Apa masih sesibuk dulu?" tanyanya lagi, berusaha mencairkan suasana.Rania hanya tersenyum tipis, mengaduk buburnya tanpa berkata apa-apa. Pertanyaan sederhana itu terasa berat untuk dijawabnya, seolah memantik banyak kenangan yang selama ini ia coba hindari.Rendy menatap Rania sejenak sebelum melanjutkan pertanyaannya dengan nada hati-hati. "Ran, tadi malam kamu kayak ... nggak seperti biasanya. Ada apa? Kamu kelihatan nggak terkontrol. Ada masalah di keluarga?"Rania mendadak berhenti mengaduk buburnya, tangannya gemetar se
Siang harinya, Rendy mengantarkan Rania pulang, di dalam mobil, suasana sedikit canggung di antara Rania dan Rendy. Setelah beberapa saat hening, Rendy mencoba membuka percakapan."Kamu yakin nggak apa-apa aku nganter kamu, Ran? Takutnya malah bikin masalah nanti."Rania menoleh, tersenyum tipis. "Nggak apa-apa, Ren. Toh, Yoga juga nggak pernah terlalu peduli soal siapa yang nganter aku."Rendy menatap Rania sekilas, "Aku cuma nggak mau bikin situasi jadi ribet. Kamu udah bersuami, aku ngerti posisinya."Rania tertawa kecil, tapi ada nada getir di suaranya. "Yoga terlalu sibuk untuk tahu apa yang terjadi, Ren. Aku bahkan nggak yakin dia bakal sadar kalau aku pulang sama kamu."Rendy menatap sendu dan berucap berhati-hati, "Tapi kamu baik-baik aja, kan? Maksudku, di rumah ..."Rania menunduk, tangannya meremas tas di pangkuannya. "Baik? Aku nggak tahu, Ren. Semua ini terasa kosong."Rendy menggenggam setir lebih erat, ragu-ragu sebelum berbicara lagi. "Kamu masih punya aku kalau butuh
Pagi itu terasa berbeda bagi Rania. Yoga, yang biasanya sudah lebih dulu meninggalkan rumah, hari ini sarapan bersamanya di meja makan. Suasana hening, keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing. Rania merasa canggung, namun tetap fokus menikmati sarapannya. Yoga tampak tenang, tanpa kata, hanya sesekali memeriksa ponselnya.Tiba-tiba, suasana tenang itu pecah oleh suara video call dari Kakek Yoga. Yoga menatap layar sejenak sebelum mengangkat panggilan itu. Wajah Kakek muncul di layar, tersenyum lebar. "Selamat pagi, Yoga, Rania!" sapanya hangat, "Bagaimana kabar kalian? Rumah barunya nyaman, kan?"Rania berusaha tersenyum, meski hatinya merasa sedikit kaku, sementara Yoga menjawab dengan nada datar, "Baik, Kek. Rumahnya nyaman, terima kasih."Pagi itu, Kakek muncul di layar ponsel Yoga dengan senyuman hangat, wajahnya terlihat bersemangat meski sudah lanjut usia. Rania yang sedang menyuap sarapannya, melirik sekilas ke layar ponsel Yoga, merasa sedikit canggung."Selamat pagi, Yog
Di Pagi itu terasa berbeda bagi Rania. Yoga, Pagi itu terasa berbeda bagi Rania. Yoga, yang biasanya sudah lebih dulu meninggalkan rumah, hari ini sarapan bersamanya di meja makan. Suasana hening, keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing. Rania merasa canggung, namun tetap fokus menikmati sarapannya. Yoga tampak tenang, tanpa kata, hanya sesekali memeriksa ponselnya.Tiba-tiba, suasana tenang itu pecah oleh suara video call dari Kakek Yoga. Yoga menatap layar sejenak sebelum mengangkat panggilan itu. Wajah Kakek muncul di layar, tersenyum lebar. "Selamat pagi, Yoga, Rania!" sapanya hangat, "Bagaimana kabar kalian? Rumah barunya nyaman, kan?"Rania berusaha tersenyum, meski hatinya merasa sedikit kaku, sementara Yoga menjawab dengan nada datar, "Baik, Kek. Rumahnya nyaman, terima kasih."Pagi itu, Kakek muncul di layar ponsel Yoga dengan senyuman hangat, wajahnya terlihat bersemangat meski sudah lanjut usia. Rania yang sedang menyuap sarapannya, melirik sekilas ke layar ponsel Yoga
Di tengah pesta kapal yang meriah, Rania berusaha tetap tersenyum meski hatinya dipenuhi kemelut yang tak tertahankan. Matanya sesekali melirik ke arah Yoga yang tampak asyik berbicara dengan seorang wanita cantik di sudut ruangan, senyumnya begitu lebar, sesuatu yang jarang ia lihat ketika bersama dirinya. Perasaan sakit mulai menyeruak, dan Rania hanya bisa menahan air matanya agar tidak jatuh di depan semua orang.Namun, di tengah kesedihannya, tiba-tiba seseorang tak sengaja menumpahkan minuman ke gaunnya. Gelas anggur merah tumpah membasahi kain lembut yang ia kenakan dengan susah payah. "Astaga! Maafkan saya, saya benar-benar tidak sengaja!" suara seorang pria terdengar jelas, diikuti oleh gerakan cepatnya mengambil serbet untuk membersihkan noda di gaun Rania.Rania menatap pria itu, hendak mengatakan sesuatu, tapi suaranya tertahan. Ia mengenal suara itu. Tubuhnya menegang seketika. Saat pria itu menoleh dan wajah mereka bertemu, Rania langsung terdiam, terkejut."Rendy?" ucap
Siang harinya, Rendy mengantarkan Rania pulang, di dalam mobil, suasana sedikit canggung di antara Rania dan Rendy. Setelah beberapa saat hening, Rendy mencoba membuka percakapan."Kamu yakin nggak apa-apa aku nganter kamu, Ran? Takutnya malah bikin masalah nanti."Rania menoleh, tersenyum tipis. "Nggak apa-apa, Ren. Toh, Yoga juga nggak pernah terlalu peduli soal siapa yang nganter aku."Rendy menatap Rania sekilas, "Aku cuma nggak mau bikin situasi jadi ribet. Kamu udah bersuami, aku ngerti posisinya."Rania tertawa kecil, tapi ada nada getir di suaranya. "Yoga terlalu sibuk untuk tahu apa yang terjadi, Ren. Aku bahkan nggak yakin dia bakal sadar kalau aku pulang sama kamu."Rendy menatap sendu dan berucap berhati-hati, "Tapi kamu baik-baik aja, kan? Maksudku, di rumah ..."Rania menunduk, tangannya meremas tas di pangkuannya. "Baik? Aku nggak tahu, Ren. Semua ini terasa kosong."Rendy menggenggam setir lebih erat, ragu-ragu sebelum berbicara lagi. "Kamu masih punya aku kalau butuh
Setelah momen dansa selesai, para tamu mulai menuju meja hidangan yang telah tertata rapi. Namun, Yoga tidak bisa menahan amarahnya lagi. Di sudut ruangan, wajahnya memerah, tangan menggenggam erat, dan matanya tak pernah lepas memandangi Rania yang tampak tersenyum canggung saat berdansa dengan pria lain tadi. Rasa cemburu dan geram berkecamuk dalam dirinya.Dengan langkah cepat dan tegas, Yoga mendekati Rania yang tengah berbicara dengan seorang tamu. Tanpa banyak bicara, ia menggenggam lengan Rania dengan kuat, menariknya menjauh dari kerumunan. Rania terkejut dan berusaha melepaskan diri, tapi kekuatan genggaman Yoga membuatnya tak bisa berbuat apa-apa.Setelah berada di tempat yang lebih sepi, Yoga menatap Rania dengan penuh emosi. "Berani-beraninya kamu berdansa dengan pria lain di depanku," ucapnya dengan nada dingin dan tajam. "Kamu pikir ini pantas?" Rania, yang awalnya ketakutan, mencoba menjelaskan. "Itu hanya dansa, tidak ada yang lebih dari itu, Mas Yoga. Kamu tahu aku t
Yoga menatap Rania, amarah yang tadi berkobar mulai mereda, digantikan oleh rasa bersalah yang perlahan merayap ke dalam hatinya. Ia mulai menyadari bahwa selama ini ia terlalu sibuk dengan dirinya sendiri, terlalu sibuk membenarkan tindakannya, tanpa menyadari betapa besar pengorbanan yang Rania lakukan untuk menjaga pernikahan mereka tetap utuh."Aku ..." Yoga memulai, tapi suaranya tertahan. Ia menghela napas panjang, menundukkan kepalanya. "Aku tidak pernah bermaksud menyakiti kamu, Rania. Aku hanya ... tidak tahu bagaimana cara menyeimbangkan semuanya. Pekerjaan, tanggung jawab, pernikahan ... semuanya terasa berat."Rania menyeka air mata yang mulai mengalir di pipinya. "Aku mengerti, Mas. Tapi bukankah kita harus menghadapinya bersama? Bukannya malah membuat jarak di antara kita?"Yoga terdiam lama, berusaha mencerna kata-kata itu. Dalam hatinya, ia tahu Rania benar. Ia terlalu banyak menuntut tanpa memberi, terlalu sibuk dengan dunianya sendiri, sehingga melupakan apa yang seh
Sudah lewat tengah malam ketika Raka duduk di balkon kamarnya. Angin malam dingin menerpa wajahnya, tapi pikirannya terlalu penuh untuk merasakan udara yang menusuk tulang. Ponselnya bergetar pelan di genggaman tangannya, pesan dari Elina."[Kita harus bicara. Aku tahu ada sesuatu yang kamu sembunyikan dariku.]"Raka memejamkan mata. Ia tahu momen ini akan tiba. Hubungannya dengan Elina selama ini berjalan di antara rahasia besar yang membentang seperti jurang di antara mereka.---Keesokan Harinya, di Sebuah Taman Kota, Raka menunggu di bangku kayu di tengah taman yang sepi. Daun-daun berguguran, menandakan musim berganti. Elina datang dengan langkah cepat dan wajah penuh tanda tanya."Raka... apa sebenarnya yang kamu sembunyikan? Aku merasa ada sesuatu yang belum kamu katakan."Raka menatap mata Elina dengan dalam, mencoba mencari kekuatan di sana."Elina, mungkin setelah ini kamu akan membenciku, atau mungkin malah pergi meninggalkanku. Tapi aku harus jujur."Elina menggigit bibirn
Raka terdiam sejenak, mencoba mencerna ucapan Elina. Nama ayahnya, Yoga, disebut dengan begitu santai dalam cerita Elina. Apakah ini hanya kebetulan, atau ada sesuatu yang lebih besar di baliknya?"Pak Yoga? Maksudmu... ayahmu mengenal Papa-ku?" tanya Raka dengan hati-hati.Elina mengangguk pelan sambil mengaduk kopinya. "Iya. Aku tidak tahu detailnya, tapi dulu waktu aku kecil, aku pernah dengar percakapan antara Papa dan Mama tentang bisnis mereka dengan seseorang bernama Yoga. Tapi setelah itu, nama itu jarang disebut lagi."Raka mencoba tetap tenang meskipun pikirannya berkecamuk. "Apakah ada masalah di antara mereka?"Elina menggeleng. "Aku nggak yakin. Papa jarang cerita hal-hal seperti itu. Tapi... sepertinya hubungan mereka tidak berjalan baik di akhir-akhir."Percakapan mereka berlanjut dengan topik yang lebih ringan, tetapi Raka tidak bisa mengabaikan fakta bahwa ayah Elina ternyata memiliki hubungan dengan ayahnya. Sebuah pertanyaan besar menggantung di benaknya. Apakah ada
Waktu berlalu begitu cepat, hujan rintik-rintik menyambut sore itu. Rania sibuk di dapur, memastikan makanan kesukaan Raka tersedia, sementara Yoga duduk di ruang tamu bersama Adam dan Arka, yang kini sudah remaja."Kak Raka pasti kaget lihat rumah kita nggak banyak berubah," Arka berkomentar sambil melirik Adam.Adam mengangguk. "Tapi mungkin dia lebih kangen sama kamar lamanya."Terdengar deru mobil di halaman. Semua serentak berdiri, bersiap menyambut sosok yang selama ini hanya bisa mereka lihat melalui panggilan video.Pintu depan terbuka, dan Raka masuk dengan senyuman lebar, mengenakan kemeja hitam rapi. "Aku pulang."Rania langsung memeluknya erat. "Akhirnya, Nak. Kamu nggak tahu betapa Mama kangen sama kamu."Yoga menepuk bahu Raka dengan bangga. "Selamat datang kembali, Nak. Kami semua bangga sama kamu."Adam dan Arka langsung merangkul kakaknya bergantian. "Kak Raka, gimana rasanya tinggal di luar negeri? Kamu bawa oleh-oleh, kan?" goda Adam, membuat suasana menjadi lebih r
Hari-hari berlalu, dan suasana di rumah Yoga perlahan berubah. Rania yang semula canggung dengan kehadiran Raka kini mulai terbiasa. Bocah itu, meski pendiam, memiliki pesona yang tak bisa diabaikan. Kelembutannya mulai mengisi celah-celah dalam hati Rania yang sempat tertutup oleh rasa bimbang.Pagi itu, Rania sedang menyiapkan sarapan di dapur ketika Raka datang menghampiri."Mama, aku bantu ambil piring, ya," ucap Raka sambil tersenyum.Rania tertegun sejenak. Kata "Mama" terdengar begitu alami keluar dari mulut bocah itu. Ia berusaha menahan air mata yang tiba-tiba muncul, lalu mengangguk sambil tersenyum."Terima kasih, sayang. Kamu bisa letakkan piringnya di meja, ya," balas Rania dengan suara lembut.Di ruang makan, Adam dan Arka sudah duduk menunggu. Ketika melihat Raka membawa piring-piring, Arka berseru, "Wah, Kak Raka sudah jadi bagian tim, nih!"Raka tertawa kecil. "Iya dong. Tim kita harus kompak."Yoga yang baru turun dari tangga menyaksikan pemandangan itu dengan hati y
Malam terasa dingin ketika Yoga tiba di rumah. Keheningan menyelimuti ruang tamu, hanya suara jam dinding yang terdengar seperti detak jantungnya yang tak beraturan. Rania belum kembali, dan ia tahu alasan kepergiannya adalah dirinya sendiri.Di kamar, anak-anak sudah tertidur. Namun, di meja makan, Raka masih duduk dengan wajah bingung, menatap segelas susu yang sudah dingin."Om Yoga, kenapa Tante Rania pergi?" suara Raka memecah keheningan.Yoga terdiam sesaat, mencoba meredakan kekacauan di pikirannya. Ia berjalan mendekati Raka, duduk di samping keponakannya, atau mungkin, anak kandungnya."Raka, dengar ya," suara Yoga pelan, tetapi mengandung kepedihan yang sulit disembunyikan. "Kadang orang dewasa harus menghadapi sesuatu yang sulit dimengerti. Tapi kamu nggak perlu khawatir. Tante Rania pasti kembali."Raka memiringkan kepalanya, mencoba memahami. "Om, tadi aku dengar Tante Rania bilang ‘kamu harus jujur sama anak-anak’. Maksudnya apa?"Yoga menelan ludah. Ia tahu, cepat atau
Yoga menarik napas panjang sebelum mendekati Adam dan Arka yang berdiri di ambang pintu. Rania masih terduduk di lantai, memeluk map cokelat erat-erat. Ia menatap Yoga dengan mata yang mengisyaratkan dukungan, meskipun hatinya masih bergejolak."Adam, Arka, duduk sini dulu sama Papa," kata Yoga dengan suara selembut mungkin, sambil mengulurkan tangannya.Kedua anak kembar itu berjalan mendekat dengan raut bingung, lalu duduk di sofa kecil di ruang tamu. Mata mereka masih melirik Rania, seakan mencari jawaban dari wajah ibunya.Yoga berjongkok di depan mereka, sehingga pandangannya sejajar dengan anak-anaknya. "Kalian tahu, Papa dulu punya adik laki-laki yang namanya Om Fandy, kan?"Adam mengangguk cepat. "Om Fandy yang suka cerita lucu pas kita kecil, kan, Pa? Tapi dia udah lama nggak kelihatan."Arka menambahkan dengan suara kecil, "Kakek bilang Om Fandy tinggal di surga sekarang."Yoga tersenyum tipis mendengar ingatan polos mereka. "Betul sekali. Om Fandy sudah di surga. Dan sebelu
Pagi itu terasa lebih berat dari biasanya. Yoga duduk di meja makan, memandangi secangkir kopi yang sudah dingin. Di sampingnya, Rania sibuk menyiapkan sarapan untuk anak-anak. Namun, suasana di antara mereka terasa dingin, bahkan canggung."Mas Yoga, kamu baik-baik saja?" tanya Rania sambil menyiapkan bekal untuk Adam dan Arka.Yoga tersentak dari lamunannya. "Iya, aku baik. Hanya... sedikit kepikiran pekerjaan," jawabnya dengan senyum tipis yang dipaksakan.Rania mengerutkan dahi. "Kamu sering terlihat melamun belakangan ini. Kalau ada sesuatu, lebih baik kamu cerita."Namun, Yoga tidak menjawab. Ia hanya menunduk, mencari keberanian untuk menghadapi kenyataan.Setelah Rania berangkat mengantar anak-anak ke sekolah, Yoga menerima telepon dari Armand."Yo, aku tahu kamu pasti masih bingung, tapi kita harus bicara lagi," kata Armand di ujung telepon."Aku nggak tahu harus mulai dari mana, Mand. Rania bahkan sudah curiga," jawab Yoga dengan suara lelah."Kamu nggak bisa terus menyembun
Rania duduk termenung di ruang kerjanya, membiarkan suara ketukan jam yang berulang menjadi satu-satunya suara di ruangan itu. Perkataan Yoga tadi malam terus menghantui pikirannya, menimbulkan perasaan bersalah yang sulit diabaikan.Sementara itu, Yoga mencoba melanjutkan hari-harinya seperti biasa, tapi ia tak bisa menghilangkan kegelisahan yang kini membebani hatinya. Adam dan Arka, meskipun belum benar-benar memahami permasalahan di antara orang tua mereka, mulai menyadari perubahan kecil dalam rutinitas sehari-hari yang sering kali mereka abaikan. Mereka bahkan sempat bertanya pada Rania, "Mama, kenapa Papa sedih?"Pertanyaan sederhana itu membuat hati Rania makin teriris. Anak-anak mereka mulai merasakan dampaknya, dan itu adalah hal terakhir yang ia inginkan. Keputusan untuk mengejar impiannya terasa begitu egois, tetapi di saat yang sama, ia tak bisa sepenuhnya mengabaikan perasaan yang perlahan-lahan menggerogoti jiwanya.Rania memutuskan untuk mencari jalan keluar. Ia tahu b
Ruangan rumah sakit begitu sunyi. Hanya terdengar bunyi detak mesin monitor yang semakin lambat, seakan mengikuti napas berat Siska. Yoga duduk di kursi di samping tempat tidur, memandangi wajah lemah wanita itu."Yoga..." suara Siska terdengar serak, nyaris tak terdengar.Yoga menggenggam tangan Siska yang dingin. "Aku di sini, Siska. Jangan bicara terlalu banyak, kamu butuh istirahat."Siska tersenyum tipis meskipun matanya mulai berkaca-kaca. "Waktu untukku sudah tidak banyak. Ada yang harus aku sampaikan sebelum terlambat."Yoga terdiam, merasakan berat dari kalimat Siska. Ia tahu saat ini penting, tapi mendengarnya tetap membuat dadanya terasa sesak."Kamu tahu, sejak Fandy pergi… aku hanya punya satu tujuan dalam hidupku, yaitu memastikan Raka mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Tapi aku tidak bisa melakukannya sendiri," suara Siska semakin lemah, tapi penuh tekad.Yoga mengangguk pelan. "Aku sudah janji, Siska. Raka adalah bagian dari keluarga kami sekarang. Aku akan menjaga