Rania dibaringkan perlahan di ranjang oleh laki-laki itu, sosok yang hampir menabraknya beberapa saat yang lalu. Wajahnya tampak pucat, membuat laki-laki tersebut semakin cemas. Ia merasa bertanggung jawab atas keadaan Rania. Tanpa membuang waktu, laki-laki itu segera mengambil ponselnya dan menghubungi seseorang.
"Bisa cepat datang ke sini? Ada yang perlu kamu cek ... dia tampaknya butuh bantuan medis. Aku hampir menabraknya tadi, dan sekarang dia terlihat lemah," suaranya terdengar tegang saat berbicara. Laki-laki itu menunggu di sisi ranjang Rania, berharap sahabat yang dihubunginya segera datang untuk memastikan keadaan Rania. Waktu terasa berjalan lambat, dan ia terus memantau keadaan Rania yang semakin membuatnya khawatir. Beberapa menit kemudian, dokter yang dihubungi akhirnya tiba. Dengan langkah cepat dan tenang, beliau menghampiri Rania yang masih terbaring lemah di ranjang. Laki-laki itu berdiri di sudut ruangan, gelisah menunggu perkembangan. Dokter segera memeriksa kondisi Rania dengan seksama. Denyut nadinya dicek, suhu tubuh diukur, dan ia bertanya beberapa hal kepada Rania yang dijawab dengan suara pelan. Setelah pemeriksaan selesai, dokter menghela napas pelan dan menoleh ke laki-laki itu. “Keadaannya stabil, hanya sedikit kelelahan dan mungkin mengalami syok. Pastikan dia istirahat cukup, dan jika ada gejala lain, segera bawa ke rumah sakit,” jelas dokter dengan tenang. Laki-laki itu mengangguk, merasa lega mendengar penjelasan tersebut. "Terima kasih, Dok," ucapnya dengan penuh rasa syukur. Ia pun memastikan sekali lagi bahwa Rania baik-baik saja sebelum membiarkan dirinya tenang. Laki-laki itu, yang masih tampak cemas, mendekat ke dokter setelah pemeriksaan selesai. "Dok, bagaimana kondisinya? Apakah ada yang lebih serius? Apa yang bisa kulakukan agar dia cepat pulih?" tanyanya dengan nada khawatir. Dokter menatap laki-laki itu sejenak, kemudian menjelaskan lebih detail, "ia hanya mengalami kelelahan dan sedikit syok. Tidak ada cedera fisik yang serius, tapi mentalnya mungkin masih terguncang. Dia butuh istirahat total untuk sementara waktu. Saya akan beri resep vitamin dan suplemen untuk membantunya pulih lebih cepat." Dokter kemudian menuliskan resep di kertas, lalu menyerahkannya kepada laki-laki itu. "Pastikan dia minum obat ini secara teratur, dan berikan dia lingkungan yang tenang dan nyaman. Jika ada tanda-tanda demam atau keluhan yang lebih serius, segera bawa dia ke rumah sakit." Pesannya lagi. Laki-laki itu mengangguk, menerima resep dari dokter. "Terima kasih, Dok. Saya akan memastikan dia mendapatkan yang terbaik." Dokter pun tersenyum kecil dan pamit setelah memastikan semua aman, meninggalkan laki-laki itu dengan rasa tanggung jawab besar untuk menjaga Rania hingga benar-benar pulih. Malam itu, Rania masih terbaring di apartemen tersebut, tak sadarkan diri. Tanpa ia ketahui, suaminya, Yoga, sedang menghabiskan malam bersama perempuan lain. Keceriaan yang Yoga rasakan di luar sangat kontras dengan keadaan Rania yang tidak mengetahui apa pun. Pagi menjelang, Yoga kembali dengan perasaan puas, seakan tak ada beban dan tidak menyadari dampak dari pengkhianatannya terhadap Rania, yang masih berjuang dengan pikirannya sendiri di apartemen. Pagi harinya, cahaya matahari tipis menembus tirai kamar apartemen, menciptakan bayangan lembut di lantai. Rania duduk di tempat tidur, matanya perlahan menyesuaikan diri dengan ruangan yang asing. Kepalanya masih berdenyut, dan ia mencoba mengingat bagaimana bisa berada di tempat ini. Ia meraba pelipisnya, merasakan nyeri yang tak tertahankan, dan tiba-tiba, suara asing dari luar ruangan terdengar. "Bagaimana keadaanmu?" tanya suara itu. Rania terlonjak kaget, matanya segera tertuju ke pintu yang perlahan terbuka. Seorang pria berdiri di sana, wajahnya serius tapi tidak tampak mengancam. Dia melangkah mendekat, suaranya lembut dan tegas. "Kamu? Rendy?" tanya Rania dengan nada panik, tubuhnya menegang, mencoba bergerak tapi terasa lemah. Pria itu menghentikan langkahnya, tetap menjaga jarak. "Kamu pingsan tadi malam, jadi aku membawamu ke sini. Jangan khawatir, kamu aman," jawabnya, mencoba menenangkan. "Ke sini? Ke mana? Apa yang terjadi?" Suara Rania sedikit gemetar, matanya menatap tajam, mencoba memahami situasi. "Kamu berada di apartemenku," jawab Rendy, pria yang hampir menabraknya sambil menunjuk sekeliling. "Aku menemukanmu di jalan, dan kamu tidak sadarkan diri. Sepertinya kamu terjatuh atau kelelahaan. Aku tidak bisa meninggalkanmu begitu saja, jadi kupikir membawamu ke tempat yang aman adalah pilihan terbaik." Rania merasa dadanya semakin sesak mendengar penjelasannya. Ia memandang pria itu dengan bingung. "Kenapa tidak membawaku ke rumah sakit?" "Aku berniat, tapi keadaan kamu yang basah kuyup dan waktu yang terlalu larut, membuatku memutuskan untuk merawatmu di sini dulu. Kalau kamu masih merasa tidak baik, kita bisa pergi ke rumah sakit sekarang," kata pria itu dengan tenang. Rania diam, masih memproses apa yang terjadi. Kepalanya terasa berat dan pikirannya kusut, tapi ia bisa merasakan bahwa pria ini tidak berniat buruk. Meskipun begitu, hatinya tetap waspada. "Apa... apa yang sebenarnya terjadi tadi malam?" tanya Rania perlahan, suaranya mulai stabil meski tubuhnya masih terasa lemah. Pria itu menghela napas panjang sebelum menjawab. "Aku tidak tahu pasti. Aku hanya menemukanmu terbaring di pinggir jalan, terluka. Mungkin kamu mengalami kecelakaan kecil. Tapi, sekarang yang penting adalah kamu harus memulihkan diri dulu." Rania mengangguk pelan, meski pikirannya masih diliputi pertanyaan. Ia merasa ada sesuatu yang salah, tapi tak bisa mengingatnya dengan jelas. Yang ia tahu hanyalah bahwa tubuhnya terasa berat, dan ada sesuatu yang mengganjal di hatinya, seolah ada rahasia besar yang tersembunyi. "Ren, bagaimana kamu bisa berada disini! Bukankah kamu pergi jauh!" tanya Rania masih menyimpan amarah. Rendi yang ternyata orang di masa lalu Rania, dengan sabar mendekat sambil membawa bubur ayam untuk sarapan. "Aku bawain bubur ayam kesukaan kamu, biar cepat sembuh ya. Aku tahu kamu pasti udah bosan di sini." jawab Rendi tanpa mau menjawab pertanyaan Rania. Rendi meletakkan bungkusan di meja samping ranjang Rania, senyum tipis menghiasi wajahnya. "Makasih, Ren, tapi kamu nggak perlu repot-repot gini, jawab aja pertanyaanku tadi!" Rania berusaha tersenyum, meskipun tubuhnya masih terasa lemas. Dia menatap bubur ayam itu, merasa terharu dengan perhatian Rendi. Namun, ada satu pertanyaan yang selama ini mengganggu pikirannya. "Bukan repot, Ran. Aku cuma pengen kamu cepat pulih dan bisa pulang, aku khawatir orang rumah mencarimu" jawab Rendi bijak sekali. Rendi duduk di kursi dekat tempat tidur, matanya penuh harapan. " Tidak akan ada yang mengkhawatirkan Aku di rumah itu! Aku bakal segera pulih, kok. Cuma butuh waktu sedikit lagi." jawab Rania menerawang. Rania tersenyum getir, namun dalam hatinya ada rasa berat karena ia tahu pemulihan ini bukan hanya soal fisik, tapi juga soal hati. "Apa yang terjadi padamu!"Setelah dipaksa, Rania akhirnya menyerah dan mulai menyendok bubur ayamnya. Di sela-sela suapannya, Rendy menatapnya penuh perhatian lalu bertanya, "Gimana kabarmu selama ini, Ran? Apa aja yang kamu lakuin belakangan?"Rania menahan napas sejenak, mencoba menata kata-katanya. "Ya... begitulah. Sibuk kerja, pulang-pergi kantor. Nggak banyak yang berubah, Ren. Kegiatan sehari-hari masih sama."Rendy mengangguk pelan, seolah memahami. "Kerja di tempat yang sama ya? Apa masih sesibuk dulu?" tanyanya lagi, berusaha mencairkan suasana.Rania hanya tersenyum tipis, mengaduk buburnya tanpa berkata apa-apa. Pertanyaan sederhana itu terasa berat untuk dijawabnya, seolah memantik banyak kenangan yang selama ini ia coba hindari.Rendy menatap Rania sejenak sebelum melanjutkan pertanyaannya dengan nada hati-hati. "Ran, tadi malam kamu kayak ... nggak seperti biasanya. Ada apa? Kamu kelihatan nggak terkontrol. Ada masalah di keluarga?"Rania mendadak berhenti mengaduk buburnya, tangannya gemetar se
Siang harinya, Rendy mengantarkan Rania pulang, di dalam mobil, suasana sedikit canggung di antara Rania dan Rendy. Setelah beberapa saat hening, Rendy mencoba membuka percakapan."Kamu yakin nggak apa-apa aku nganter kamu, Ran? Takutnya malah bikin masalah nanti."Rania menoleh, tersenyum tipis. "Nggak apa-apa, Ren. Toh, Yoga juga nggak pernah terlalu peduli soal siapa yang nganter aku."Rendy menatap Rania sekilas, "Aku cuma nggak mau bikin situasi jadi ribet. Kamu udah bersuami, aku ngerti posisinya."Rania tertawa kecil, tapi ada nada getir di suaranya. "Yoga terlalu sibuk untuk tahu apa yang terjadi, Ren. Aku bahkan nggak yakin dia bakal sadar kalau aku pulang sama kamu."Rendy menatap sendu dan berucap berhati-hati, "Tapi kamu baik-baik aja, kan? Maksudku, di rumah ..."Rania menunduk, tangannya meremas tas di pangkuannya. "Baik? Aku nggak tahu, Ren. Semua ini terasa kosong."Rendy menggenggam setir lebih erat, ragu-ragu sebelum berbicara lagi. "Kamu masih punya aku kalau butuh
Pagi itu terasa berbeda bagi Rania. Yoga, yang biasanya sudah lebih dulu meninggalkan rumah, hari ini sarapan bersamanya di meja makan. Suasana hening, keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing. Rania merasa canggung, namun tetap fokus menikmati sarapannya. Yoga tampak tenang, tanpa kata, hanya sesekali memeriksa ponselnya.Tiba-tiba, suasana tenang itu pecah oleh suara video call dari Kakek Yoga. Yoga menatap layar sejenak sebelum mengangkat panggilan itu. Wajah Kakek muncul di layar, tersenyum lebar. "Selamat pagi, Yoga, Rania!" sapanya hangat, "Bagaimana kabar kalian? Rumah barunya nyaman, kan?"Rania berusaha tersenyum, meski hatinya merasa sedikit kaku, sementara Yoga menjawab dengan nada datar, "Baik, Kek. Rumahnya nyaman, terima kasih."Pagi itu, Kakek muncul di layar ponsel Yoga dengan senyuman hangat, wajahnya terlihat bersemangat meski sudah lanjut usia. Rania yang sedang menyuap sarapannya, melirik sekilas ke layar ponsel Yoga, merasa sedikit canggung."Selamat pagi, Yog
Di Pagi itu terasa berbeda bagi Rania. Yoga, Pagi itu terasa berbeda bagi Rania. Yoga, yang biasanya sudah lebih dulu meninggalkan rumah, hari ini sarapan bersamanya di meja makan. Suasana hening, keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing. Rania merasa canggung, namun tetap fokus menikmati sarapannya. Yoga tampak tenang, tanpa kata, hanya sesekali memeriksa ponselnya.Tiba-tiba, suasana tenang itu pecah oleh suara video call dari Kakek Yoga. Yoga menatap layar sejenak sebelum mengangkat panggilan itu. Wajah Kakek muncul di layar, tersenyum lebar. "Selamat pagi, Yoga, Rania!" sapanya hangat, "Bagaimana kabar kalian? Rumah barunya nyaman, kan?"Rania berusaha tersenyum, meski hatinya merasa sedikit kaku, sementara Yoga menjawab dengan nada datar, "Baik, Kek. Rumahnya nyaman, terima kasih."Pagi itu, Kakek muncul di layar ponsel Yoga dengan senyuman hangat, wajahnya terlihat bersemangat meski sudah lanjut usia. Rania yang sedang menyuap sarapannya, melirik sekilas ke layar ponsel Yoga
Di tengah pesta kapal yang meriah, Rania berusaha tetap tersenyum meski hatinya dipenuhi kemelut yang tak tertahankan. Matanya sesekali melirik ke arah Yoga yang tampak asyik berbicara dengan seorang wanita cantik di sudut ruangan, senyumnya begitu lebar, sesuatu yang jarang ia lihat ketika bersama dirinya. Perasaan sakit mulai menyeruak, dan Rania hanya bisa menahan air matanya agar tidak jatuh di depan semua orang.Namun, di tengah kesedihannya, tiba-tiba seseorang tak sengaja menumpahkan minuman ke gaunnya. Gelas anggur merah tumpah membasahi kain lembut yang ia kenakan dengan susah payah. "Astaga! Maafkan saya, saya benar-benar tidak sengaja!" suara seorang pria terdengar jelas, diikuti oleh gerakan cepatnya mengambil serbet untuk membersihkan noda di gaun Rania.Rania menatap pria itu, hendak mengatakan sesuatu, tapi suaranya tertahan. Ia mengenal suara itu. Tubuhnya menegang seketika. Saat pria itu menoleh dan wajah mereka bertemu, Rania langsung terdiam, terkejut."Rendy?" ucap
Siang harinya, Rendy mengantarkan Rania pulang, di dalam mobil, suasana sedikit canggung di antara Rania dan Rendy. Setelah beberapa saat hening, Rendy mencoba membuka percakapan."Kamu yakin nggak apa-apa aku nganter kamu, Ran? Takutnya malah bikin masalah nanti."Rania menoleh, tersenyum tipis. "Nggak apa-apa, Ren. Toh, Yoga juga nggak pernah terlalu peduli soal siapa yang nganter aku."Rendy menatap Rania sekilas, "Aku cuma nggak mau bikin situasi jadi ribet. Kamu udah bersuami, aku ngerti posisinya."Rania tertawa kecil, tapi ada nada getir di suaranya. "Yoga terlalu sibuk untuk tahu apa yang terjadi, Ren. Aku bahkan nggak yakin dia bakal sadar kalau aku pulang sama kamu."Rendy menatap sendu dan berucap berhati-hati, "Tapi kamu baik-baik aja, kan? Maksudku, di rumah ..."Rania menunduk, tangannya meremas tas di pangkuannya. "Baik? Aku nggak tahu, Ren. Semua ini terasa kosong."Rendy menggenggam setir lebih erat, ragu-ragu sebelum berbicara lagi. "Kamu masih punya aku kalau butuh
Setelah momen dansa selesai, para tamu mulai menuju meja hidangan yang telah tertata rapi. Namun, Yoga tidak bisa menahan amarahnya lagi. Di sudut ruangan, wajahnya memerah, tangan menggenggam erat, dan matanya tak pernah lepas memandangi Rania yang tampak tersenyum canggung saat berdansa dengan pria lain tadi. Rasa cemburu dan geram berkecamuk dalam dirinya.Dengan langkah cepat dan tegas, Yoga mendekati Rania yang tengah berbicara dengan seorang tamu. Tanpa banyak bicara, ia menggenggam lengan Rania dengan kuat, menariknya menjauh dari kerumunan. Rania terkejut dan berusaha melepaskan diri, tapi kekuatan genggaman Yoga membuatnya tak bisa berbuat apa-apa.Setelah berada di tempat yang lebih sepi, Yoga menatap Rania dengan penuh emosi. "Berani-beraninya kamu berdansa dengan pria lain di depanku," ucapnya dengan nada dingin dan tajam. "Kamu pikir ini pantas?" Rania, yang awalnya ketakutan, mencoba menjelaskan. "Itu hanya dansa, tidak ada yang lebih dari itu, Mas Yoga. Kamu tahu aku t
Yoga menatap Rania, amarah yang tadi berkobar mulai mereda, digantikan oleh rasa bersalah yang perlahan merayap ke dalam hatinya. Ia mulai menyadari bahwa selama ini ia terlalu sibuk dengan dirinya sendiri, terlalu sibuk membenarkan tindakannya, tanpa menyadari betapa besar pengorbanan yang Rania lakukan untuk menjaga pernikahan mereka tetap utuh."Aku ..." Yoga memulai, tapi suaranya tertahan. Ia menghela napas panjang, menundukkan kepalanya. "Aku tidak pernah bermaksud menyakiti kamu, Rania. Aku hanya ... tidak tahu bagaimana cara menyeimbangkan semuanya. Pekerjaan, tanggung jawab, pernikahan ... semuanya terasa berat."Rania menyeka air mata yang mulai mengalir di pipinya. "Aku mengerti, Mas. Tapi bukankah kita harus menghadapinya bersama? Bukannya malah membuat jarak di antara kita?"Yoga terdiam lama, berusaha mencerna kata-kata itu. Dalam hatinya, ia tahu Rania benar. Ia terlalu banyak menuntut tanpa memberi, terlalu sibuk dengan dunianya sendiri, sehingga melupakan apa yang seh