Rania menatap bayangannya di cermin, memperhatikan setiap detail penampilannya yang kini terlihat berbeda dari biasanya. Gaun putih sederhana dengan sulaman halus membalut tubuhnya, namun matanya memancarkan keraguan yang dalam. Hari ini adalah hari yang mengubah hidupnya, ia akan menikah dengan seorang laki-laki yang tak pernah ia kenal sebelumnya. Hatinya bergejolak, antara menerima takdir dan ketidakpastian masa depan.
"Apa aku bisa melewati semua ini?" bisiknya dalam hati, sambil menyentuh ringan riasannya. Ini bukan pernikahan impiannya, tidak ada cinta, tidak ada persahabatan, hanya komitmen yang disusun oleh keluarga. Rania menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya, dan melangkah keluar dari kamar dengan langkah yang terasa semakin berat. Sedetik kemudian, Mama Rania datang menghampiri dengan langkah pelan. Matanya berkaca-kaca, menahan perasaan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Tanpa bicara, beliau meraih tangan putrinya dan menggenggamnya erat. "Rania, Nak ..." suara Mama Rania terdengar serak dan lembut. "Ibu tahu ini bukan mudah bagimu. Tapi percayalah, takdir Allah selalu yang terbaik, meskipun kadang sulit kita pahami. Terimalah dengan lapang dada, dan semoga nanti, seiring waktu, hatimu akan menemukan kebahagiaan." Rania menatap ibunya, air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. Kehangatan tangan ibunya memberi kekuatan, meski hati masih bergemuruh. Ia mencoba tersenyum kecil, meski lemah, sebagai tanda ia mendengar dan memahami. Mama Rania menghela napas panjang, berusaha menahan isak. "Nak, ada sesuatu yang belum sempat Ibu sampaikan ... Ini bukan hanya tentang perjodohan semata. Ini juga wasiat dari Papa sebelum beliau meninggal." Mata Rania membesar, terkejut mendengar kata-kata itu. "Wasiat Papa?" tanyanya, suaranya bergetar. Mama Rania mengangguk pelan, air mata mulai jatuh. "Papa ingin kamu menikah dengan seseorang yang menurutnya bisa menjaga dan melindungimu. Dia sudah memikirkan ini jauh sebelum kepergiannya. Papa percaya, meskipun kamu belum mengenalnya sekarang, suatu hari kamu akan mengerti alasan di balik keputusan ini." Rania terdiam, dadanya sesak. Kenyataan bahwa ini adalah keinginan terakhir ayahnya membuatnya semakin sulit untuk menolak. "Papa selalu ingin yang terbaik untukmu, Rania," lanjut mamanya dengan suara penuh kelembutan. "Mama harap kamu bisa menjalani ini dengan ikhlas. Percayalah, takdir Allah pasti indah pada waktunya." Rania menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan kegelisahan yang berkecamuk dalam dadanya. Genggaman tangan Mama yang hangat memberinya sedikit kekuatan. Ketika kakinya menginjak area tempat akad, tatapannya langsung tertuju pada sosok Yoga. Ia berdiri tegap di sana, tampak tenang dengan wajah penuh keyakinan. Laki-laki yang akan menjadi suaminya sebentar lagi, dengan segala kelebihan dan kekayaannya, tampak siap menghadapi momen sakral ini. Hati Rania masih diliputi keraguan. Bukan karena ia tidak mengenal Yoga, tetapi karena pernikahan ini terjadi begitu cepat. Segalanya terasa seperti mimpi yang belum sepenuhnya ia pahami. Namun, di hadapan penghulu dan keluarga besar yang hadir, ia tahu bahwa inilah saatnya mengambil langkah besar dalam hidupnya. Sang penghulu mulai memimpin prosesi dengan suara yang tenang dan penuh hikmat. Yoga mempersiapkan diri untuk melantunkan ijab kabul. Suasana seketika hening, seluruh perhatian tertuju pada momen paling penting itu. Di tengah keheningan yang khidmat, penghulu membuka prosesi dengan kalimat bismillah, diikuti dengan beberapa penjelasan singkat mengenai makna pernikahan. Setelah itu, ia mempersilakan Yoga untuk memulai ijab kabul. Dengan napas dalam yang hampir tak terdengar, Yoga menatap lekat pada wali Rania. Suaranya tegas namun penuh hormat saat ia mengucapkan: "Saya terima nikahnya Rania binti Hendra dengan mas kawin tersebut, tunai." Seketika, suara saksi dan hadirin yang hadir pun mengikuti, mengucapkan tanda persetujuan, "Sah." Momen itu seakan berhenti sejenak. Yoga menundukkan kepala, menghela napas lega. Rania, yang mendengar kalimat itu, merasa dunia di sekitarnya mengabur. Hatinya bergetar, antara kebahagiaan dan ketidakpastian yang selama ini menyelimutinya perlahan mulai tersibak. Ia kini resmi menjadi istri Yoga, dan sebuah babak baru dalam hidupnya telah dimulai. Setelah ucapan ijab kabul terlantun dan dinyatakan sah, Yoga hanya bisa menghela napas panjang, namun bukan napas lega seperti yang biasa dirasakan oleh pengantin pada umumnya. Alih-alih merasa bahagia, ada kekosongan yang sulit ia gambarkan. Senyum yang terukir di wajahnya hanya topeng, menutupi gelisah yang bersemayam di dalam hatinya. Di benaknya, bayangan kekasihnya, seorang model ternama, terus muncul. Wanita yang ia cintai sepenuh hati, tapi tidak bisa ia nikahi karena desakan keras dari sang Kakek yang sangat berpengaruh dalam keluarganya. Kakek Yoga menginginkan Rania sebagai istri cucunya demi menjaga kehormatan keluarga dan memperkuat ikatan bisnis di antara kedua keluarga besar. "Ini bukan kehidupan yang kuinginkan, tapi aku tidak punya pilihan." batin Yoga. Rania, yang duduk di sampingnya dengan pandangan ragu dan penuh harap, mungkin tidak tahu apa yang berkecamuk di hati Yoga. Ia hanya melihat sosok pria yang baru saja menjadi suaminya, tanpa mengetahui bahwa cinta pria itu berada di tempat lain, bersama wanita lain. Dengan perasaan yang bercampur aduk, Yoga mencoba menguatkan dirinya. Ia tahu, keputusannya untuk menikahi Rania adalah demi memenuhi kewajiban keluarganya. Tapi jauh di dalam lubuk hatinya, ia tak bisa menipu dirinya sendiri bahwa pernikahan ini bukanlah apa yang ia inginkan.Setelah acara ijab kabul selesai, suasana haru memenuhi ruangan. Rania dan Yoga melangkah perlahan mendekati orang tua mereka untuk sungkem. Rania menundukkan kepala, air mata tertahan di pelupuk mata, mencium tangan kedua orang tuanya dengan penuh takzim. Sementara Yoga, meskipun melakukan hal yang sama, ekspresinya tetap datar. Ia tampak menjalani prosesi ini dengan enggan, tanpa ada perasaan yang terpancar di wajahnya. Rania sudah memasrahkan semuanya. Meskipun pernikahan ini tidak dilandasi cinta, ia bertekad untuk menjalani tanggung jawab barunya sebagai seorang istri. Dalam hatinya, ia berharap bisa menemukan kekuatan dan kebijaksanaan untuk menghadapi masa depan yang penuh ketidakpastian ini. Saat tiba gilirannya untuk sungkem, Rania berlutut di depan Mamanya dengan air mata yang tak lagi bisa ditahan. Ia menggenggam erat tangan sang mama, merasakan kehangatan yang selama ini selalu menemaninya. Suara Rania bergetar, mencerminkan pergulatan batinnya."Ma, maafkan Rania atas s
Kata-kata Yoga sungguh sulit di cerna, Rania tidak memungkiri bahwa sosok Yoga adalah laki-laki yang tampan dan berkharisma, dia juga dilahirkan dari keluarga berada sehingga membuatnya semakin dielu-elukan perempuan gila harta diluar sana. Keduanya akhirnya mengikuti serentetan acara hingga selesai, sebelum pulang Kakek Yoga menyerahkan sebuah kunci rumah baru sebagai kado ulang tahun mereka berduaKakek, Rania, dan Yoga masih berada di tempat resepsi, para tamu sudah banyak yang pamitan pulang dan menyisakan keluarga inti saja saat pemberian hadiah pernikahan. Suasana malam itu terasa begitu hangat. Angin lembut berhembus dari jendela yang terbuka, membawa aroma harum bunga yang bertebaran di tempat resepsi. Rania dan Yoga duduk berdampingan di sofa, masih mengenakan baju pengantin seusai resepsi. Kakek berdiri dengan tongkatnya, senyumnya lembut tapi penuh arti. Mata tuanya menatap mereka dengan kasih sayang, seolah ingin memastikan bahwa pesan yang akan disampaikan bisa dipahami
Rania memang menikmati fasilitas rumah barunya, tapi tetap merasakan kekosongan tanpa perhatian dari suaminya, walaupun sudah menikah, Yoga tidak membatasi aktivitasnya, ia masih diijinkan bekerja di luar rumah, seperti biasanya,Yoga selalu berangkat lebih dulu setiap pagi, meninggalkan Rania dalam kesendiriannya.Pagi itu, Rania sedang bersiap-siap di depan cermin kamarnya ketika Yoga melewatinya dengan cepat, mengenakan setelan kerja yang rapi.Yoga, dengan nada terburu-buru, berkata, "Aku duluan ya. Ada meeting penting pagi ini."Rania yang masih duduk di meja rias, mencoba tersenyum tipis. "Iya, hati-hati di jalan," balasnya lembut, berharap setidaknya Yoga menoleh atau menunda sebentar kepergiannya.Namun, Yoga hanya meraih tas kerjanya dan berkata singkat, "Iya, kamu juga jangan telat."Pintu rumah pun tertutup dengan suara yang terdengar pelan tapi jelas di telinga Rania. Ia menarik napas panjang, menatap bayangannya di cermin, dan bergumam lirih, "Seandainya kamu lebih memper
Rania dibaringkan perlahan di ranjang oleh laki-laki itu, sosok yang hampir menabraknya beberapa saat yang lalu. Wajahnya tampak pucat, membuat laki-laki tersebut semakin cemas. Ia merasa bertanggung jawab atas keadaan Rania. Tanpa membuang waktu, laki-laki itu segera mengambil ponselnya dan menghubungi seseorang."Bisa cepat datang ke sini? Ada yang perlu kamu cek ... dia tampaknya butuh bantuan medis. Aku hampir menabraknya tadi, dan sekarang dia terlihat lemah," suaranya terdengar tegang saat berbicara.Laki-laki itu menunggu di sisi ranjang Rania, berharap sahabat yang dihubunginya segera datang untuk memastikan keadaan Rania. Waktu terasa berjalan lambat, dan ia terus memantau keadaan Rania yang semakin membuatnya khawatir.Beberapa menit kemudian, dokter yang dihubungi akhirnya tiba. Dengan langkah cepat dan tenang, beliau menghampiri Rania yang masih terbaring lemah di ranjang. Laki-laki itu berdiri di sudut ruangan, gelisah menunggu perkembangan.Dokter segera memeriksa kondis
Setelah dipaksa, Rania akhirnya menyerah dan mulai menyendok bubur ayamnya. Di sela-sela suapannya, Rendy menatapnya penuh perhatian lalu bertanya, "Gimana kabarmu selama ini, Ran? Apa aja yang kamu lakuin belakangan?"Rania menahan napas sejenak, mencoba menata kata-katanya. "Ya... begitulah. Sibuk kerja, pulang-pergi kantor. Nggak banyak yang berubah, Ren. Kegiatan sehari-hari masih sama."Rendy mengangguk pelan, seolah memahami. "Kerja di tempat yang sama ya? Apa masih sesibuk dulu?" tanyanya lagi, berusaha mencairkan suasana.Rania hanya tersenyum tipis, mengaduk buburnya tanpa berkata apa-apa. Pertanyaan sederhana itu terasa berat untuk dijawabnya, seolah memantik banyak kenangan yang selama ini ia coba hindari.Rendy menatap Rania sejenak sebelum melanjutkan pertanyaannya dengan nada hati-hati. "Ran, tadi malam kamu kayak ... nggak seperti biasanya. Ada apa? Kamu kelihatan nggak terkontrol. Ada masalah di keluarga?"Rania mendadak berhenti mengaduk buburnya, tangannya gemetar se
Siang harinya, Rendy mengantarkan Rania pulang, di dalam mobil, suasana sedikit canggung di antara Rania dan Rendy. Setelah beberapa saat hening, Rendy mencoba membuka percakapan."Kamu yakin nggak apa-apa aku nganter kamu, Ran? Takutnya malah bikin masalah nanti."Rania menoleh, tersenyum tipis. "Nggak apa-apa, Ren. Toh, Yoga juga nggak pernah terlalu peduli soal siapa yang nganter aku."Rendy menatap Rania sekilas, "Aku cuma nggak mau bikin situasi jadi ribet. Kamu udah bersuami, aku ngerti posisinya."Rania tertawa kecil, tapi ada nada getir di suaranya. "Yoga terlalu sibuk untuk tahu apa yang terjadi, Ren. Aku bahkan nggak yakin dia bakal sadar kalau aku pulang sama kamu."Rendy menatap sendu dan berucap berhati-hati, "Tapi kamu baik-baik aja, kan? Maksudku, di rumah ..."Rania menunduk, tangannya meremas tas di pangkuannya. "Baik? Aku nggak tahu, Ren. Semua ini terasa kosong."Rendy menggenggam setir lebih erat, ragu-ragu sebelum berbicara lagi. "Kamu masih punya aku kalau butuh
Pagi itu terasa berbeda bagi Rania. Yoga, yang biasanya sudah lebih dulu meninggalkan rumah, hari ini sarapan bersamanya di meja makan. Suasana hening, keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing. Rania merasa canggung, namun tetap fokus menikmati sarapannya. Yoga tampak tenang, tanpa kata, hanya sesekali memeriksa ponselnya.Tiba-tiba, suasana tenang itu pecah oleh suara video call dari Kakek Yoga. Yoga menatap layar sejenak sebelum mengangkat panggilan itu. Wajah Kakek muncul di layar, tersenyum lebar. "Selamat pagi, Yoga, Rania!" sapanya hangat, "Bagaimana kabar kalian? Rumah barunya nyaman, kan?"Rania berusaha tersenyum, meski hatinya merasa sedikit kaku, sementara Yoga menjawab dengan nada datar, "Baik, Kek. Rumahnya nyaman, terima kasih."Pagi itu, Kakek muncul di layar ponsel Yoga dengan senyuman hangat, wajahnya terlihat bersemangat meski sudah lanjut usia. Rania yang sedang menyuap sarapannya, melirik sekilas ke layar ponsel Yoga, merasa sedikit canggung."Selamat pagi, Yog
Di Pagi itu terasa berbeda bagi Rania. Yoga, Pagi itu terasa berbeda bagi Rania. Yoga, yang biasanya sudah lebih dulu meninggalkan rumah, hari ini sarapan bersamanya di meja makan. Suasana hening, keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing. Rania merasa canggung, namun tetap fokus menikmati sarapannya. Yoga tampak tenang, tanpa kata, hanya sesekali memeriksa ponselnya.Tiba-tiba, suasana tenang itu pecah oleh suara video call dari Kakek Yoga. Yoga menatap layar sejenak sebelum mengangkat panggilan itu. Wajah Kakek muncul di layar, tersenyum lebar. "Selamat pagi, Yoga, Rania!" sapanya hangat, "Bagaimana kabar kalian? Rumah barunya nyaman, kan?"Rania berusaha tersenyum, meski hatinya merasa sedikit kaku, sementara Yoga menjawab dengan nada datar, "Baik, Kek. Rumahnya nyaman, terima kasih."Pagi itu, Kakek muncul di layar ponsel Yoga dengan senyuman hangat, wajahnya terlihat bersemangat meski sudah lanjut usia. Rania yang sedang menyuap sarapannya, melirik sekilas ke layar ponsel Yoga